TANBIIH

الحَمـْدُ للهِ المُــوَفَّـقِ للِعُـلاَ حَمـْدً يُوَافـــِي بِرَّهُ المُتَـــكَامِــلا وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَي النَّبِيِّ المُصْطَفَىَ وَالآلِ مَــــعْ صَـــحْــبٍ وَتُبَّـاعٍ وِل إنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا تَقْوَى الإلهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ وَتِبَاعُ أَهْوَى رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلاَ إن أخوف ما أخاف على أمتي اتباع الهوى وطول الأمل إنَّ الطَّرِيقَ شَرِيعَةٌُ وَطَرِيقَةٌ وَحَقِيقَةُ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلا فَشَرِيعَةٌ كَسَفِينَة وَطَرِيقَةٌ كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيقَةٌ دُرٌّ غَلاَ فَشَرِيعَةٌ أَخْذٌ بِدِينِ الخَالِقِ وَقِيَامُهُ بَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ انْجَلاَ وَطَرِِيقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطَ كَالوَرَع وَعَزِيمَةُ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاَ وَحَقِيقَةُ لَوُصُولُهِ لِلمَقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُورُ التّجَلِّي بِانجَلاَ مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق

hiasan

BELAJAR MENGKAJI HAKIKAT DIRI UNTUK MENGENAL ILAHI

Jumat, 01 Juni 2012

Risalah Fi Ilmi Al-Tauhid Waa Adaabiha ‘Inda Ahli Al-Tasawuf



بسم الله الرحمن الرحيم



Segala Puji dan Keagungan senantiasa kita curahkan kepada Dzat yang telah berfirman di dalam kitabnya Al - Qur’an yang berfungsi sebagai pemberi penjelasan, ialah Dzat yang paling benar Qoulnya.

هو الذى ارسل رسوله بالهدى ودين الحقّ ليظهره على الدين كله ولوكره المشركون .


“Dialah Dzat yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq, agar dimenangkannya terhadap semua agama, sekalipun orang-orang musyrik membencinya”
Rahmad ta’dzim dan keselamatan mudah-mudahan tetap terlimpah curahkan kepada junjungan kita, nabi yang menjanjikan syafa’at-nya kepada kita, Rasul yang menjadi wasilah kita untuk menuju Tuhan, ialah Nabi Muhammad Saw yang telah bersabda :

إنّ اصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمّد وشرالامور محد ثاتها. وكل محدثة بدعة, وكل بدعة ضلالة, وكل ضلالة فى النار.


“Sungguh sebenar-benarnya hadits / ucapan adalah kitabullah “Al-Qur’an”. Sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Muhammad Saw, dan seburuk-buruknya perkara adalah perkara baru yang tidak berdasar agama


Segala puji bagi Allah, “Al – Hamdulillah” sebagai sebuah ungkapan rasa syukur atas segala anugerah – Nya, Rahmat ta’dzim dan keselamatan mudah-mudahan terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh keluarganya


Nafsu itu di zaman modern ini dikenal dengan sebutan atom, sosok benda yang tidak dapat diketahui lewat panca indra (penglihatan, penciuman,pendengaran, pengraba dan perasa). Nafsu itu dzarroh, dan darroh itu barang yang sangat kecil yang berada di punggung laki-laki. Di waktu nafsu di alam ruh, dia di baiat sebuah perjanjian, bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Mereka menyaksikan hal itu, bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Allah berfirman:


وإذ أخذ ربك من بني آدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على أنفسهم ألست بربكم قالوا بلى شهدنا أن تقولوا يومَ القيامة إنا كنا عن هذا غافلين


Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”,(QS.Al-A’raaf:172)


يا أيتها النفس المطمئنة ارجعي إِلى ربك راضية مرضية


Hai jiwa yang tenang.Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (QS.Al-Fajr:172)


Dzaroh itu kadang dimaknai dalam kitab-kitab salaf (makan Jawa) dengan makna Semut Pudak, semut yang sangat kecil. Berbeda dzarroh yang bermakna atom, benda yang tidak dapat ditangkap dengan panca indra. Atom itu sendiri ditemukan oleh orang yahudi pada tahun 1945. Allah berfirman:


فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره ومن يعمل مثقال ذرة شرا يره


Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.(QS. Zalzalah: 7-8)


Nafsu yang dibawa seorang Bapak itu tidak ada apa-apanya. dan tidak bisa berperan, namun setelah ada peran seorang Ibu benda itu menjadi sangat berguna dan bermanfaat sekali. Prosesnya, setelah nafsu itu dipancarkan oleh Bapak ke rahim Ibu dengan disertai gaya gesekan tarik menarik, nafsu keluar dengan wujud sperma (sperma itu terdiri dari berjuta-juta sel, dan yang menjadi manusia itu cuma satu sel) maka terjadilah proses percampuran antara nafsu dan nutfah Ibu, yang akhirnya terjadilah pembuahan yang menjadikan sebab terjadinya manusia.


Kejadian ini sungguh luar biasa bagi orang yang mau berfikir di dalamnya. Mengapa nafsu yang tidak ada apa-apanya bisa menjadi sangat bermanfaat setelah dicampurkan. Hal itu menunjukan akan kebesaran Allah yang agung yang menciptakan mahluknya dengan berpasang-pasangan. Nafsu berpasangan dengan sukma. Ayah berpasangan dengan Ibu, laki-laki berpasangan dengan perempuan, maka lahirlah manusia. Allah berfirman:


سبحان الذي خلق الأزواج كلها مما تنبِت الْأرض ومن أنفسهم وممالايعلمون


Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.(QS. Yasin :36)


Ilmu pengetahuan di zaman modern terus berkenbang seiring dengan langkah manusia. Orang-orang berlomba untuk menemukan inovasi yang bermanfaat bagi manusia. Orang-orang kafir menukan atom, sebuah rumus yang dimiliki Islam dalam kitab suci Al-Quran padahal orang Islam sendiri itu tidak mengetahui hal itu. Meskipun tidak tahu atom tapi orang Islam mengetahui apa itu dzarrah, suatu benda yang terkecil. Jika orang mau berfikir tentang apa yang ada di dalamnya niscaya orang itu akan menemukan sebuah konsep bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Rosulullah saw bersabda:


من عرف نفسه فقد عرف ربه

Barang siapa yang mengetahui dirinya. maka dia akan mengetahui tuhannya … dalil ini yang selalu menjadi taklif di antara para ulama’ serta sampai ada yang mengatakan dalil dlo’if … padahal dalil ini sering kali di ucapkan oleh sayyidina ‘ali dan syaiyidina umar bin khottob dalam mengajarkan setiap pemeluk agama islam untuk selalu intropeksi diri serta sadar akan KeESAan ALLOH serta menafikan diri HAMBA …

Kalam Menurut Pandangan Ahli Tauhid Sufii




اله الخلق مولانا قديم # وموصوف بأوصاف الكمال

Siapakah AL-ILAH (alloh) si mahluk INI :

Dzat wajibul wujud yang tidak di dahului sifat ADAM (tidak ada) HUDUST (baru) FANA’ (rusak) dzat yang tidak di dahului oleh sifat AWAL dan dzat yang tidak bisa di batasi oleh sifat akhir … DIAlah dzattulloh yang tidak bertempat & masa yang maha awal maha akhir maha qodim .. dzat tidak terikat ruang dan waktu yang meliputi seluruh alam (IKHATHOH) .. baik alam mulki (jasad) alam lahir DUNIA … dan alam akhirat …. serta dzat yang tidak terpisah dari mahluk-mahluknya dengan sifat MAIYAH (besertaan) serta dzat yang maha dekat terhadap mahluk-mahlukNYA (AL-AQROB) …. semua telah di jelaskan di dalam al-qur’an :

وكان الله علي كل شئ محيطا

dan adanya alloh itu maha meliputi di seluruh mahluknya (setiap perkara yang ada) … bagai mana kita tahu meliputinya alloh kepada kita semua .. di ibarat meliputinya angin kepada manusia …. tidak di luar dan tidak di dalam … meliputinya dari mulai ujung rambut sampai ujung kaki … terus bagaimana kita ini merasa kalo diri kita terpisah dari alloh ..???

وهو معكم اينما كنتم

adapun alloh itu menyertai seluruh mahluknya di manapun dia berada ,, inikan jawaban di mana alloh ?? alloh itu beserta kita semua dimanapun kita berada ,ketidak terbatasannya alloh itu dapat kita fahami dari sifat-sifat menyertainya pada setiap” mahluknya …. berarti alloh tidak jauh tidak dekat …. karena bagaimana kita menganggap alloh jauh kalo selalu menyertai mahluknya … bagaimana kita melihat kedekatan alloh kalo alloh itu maha meliputi pada mahluknya … semisal kita melihat pada sesuatu yang lain dari dalam / dari luar diri … melihatnya kita semua itu bersandar dari sifat BASHIROHNYA alloh , dengan kata lain aku melihat sesuatu yang sebenarnya melihat itu bukan si aku / si anu sebenarnya yang melihat itu alloh sendiri dengan sifat bashirohnya alloh sendiri … ???

ونحن اقرب اليه من حبل الوريد

dalil ini yang menunjukkan keMAHA dekatannya ALLOH pada mahluknya ” adapun alloh itu lebih dekat daripada sesuatu yang paling dekat di antara sesuatu yang paling dekat pada mahluknya” jika kita berfikir .. dekatnya lidah dengan rasa itu lebih dekat alloh dalam kenyataannya, dekatnya alloh pada sesuatu itu tidak sama dengan dekatnya sesuatu pada sesuatu .. kalo dekatnya sesuatu pada sesuatu itu masih ada kata terpisah sedang alloh tidak terpisah dan berkumpul pada sesuatu ….

Dengan ini kita bisa berfikir apakah KALAM ITU : kalam itu adalah pengertian (hidayah) yang tidak berupa huruf ,perkataan,lafadz / kalimah namun pengertian yang lahir dari setiap HIKMAH pelajaran pelajaran hidup yang kita alami ini … karena sifatnya KALAM itu tidak juz dan tidak jirim …. karena KALAM itu adalah kehendak alloh yang bersifat qodim dan azali ,,, namun tidak bertentangan dengan hukum serta pemahaman aqal indrawi semata … di ibarat rasa manis , bagaimanakah kita bisa menggambarkan rasa manis itu dengan perkataan / mencontohkan nya … dan rasa manis itu identik dengan kata gula , namun tidak semua manis itu adalah gula , bisa madu bisa yang lainya … karena KALAM itu bersifat universal (meliputi,bersamaan,dekat) yang selalu beriringan tidak terpisah tidak berkumpul (ESA)

kesimpulan: dengan ini kajian / pengertian setiap pembahasan sebuah dalil al-qur’an & hadist itu masih memerlukan kajian IJMA’ dan QIYAS ,, agar kiranya kita tidak mudah terjebak pada perkataan hukum yang memecah belahkan pengertian HIDUP ,,, dan inilah hasil perenungan yang masih butuh penyempurnaan ,semoga masukan-masukan dari saudara-saudaraku sekalian bisa menambah wawasan kajiannya AL_FAQIR dalam belajar menuju HAQIQAT yang sebenar-benarNYA …

KALAM: PENGERTIAN YANG SUDAH TERSUSUN DAN BERFAIDAH … SERTA TIDAK TERBATASI OLEH LAFADZ DAN KALIMAH SEMATA ,,, KARENA ITU HAQ ALLOH ….

