TANBIIH

الحَمـْدُ للهِ المُــوَفَّـقِ للِعُـلاَ حَمـْدً يُوَافـــِي بِرَّهُ المُتَـــكَامِــلا وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَي النَّبِيِّ المُصْطَفَىَ وَالآلِ مَــــعْ صَـــحْــبٍ وَتُبَّـاعٍ وِل إنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا تَقْوَى الإلهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ وَتِبَاعُ أَهْوَى رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلاَ إن أخوف ما أخاف على أمتي اتباع الهوى وطول الأمل إنَّ الطَّرِيقَ شَرِيعَةٌُ وَطَرِيقَةٌ وَحَقِيقَةُ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلا فَشَرِيعَةٌ كَسَفِينَة وَطَرِيقَةٌ كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيقَةٌ دُرٌّ غَلاَ فَشَرِيعَةٌ أَخْذٌ بِدِينِ الخَالِقِ وَقِيَامُهُ بَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ انْجَلاَ وَطَرِِيقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطَ كَالوَرَع وَعَزِيمَةُ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاَ وَحَقِيقَةُ لَوُصُولُهِ لِلمَقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُورُ التّجَلِّي بِانجَلاَ مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق

hiasan

BELAJAR MENGKAJI HAKIKAT DIRI UNTUK MENGENAL ILAHI

Kamis, 31 Mei 2012

MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM TASAWWUF ADALAH ETIKA


Didalam tashawwuf banyak sekali unsur – unsur ethica, ajaran – ajaran akhlak, al-akhlakul karimah baik kepada manusia atau kepada ALLOH. Kalau orang – orang filsafat Yunani kuno nada etikanya adalah pada kemanusiaan. Sedang norma yang dipakai adalah baik dan buruk menurut akal. Untuk itu bisa di difinisikan etika sebagai berikut :

“Etika adalah ‘ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk denganmelihat pada amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahi akal fikiran.’’

Karena itu didalam baik buruknya sesuatu perbuatan itu dipandang akal fikiran semata-mata maka timbullah beberapa aliran tentang ethica yang satu sama lainnya berbeda menurut jurusan dari mana mereka meninjau. Apalagi kalau kita hubungkan dengan kepribadian tiap – tiap bangsa yang satu sama lainnya adalah berbeda.
Suatu contoh : Apabila ada sepasang laki – laki dan perumpuan (muda– mudi) yang tiada hubungan resmi sedang bercumbu-rayu ditempat terbuka umpama dipinggir, hal ini kalau dilakukan di Indonesia khususnya di perkampungan maka ini adalah perbuatan yang sangat rendah. Maka orang tersebut dicap amoral. Tapi sebaliknya bila hal ini dilakukan di dunia Eropa hal ini tidak apa-apa bukan suatu perbuatan amoral.

Dari pernyataan tersebut bisa di simpulkan bahwa adanya cumbu-rayu ditepi jalan yang tidak diperhatikan oleh orang lain memang disamping manusia–manusia sibuk dengan fikiran dan urusan sendiri, juga hal tersebut karena sudah merupakan hal yang biasa bagi orang Eropa bukan merupakan hal yang melanggar etika mereka.

Dalam etika kaum filsafat ini ada juga menilai baik dan buruk itu dari tinjauan natur ( fitrah ) apakah perbuatan itu sesuai dengan natur manusia atau tidak. Aliran inilah yang terkenal dengan nama etika Naturalisme.

Ada juga yang penilaiannya itu ditinjau dari besar dan kecilnya manfaat dari perbuatan tersebut bagi manusia. Aliran ini disebut aliran ethica Utilitarisme atau utilisme. Boleh disebut juga utilitarianisme atau Universalistic. Sebagaimana mereka ma’nakan :

“bahwasanya yang dinamakan manfaat itu ialah suatu kebahagian untuk jumlah manusia yang sebesar-besarnya.’’

{ “Utylity is happiness for the greatest number of sentient beings’’}

Aliran manfaat ini jika kita dicermati bisa dikatakan sempit, sebab praktek sehari-hari dalam kita berbuat adalah tidak melihat jumlah yang akan merasakan faedahnya perbuatan kita. Sebab walaupun yang merasakan faedah itu sedikit, hal itu sudah bersusila- beretika namanya.
Memang ada hadist yang menerangkan manusia yang terbaik adalah yang terbanyak memberi faedah bagi manusia :
“Qaalan nabiyyu shallallahu ‘laiyhi wasallama: Khairunnasi anfa’uhum llinnasi.” (HR. Imam Muslim)
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.’’

