TANBIIH

الحَمـْدُ للهِ المُــوَفَّـقِ للِعُـلاَ حَمـْدً يُوَافـــِي بِرَّهُ المُتَـــكَامِــلا وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَي النَّبِيِّ المُصْطَفَىَ وَالآلِ مَــــعْ صَـــحْــبٍ وَتُبَّـاعٍ وِل إنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا تَقْوَى الإلهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ وَتِبَاعُ أَهْوَى رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلاَ إن أخوف ما أخاف على أمتي اتباع الهوى وطول الأمل إنَّ الطَّرِيقَ شَرِيعَةٌُ وَطَرِيقَةٌ وَحَقِيقَةُ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلا فَشَرِيعَةٌ كَسَفِينَة وَطَرِيقَةٌ كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيقَةٌ دُرٌّ غَلاَ فَشَرِيعَةٌ أَخْذٌ بِدِينِ الخَالِقِ وَقِيَامُهُ بَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ انْجَلاَ وَطَرِِيقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطَ كَالوَرَع وَعَزِيمَةُ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاَ وَحَقِيقَةُ لَوُصُولُهِ لِلمَقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُورُ التّجَلِّي بِانجَلاَ مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق

hiasan

BELAJAR MENGKAJI HAKIKAT DIRI UNTUK MENGENAL ILAHI

Kamis, 31 Mei 2012

MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM TASAWWUF ADALAH ETIKA


Didalam tashawwuf banyak sekali unsur – unsur ethica, ajaran – ajaran akhlak, al-akhlakul karimah baik kepada manusia atau kepada ALLOH. Kalau orang – orang filsafat Yunani kuno nada etikanya adalah pada kemanusiaan. Sedang norma yang dipakai adalah baik dan buruk menurut akal. Untuk itu bisa di difinisikan etika sebagai berikut :

“Etika adalah ‘ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk denganmelihat pada amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahi akal fikiran.’’

Karena itu didalam baik buruknya sesuatu perbuatan itu dipandang akal fikiran semata-mata maka timbullah beberapa aliran tentang ethica yang satu sama lainnya berbeda menurut jurusan dari mana mereka meninjau. Apalagi kalau kita hubungkan dengan kepribadian tiap – tiap bangsa yang satu sama lainnya adalah berbeda.
Suatu contoh : Apabila ada sepasang laki – laki dan perumpuan (muda– mudi) yang tiada hubungan resmi sedang bercumbu-rayu ditempat terbuka umpama dipinggir, hal ini kalau dilakukan di Indonesia khususnya di perkampungan maka ini adalah perbuatan yang sangat rendah. Maka orang tersebut dicap amoral. Tapi sebaliknya bila hal ini dilakukan di dunia Eropa hal ini tidak apa-apa bukan suatu perbuatan amoral.

Dari pernyataan tersebut bisa di simpulkan bahwa adanya cumbu-rayu ditepi jalan yang tidak diperhatikan oleh orang lain memang disamping manusia–manusia sibuk dengan fikiran dan urusan sendiri, juga hal tersebut karena sudah merupakan hal yang biasa bagi orang Eropa bukan merupakan hal yang melanggar etika mereka.

Dalam etika kaum filsafat ini ada juga menilai baik dan buruk itu dari tinjauan natur ( fitrah ) apakah perbuatan itu sesuai dengan natur manusia atau tidak. Aliran inilah yang terkenal dengan nama etika Naturalisme.

Ada juga yang penilaiannya itu ditinjau dari besar dan kecilnya manfaat dari perbuatan tersebut bagi manusia. Aliran ini disebut aliran ethica Utilitarisme atau utilisme. Boleh disebut juga utilitarianisme atau Universalistic. Sebagaimana mereka ma’nakan :

“bahwasanya yang dinamakan manfaat itu ialah suatu kebahagian untuk jumlah manusia yang sebesar-besarnya.’’

{ “Utylity is happiness for the greatest number of sentient beings’’}

Aliran manfaat ini jika kita dicermati bisa dikatakan sempit, sebab praktek sehari-hari dalam kita berbuat adalah tidak melihat jumlah yang akan merasakan faedahnya perbuatan kita. Sebab walaupun yang merasakan faedah itu sedikit, hal itu sudah bersusila- beretika namanya.
Memang ada hadist yang menerangkan manusia yang terbaik adalah yang terbanyak memberi faedah bagi manusia :
“Qaalan nabiyyu shallallahu ‘laiyhi wasallama: Khairunnasi anfa’uhum llinnasi.” (HR. Imam Muslim)
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.’’