اله الخلق مولانا قديم # وموصوف بأوصاف الكمال

TUHANKU ADALAH PENCIPTA YANG BERSIFAT QODIM (DAHULU) YANG MEMPUNYAI SELURUH SIFAT-SIFAT KASAMPURNAN … MAHA DEKAT MAHA MELIPUTI DAN BERSAMAAN .. TIDAK BERTEMPAT NAMUN ADA DAN WAJIBUL WUJUD ADANYA … TUHAN YANG TIDAK GHAIB / BERSEMAYAM DI ATAS ARSY , KURSI, DIATAS LANGIT … KARENA TUHANKU TIDAK TERIKAT PADA TEMPAT RUANG DAN WAKTU DAN TIDAK BISA DI QIYAS …DENGAN APAPUN KEMAHA KEKALANNYA …


Kamis, 31 Mei 2012

ASAL USUL, TUJUAN, MAQAMAT DAN AHWAL TASAWUF



Manusia sebagimana disebutkan Ibnu Khaldun memiliki panca indera (anggota tubuh), akal pikiran dan hati sanubari. Ketiga potensi ini harus bersih, sehat berdaya guna dan dapat bekerja sama secara harmonis. Untuk menhasilkan kondisi seperti ini ada tiga bidang ilmu yang berperan penting.

Pertama, Fiqih berperan untuk membersihkan dan meyehatkan panca indera dan anggota tubuh. Istilah yang digunakan fiqih untuk hal tersebut adalah thaharah (bersuci). Oleh karena itu fiqih lebih banyak berkenaan dengan dimensi eksoterik (lahiriyah atau jasmaniyah) dari manusia. Kedua, filsafat berfungsi untuk menggerakkan, menyehatkan dan meluruskan akal pikiran manusia. Karenanya filsafat lebih berurusan dengan dimensi metafisik dari manusia. Ketiga tasauf berperan dalam membersihkan hati sanubari manusia. Karenya tasauf banyak berurusan dengan dimensi esoterik (batin atau ruhaniyah) manusia. 

 PENGERTIAN TASAWUF.

1. Tasawuf dalam Pengertian Etimologis (bahasa)

Para peneliti, baik klasik maupun kontemporer, berbeda pendapat seputar asal muasal kata tasauf. Perbedaan pendapat ini melahirkan banyak perbedaan, sehingga berimbas kepada definisi. Adapun yang terpenting dalam kaitannya dengan asal muasal atau istilah yang dihubung-hubungkan dengan kata tasauf adalah sebagai berikut:

a.. Kata shufi diambil dari kata shafa (jernih, bersih) atau shuf (bulu domba) pendapat ini benar, jika dilihat dari sisi makna yang dikandung tasauf, tetapi kurang tepat jika dilihat dari sisi akar katanya. Menurut kaidah bahasa penisbatan kata shufi terhadap kata shafa tidak tepat. Karena kata shafa adalah shafa`i bukan shufi. Demikian juga kata shuf adalah shafawi , bukan shufi

b. Sebagian pendapat, kata shufi dinisbatkan kepada ahlush Shuffah. Kata ini dipakai untuk menyebutkan orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin dan Anshor yang memakai pelana sebagai bantal, pelana disebut Shuffah. Mereka dihibur oleh Rasululloh SAW, dan beliau juga menganjurkan sahabat-sahabatnya menghibur ahlush shuffah ini. Penisbatan ini juga tidak tepat. Karena kata shuffah adalah shuffi bukan shufi.

c. Pendapat lain menyebutkan bahwa, kata shufi diambil dari akar kata shaff. Dari segi bahasa tidak tepat, karena nisbat kata shaff adalah shaffi, bukan sufi.

d. Sebagian pendapat menyatakan bahwa kaum sufi dinisbatkan kepada kabilah Bani shuufah, yakni kabilah baduwi yang mengurus Ka`bah pada masa jahiliyah.

e. Sebagian pendapat mengemukakan bahwa kata sufi diambil dari kata shawfaanah. Kata ini juga tidak tepat karena nisbah kata shawfaanah adalah shawfaani, bukan sufi.

f. Sebagian berpendapat bahwa kata sufi adalah nisbat dari kata suufiya. Kata ini berasal dari bahasa Yunani (shopie atau shophos) yang berarti mencintai dan mengutamakan filsafat atau hikmah. Pendapat ini kurang tepat karena huruf " س " dari bahasa Yunani selalu ditransliterasikan dengan huruf siin dalam bahasa Arab, bukan huruf "ص ". Jika kata sufi diasumsikan berasal dari kata sophie, maka harus ditulis dengan huruf "siin" bukan huruf "shaad"

g. Pendapat terakhir menyebutkan bahwa kata sufi diambil dari kata shuuf (bulu domba kasar), karena memakai baju dari bulu domba kasar adalah kebiasaan para dan shiddiqin.. Pakaian ini juga merupakan tanda orang-orang miskin yang rajin beribadah.
Dari beberapa teori yang telah dikemukakan di atas tentang asal usul kata sufi atau secara etimologi.

Maka teori terakhir yang banyak diterima sebagai asal kata sufi, yaitu kata sufi berasal dari kata shuuf (bulu domba kasar). Karena dari sisi makna maupun bahasa sangat sesuai. Sebagaimana yang diutarakan oleh syeich Qasim Ghoni " Walhasil, pendapat yang paling sesuai dengan logika akal, mantiq dan kaidah bahasa adalah pendapat yang mengatakan bahwa sufi adalah kata Arab, shuuf (bulu domba). Di mana orang-orang zuhud yang selalu riyadhah (latihan) pada abad-abad pertama Hijriyah disebut sufi, karena mereka terbiasa memakai pakaian dari bulu domba kasar". 

2. Tasawuf dalam Pengertian Terminologis (Istilah)

 Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang digunakannya msing-masing. Perbedaan ini terjadi karena banyaknya mazhab dalam tasawuf. Di antara definisi tasawuf adalah sebagai berikut:

a. Ma`ruf al-Karkhi (W. 200 H) mendefinisikan tasawuf sebagai: "menempuh hakikat, dan memutuskan harapan kepada sesama makhluk".

b. Abu al-Hasan al-Tsawri (W. 161 H) mengatakan, " Tasawuf berarti membenci dunia dan mencintai Alloh". 
Berdasarkan kedua definisi di atas, maka tasawuf bisa diartikan sebagai " berzuhud di dunia mengkhususkan semua amal hanya bagi Alloh, dan meninggalkan hal-hal yang dapat membangkitkan syahwat".

c. Al-Kittani (W. 322 H) mendefinisikan tasawuf sebagai "akhlak, maka barangsiapa yang menambah akhlaknya, berarti ia telah menambah kesucian dirinya".

d. Al-Hariri (W. 311 H) menyebutkan tasawuf sebagai " masuk ke dalam akhlak sunni (mulia), dan keluar dari akhlak rendah". 
Dan sebagai himpunan dari beberapa definisi di atas, al-Junaid (W. 297 H) sebagai salah seorang tokoh sufi, mendefinisikan tasawuf sebagai "membersihkan hati dri apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (instinct) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, menghendaki sifat-sifat suci keruahanian, dan bergantung kepada ilmu-ilmu haqiqat, memakai barang yang terlebih penting dan terlebih kekal, menaburkan nasehat kepada sesame umat, memegang teguh janji dengan Alloh dalam hal haqiqat, dan mengikuti contoh Rasululloh dalam hal syari`at". 

B. SUMBER-SUMBER TASAWUF

Di kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasauf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi (agama nasrani), unsur Yunani, unsur Hindu/Budha, dan unsur Persia. Sebagian dari mereka berusaha untuk bersikap moderat. Mereka berpendapat bahwa faktor pertama timbulnya ajaran tasauf adalah al-Qur`an al-Karim dan kehidupan Rasulullah SAW. Dari keduanya terambil benih-benih tasauf yang pertama. Kemudian diikuti kebudayaan asing, yaitu India, Yunani, Persia, dan Masehi.

1. Unsur Islam.

Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriyah atau jasmaniyah, dan kehidupan yang bersifat batiniyah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniyah itulah kemudian lahir tasauf. Unsur kehidupan tasauf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, yakni al-Qur`an, al-Sunnah (praktek Kehidupan Rasul SAW) dan para sahabatnya.

وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمِيثَاقَهُ الَّذِي وَاثَقَكُمْ بِهِ إِذْ قُلْتُمْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

"Dan ingatlah karunia Allah kepadamu, dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan: 'Kami dengar, dan kami taati'. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui isi hati(mu)." – (QS.5:7)


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran), karena Allah menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." – (QS.5:8)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil menjadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu, menjadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertawakallah kepada Allah, jika kamu betul-betul orang yang beriman." – (QS.5:57)


Al-Qur`an antara lain: berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Alloh dapat saling mencintai (mahabbah) sesamamu , 


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ يَوْمَ لا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb-kamu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu, dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari, ketika Allah tidak menghinakan Nabi, dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: 'Ya Rabb-kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu'." – (QS.66:8)
Perintah manusia agar selalu bertaubah, membersihkan diri serta memohon ampunan kepada Alloh, 

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

"Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan, dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan." – (QS.2:110)

Petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Alloh di manapun mereka berada,

dan beberapa ayat lainnya yang tidak penulis sebutkan secara rinci.
Sejalan dengan apa yang diungkapkan al-Qur`an di atas, al-sunnah pun mengungkapkan tentang kehidupan rohaniyah dengan mendekatkan diri kepada Allah. Di antaranya hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

ازهد فى الدنيا يحبك الله وازهد فيما في ايدي الناس يحبوك.( رواه ابن ماجه)

Artinya: "Bersikap zuhudlah didunia, niscaya Alloh akan mencintaimu! Bersikap zuhudlah dari segala apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia akan mencintaimu! (HR Ibnu Majah)
Abdullah bin `Umar RA berkata, " Rasululloh SAW memegang pundakku sembari bersabda:

كن في الد نيا كانك غريب او عابر سبيل.( رواه البخاري)

Artinya: "Jadilah engkau di dunia ini laksana orang asing atau orang yang sedang menyeberang jalan". (HR. Bukhari).

 Hadits-hadits inilah oleh para sufi dijadikan sumber kedua setelah al-Qur`an dalam merealisasikan ajaran-ajaran tasauf. Di samping beberapa hadith lainnya tentang zuhud dan menjauhi kemewahan dunia.
Selanjutnya di dalam kehidupan Nabi SAW juga terdapat petunjuk yang menggambarkan sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad SAW telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira` menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan di mana waktu itu orang Arab larut dalamnya, seperti dalam praktek perdagangan dengan menggunakan segala cara untuk menghalalkannya.