Tapi kalau kita renungkan, hadist tersebut adalah berlafadz khairunnas. Sedangkan khairunnas adalah sinonim dari kata ahsanunnas (bagusnya manusia) atau seidentik artinya dengan afdhalunnas. Jadi tidak berarti hasan atau yang fadil itu tidak bermanfaat sebagaimana mafhum mukhalafah dari pengertian yang kata etika utilitarisme atau utilisme. 

Ada lagi aliran yang disebut etika Idealisme yaitu suatu perbuatan etika yang tidak didasarkan atas sebab lahiriah, bukan karena anjuran orang lain dan bukan karena pujian seseorang, tapi perbuatan baik tersebut didasarkan atas prinsif kerohanian yang lebih tinggi. Oleh karena itu perbuatan baik yang didasarkan bukan karena Allah semata-mata bagi kaum shufiah adalah tidak berarti, bahkan hal itu adalah merupakan perbuatan yang berbahaya bagi sipelakunya.

Dan Imam Al-Ghazali menyatakan tentang ini :

“Innal insana ‘indasy syirkati abadan fi khatharin fa innahu layad rii ayyul amriini aghrlabu ‘alaa qashdihi farubbama yakunu ‘alaiyhi wa balan.’’

“Manusia dikala mensekutukan amal ( semata-mata bukannya karena Allah ) selamanya dalam keadaan kekhawatiran (teka-teki) karena ia tidak mengetahui manakah diantara keduanya yang lebih menonjol. Oleh karena itu terkadang amalnya menjadikan mara bahaya pada dirinya.’’

Ikhlas adalah syarat mutlak untuk diterimanya suatu amal sedangkan ria adalah menghapuskannya dan mendatangkan murka Allah.

Ada juga aliran etika yang lebih dekat dengan etika tashawwuf ialah aliran etika theologie ; suatu etika dengan ukuran agama apakah perbuatan itu sesuai dengan perintah Alloh ataukah perlawanan dengan perintahNya, walaupun masing-masing agama mempunyai ukuran sendiri-sendiri dalam menilai baik-buruknya sesuatu perbuatan. 

Agama Islam mengakui dosa itu berlaku dalam perbuatan fitrah kejadian manusia. Manusia lahir dalam keadaan suci :

“ ‘An-abiy hurairata annahu kana yaquulu Qaala rasulullahi shalallahu ‘alaiyhi wa sallama: .’’Maa min mauluudin illa yuladu ‘alal fithrati fa-abawahu yuhauwwi danihi wa yunashira nihi wa yumij-jisanihi.’’

“Dari Abi Hurairah beliau berkata : bersabda Rasulullah s.a.w. tidak ada seorang bayi yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci asli) maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan bayi tersebut Yahudi, Nasrani dan Majusi.’’

Dan yang terakhir dalam kalangan ethic-filsafat ialah aliran ethic yang berdasarkan kenikmatan. Baik buruknya perbuatan tergantung pada ada tidaknya unsur lezat dan nikmat pada perbuatan tersebut. Aliran ini disebut ethic Hedonisme yang dalam istilah Arab disebut masdzaabul-ladzdzat. Demikianlah beberapa pandangan tentang ethica dalam aliran filsafat, dan bagaimana penguraian tentang ethica dalam kalangan tashawwuf.

Pembahasan ethica atau akhlak dalam isi tashawwuf ini ialah akhlak yang akan membawakan manusia menuju bahagia dunia dan akhirat yaitu suatu budi-pekerti yang baik sebagaimana Imam Al-Ghazali mengatakan didalam Ikhya Ulumiddin juz III sebagai berikut :

“Fal khuluqu ‘ibaratun ‘an hai-atin finnafsi raa sikhatin ‘anhaa tashdhurul af ‘alu bisuhuu latin wa yusrin min ghairi hajatin ilaa fikrin wa rawiyyatin fainkanat alhai-atu bihai-tsu tashduru ‘anha al-af ‘alul jamilatul mahmudatu ‘aq-lan wa syar ‘an summit tilkal hai-atu khuluqan hasanan wa inkanash shadiru ‘anhal af ‘alul qabiyhatu summiyat alhai-atullatii hiyal mushadiru khuluqan saiyyi-an.’’