Tapi kalau kita renungkan, hadist tersebut adalah berlafadz khairunnas. Sedangkan khairunnas adalah sinonim dari kata ahsanunnas (bagusnya manusia) atau seidentik artinya dengan afdhalunnas. Jadi tidak berarti hasan atau yang fadil itu tidak bermanfaat sebagaimana mafhum mukhalafah dari pengertian yang kata etika utilitarisme atau utilisme. 

Ada lagi aliran yang disebut etika Idealisme yaitu suatu perbuatan etika yang tidak didasarkan atas sebab lahiriah, bukan karena anjuran orang lain dan bukan karena pujian seseorang, tapi perbuatan baik tersebut didasarkan atas prinsif kerohanian yang lebih tinggi. Oleh karena itu perbuatan baik yang didasarkan bukan karena Allah semata-mata bagi kaum shufiah adalah tidak berarti, bahkan hal itu adalah merupakan perbuatan yang berbahaya bagi sipelakunya.

Dan Imam Al-Ghazali menyatakan tentang ini :

“Innal insana ‘indasy syirkati abadan fi khatharin fa innahu layad rii ayyul amriini aghrlabu ‘alaa qashdihi farubbama yakunu ‘alaiyhi wa balan.’’

“Manusia dikala mensekutukan amal ( semata-mata bukannya karena Allah ) selamanya dalam keadaan kekhawatiran (teka-teki) karena ia tidak mengetahui manakah diantara keduanya yang lebih menonjol. Oleh karena itu terkadang amalnya menjadikan mara bahaya pada dirinya.’’

Ikhlas adalah syarat mutlak untuk diterimanya suatu amal sedangkan ria adalah menghapuskannya dan mendatangkan murka Allah.

Ada juga aliran etika yang lebih dekat dengan etika tashawwuf ialah aliran etika theologie ; suatu etika dengan ukuran agama apakah perbuatan itu sesuai dengan perintah Alloh ataukah perlawanan dengan perintahNya, walaupun masing-masing agama mempunyai ukuran sendiri-sendiri dalam menilai baik-buruknya sesuatu perbuatan. 

Agama Islam mengakui dosa itu berlaku dalam perbuatan fitrah kejadian manusia. Manusia lahir dalam keadaan suci :

“ ‘An-abiy hurairata annahu kana yaquulu Qaala rasulullahi shalallahu ‘alaiyhi wa sallama: .’’Maa min mauluudin illa yuladu ‘alal fithrati fa-abawahu yuhauwwi danihi wa yunashira nihi wa yumij-jisanihi.’’

“Dari Abi Hurairah beliau berkata : bersabda Rasulullah s.a.w. tidak ada seorang bayi yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci asli) maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan bayi tersebut Yahudi, Nasrani dan Majusi.’’

Dan yang terakhir dalam kalangan ethic-filsafat ialah aliran ethic yang berdasarkan kenikmatan. Baik buruknya perbuatan tergantung pada ada tidaknya unsur lezat dan nikmat pada perbuatan tersebut. Aliran ini disebut ethic Hedonisme yang dalam istilah Arab disebut masdzaabul-ladzdzat. Demikianlah beberapa pandangan tentang ethica dalam aliran filsafat, dan bagaimana penguraian tentang ethica dalam kalangan tashawwuf.

Pembahasan ethica atau akhlak dalam isi tashawwuf ini ialah akhlak yang akan membawakan manusia menuju bahagia dunia dan akhirat yaitu suatu budi-pekerti yang baik sebagaimana Imam Al-Ghazali mengatakan didalam Ikhya Ulumiddin juz III sebagai berikut :

“Fal khuluqu ‘ibaratun ‘an hai-atin finnafsi raa sikhatin ‘anhaa tashdhurul af ‘alu bisuhuu latin wa yusrin min ghairi hajatin ilaa fikrin wa rawiyyatin fainkanat alhai-atu bihai-tsu tashduru ‘anha al-af ‘alul jamilatul mahmudatu ‘aq-lan wa syar ‘an summit tilkal hai-atu khuluqan hasanan wa inkanash shadiru ‘anhal af ‘alul qabiyhatu summiyat alhai-atullatii hiyal mushadiru khuluqan saiyyi-an.’’