2. Unsur Luar Islam
 Unsur-unsur luar Islam yang diduga mempengaruhi tasawuf Islam itu selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Unsur Masehi

 Adanya pengaruh dari agama Kristen (Nasrani) dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara sebagaimana yang dilakukan oleh para pendeta-pendeta. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer berpendapat bahwa tasauf adalah buah dari unsr agama Nasrani yang terdapat di zaman Jahiliyah. Hal ini diperkuat oleh keterangan yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama Nasrani. 
Selanjutnya Noldiker mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan para sufi sebagai lambang kesederhanaan hidup adalah merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah itu bersal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasauf berasal dari agama Nasrani.

b. Unsur Yunani

Kebudayaan Yunani yang populer yaitu filsafat telah merambah dunia. Di mana perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncak perkembangannya pada Daulah Abbasiyah. Metode berpikir filsafat Yunani telah ikut mempengaruhi pola pikir sebagian umat Islam terutama masalah tasauf. Di antara pola pikir yang dimaksud adalah mengenai Filsafat mistik Phythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah di alam samawi. Untuk memperoleh hidup di alam samawi manusia harus membersihkan roh dengan meninggalkan dunia materi, yaitu zuhud, untuk selanjutnya berkotemplasi.
 Filsafat Emanasi Plotinus yang menyebutkan bahwa wujud ini memancar dari Zat Tuhan yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor dan untuk kembali ketempat asalnya roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Pensucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, atau sampai bersatu dengan Alloh. 

c. Unsur Hindu / Budha.

 Ajaran-ajaran Hindu mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Alloh untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman. Dan dalam ajaran Budha dengan faham nirwananya. Untuk mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham nirwana.
 Teori-teori inilah yang mengatakan bahwa tasawuf dalam Islam timbul dan muncul akibat pengaruh-pengaruh dari faham tersebut di atas. Apakah teori-teori ini benar atau tidak, diperlukan penelitian yang mendalam. Namun yang jelas, tanpa adanya pengaruh dari faham-faham tersebut, sufisme bisa muncul dari sumber pokok ajaran Islam yaitu al-Qur`an dan al-Sunnah.

  "Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad menyimpulkan bahwa tasawuf Islam telah tumbuh sejak tumbuhnya agama Islam itu sendiri. bertumbuh dalam jiwa Pendiri Islam itu sendiri, yaitu Nabi Muhammad di campur airnya dari dalam al-Qur`an itu sendiri". 

TUJUAN TASAWUF 

 Tujuan pokok tasauf adalah untuk mencapai "ma`rifatullah" (mengenal Alloh) dengan sebenar-benarnya. Dan hikmahnya adalah sampai kepada Alloh, tersingkap hijab (dinding) yang membatasi dirinya dengan Alloh. Adapun yang dimaksud dengan tujuan mencapai kesempurnaan hidup dan ma`rifatulloh dalam pandangan tasawuf adalah sebagai berikut:

1. Ma`rifatulloh atau Ma`rifat billah

 Ma`rifatulloh adalah melihat Alloh dengan matahati (`ain al-basiroh) mereka secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesaran-Nya, tetapi tidak dengan kaifiyat artinya Alloh digambarkan seperti benda atau manusia ataupun lainnya. Istilah lain sebagai ganti ma`rifat adalah ru`yah, musyahadah dan liqo`. Ru`yat dapat dicapai sesudah kasyaf yaitu terbukanya dinding yang selalu menyelimuti antara hamba dengan rabb-nya. Ma`rifat tetap bisa dicapai oleh seseorang bila sudah menjalankan syari`at dan membersihkan jiwanya dari segala kotoran maksiat.

 Bagi para mutasawwifin, ma`rifat billah adalah tujuan utama dan merupakan kelezatan ayang paling tinggi menurut pengakuan al-Ghozali di mana ia mengemukan sebagai berikut: "Kelezatan mengenal Alloh dan melihat keindahan Ketuhanan dan melihat rahasia-rahasia hal ke-Alloh-an adalah lebih lezat dari derajat kepemimpinan yang merupakan puncak dari kelezatan-kelezatan yang ada pada makhluk. 
Dari penjelasan di atas dapatlah difahami bahwa:
a. Ma`rifat billah bisa dikasab dengan melalui beberpa tingkat atau tahapan
b. Ma`rifat billah dicapai dengan adanya nur yang dianugerahkan Allah ke dalam hati yang bersih sesudah hamba itu terlepas dari belenggu nafsu dan kotoran maksiat.


2. Insan kamil

Tujuan tasauf berikutnya adalah tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan atau insan kamil yaitu manusia yang sudah mengenal dirinya sendiri, keberadaannya dan memiliki sifat-sifat utama.
 Insan Kamil dalam pandangan para mutasawwifin pengertiannya beragam. Ibnu `Arabi, seorang ahli tasauf yang berfaham pantheisme atau wahdatul wujud, ia berpendapat: " manusia utama atau insan kamil adalah manusia yang sempurna karena adanya realisasiwahdah asasi dengan Tuhan yang mengakibatkan adanya sifat dan keutamaan Tuhan padanya. Lebih lanjut Jalaluddin Rumi menyatakan: " insan kamil adalah seorang yang sadar tentang ke-aku-annya yang trasedent (menjadi hakNYA) dan abadi, yang tak diciptakan dan bersifat ilahi. Insan kamil langsung berhubungan dengan Tuhan, tidak ada lagi Nabi atau malaikat yang mengatara padanya. 

D. MAQAMAT DAN AHWAL

1. Maqomat

 Secara harfiyah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Alloh. Dalam bahasa inggris maqomat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. 
 Maqomat (kedudukan) adalah istilah kaum sufi yang menunjukkan arti nilai etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang salik (pencari kebenaran spiritual dalam praktek ibadah). Imam al-Qusyairi membicarakan maqamat yaitu adab yang dijalani dengan semacam tindakan dan pemaksaan diri. Dengan demikian, kedudukan setiap manusia adalah kedudukannya ketika melaksanakan hal itu dengan cara latihan. Adapun syaratnya adalah ia tidak naik dari satu kedudukan ke kedudukan lainnya, sebelum menyempurnakan kedudukan. 

 Tentang berapa jumlah maqomat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan. Di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta`aruf li Mazhab ahl al-Tasauf mengatakan bahwa maqomat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu: al-taubah, al-zuhud, al-sabr, al-faqr, al-tawadhu`, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridha, al-mahabbah, dan al-ma`rifah.
 Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitabnya al-Luma` menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara`, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal,dan al-ridho`. 
 Dari kutipan tersebut memperlihatkan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqomat yang disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara`, al-faqr, al-sabr, al-tawakkal, dan al-ridho`

a. Al-Zuhud.

 Secara harfiyah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Atau meninggalkan dunia untuk beribadah. Syaikh Abul Qasim al-Junaidi al-Baghdadi memberikan pengertian al-zuhud, yaitu "bersifat dermawan dari harta yang dimiliki sehingga tak mempunyai harta, serta tidak mempunyai sifat serakah". Sementara Masruq mengemukakan pandangannyan, bahwa zuhud adalah seseorang yang mempunyai sifat selalu tidak memiliki sesuatu kecuali karena kemurahan dari Alloh. 

Hati yang zuhud terhadap sesuatu adalah hati yang tidak menghendaki, tetapi ia tidak membenci dan tidak lari daripadanya, tidak menginginkan dan tidak menuntut. Zuhud yang terpuji menurut syara` adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak memberikan manfaat di akhirat atau meningglkan segala sesuatu yang tidak diperlukan di akhirat. Sehingga membantunya meraih keindahan kehidupan akhirat.
Zuhud termasuk salah satu ajaran Agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu.
Di antara tokoh sufi yang menggeluti sifat ini, yaitu Sufyan al-Tsauri (W.135 H), Abu Hasyim (W. 150 H), Jabir Ibn Hasyim (W. 190 H), hasan Basri (W. 110 h), dan Rabiah al-Adawiyah.
b. Al-Taubah.

 Al-Taubah berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan, taabatan, mataaban yang artinya kembali dan menyesal. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan diserti janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai melakukan amal kebaikan. Untuk mencapai taubat yang sebenarnya tidak cukup hanya satu kali saja. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubah yang sesungguhnya. Taubat yang sesungguhnya dalam faham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Alloh. Orang yang taubat adalah orang yang cinta kepada Alloh, dan yang demikian senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Alloh.

Taubat itu ada tiga tingkatan, yaitu:

1) Taubat kembali dari kemaksiatan menuju kepada ketaatan karena takut murka Alloh.
2).Inabah, kembali dari yang baik menuju kepada yang lebih baik karena memohon ridho Alloh.
3).Taubat para Nabi dan Rasul, tidak menharapkan pahala dan tidak pula takut siksa, dan baginya sudah maksum.

c. Al-Wara`

 Secara harfiyah al-wara`artinya sholeh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dalam pengertian sufi al-wara` adalah meninggalkan segala sesuatu yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat). Kaum sufi menyadari benar bahwa setiap makanan,minuman, pakaian dan sebagainya yang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum akan kekerasan hati, sulit mendapatkan hidayah dan ilham dari Alloh. Hal ini sangat ditakuti oleh para sufi yang senantiasa mengharapkan nur ilahi yang dipancarkan lewat hatinya yang bersih.

d. Al-Faqr.

Secara harfiyah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau lebih miskin dari orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir itu adalah tidak menerima lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rizki kecuali hanya untuk dapat menjalakan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tidak ada pada diri kita, kalau diberi diterima, tidak meminta tetapi tidak menolak.

e. Sabar

 Sabar yang dimaksudkan dalam ajaran sufi adalah sifat yang dikehendaki oleh Alloh dengan jalan meninggalkan ucapan yang bisa membawa adanya keluh kesah dan keluh kesah itupun dibawa kedalam ibadat. Selanjutnya di kalangan para sufi pula di artikan sabar adalah sabar dalam menjalankan perintah Alloh, dalam menjauhi segala laranngan-Nya dan dalam menerima segala percobaan-percobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita. 

f. Tawakkal

 Sahal bin Abdulloh bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Alloh seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashor mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh kepada Alloh.  mengemukakan, bahwa tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qodo' dan keputusan Alloh. 
 Tawakkal terdiri atas bermacam-macam jenis menurut tingkatannya dan penamaannya sesuai dengan derajat sehingga menjadi tawakkal, taslim, dan tafwidh. Tawakkal merupakan awal dari suatu kedudukan (maqom) yang bersifat rohani, al-taslim adalah perantaranya, sedangkan tafwidh adalah akhirnya.

g. Kerelaan (Ridho)

 Menurut Syaikh Dzun Nun al-Misri, ridha adalah hati merasa senang dan bahagia atas apa yang telah ditetapkan Alloh untuknya. Al-Haris al-Muhasibi mendefinisikan ridho sebagai, hati menerima keputusan hukum (taqdir). Jadi ridho pada intinya adalah seseorang yang rela menerima berbagai bala atau bencana dengan harapan dan kegembiraan.

 Ridho adalah prestasi tertinggi yang telah dilalui dalam perjalanan sufi seseorang. Para syaikh sufi mengatakan, keridhoan adalah gerbang Allah SWT yang terbesar. Maksudnya, barangsiapa mendapat kehormatan dengan ridho, berarti ia telah disambut dengan sambutan yang paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan tertinggi. 

2. Ahwal

Al-Haal atau ahwal atau hal menurut kaum sufi adalah makna, nilai, atau rasa yang hadir dalam hati secara otomatis (dengan sendirinya), tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan, dan pemaksaan. Keadaan tersebut merupakan pemberian, sedangkan maqam adalah hasil usaha. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (al-Khauf), rendah hati (al-tawadhu`), patuh (al-taqwa), ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-wajd), berterima kasih (al-Syukr).

 Hal berlainan dengan maqam,bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi diperdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Alloh. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi yaitu datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati alloh.

 Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagai disebutkan di atas, seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riyadhah, mujahadah, kholwat, uzlah, muraqobah, suluk dan sebagainya. Riyadhoh berarti latihan mental dengan melaksanakan dzikir dan tafakkur serta melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Mujahadah berarti berusaha bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allam. Selanjutnya khalwat berarti menyepi atau bersemedi, dan uzlah berarti mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan. Dan Muraqobah berarti mendekatkan diri kepada Alloh, dan suluk berarti menjalankan cara hidup sebagai sufi dengan dzikir serta tidak memakan makanan yang berdarah.
 Berdasarkan uraian di atas, nampak jelas bahwa jalan menuju ketempat tujuan yang harus dilalui oleh para sufi untuk memperoleh hubungan batin dan bersatu secara rohaniyah dengan Alloh bukanlah jalan yang mudah. Tetapi harus melewati maqam demi maqam. Melewati satu maqom saja amat berat apalagi melewati beberapa maqom.


Tasawuf itu ihsan

Saudara-saudaraku yang budiman, jangan tertipu oleh dakwaan sebahagian orang bahwa tasawuf tidak ada di dalam alquran. Tasawuf itu ada di dalam alquran, hanya saja ia tersirat. Sebagaimana tersiratnya dilalah-dilalah hukum di balik nash-nash alquran begitu pula isyarat-isyarat tasawuf banyak tersembunyi di sebalik lafazh-lafazh alquran. Bukan ianya hendak disembunyikan Allah dari semua orang, tetapi agar ada usaha dan upaya untuk melakukan penggalian terhadap sumber-sumber ilahiyah yang dilakukan oleh jiwa-jiwa yang intibah. Di situlah akan muncul ijtihad dan mujahadah yang mengandung nilai-nilai ibadah (wa ma kholaqtul jinna wal insa illa liya'buduni).

Tasawuf itu akhlaq (innama bu'itstu li utammima makarimal akhlaq); berusaha mengganti sifat-sifat madzmumah (takhalli) dengan sifat-sifat mahmudah (tahalli). Kedua proses ini sering disebut dengan mujahadah. Para Rasul, Nabi, dan orang-orang arif sholihin semuanya melalui proses mujahadah. Mujahadah itu terformat secara teori di dalam rukun iman dan terformat secara praktek di dalam rukun Islam. Pengamalan Iman dan Islam secara benar akan menatijahkan Ihsan. Ihsan itu adalah an ta'budallaha ka annaka tarah (musyahadah), fa in lam takun tarah fa innahu yarok (mur'aqobah). Ihsan inilah yang diistilahkan dengan ma'rifat. Ma'rifat itu melihat Allah bukan dengan mata kepala (bashor) tetapi dengan mata hati (bashiroh). Sebagaimana kenikmatan ukhrowi yang terbesar itu adalah melihat Allah, begitu pula kenikmatan duniawi yang terbesar adalah melihat Allah.

Dengan pemahaman tasawuf yang seperti ini, insya Allah kita tidak akan tersalah dalam memberikan penilaian yang objektif terhadap tasawuf. Itulah yang dimaksud oleh perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah; "Dan kami tidak mengingkari tarekat sufiyah serta pensucian batin daripada kotoran-kotoran maksiat yang bergelantungan di dalam qolbu dan jawarih selama istiqomah di atas qonun syariat dan manhaj yang lurus lagi murni." (Al Hadiah As-Saniyah Risalah Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abd. Wahhab hal.50 dalam kitab Mauqif A'immah Harakah Salafiyah Cet. Dar Salam Kairo hal. 20).

Adapun praktek-praktek yang menyimpang dari syariat seperti perdukunan, zindiq, pluralisme, ittihad dan hulul yang dituduhkan sebahagian orang; itu adalah natijah daripada tasawuf, maka itu tidak benar, sangat jauh dari apa yang diajarkan oleh tokoh-tokoh sufi; Imam Junaid Al-Baghdadi, Imam Ghazali, Imam Ibnu Arabi, Imam Abd. Qadir Al-Jailani, Imam Abu Hasan Asy-Syadzili, Imam Ibnu Atho'illah As Sakandari, Imam Sya'roni, Imam Suyuthi, Syaikh Abdul Qadir Isa dan imam-imam tasawuf lainnya qaddasallahu sirrahum.

Tasawuf juga adalah suatu ilmu yang membahas jasmani syariat dari sisi lain. Sisi lain yang dimaksud adalah sisi ruhani. Kalau fiqih membahas syariat dari sisi zhohir, maka tasawuf dari sisi batin. Sholat misalkan, ilmu tentang rukun, syarat dan hal-hal yang membatalkan sholat itu dibahas dalam ilmu fiqih. Adapun ilmu tentang khusyu' hanya dibahas dalam ilmu tasawuf. Wallahu a'lam.

MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM TASAWWUF ADALAH ETIKA


Didalam tashawwuf banyak sekali unsur – unsur ethica, ajaran – ajaran akhlak, al-akhlakul karimah baik kepada manusia atau kepada ALLOH. Kalau orang – orang filsafat Yunani kuno nada etikanya adalah pada kemanusiaan. Sedang norma yang dipakai adalah baik dan buruk menurut akal. Untuk itu bisa di difinisikan etika sebagai berikut :

“Etika adalah ‘ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk denganmelihat pada amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahi akal fikiran.’’

Karena itu didalam baik buruknya sesuatu perbuatan itu dipandang akal fikiran semata-mata maka timbullah beberapa aliran tentang ethica yang satu sama lainnya berbeda menurut jurusan dari mana mereka meninjau. Apalagi kalau kita hubungkan dengan kepribadian tiap – tiap bangsa yang satu sama lainnya adalah berbeda.
Suatu contoh : Apabila ada sepasang laki – laki dan perumpuan (muda– mudi) yang tiada hubungan resmi sedang bercumbu-rayu ditempat terbuka umpama dipinggir, hal ini kalau dilakukan di Indonesia khususnya di perkampungan maka ini adalah perbuatan yang sangat rendah. Maka orang tersebut dicap amoral. Tapi sebaliknya bila hal ini dilakukan di dunia Eropa hal ini tidak apa-apa bukan suatu perbuatan amoral.

Dari pernyataan tersebut bisa di simpulkan bahwa adanya cumbu-rayu ditepi jalan yang tidak diperhatikan oleh orang lain memang disamping manusia–manusia sibuk dengan fikiran dan urusan sendiri, juga hal tersebut karena sudah merupakan hal yang biasa bagi orang Eropa bukan merupakan hal yang melanggar etika mereka.

Dalam etika kaum filsafat ini ada juga menilai baik dan buruk itu dari tinjauan natur ( fitrah ) apakah perbuatan itu sesuai dengan natur manusia atau tidak. Aliran inilah yang terkenal dengan nama etika Naturalisme.

Ada juga yang penilaiannya itu ditinjau dari besar dan kecilnya manfaat dari perbuatan tersebut bagi manusia. Aliran ini disebut aliran ethica Utilitarisme atau utilisme. Boleh disebut juga utilitarianisme atau Universalistic. Sebagaimana mereka ma’nakan :

“bahwasanya yang dinamakan manfaat itu ialah suatu kebahagian untuk jumlah manusia yang sebesar-besarnya.’’

{ “Utylity is happiness for the greatest number of sentient beings’’}

Aliran manfaat ini jika kita dicermati bisa dikatakan sempit, sebab praktek sehari-hari dalam kita berbuat adalah tidak melihat jumlah yang akan merasakan faedahnya perbuatan kita. Sebab walaupun yang merasakan faedah itu sedikit, hal itu sudah bersusila- beretika namanya.
Memang ada hadist yang menerangkan manusia yang terbaik adalah yang terbanyak memberi faedah bagi manusia :
“Qaalan nabiyyu shallallahu ‘laiyhi wasallama: Khairunnasi anfa’uhum llinnasi.” (HR. Imam Muslim)
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.’’

Tapi kalau kita renungkan, hadist tersebut adalah berlafadz khairunnas. Sedangkan khairunnas adalah sinonim dari kata ahsanunnas (bagusnya manusia) atau seidentik artinya dengan afdhalunnas. Jadi tidak berarti hasan atau yang fadil itu tidak bermanfaat sebagaimana mafhum mukhalafah dari pengertian yang kata etika utilitarisme atau utilisme. 

Ada lagi aliran yang disebut etika Idealisme yaitu suatu perbuatan etika yang tidak didasarkan atas sebab lahiriah, bukan karena anjuran orang lain dan bukan karena pujian seseorang, tapi perbuatan baik tersebut didasarkan atas prinsif kerohanian yang lebih tinggi. Oleh karena itu perbuatan baik yang didasarkan bukan karena Allah semata-mata bagi kaum shufiah adalah tidak berarti, bahkan hal itu adalah merupakan perbuatan yang berbahaya bagi sipelakunya.

Dan Imam Al-Ghazali menyatakan tentang ini :

“Innal insana ‘indasy syirkati abadan fi khatharin fa innahu layad rii ayyul amriini aghrlabu ‘alaa qashdihi farubbama yakunu ‘alaiyhi wa balan.’’

“Manusia dikala mensekutukan amal ( semata-mata bukannya karena Allah ) selamanya dalam keadaan kekhawatiran (teka-teki) karena ia tidak mengetahui manakah diantara keduanya yang lebih menonjol. Oleh karena itu terkadang amalnya menjadikan mara bahaya pada dirinya.’’

Ikhlas adalah syarat mutlak untuk diterimanya suatu amal sedangkan ria adalah menghapuskannya dan mendatangkan murka Allah.

Ada juga aliran etika yang lebih dekat dengan etika tashawwuf ialah aliran etika theologie ; suatu etika dengan ukuran agama apakah perbuatan itu sesuai dengan perintah Alloh ataukah perlawanan dengan perintahNya, walaupun masing-masing agama mempunyai ukuran sendiri-sendiri dalam menilai baik-buruknya sesuatu perbuatan. 

Agama Islam mengakui dosa itu berlaku dalam perbuatan fitrah kejadian manusia. Manusia lahir dalam keadaan suci :

“ ‘An-abiy hurairata annahu kana yaquulu Qaala rasulullahi shalallahu ‘alaiyhi wa sallama: .’’Maa min mauluudin illa yuladu ‘alal fithrati fa-abawahu yuhauwwi danihi wa yunashira nihi wa yumij-jisanihi.’’

“Dari Abi Hurairah beliau berkata : bersabda Rasulullah s.a.w. tidak ada seorang bayi yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci asli) maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan bayi tersebut Yahudi, Nasrani dan Majusi.’’

Dan yang terakhir dalam kalangan ethic-filsafat ialah aliran ethic yang berdasarkan kenikmatan. Baik buruknya perbuatan tergantung pada ada tidaknya unsur lezat dan nikmat pada perbuatan tersebut. Aliran ini disebut ethic Hedonisme yang dalam istilah Arab disebut masdzaabul-ladzdzat. Demikianlah beberapa pandangan tentang ethica dalam aliran filsafat, dan bagaimana penguraian tentang ethica dalam kalangan tashawwuf.