“Budi pekerti itu merupakan suatu naluri asli dalam jiwa seseorang manusia, yang dapat melahirkan sesuatu tindakan dan kelakuan dengan gampang dan mudah tanpa rekaan pikiran. Maka jika naluri tersebut melahirkan suatu tindakan dan kelakuan yang baik bagi terpuji menurut akal dan syara’, dinamakan budi pekerti yang baik, tetapi manakala naluri itu melahirkan suatu perbuatan dan kelakuan jahat, maka dinamakan budi pekerti buruk.. 

Demikianlah keterangan Imam Al-Ghazali tentang budi pekerti, baik hal itu menerangkan hakikatnya atau norma yang dipakai untuk menentukan nilai baik atau buruk pada suatu perbuatan. Maka disini dapat diuraikan tentang akhlak (ethica, budi pekerti) baik bagi falasifah atau shufiah :

a). Haqiqat akhlak (etika, budi pekerti)

b). Norma yang dipakai untuk menilai akhlak.

Bila diadakan comparative diantara kedua akhlak tersebut dengan berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

a). Nada ethica adalah kemanusian (humany) sedang nada ethica tashawwuf adalah
( Imany ) yang consequentienya adalah berbuat baik kepada manusia.

b). Norma yang dipakai ahli filsafat untuk menentukan baik buruk adalah aqal sedang norma yang dipakai oleh ahli tashawwuf adalah syara’.

c). Tujuan yang dicapai oleh kaum filsafat dalam berakhlak adalah kebhagian dunia,sedangkan tujuan yang dicapai kaum shufiah adalah bahagia didunia dan akhirat.

Orang-orang shufi selalau menghiasi jiwanya dengan sifat-sifat yang terpuji dan menjauhkan dari sifat-sifat yang tercela. Sebagaimana Al-Qur’an maupun Al-Hadits banyak sekali yang menekankan hal itu.

Bukti dari ayat-ayat Al-Qur’an diantaranya :

“Qaalallah Ta’ala :’’Qad af-lakha man dzakkaha, wa qad khaba mandas-saaha.’’

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mangsucikan jiwanya. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.’’ (QS. Asy-Syams 9-10)

“Wa amma man khaa-fa maqaa-ma rabbahi wanahan-nafsa ‘anil hawaa fa ‘innal jannata hiyal makwaa.’’

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahandiri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempatnya.’’ (QS. An-Naziah, 40-41).

“An masruuqin qaala: ‘’Kunnav juluu-san ma’a ‘abdillahibni ‘umara wayuhaddi-tsuna idzqaala:” Lam yakun rasulullahu ‘alaiyhi wasallama faa hisyan wala mutafah-hisyan wa-annahu kana yaqulu inna khiya rakum ahaa sinukum akhlaaqan.’’

“Dari Masruq beliau berkata : ’’Kami sedang duduk beserta Abdillah bin Amar dikala beliau bercerita kepada kami beliau berkata : Rasulullah s.a.w. adalah bukan seorang yang bertindak kotor atau berusaha berbuat buruk, dan Rasulullah pernah berkata : Seutama-utama kamu sekalian ialah sebaik-baik kamu sekalian dibidang akhlak.’’ (HR. Al-Bukhari)

Demikianlah diantara ayat-ayat dan hadits yang menekankan untuk berakhlak baik dan meninggalkan perangai yang tercela. Dan diantara ayat-ayat dan hadits tersebut dapat diketahui diantaranya suatu bentuk anjuran dan larangan. Dengan kata lain meninggalkan sifat-sifat tercela itu adalah wajib hukumnya. Oleh karena itu marilah bermohon kepada Alloh semoga berakhlak karimah dan terhindar dari shifat-shifat yang tercela. Untuk melengkapi uraian etika sebagai kandungan tashawwuf ini sangatlah perlu dituturkan beberap contoh al-akhlaqul-karimah dari kaum mutashawwifin yaitu: at-tawwaadhu-’ merendahkan diri. 
“At-tawwadhu’u khafdhul janahi walaiy-nul jaa-nibi.’’ “Tawwaadhu’adalah merendahkan dirinya sendiri.’’
Orang yang tawwaadhu’ adalah tidak menganggap dirinya lebih tinggi dari orang lain. Orang yang mempunyai shifat tawwaadhu’ selalu memelihara pergaulan dan hubungan sesama manusia tanpa memandang derajat yang ada pada dirinya. Shifat tawwaadhu’ adalah suatu shifat yang membawakan kepada setiap manusia yang mempunyai shifat tersebut kesuatu derajat yang tinggi.