“Budi pekerti itu merupakan suatu naluri asli dalam jiwa seseorang manusia, yang dapat melahirkan sesuatu tindakan dan kelakuan dengan gampang dan mudah tanpa rekaan pikiran. Maka jika naluri tersebut melahirkan suatu tindakan dan kelakuan yang baik bagi terpuji menurut akal dan syara’, dinamakan budi pekerti yang baik, tetapi manakala naluri itu melahirkan suatu perbuatan dan kelakuan jahat, maka dinamakan budi pekerti buruk.. 

Demikianlah keterangan Imam Al-Ghazali tentang budi pekerti, baik hal itu menerangkan hakikatnya atau norma yang dipakai untuk menentukan nilai baik atau buruk pada suatu perbuatan. Maka disini dapat diuraikan tentang akhlak (ethica, budi pekerti) baik bagi falasifah atau shufiah :

a). Haqiqat akhlak (etika, budi pekerti)

b). Norma yang dipakai untuk menilai akhlak.

Bila diadakan comparative diantara kedua akhlak tersebut dengan berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

a). Nada ethica adalah kemanusian (humany) sedang nada ethica tashawwuf adalah
( Imany ) yang consequentienya adalah berbuat baik kepada manusia.

b). Norma yang dipakai ahli filsafat untuk menentukan baik buruk adalah aqal sedang norma yang dipakai oleh ahli tashawwuf adalah syara’.

c). Tujuan yang dicapai oleh kaum filsafat dalam berakhlak adalah kebhagian dunia,sedangkan tujuan yang dicapai kaum shufiah adalah bahagia didunia dan akhirat.

Orang-orang shufi selalau menghiasi jiwanya dengan sifat-sifat yang terpuji dan menjauhkan dari sifat-sifat yang tercela. Sebagaimana Al-Qur’an maupun Al-Hadits banyak sekali yang menekankan hal itu.

Bukti dari ayat-ayat Al-Qur’an diantaranya :

“Qaalallah Ta’ala :’’Qad af-lakha man dzakkaha, wa qad khaba mandas-saaha.’’

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mangsucikan jiwanya. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.’’ (QS. Asy-Syams 9-10)

“Wa amma man khaa-fa maqaa-ma rabbahi wanahan-nafsa ‘anil hawaa fa ‘innal jannata hiyal makwaa.’’

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahandiri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempatnya.’’ (QS. An-Naziah, 40-41).

“An masruuqin qaala: ‘’Kunnav juluu-san ma’a ‘abdillahibni ‘umara wayuhaddi-tsuna idzqaala:” Lam yakun rasulullahu ‘alaiyhi wasallama faa hisyan wala mutafah-hisyan wa-annahu kana yaqulu inna khiya rakum ahaa sinukum akhlaaqan.’’

“Dari Masruq beliau berkata : ’’Kami sedang duduk beserta Abdillah bin Amar dikala beliau bercerita kepada kami beliau berkata : Rasulullah s.a.w. adalah bukan seorang yang bertindak kotor atau berusaha berbuat buruk, dan Rasulullah pernah berkata : Seutama-utama kamu sekalian ialah sebaik-baik kamu sekalian dibidang akhlak.’’ (HR. Al-Bukhari)

Demikianlah diantara ayat-ayat dan hadits yang menekankan untuk berakhlak baik dan meninggalkan perangai yang tercela. Dan diantara ayat-ayat dan hadits tersebut dapat diketahui diantaranya suatu bentuk anjuran dan larangan. Dengan kata lain meninggalkan sifat-sifat tercela itu adalah wajib hukumnya. Oleh karena itu marilah bermohon kepada Alloh semoga berakhlak karimah dan terhindar dari shifat-shifat yang tercela. Untuk melengkapi uraian etika sebagai kandungan tashawwuf ini sangatlah perlu dituturkan beberap contoh al-akhlaqul-karimah dari kaum mutashawwifin yaitu: at-tawwaadhu-’ merendahkan diri. 
“At-tawwadhu’u khafdhul janahi walaiy-nul jaa-nibi.’’ “Tawwaadhu’adalah merendahkan dirinya sendiri.’’
Orang yang tawwaadhu’ adalah tidak menganggap dirinya lebih tinggi dari orang lain. Orang yang mempunyai shifat tawwaadhu’ selalu memelihara pergaulan dan hubungan sesama manusia tanpa memandang derajat yang ada pada dirinya. Shifat tawwaadhu’ adalah suatu shifat yang membawakan kepada setiap manusia yang mempunyai shifat tersebut kesuatu derajat yang tinggi.

PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI

JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...

KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN











AlkisAnnabila