Pembahasan ethica atau akhlak dalam isi tashawwuf ini ialah akhlak yang akan membawakan manusia menuju bahagia dunia dan akhirat yaitu suatu budi-pekerti yang baik sebagaimana Imam Al-Ghazali mengatakan didalam Ikhya Ulumiddin juz III sebagai berikut :

“Fal khuluqu ‘ibaratun ‘an hai-atin finnafsi raa sikhatin ‘anhaa tashdhurul af ‘alu bisuhuu latin wa yusrin min ghairi hajatin ilaa fikrin wa rawiyyatin fainkanat alhai-atu bihai-tsu tashduru ‘anha al-af ‘alul jamilatul mahmudatu ‘aq-lan wa syar ‘an summit tilkal hai-atu khuluqan hasanan wa inkanash shadiru ‘anhal af ‘alul qabiyhatu summiyat alhai-atullatii hiyal mushadiru khuluqan saiyyi-an.’’

“Budi pekerti itu merupakan suatu naluri asli dalam jiwa seseorang manusia, yang dapat melahirkan sesuatu tindakan dan kelakuan dengan gampang dan mudah tanpa rekaan pikiran. Maka jika naluri tersebut melahirkan suatu tindakan dan kelakuan yang baik bagi terpuji menurut akal dan syara’, dinamakan budi pekerti yang baik, tetapi manakala naluri itu melahirkan suatu perbuatan dan kelakuan jahat, maka dinamakan budi pekerti buruk.. 

Demikianlah keterangan Imam Al-Ghazali tentang budi pekerti, baik hal itu menerangkan hakikatnya atau norma yang dipakai untuk menentukan nilai baik atau buruk pada suatu perbuatan. Maka disini dapat diuraikan tentang akhlak (ethica, budi pekerti) baik bagi falasifah atau shufiah :

a). Haqiqat akhlak (etika, budi pekerti)

b). Norma yang dipakai untuk menilai akhlak.

Bila diadakan comparative diantara kedua akhlak tersebut dengan berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

a). Nada ethica adalah kemanusian (humany) sedang nada ethica tashawwuf adalah
( Imany ) yang consequentienya adalah berbuat baik kepada manusia.

b). Norma yang dipakai ahli filsafat untuk menentukan baik buruk adalah aqal sedang norma yang dipakai oleh ahli tashawwuf adalah syara’.

c). Tujuan yang dicapai oleh kaum filsafat dalam berakhlak adalah kebhagian dunia,sedangkan tujuan yang dicapai kaum shufiah adalah bahagia didunia dan akhirat.

Orang-orang shufi selalau menghiasi jiwanya dengan sifat-sifat yang terpuji dan menjauhkan dari sifat-sifat yang tercela. Sebagaimana Al-Qur’an maupun Al-Hadits banyak sekali yang menekankan hal itu.

Bukti dari ayat-ayat Al-Qur’an diantaranya :

“Qaalallah Ta’ala :’’Qad af-lakha man dzakkaha, wa qad khaba mandas-saaha.’’

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mangsucikan jiwanya. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.’’ (QS. Asy-Syams 9-10)

“Wa amma man khaa-fa maqaa-ma rabbahi wanahan-nafsa ‘anil hawaa fa ‘innal jannata hiyal makwaa.’’

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahandiri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempatnya.’’ (QS. An-Naziah, 40-41).

“An masruuqin qaala: ‘’Kunnav juluu-san ma’a ‘abdillahibni ‘umara wayuhaddi-tsuna idzqaala:” Lam yakun rasulullahu ‘alaiyhi wasallama faa hisyan wala mutafah-hisyan wa-annahu kana yaqulu inna khiya rakum ahaa sinukum akhlaaqan.’’

“Dari Masruq beliau berkata : ’’Kami sedang duduk beserta Abdillah bin Amar dikala beliau bercerita kepada kami beliau berkata : Rasulullah s.a.w. adalah bukan seorang yang bertindak kotor atau berusaha berbuat buruk, dan Rasulullah pernah berkata : Seutama-utama kamu sekalian ialah sebaik-baik kamu sekalian dibidang akhlak.’’ (HR. Al-Bukhari)

Demikianlah diantara ayat-ayat dan hadits yang menekankan untuk berakhlak baik dan meninggalkan perangai yang tercela. Dan diantara ayat-ayat dan hadits tersebut dapat diketahui diantaranya suatu bentuk anjuran dan larangan. Dengan kata lain meninggalkan sifat-sifat tercela itu adalah wajib hukumnya. Oleh karena itu marilah bermohon kepada Alloh semoga berakhlak karimah dan terhindar dari shifat-shifat yang tercela. Untuk melengkapi uraian etika sebagai kandungan tashawwuf ini sangatlah perlu dituturkan beberap contoh al-akhlaqul-karimah dari kaum mutashawwifin yaitu: at-tawwaadhu-’ merendahkan diri. 
“At-tawwadhu’u khafdhul janahi walaiy-nul jaa-nibi.’’ “Tawwaadhu’adalah merendahkan dirinya sendiri.’’
Orang yang tawwaadhu’ adalah tidak menganggap dirinya lebih tinggi dari orang lain. Orang yang mempunyai shifat tawwaadhu’ selalu memelihara pergaulan dan hubungan sesama manusia tanpa memandang derajat yang ada pada dirinya. Shifat tawwaadhu’ adalah suatu shifat yang membawakan kepada setiap manusia yang mempunyai shifat tersebut kesuatu derajat yang tinggi.

Sifat-sifat yang ada ta’luqnya.


Dibawah ini tersebut ( enam ) yang ada ta’luqnya dan tersebut pula terbagi (dua puluh) shifat itu dengan (empat) bagian. Artinya ta’luq yaitu : Tuntut shifat akan pekerjaan yang bertambah dari pada berdiri shifat kepada dzaat adanya.

a. Enam shifat yang ada ta’luqnya.

Qudrat : ta’luq ta-atsiir segala mumkin, (mumkin maujud).

Iraadat : ta’luq ta-atsiir segala mumkin, (mumkin maujud).

Sam’un : ta’luq ankasyaf segala maujud, (hhaadanya maujud).

Basharun : ta’luq ankasyaf segala maujud, (maujud qadiim).

‘Ilmun : ta’luq ankasyaf segala wajib, (segala mustahil).

Kalaamun : ta’luq dalalaht segala wajib, (segala jaa-iz).

Adapun masalah ta’luq seumpama qudraht yakni kuasa maka menuntutlah ia akan kecitaan atau harapan yang dikuasakannya, demikian pula masalah lain-lain ta’luq pada shifat lain-lain adanya.

b. Empat bagian dari dua puluh shifat.

1}. Shifat Nafsiyaht : [Wujud] Artinya shifat nafsiyah yaitu : Hal yang wajib bagi dzaat, selama dzaat bersifat wujud tiada karenakan dengan suatu karena.

2}. Shifat Shalbiyah : Qidamun, Baqa-un, Mukhalafatuhu lilhawaditsyi, Qiyaamuhu ta’ala binafsihi, Wahdaa-niyaht, (5 shifat).

Artinya [shifat shalbiyah] yaitu : Ibarat dari pada menafikan barang yang tiada layak (pantas) kepada Allah Jalla wa ‘azza jua adanya.

3}. Shifat Ma ‘aniy : Qudraht, Iraadaht, ‘Ilmun, Hayyatun, Sam’un, Basharun, Kalaamun. (7 shifat).
Artinya [shifat ma‘aniy] yaitu : Tiap-tiap shifat yang maujud yang berdiri kepada Dzat yang maujud mewajibkan Dzat bershifat suatu hukum, yaitu [shifat ma‘ nawiyah] adanya.

4}. Shifat Ma‘ nawiyah : Qaadirun, Muriydun, ‘Aalimun, Hayyun, Samii ‘un, Bashiirun, Mutakallimun. (7 shifat).
Artinya [shifat ma’nawiyah] yaitu : Hal yang itsbat bagi Dzat bershifat ma’nawiyah dikarenakan dengan shifat ma‘aniy maka jadi keduanya itu berlazim-laziman (saling menetapkan) adanya.

PENGERTIAN SYAHADAT

Syahadat.
Arti syahadat ialah pengakuan atau penyaksian yang sebenarnya ya’ni saksi dzahir dan bathin. Didalam pengetahuan akan syahadat harus diketahui akan rukun syahadat , syarat syahadat dan juga yang membinasakan syahadat.

a. Rukun Syahadat.

Adapun rukun syahadat itu empat perkara :
1. Menetapkan Dzat Allah Ta’ala (berdiri dengan sendirinya).
2. Menetapkan Shifat Allah Ta’ala (kuasa).
3. Menetapkan Af ‘al Allah Ta’ala (berbuat dengan sekehendaknya).
4. Menetapkan kebenaran Rasulullah s.a.w.

b. Syarat Syahadat.

Adapun syarat kesempurnaan syahadat itu empat perkara :
1. Hendaklah diketahui syahadat itu, ya’ni mengerti akan maksudnya.
2. Diikrarkan lidah ya’ni dibaca seterusnya dari permulaan hingga akhirnya.
3. Hendaklah di yaqinkan dalam hati akan maksud syahadat itu, ya’ni tidak ragu- ragu lagi.
4. Yaqin serta diamalkan dengan anggota, ya’ni dengan hati dan perbuatan

c. Yang membinasakan Syahadat.

Adapun yang membinasakan syahadat itu empat perkara :
1. Menduakan atau menyekutukan Allah Ta’ala
2. Ragu atau syak hati akan Allah Ta’ala.
3. Menyangkal atau mengingkari dirinya dijadikan Allah Ta’ala.
4. Tidak dikukuh atau ditetapkan pada dirinya yang demikian.

d. Nama Syahadat.

Adapun nama syahadat itu ada dua perkara :
1. Syahadat Tauhit : “Asyhaduanlaa ilaha illallahu”.
{“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah.”} 2. Syahadat Rasul:“Wa asyhaduanna Muhammadan Rasulullah.”
2. Syahadat Rasul:“Wa asyhaduanna Muhammadan Rasulullah.”
{“Dan aku bersaksi Nabi Muhammad itu Utusan Allah”}.

Hukum ‘Adiy (HUKUM ADAT / KEBIASAAN)


Artinya hukum ‘adiy yaitu, menetapkan suatu barang bagi suatu barang, atau menafikan suatu barang pada suatu barang dengan lantaran berulang-ulang serta shah bersalahan, dan juga dengan tiada memberi bekas salah suatu itu pada yang lain. Maka terbagi hukum ‘adiy atas (empat perkara) yang tersebut dibawah ini.