Sifat-sifat yang ada ta’luqnya.


Dibawah ini tersebut ( enam ) yang ada ta’luqnya dan tersebut pula terbagi (dua puluh) shifat itu dengan (empat) bagian. Artinya ta’luq yaitu : Tuntut shifat akan pekerjaan yang bertambah dari pada berdiri shifat kepada dzaat adanya.

a. Enam shifat yang ada ta’luqnya.

Qudrat : ta’luq ta-atsiir segala mumkin, (mumkin maujud).

Iraadat : ta’luq ta-atsiir segala mumkin, (mumkin maujud).

Sam’un : ta’luq ankasyaf segala maujud, (hhaadanya maujud).

Basharun : ta’luq ankasyaf segala maujud, (maujud qadiim).

‘Ilmun : ta’luq ankasyaf segala wajib, (segala mustahil).

Kalaamun : ta’luq dalalaht segala wajib, (segala jaa-iz).

Adapun masalah ta’luq seumpama qudraht yakni kuasa maka menuntutlah ia akan kecitaan atau harapan yang dikuasakannya, demikian pula masalah lain-lain ta’luq pada shifat lain-lain adanya.

b. Empat bagian dari dua puluh shifat.

1}. Shifat Nafsiyaht : [Wujud] Artinya shifat nafsiyah yaitu : Hal yang wajib bagi dzaat, selama dzaat bersifat wujud tiada karenakan dengan suatu karena.

2}. Shifat Shalbiyah : Qidamun, Baqa-un, Mukhalafatuhu lilhawaditsyi, Qiyaamuhu ta’ala binafsihi, Wahdaa-niyaht, (5 shifat).

Artinya [shifat shalbiyah] yaitu : Ibarat dari pada menafikan barang yang tiada layak (pantas) kepada Allah Jalla wa ‘azza jua adanya.

3}. Shifat Ma ‘aniy : Qudraht, Iraadaht, ‘Ilmun, Hayyatun, Sam’un, Basharun, Kalaamun. (7 shifat).
Artinya [shifat ma‘aniy] yaitu : Tiap-tiap shifat yang maujud yang berdiri kepada Dzat yang maujud mewajibkan Dzat bershifat suatu hukum, yaitu [shifat ma‘ nawiyah] adanya.

4}. Shifat Ma‘ nawiyah : Qaadirun, Muriydun, ‘Aalimun, Hayyun, Samii ‘un, Bashiirun, Mutakallimun. (7 shifat).
Artinya [shifat ma’nawiyah] yaitu : Hal yang itsbat bagi Dzat bershifat ma’nawiyah dikarenakan dengan shifat ma‘aniy maka jadi keduanya itu berlazim-laziman (saling menetapkan) adanya.

PENGERTIAN SYAHADAT

Syahadat.
Arti syahadat ialah pengakuan atau penyaksian yang sebenarnya ya’ni saksi dzahir dan bathin. Didalam pengetahuan akan syahadat harus diketahui akan rukun syahadat , syarat syahadat dan juga yang membinasakan syahadat.

a. Rukun Syahadat.

Adapun rukun syahadat itu empat perkara :
1. Menetapkan Dzat Allah Ta’ala (berdiri dengan sendirinya).
2. Menetapkan Shifat Allah Ta’ala (kuasa).
3. Menetapkan Af ‘al Allah Ta’ala (berbuat dengan sekehendaknya).
4. Menetapkan kebenaran Rasulullah s.a.w.

b. Syarat Syahadat.

Adapun syarat kesempurnaan syahadat itu empat perkara :
1. Hendaklah diketahui syahadat itu, ya’ni mengerti akan maksudnya.
2. Diikrarkan lidah ya’ni dibaca seterusnya dari permulaan hingga akhirnya.
3. Hendaklah di yaqinkan dalam hati akan maksud syahadat itu, ya’ni tidak ragu- ragu lagi.
4. Yaqin serta diamalkan dengan anggota, ya’ni dengan hati dan perbuatan

c. Yang membinasakan Syahadat.

Adapun yang membinasakan syahadat itu empat perkara :
1. Menduakan atau menyekutukan Allah Ta’ala
2. Ragu atau syak hati akan Allah Ta’ala.
3. Menyangkal atau mengingkari dirinya dijadikan Allah Ta’ala.
4. Tidak dikukuh atau ditetapkan pada dirinya yang demikian.

d. Nama Syahadat.

Adapun nama syahadat itu ada dua perkara :
1. Syahadat Tauhit : “Asyhaduanlaa ilaha illallahu”.
{“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah.”} 2. Syahadat Rasul:“Wa asyhaduanna Muhammadan Rasulullah.”
2. Syahadat Rasul:“Wa asyhaduanna Muhammadan Rasulullah.”
{“Dan aku bersaksi Nabi Muhammad itu Utusan Allah”}.

Hukum ‘Adiy (HUKUM ADAT / KEBIASAAN)


Artinya hukum ‘adiy yaitu, menetapkan suatu barang bagi suatu barang, atau menafikan suatu barang pada suatu barang dengan lantaran berulang-ulang serta shah bersalahan, dan juga dengan tiada memberi bekas salah suatu itu pada yang lain. Maka terbagi hukum ‘adiy atas (empat perkara) yang tersebut dibawah ini.

1. Pertambatan keadaan suatu barang dengan keadaan suatu barang lainnya, seumpama : Keadaan kenyang dengan keadaan makan.
2. Pertambatan ketiadaan suatu barang dengan ketiadaan suatu barang lainnya, seumpama : Ketiadaan kenyang dengan ketiadaan makan.
3. Pertambatan keadaan suatu barang dengan ketiadaan suatu barang, seumpama : Pertambatan keadaan dingin dengan ketiadaan kain baju adanya.
4. Pertambatan ketiadaan suatu barang dengan keadaan suatu barang lainnya, seumpama :Ketiadaan hangus dengan keadaan tiada air menyiram jua adanya.
Bermula, jika telah diketahui akan artinya wajib syar’iy dan wajib ‘aqliy, bahwa keduanya berlainan ma’na. Maka apabila dikata wajib atas tiap-tiap mukalaf, maka maksudnya itulah wajib syar’iy. Dan jika wajib bagi Allah Ta’ala atau bagi Rasul, maka maksudnya ialah wajib ‘aqliy dan demikianlah pula jika dikata Jaiz bagi Allah Ta’ala atau harus harus bagi Allah Ta’ala maka maksudnya ialah jaiz ‘aqliy dan jika jaiz bagi mukalaf membuat masyalah, maka maksudnya yaitulah jaiz syar’iy jua adanya.
Bermula yang wajib bagi Allah Jalla wa ‘azza dengan tafshil inilah {dua puluh shifat} yang telah berdiri dalil ‘aqliy dan dalil naqliy atasnya. Dan tersebut dibawah tiap-tiap satu shifat dengan maknanya beserta dalilnya, beserta lagi tersebut kepatutan, kelakuan orang mukmin yang me’itiqad pada Allah bershifat dengan shifat-shifat itu. Maka itulah kelakuan mukmin yang sempurna imannya.
Adapun lain-lain shifat Allah Jalla wa’azza yang tiada ada hingganya banyaknya. Maka wajib atas tiap-tiap mukalaf mengetahuinya {ajmal} saja didalam perkataan muttashifu kamalin yaitu bershifat Allah Ta’ala dengan tiap-tiap shifat kesempurnaan. Adapun yang mustahil pada Allah Jalla wa’azza dengan tafshil, maka adalah itu {dua puluh} perkara yaitu lawannya {dua puluh shifat} yang wajib satu persatu disebut sesudahnya shifat itu. Adapun yang mustahil pada Allah Jalla wa’azza dengan {ajmal} yaitu ada didalam perkataan :
“Munazzahu ‘an-kulli naqshin wamaa khathara bil-bali.’’
“Maha suci Allah dari pada tiap-tiap shifat kekurangan dan Maha suci dari barang yang tercita-cita didalam hati.’’