1. Pertambatan keadaan suatu barang dengan keadaan suatu barang lainnya, seumpama : Keadaan kenyang dengan keadaan makan.
2. Pertambatan ketiadaan suatu barang dengan ketiadaan suatu barang lainnya, seumpama : Ketiadaan kenyang dengan ketiadaan makan.
3. Pertambatan keadaan suatu barang dengan ketiadaan suatu barang, seumpama : Pertambatan keadaan dingin dengan ketiadaan kain baju adanya.
4. Pertambatan ketiadaan suatu barang dengan keadaan suatu barang lainnya, seumpama :Ketiadaan hangus dengan keadaan tiada air menyiram jua adanya.
Bermula, jika telah diketahui akan artinya wajib syar’iy dan wajib ‘aqliy, bahwa keduanya berlainan ma’na. Maka apabila dikata wajib atas tiap-tiap mukalaf, maka maksudnya itulah wajib syar’iy. Dan jika wajib bagi Allah Ta’ala atau bagi Rasul, maka maksudnya ialah wajib ‘aqliy dan demikianlah pula jika dikata Jaiz bagi Allah Ta’ala atau harus harus bagi Allah Ta’ala maka maksudnya ialah jaiz ‘aqliy dan jika jaiz bagi mukalaf membuat masyalah, maka maksudnya yaitulah jaiz syar’iy jua adanya.
Bermula yang wajib bagi Allah Jalla wa ‘azza dengan tafshil inilah {dua puluh shifat} yang telah berdiri dalil ‘aqliy dan dalil naqliy atasnya. Dan tersebut dibawah tiap-tiap satu shifat dengan maknanya beserta dalilnya, beserta lagi tersebut kepatutan, kelakuan orang mukmin yang me’itiqad pada Allah bershifat dengan shifat-shifat itu. Maka itulah kelakuan mukmin yang sempurna imannya.
Adapun lain-lain shifat Allah Jalla wa’azza yang tiada ada hingganya banyaknya. Maka wajib atas tiap-tiap mukalaf mengetahuinya {ajmal} saja didalam perkataan muttashifu kamalin yaitu bershifat Allah Ta’ala dengan tiap-tiap shifat kesempurnaan. Adapun yang mustahil pada Allah Jalla wa’azza dengan tafshil, maka adalah itu {dua puluh} perkara yaitu lawannya {dua puluh shifat} yang wajib satu persatu disebut sesudahnya shifat itu. Adapun yang mustahil pada Allah Jalla wa’azza dengan {ajmal} yaitu ada didalam perkataan :
“Munazzahu ‘an-kulli naqshin wamaa khathara bil-bali.’’
“Maha suci Allah dari pada tiap-tiap shifat kekurangan dan Maha suci dari barang yang tercita-cita didalam hati.’’

Perbaikan Jiwa dan Budi. Akhlak dalam Kesabaran.


Salah satu dari pada sifat-sIfat yang sangat dianjurkan para mutashawwifin itu mitsalnya ialah sabar. Imam Al Ghazali menerangkan bahwa sabar itu adalah bawaan daripada sesuatu pengertian yang yaqin. Dan membedakan beberapa nama yang diberikan kepada sabar. Maka ma’na {nama} dari sabar terbagi beberapa bagian :

  · Pertama : Sabar ‘Iffah. yaitu : Jika itu ditujukan untukmenahan nafsu perut dan nafsu keinginan bersetubuh .

· Kedua : Sabar Dhabtun nafs. Yaitu : Jika ditujukan untuk menahan keserakahan kaya
· Ketiga : Sabar Syaja’ah Yaitu: Jika ditujukan dalam peperangan untuk mencari kemenangan
· Keempat: Sabar Hilm. Yaitu : Jika ditujukan untuk menahan amarah dan kesal.
· Kelima : Sabar Si’atus sadar. Yaitu: Jika ditujukan kepada sesuatu penghinaan atau kecaman
· Keenam : Sabar Kitmanus sir. Yaitu: Jika ditujukan kepada merahasiakan sesuatu hal
· Ketujuh: Sabar Zuhud. Yaitu: Jika ditujukan untuk meninggikan kehidupan
· Kedelapan: Sabar Qina’ah. Yaitu: Jika ditujukan kepada menerima taqdir sebagaimana yang ada.

Ketha’atan menghendaki sabar, karena manusia yang tersendiri menghendaki lebih banyak pengawasan atas dirinya dalam mengerjakan ibadaht. Maka sabar tentang ketha’atan itu mempunyai (3) tiga keadaan :

· Pertama : Sabar sebelum tha’at, seperti mengukuhkan niat dan ikhlash
menahan diri daripada semua gerak-gerik yang dapat membawa
kepadanya, membulatkan tekad dan tujuan.

· Kedua : Sabar pada waktu mengerjakan suatu amal, dilakukan dengan
penuh kesungguhan sampai selesai.

· Ketiga : Sabar sesudah selesai mengerjakan amal itu, di antara lain tidak
merasa bangga dan menampak-nampakkan kepada orang, sehingga
orang lain melihatnya dengan penuh keheranan.

Sabar itu dikerjakan demikian rupa sehingga menjadi hal lazim di dalam keseharian. Terutama dalam menghadapi sesuatu kejahatan yang ringan dan mudah dikerjakan, sabar itu menjadi lebih berat shifatnya, seperti sabar tentang dosa-dosa yang dapat dengan mudah dilancarkan lidah, seperti mengupat, berdusta, bertengkar (saling bantah-membantah), memuji-muji diri sendiri dan megemukakan jasa-jasa yang dikerjakan, baik untuk berbangga atau untuk mengadakan sesuatu perbandingan dengan orang lain, berkelekar, yang dapat menjadikan penyakit untuk hati.


Sabar itu dapat dihasilkan hanya dengan menekan hawa nafsu dan membangkitkan kesungguhan kepada Agama. Melemhkan hawa nafsu itu dikerjakan dengan mengurangi keperluan kebendaannya, menghilangkan sebab-sebabnya, dan mengekang diri apa yang diingini. Kesungguhan pada Agama dapat dibangkitkan dengan memperbanyak ibadaht, dengan berfikir dan merenungkan critera-ceritera mengenai sabar dan akibat-akibatnya.

Di dalam Al Qur’an banyak sekali terdapat ayat-ayat tentang sabar yang ditujukan sebagai nasehat dalam bermacam-macam keadaan. Di antara lain Allah Ta’ala berfirman : “Wahai sekalian orang beriman, perbesar sabar dan nasehat-nasehatilah antaramu dengan sabar”. Katanya pula : “Kami coba dirimu dengan mendatangkan ketakutan, kelaparan kekurangan harta benda, kematian, dan kekurangan buah-buahan, tetapi akan Kami gembirakan kemudian orang-orang yang sabar!” Katanya lagi : “Minta tolonglah kamu dengan sabar dan dengan sembahyang, karena Tuhan itu selalu ada dekat mereka yang sabar”.

Ibn Mas’ud menceritakan, bahwa sesudah peperangan Hanaian Rasulullah s.a.w. membagi-bagikan harta rampasan, di antaranya kepada Ibn Akra’ habis seratus ekor unta, begitu juga kepada Uyaynah seratus ekor unta, sebagaimana kepada orang-orang bangsawan Arab. Pembagian yang mewah ini menimbulkan iri hati orang-orang Anshar, yang lalu mengeritik perbuatan Nabi s.a.w. yang dikatakan tidak adil.


Tatkala kecaman ini disampaikan oleh Ibn Mas’uud kepada Nabi s.a.w. berubahlah matanya seketika menjadi marah, seraya katanya: 
“Jikalau aku dikatakan tidak adil, maka siapa lagi yang dinamakan adil itu.


Mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada Nabi Musa a.s, yang menderita lebih banyak dari pada pengikut-pengikutnya yang bodoh dan dungu, sedang ia terus-menerus sabar “. Begitu juga Nabi s.a.w. pernah mengatakan bahwa : Besar sesuatu ganjaran Tuhan bergantung kepada besarnya bala yang diturunkan kepada seseorang, karena jika Tuhan mencintai sesorang akan menurunkan ujian kepadanya, jika orang itu ikhlash menderita, maka Allah Ta’ala pun ikhlash padanya.



Dan bagi orang-orang mutashawwifin diwajibkan mitsalnya benar, jujur dan terusterang dalam pemikiran, perkataan dan perbuatannya. Keadaan itu dalam istilah mutashawwifin disebut “sadaq”, dan orang yang bershifat demikian bernama “siddiq”. Karena Islam mewajibkan dan tidak memperbolehkan ummatnya untuk berdusta, tidak jujur, atau tidak benar dalam perkataan dan perbuatannya. Dan jika di lihat perbaikan akhlak secara keshufian itu, sebagai contoh suatu cara yang umum, yang dinamakan takhali, tahalli dan tajalli.


Dengan riyadhah, kepada ma’rifahtullah. Dari muslim kepada mu’min, kepada shiddiqin, shalihin, mutahaqqiqin.

Senin, 28 Mei 2012

Maqom Nabi SAW di Hadirat Ilahi


A’udhu bil Lahi minash Shaytanir rajim
Bismillahir Rahman ir Rahim

Kita perlu belajar begitu banyak. Tetapi yang paling penting adalah bahwa kalian harus belajar, kalian harus berusaha untuk mengetahui sumber kekuatan bagi jiwa kita. Untuk mengetahui di mana sumber kekuatan itu. Bukan berarti kalian hidup sebagai binatang, tetapi kalian tidak akan berurusan sebagai binatang nanti di Hari Kebangkitan. Binatang, mereka boleh makan, tidak ada kewajiban bagi mereka. Tetapi kalian, jika kalian tidak memperhatikan apa yang kalian makan dan minum, kalian akan ditanya di Hari Kebangkitan, mengapa kalian tidak meminta sumber kekuatan yang dapat membuat kalian lebih dekat dengan Hadirat Ilahiah-Ku?

Dan setiap orang harus berhati-hati untuk menemukan jalan mereka agar lebih dekat dengan Hadirat Ilahi. Hadirat Ilahi—jangan pikir itu hanya satu level.

Hadirat Ilahi bagi para anbiya hanya dapat diraih oleh anbiya. Dan Hadirat Ilahi bagi awliya, mereka juga mempunyai level yang lain di mana orang lain tidak dapat meraihnya, tidak dapat mendekatinya. Karena Cahaya-Cahaya Ilahi pada level itu akan membakar mereka. Mereka tidak akan sanggup. Dan level para awliya, orang-orang suci, menurut maqam-maqam mereka, mereka juga akan berbeda satu sama lain. Hadirat Ilahi bagi setiap orang tidak sama, tidak.

Sayyidina Rasulullah saw—Sultanul ‘Arafin Abayazid, minta untuk dapat mendekati samudra makrifat Nabi saw. Ia minta agar bisa mendekat, sampai pada maqam Nabi saw, dan berusaha untuk mencapainya. Tetapi, haatif Rabbani—suara Surgawi—pengumuman surgawi muncul dan mengatakan, “Wahai Abayazid, waspadalah! Antara kau dengan Nabi Penutup saw terdapat 10.000 samudra cahaya.” 10.000 samudra cahaya. Tetapi tetap saja ia berkata, “Walaupun yang pertama, aku harus berusaha untuk meraihnya.” Dan ia meminta agar bisa bergerak. Dan pengumuman yang lain datang dari langit, “Wahai Abayazid, waspadalah! Jika kau meletakkan kakimu satu langkah di depanmu menuju samudra cahaya yang pertama, kau akan terbakar, kau akan musnah dari eksistensimu, tak ada lagi kesempatan bagimu untuk kembali ke eksistensimu ketika kesempatan lain… tak ada kesempatan bagimu. Kau tamat. Tak ada lagi kesempatan untukmu. Cahaya itu bisa membakarmu, dan tak ada kesempatan bagimu untuk tiba di maqam yang kau tempati sekarang ini. Kau tamat, musnah dari eksistensimu. Waspadalah!”

Di mana hadirat Nabi saw? Di mana beliau hadir? Hadirat Ilahi, bagaimana menurut kalian?

Oleh sebab itu jangan berpikir bahwa, ketika kalian mengatakan, “Kami berusaha untuk meraih maqam-maqam surgawi,” bahwa kalian berusaha untuk mencapai maqam kami di Hadirat Ilahi. Kalian tidak akan pernah tahu di mana kalian hadir—di mana maqam kalian di Hadirat Ilahi. Allahu Akbar. Allahu Akbar. Oleh sebab itu, ketika seorang hamba, ia berusaha untuk membuat jalannya—kami menyebutnya “suluk,” untuk menemukan jalannya menuju Hadirat Ilahi, itu hanya untuknya saja. Kalian tidak dapat menemukan dua orang pada level yang sama. Masing-masing mempunyai level yang berbeda di Hadirat Ilahi, atau maqam yang berbeda di Hadirat Ilahi.