Perbaikan Jiwa dan Budi. Akhlak dalam Kesabaran.


Salah satu dari pada sifat-sIfat yang sangat dianjurkan para mutashawwifin itu mitsalnya ialah sabar. Imam Al Ghazali menerangkan bahwa sabar itu adalah bawaan daripada sesuatu pengertian yang yaqin. Dan membedakan beberapa nama yang diberikan kepada sabar. Maka ma’na {nama} dari sabar terbagi beberapa bagian :

  · Pertama : Sabar ‘Iffah. yaitu : Jika itu ditujukan untukmenahan nafsu perut dan nafsu keinginan bersetubuh .

· Kedua : Sabar Dhabtun nafs. Yaitu : Jika ditujukan untuk menahan keserakahan kaya
· Ketiga : Sabar Syaja’ah Yaitu: Jika ditujukan dalam peperangan untuk mencari kemenangan
· Keempat: Sabar Hilm. Yaitu : Jika ditujukan untuk menahan amarah dan kesal.
· Kelima : Sabar Si’atus sadar. Yaitu: Jika ditujukan kepada sesuatu penghinaan atau kecaman
· Keenam : Sabar Kitmanus sir. Yaitu: Jika ditujukan kepada merahasiakan sesuatu hal
· Ketujuh: Sabar Zuhud. Yaitu: Jika ditujukan untuk meninggikan kehidupan
· Kedelapan: Sabar Qina’ah. Yaitu: Jika ditujukan kepada menerima taqdir sebagaimana yang ada.

Ketha’atan menghendaki sabar, karena manusia yang tersendiri menghendaki lebih banyak pengawasan atas dirinya dalam mengerjakan ibadaht. Maka sabar tentang ketha’atan itu mempunyai (3) tiga keadaan :

· Pertama : Sabar sebelum tha’at, seperti mengukuhkan niat dan ikhlash
menahan diri daripada semua gerak-gerik yang dapat membawa
kepadanya, membulatkan tekad dan tujuan.

· Kedua : Sabar pada waktu mengerjakan suatu amal, dilakukan dengan
penuh kesungguhan sampai selesai.

· Ketiga : Sabar sesudah selesai mengerjakan amal itu, di antara lain tidak
merasa bangga dan menampak-nampakkan kepada orang, sehingga
orang lain melihatnya dengan penuh keheranan.

Sabar itu dikerjakan demikian rupa sehingga menjadi hal lazim di dalam keseharian. Terutama dalam menghadapi sesuatu kejahatan yang ringan dan mudah dikerjakan, sabar itu menjadi lebih berat shifatnya, seperti sabar tentang dosa-dosa yang dapat dengan mudah dilancarkan lidah, seperti mengupat, berdusta, bertengkar (saling bantah-membantah), memuji-muji diri sendiri dan megemukakan jasa-jasa yang dikerjakan, baik untuk berbangga atau untuk mengadakan sesuatu perbandingan dengan orang lain, berkelekar, yang dapat menjadikan penyakit untuk hati.


Sabar itu dapat dihasilkan hanya dengan menekan hawa nafsu dan membangkitkan kesungguhan kepada Agama. Melemhkan hawa nafsu itu dikerjakan dengan mengurangi keperluan kebendaannya, menghilangkan sebab-sebabnya, dan mengekang diri apa yang diingini. Kesungguhan pada Agama dapat dibangkitkan dengan memperbanyak ibadaht, dengan berfikir dan merenungkan critera-ceritera mengenai sabar dan akibat-akibatnya.

Di dalam Al Qur’an banyak sekali terdapat ayat-ayat tentang sabar yang ditujukan sebagai nasehat dalam bermacam-macam keadaan. Di antara lain Allah Ta’ala berfirman : “Wahai sekalian orang beriman, perbesar sabar dan nasehat-nasehatilah antaramu dengan sabar”. Katanya pula : “Kami coba dirimu dengan mendatangkan ketakutan, kelaparan kekurangan harta benda, kematian, dan kekurangan buah-buahan, tetapi akan Kami gembirakan kemudian orang-orang yang sabar!” Katanya lagi : “Minta tolonglah kamu dengan sabar dan dengan sembahyang, karena Tuhan itu selalu ada dekat mereka yang sabar”.