Dan kita harus berusaha untuk mencapai maqam-maqam kita di Hadirat Ilahi, dalam semua ibadah dan salat hanya untuk diri kita, untuk membuat diri kita lebih dekat dengan maqam kita di Hadirat Ilahi. Itu bukanlah untuk Allah, apa yang kita lakukan, bukanlah untuk-Nya. Itu hanya untuk diri kita sendiri, agar diri kita lebih dekat, lebih dekat lagi. Jika kita kehilangan kekuatan yang sangat besar, himmat, kuda yang besar. Kalian dapat melakukannya untuk diri kalian sendiri untuk mencapainya, atau mendekati maqam kalian di Hadirat Ilahi.

Itu artinya apa yang kita lakukan sekarang di sini, jika kalian hidup semilyar tahun, kita dapat mencapainya. Tidak cukup untuk membuat diri kita berusia jutaan tahun, beribadah untuk mendekati maqam surgawi kita di Hadirat Ilahi. Tetapi yuhayyit—mempersiapkan diri kita untuk mencapai maqam-maqam kita. Dan jika Allah swt rida dengan perbuatan kalian dan ibadah kalian, Dia akan menganugerahkan kepada kalian sebagaimana Dia berfirman, “Jika hamba-Ku mendekati-Ku satu kaki, Aku akan datang kepadanya 10.” Ketika kalian akan meraih maqam kalian di Hadirat Ilahi, membuat kalian mencapai 10. 10 kekuatan yang lebih banyak diberikan kepada kalian, setiap kalian melangkah satu kaki, Dia memberi kalian 10. dan kemudian yang 10 itu akan menjadi 100. 100 akan menjadi 1.000. 1.000 akan menjadi 10.000. 10.000 akan menjadi 100.000. Jadi, apa yang kita lakukan bukanlah apa-apa. Tak ada nilainya, tak ada suatu kekuatan. Tetapi itu adalah karena Allah melihat niat kalian. Sesuai dengan niat kalian, Dia membuka jalan bagi kalian untuk naik. Oleh sebab itu, niat adalah faktor yang paling penting dalam setiap ibadah dalam Islam. Karena itu membuat kalian lebih dekat dengan Hadirat Ilahi, untuk meraih maqam kalian pada level Hadirat Ilahi milik kalian.

PESAN-PESAN ROSULULLOH

Rasulullah saw. bersabda:
Orang yang memandang rendah lima manusia ia merugi akan lirna hal
memandang rendah Ulama, rugi tentang agama memandang rendah Penguasa, rugi tentang dunia
memandang rendah Tetangga, rugi akan bantuannya
memandang rendah Saudara, rugi akan darmanya
dan memandang rendah Keluarga, rugi akan harmonisnya
Rasulullah saw. bersabda:
Akan datang suatu masa
dimana ummatku mencinta lima
hingga mereka lupakan lima
cinta dunia, lupa alam baka
cinta tanah subur, lupa alam kubur
cinta harta benda, lupa hisab amalnya
cinta anak istri, lupa bidadari
dan cinta diri sendiri, lupa pada Ilahi
Rasulullah saw. bersabda:
Allah berikan lima upaya
dan disediakan-Nya imbalan lima
Allah ajari insan bersyukur
dan Dia berikan tambahan makmur
Allah ajari insan berdoa
dan Dia jamin akan ijabahnya
Allah ajari insan bertobat
dan Dia jamin diterma tobatnya
Allah ajari insan istighfar
dan Dia sediakan pengampunannya
Allah ajari insan berderma
dan Dia bersedia membalas dermanya

Rasulullah saw. bersabda:

Di balik limpahan harta,
tersimpan lima tipu daya
Pertama, kesulitan menyatukannya
Kedua, sibuk berdoa
demi keselamatannya
Ketiga, khawatir ada perampok akan menjarahnya
Keempat, memungkinkan predikat bakhil pada empunya
Kelima, menjauhkan diri
dari keakraban bersama

Dan dibalik derma, tersimpan lima rahasia
Membawa empunya pada ketenangan jiwa
Tak perlu berdoa untuk keselamatannya
Aman dari perampok yang mengintainya
Menyandang predikat insan penderma
Dan merasa tentram bersama sesama insan

Rasulullah saw. bersabda:

Mengunjungi saudara, berarti menjaga rahasia
Berderma pada sesama, berarti melindungi harta benda
Berhati tulus, berarti menjaga amal mulia
Berjiwa jujur, berarti menjaga alur kata-kata
Dan bermusyawarah, berarti mengasah logika

Rasulullah saw. bersabda:

Akan datang suatu masa atas ummatku
mereka cinta dunia lupa alam baka
cinta kehidupan lupa kematian
cinta istana lupa surga
cinta harta benda lupa hisab amalnya
dan cinta alam semesta lupa Penciptanya

Pohon Mari’fat (pengertian):

Metafora Ma’rifat itu seperti pohon yang memiliki enam cabang. Akarnya kokoh di bumi yaqin dan pembenaran, dan cabang-cabangnya tegak dengan iman dan tauhid.

 Cabang pertama, Khauf (rasa takut) dan Raja’ (harapan pada anugerah-rahmatNya) yang disertai dengan cabang perenungan...

Cabang kedua, berlaku benar dan serasi dengan kehendak Allah, yang disertai dengan cabang Ikhlas.
Cabang ketiga, Khasyyah (takut penuh cinta) dan menangis, yang disertai dengan cabang Taqwa.
Cabang keempat, Qana’ah (menerima pemberian Allah) dan ridlo, yang disertai cabang Tawakkal.
Cabang kelima, Pengagungan dan rasa malu yang disertai dengan cabang ketentraman.
Cabang keenam, Istiqomah dan berselaras dengan Allah yang disertai dengan cabang cinta dan kasih.

 Setiap cabang dari masing-masing akan bercabang pula sampai tiada hingga dalam jumlah kebajikan, dalam tindakan benar dan perbuatan, kemesraan berdekat –dekat dengan Allah, kesunyian Qurbah (dekat denganNYA), kebeningan waktu dan segala sepadan yang tak bisa disifati oleh siapa pun jua.

Di setiap cabang yang ada akan berbuah berbagai-bagai, yang satu sama lainnya tidak sama, rasanya, yang di bawahnya ada cahaya-cahaya taufiqNya, yang mengalir dari sumber anugerah dan pertolonganNya. Dalam hal ini manusia berpaut-paut dalam derajat dan berbeda-beda dalam kondisi ruhani.
Diantara mereka :

1- Ada yang mengambil cabangnya saja, tapi alpa dari akarnya, tertutup dari pohonnya dan tertirai dari rasa manis buahnya. 
2-Ada yang hanya berpegang teguh pada cabangnya belaka. 
3-Ada yang pula yang berpegang pada akar aslinya, dan meraih semuanya (pohon, cabang dan buah) tanpa sedikit pun menoleh pada semuanya, tetapi hanya memandang yang memilikinya, Sang Penciptanya. 
Siapa yang tak memiliki cahaya dalam lampu pertolongan Ilahi, walaupun telah mengumpulkan, mengkaji semua kitab dan hadits, kisah-kisah, maka tidak akan bertambah kecuali malah jauh dan lari dari Allah, sebagaimana keledai yang memikul buku-buku.

Ada seseorang yang datang kepada Imam Ali Karromallahu Wajhah:
“Ajari aku tentang ilmu-ilmu rahasia…”pintanya.
“Apa yang kau perbuat perihal ilmu utama?” kata Sayyidina Ali.
“Apakah pangkal utama ilmu?” orang itu balik bertanya.
“Apakah kamu mengenal Tuhanmu?” Tanya beliau.
“Ya..” jawabnya.
“Apa yang sudah kau lakukan dalam menjalankan kewajibanNya?”
“Masya Allah…” jawab orang itu.
“Berangkatlah dan teguhkan dengan itu (hak dan kewajiban), jika kamu sudah kokoh benar, kamu baru datang kemari, kamu akan saya ajari ilmu-ilmu rahasia…” Jawab beliau.

Ada yang mengatakan, “Perbedaan antara ilmu ma’rifat dan ilmu lainnya adalah seperti perbedaan antara hidup dan mati.

Semoga Allah mengampuni kita. Amin.

Minggu, 27 Mei 2012

SUSAHNYA MENGAMALKAN AMALAN BATIN

MENGAMALKAN syariat lahir adalah hal yang sulit. Buktinya lihat saja umat Islam hari ini tidak sedikit yang tidak shalat, tidak puasa, tidak membayar zakat, tidak dapat membaca Al Quran, tidak belajar agama, tidak menutup aurat, melakukan pergaulan bebas, ikut sistem riba, berzina, minum minuman keras, menipu, mengadu domba, fitnah-memfitnah dan macam-macam perbuatan yang semuanya sangat bertentangan dengan syariat.

Umat Islam hari ini, yang bangga dengan keIslaman mereka adalah umat Islam yang gagal menegakkan syiar Islam dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat mereka. Bukannya mereka tidak tahu apa itu syariat Islam yang diperintahkan pada mereka, tetapi mereka tidak mampu melaksanakannya. Mereka lemah untuk melawan tuntutan hawa nafsu dan syaitan yang kuat menarik kepada jalan-jalan kejahatan dan kerusakan.

Begitulah susahnya untuk mengamalkan syariat Islam dan itu menjadi masalah besar yang dihadapi oleh mayoritas umat Islam hari ini.
Namun, mengamalkan syariat batin jauh lebih susah daripada syariat lahir. Sebab amalan batin merupakan ilmu rasa (zauk) dan bukan ilmu kata, bukan sebutan dan teori tetapi merupakan rasa hati. Bukan saja orang yang lemah syariatnya tidak dapat melaksanakan syariat batin bahkan orang yang syariat lahirnya sudah kuat dan bagus masih belum dapat merasakan dan menghayatinya.

Buktinya dapat kita rasakan sendiri. Meskipun sedikit banyak kita sudah melakukan syariat lahir seperti shalat fardhu, shalat sunat, puasa, zakat, haji, berjuang dan berjihad, belajar ilmu-ilmu agama bahkan mengajar orang lain menutup aurat, berdakwah dan lain-lain, tetapi kita masih lalai dari mengingat Allah dan tidak cinta pada-Nya, tidak ada rasa takut dengan kehebatan Allah serta hina diri dengan Allah.


Tidak sabar berhadapan dengan ujian, tidak merasakan kuasa itu di tangan Allah, tidak merasa diri berdosa. Masih suka mengumpat, hasad dengki, cinta dunia, tidak ada rasa belas kasihan, tidak berlapang dada bila berhadapan dengan manusia yang beraneka ragam, sombong, pemarah, pendendam, jahat sangka, serakah, keras kepala, keluh kesah, putus asa, tidak redha dengan takdir, tidak bimbang dengan hari hisab, tidak takut Neraka, tidak rasa rindu dengan Syurga yang penuh kenikmatan.

Kita menganggap kehebatan kita yang membuat diri kita mencapai kejayaan. Kita tidak merasakan bahwa kapan saja Allah bisa datangkan bencana dan mematikan kita.


Karena merasa hebat maka kita membuat hutang, gila pangkat, membuat macam-macam rencana, tidak merasa kelemahan diri, tidak senang dengan kata nista orang, tidak senang dengan kelebihan orang yang menandingi kita, rasa menderita dengan kemiskinan, masih benci dengan orang yang tidak beramal (bukan rasa kasihan), masih merasa lebih bila berhadapan dengan orang yang tidak beramal, masih rasa terhina untuk menerima kebenaran dari orang lain, masih berat untuk mengakui kesalahan walaupun sadar kita sudah bersalah.

Jiwa merasa menderita bila dicaci, merasa tenang dan senang hati bila disanjung, merasa bangga bila mendapat nikmat, merasa mau hidup lebih lama lagi dan merasa menderita bila miskin dan papa.


Merasa bangga dengan kelebihan diri, merasa terhina dengan kekurangan, tidak pernah puas (cukup) dengan apa yang ada, tidak merasa berdosa (bersalah), tidak merasa dunia kecil dan hina, tidak merasa akhirat besar, tidak menderita bila berbuat dosa atau kesalahan tetapi menderita bila harta dan jabatannya hilang.

Mereka yang bagus dan kuat syariat lahirnya pun masih belum dapat melaksanakan amalan batin (syariat batin) secara istiqamah dan sungguh-sungguh, apalagi yang amalan lahirnya diabaikan sama sekali. Lebih susah bagi mereka mendapatkan amalan batin.

Kalau diumpamakan syariat itu pohon, maka amalan batin adalah buahnya. Orang yang sudah memiliki pohon pun belum tentu memperoleh buahnya (dan kalaupun dapat buah belum tentu enak rasa buahnya), apalagi orang yang tidak menanam pohon sama sekali.

Begitulah perbandingannya orang yang tidak bersyariat. Susah sekali baginya untuk merasakan hakikat. Kalau secara lahir dia tidak dapat tunduk pada Allah, tentu batinnya lebih susah untuk diserahkan pada Allah.


Di antara tanda susahnya mendapat hakikat (amalan batin) ialah:
Ketika kita shalat, secara lahir kita berdiri, rukuk dan sujud dengan mulut memuji dan berdoa pada Allah, tetapi kemanakah hati kita (ingatan dan fikiran)?


Apakah juga menghadap Allah, khusyuk dan tawadhuk serta rasa rendah dan hina diri dengan penuh pengabdian dan harapan serta malu dan takut kepada Allah SWT? Ataukah hati terbang menerawang ke mana-mana, tidak menghiraukan Allah Yang Maha Perkasa yang sedang disembah?

Begitu juga ketika sedang membaca Al Quran, bertahlil, zikir dan wirid, berselawat dan bertakbir, bertasbih dan bertahmid. Adakah ruh kita turut menghayatinya? Atau waktu itu ruh sedang merasakan satu perasaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan amalan lahir yang sedang dilakukan?

Pernahkah kita merasa indah bila sendirian di tempat sunyi karena mengingat Allah dan menumpukan perhatian sepenuhnya pada-Nya, merasa rendah dan hina diri, menyesali dosa dan kelalaian, mengingati-Nya sambil berniat dengan sungguh-sungguh untuk memperbanyak amal bakti pada-Nya?
Kalau ada orang Islam yang sakit menderita atau miskin, adakah hati kita merasa belas kasihan untuk membantu atau menolong mendoakan dari jauh agar dia selamat?

Pernahkah pula kita menghitung dosa-dosa lahir dan batin sambil menangis karena istighfar kita terlalu sedikit dibandingkan dengan dosa kita yang menyebabkan kita nanti jadi bahan bakar api neraka?
Selalukah hati kita senantiasa ingat pada mati yang bisa saja mendatangi kita sebentar lagi, karena memang Tuhan dapat berbuat begitu. Kalau pun kita belum dimatikan, artinya Tuhan menginginkan kita mencoba lagi untuk mencari jalan mendekatkan diri pada-Nya?

Pernahkah kita menghitung berapa banyak harta kita, uang kita, rumah kita, kendaraan kita, perabotan kita, pakaian kita, sepatu kita, makanan kita dan simpanan kita yang lebih dari keperluan kita walaupun diperoleh dengan cara yang halal? Semua itu akan diperkirakan, dihisab dan ditanya, dicerca dan dihina oleh Allah di padang mahsyar nanti karena kita membesarkan dunia dan mengecilkan akhirat.

Pernahkah kita renungkan orang-orang yang pernah kita perlakukan secara kasar, kita umpat, kita tipu, kita fitnah, kita hina dan kita aniaya. Baik mereka itu adalah suami kita, isteri kita, ibu bapak kita, kaum kerabat kita, sahabat kita, tetangga kita atau siapa saja. Sudahkah kita meminta maaf dan membersihkan dosa dengan manusia di dunia tanpa menunggu tibanya hari yang dahsyat (hari kiamat)?

Apabila Allah memberikan rasa sakit pada kita atau pada orang lain yang kita kasihi (apa pun jenis penyakit itu), dapatkah kita tenangkan hati dengan rasa kesabaran dan kesadaran bahwa sakit adalah kifarah (pengampunan) dosa atau sebagai peningkatan derajat dan pangkat di sisi Allah SWT?
Ketika menerima takdir atau rezeki yang tidak sesuai dengan kehendak kita, dapatkah kita merasa redha, karena itulah satu pemberian Allah yang sesuai untuk kita.

Di saat sesuatu yang kita inginkan dan cita-citakan tidak kita peroleh, dapatkah kita tenangkan perasaan kita dengan rasa insaf akan kelemahan dan kekurangan diri sebagai hamba Allah yang hina dina, yang menggantungkan hidup mati dan rezeki sepenuhnya pada Allah?

Di waktu mendapat nikmat, terasakah di hati bahwa itu adalah sebagai pemberian Allah lalu timbul rasa terima kasih (syukur) pada Allah dan rasa takut kalau-kalau nikmat itu tidak dapat digunakan karena Allah dan berniat sungguh-sungguh untuk menggunakan nikmat itu hanya untuk Allah?

Kalau kita miskin dapatkah kita merasa bahagia dengan kemiskinan itu dan merasa lega karena tidak perlu lagi mengurus nikmat Allah? Adakah kita merasa bahwa kemiskinan itu menyebabkan kita tidak perlu lagi mengadu dan meminta pada manusia kecuali pada Allah?

Kalau ada orang mencerca kita bisakah hati kita merasa senang dan tenang lalu kita bersikap diam tanpa sakit, susah hati dan dendam. Bahkan kita memaafkan orang itu sambil mendoakan kebaikan untuknya sebab kita merasa bahwa ia telah memberi pahala pada kita melalui cercaannya itu?
Imam As Syafie berpuisi:

"Apabila seorang yang jahat mencerca aku, bertambah tinggilah kehormatanku. Tidak ada yang lebih hina kecuali kalau aku yang mencercanya."

15. Begitu juga kalau orang menipu, menganiaya dan mencuri harta kita, mampukah kita relakan saja atas dasar kita ingin mendapat pahala karena menanggung kerugian itu?

16. Di waktu kita merasa bersalah dengan seseorang, apakah datang rasa takut akan kemurkaan Allah pada kita dan sanggupkah kita minta maaf sambil mengakui kesalahan kita?

17. Setelah kita melakukan usaha dan ikhtiar dengan kerja-kerja kita, apakah kita dapat melupakan usaha kita itu dan menyerahkannya kepada Allah? Ataukah kita merasa besar dan terikat dengan usaha itu hingga kita merasa senang dan tenang dengan usaha itu?

 18. Kalau orang lain mendapat kesenangan dan kejayaan dapatkah kita merasa gembira, turut bersyukur dan mengharapkan kekalnya nikmat itu bersamanya tanpa hasud dengki dan sakit hati? 

19. Setiap kali orang bersalah, lahirkah rasa kasihan kita padanya, di samping ingin membetulkannya tanpa menghina dan mengumpatnya?

20. Kalau ada orang memuji kita, adakah kita merasa susah hati sebab pujian itu dapat merusakkan amalan kita? Dapatkah kita bendung hati dari rasa bangga dan sombong, kemudian mengembalikan pujian pada Allah yang patut menerima pujian dan yang mengaruniakan kemuliaan itu?

21. Bisakah kita menunjukkan rasa kasih sayang dan ramah tamah dengan semua orang sekalipun kepada orang bawahan kita?

22. Selamatkah kita dari jahat (buruk) sangka dan prasangka pada orang lain?

 23. Kalau kita diturunkan dari jabatan atau kekayaan kita hilang, selamatkah kita dari rasa kecewa dan putus asa karena merasakan pemberian jabatan dan penurunannya adalah ketentuan Allah? Sebab itu kita merasa ridha.

24. Sanggupkah kita bertenggang rasa dengan orang lain di waktu orang itu juga memerlukan apa yang kita perlukan?

25. Apakah kita senantiasa puas dan cukup dengan apa yang ada tanpa mengharapkan apa yang tidak ada?
Susah untuk memberi jawaban pada semua persoalan-persoalan yang telah diajukan di atas karena memang susah untuk melakukan amalan-amalan batin, teramat sulit dan rumit. Itulah sebabnya banyak orang yang tidak melihat dan tidak memperdulikannya.

Namun, bagi mereka yang betul-betul mau mendekatkan diri pada Allah, di situlah titik tumpuan perhatian dan minatnya. Dia akan berusaha tanpa jemu untuk melakukan amalan-amalan batin dan menyuburkannya sepanjang masa dengan cara melawan hawa nafsu (mujahadatunnafsi). Dia akan mendidik hatinya itu supaya biasa dan suka dengan amalan batin. Bahkan dia sanggup berkorban (mujahadah) untuk itu.
Para ulama berkata:

Perjuangan itu 10 bagian. Satu bagian ialah perjuangan menentang musuh-musuh lahir (orang kafir, munafik, Yahudi dan Nasrani), di waktu-waktu yang tertentu saja (bukan sepanjang masa). Manakala sebagian lagi ialah perjuangan menentang musuh batin (nafsu dan syaitan) yang tiada hentinya yakni sepanjang masa."
Melaksanakan amalan batin memang susah dibandingkan dengan amalan lahir. Tetapi amalan batin itu lebih penting kedudukannya dari amalan yang lain.

Sabda Rasulullah SAW :
Terjemahannya : Bahwasanya Allah tidak memandang akan rupa dan harta kamu, tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu. (Riwayat Muslim)

Dan Allah berfirman :

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

"Bagi manusia ada malaikat-malaikat, yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." – (QS.13:11)
 
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada kaum itu, hinggalah mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka (hati mereka). 

Kalau hati kita jahat, Allah tidak akan membantu kita dalam berbagai hal. Kalau hati kita rusak Allah sama sekali tidak akan memandang kita. Begitulah keutamaan amalan batin. Tiap umat Islam wajib melakukannya. Kalau kita lalai artinya sepanjang hidup kita berada dalam dosa. Dosa batin yang tidak kita sadari.
Marilah kita bersihkan dosa lahir dan dosa batin kita. Mari kita bermujahadah untuk itu. Moga-moga Allah SWT merestui kita :


وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ


 Dan mereka yang bermujahadah dalam jalan Kami, Nisaya Kami tunjukan jalan-jalan Kami itu. Sesungguhnya Allah berserta dengan orang yang berbuat baik. (Al Ankabut: 69).

PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI

JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...

KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN











AlkisAnnabila