Ibn Mas’ud menceritakan, bahwa sesudah peperangan Hanaian Rasulullah s.a.w. membagi-bagikan harta rampasan, di antaranya kepada Ibn Akra’ habis seratus ekor unta, begitu juga kepada Uyaynah seratus ekor unta, sebagaimana kepada orang-orang bangsawan Arab. Pembagian yang mewah ini menimbulkan iri hati orang-orang Anshar, yang lalu mengeritik perbuatan Nabi s.a.w. yang dikatakan tidak adil.


Tatkala kecaman ini disampaikan oleh Ibn Mas’uud kepada Nabi s.a.w. berubahlah matanya seketika menjadi marah, seraya katanya: 
“Jikalau aku dikatakan tidak adil, maka siapa lagi yang dinamakan adil itu.


Mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada Nabi Musa a.s, yang menderita lebih banyak dari pada pengikut-pengikutnya yang bodoh dan dungu, sedang ia terus-menerus sabar “. Begitu juga Nabi s.a.w. pernah mengatakan bahwa : Besar sesuatu ganjaran Tuhan bergantung kepada besarnya bala yang diturunkan kepada seseorang, karena jika Tuhan mencintai sesorang akan menurunkan ujian kepadanya, jika orang itu ikhlash menderita, maka Allah Ta’ala pun ikhlash padanya.



Dan bagi orang-orang mutashawwifin diwajibkan mitsalnya benar, jujur dan terusterang dalam pemikiran, perkataan dan perbuatannya. Keadaan itu dalam istilah mutashawwifin disebut “sadaq”, dan orang yang bershifat demikian bernama “siddiq”. Karena Islam mewajibkan dan tidak memperbolehkan ummatnya untuk berdusta, tidak jujur, atau tidak benar dalam perkataan dan perbuatannya. Dan jika di lihat perbaikan akhlak secara keshufian itu, sebagai contoh suatu cara yang umum, yang dinamakan takhali, tahalli dan tajalli.


Dengan riyadhah, kepada ma’rifahtullah. Dari muslim kepada mu’min, kepada shiddiqin, shalihin, mutahaqqiqin.

Senin, 28 Mei 2012

Maqom Nabi SAW di Hadirat Ilahi


A’udhu bil Lahi minash Shaytanir rajim
Bismillahir Rahman ir Rahim

Kita perlu belajar begitu banyak. Tetapi yang paling penting adalah bahwa kalian harus belajar, kalian harus berusaha untuk mengetahui sumber kekuatan bagi jiwa kita. Untuk mengetahui di mana sumber kekuatan itu. Bukan berarti kalian hidup sebagai binatang, tetapi kalian tidak akan berurusan sebagai binatang nanti di Hari Kebangkitan. Binatang, mereka boleh makan, tidak ada kewajiban bagi mereka. Tetapi kalian, jika kalian tidak memperhatikan apa yang kalian makan dan minum, kalian akan ditanya di Hari Kebangkitan, mengapa kalian tidak meminta sumber kekuatan yang dapat membuat kalian lebih dekat dengan Hadirat Ilahiah-Ku?

Dan setiap orang harus berhati-hati untuk menemukan jalan mereka agar lebih dekat dengan Hadirat Ilahi. Hadirat Ilahi—jangan pikir itu hanya satu level.

Hadirat Ilahi bagi para anbiya hanya dapat diraih oleh anbiya. Dan Hadirat Ilahi bagi awliya, mereka juga mempunyai level yang lain di mana orang lain tidak dapat meraihnya, tidak dapat mendekatinya. Karena Cahaya-Cahaya Ilahi pada level itu akan membakar mereka. Mereka tidak akan sanggup. Dan level para awliya, orang-orang suci, menurut maqam-maqam mereka, mereka juga akan berbeda satu sama lain. Hadirat Ilahi bagi setiap orang tidak sama, tidak.

Sayyidina Rasulullah saw—Sultanul ‘Arafin Abayazid, minta untuk dapat mendekati samudra makrifat Nabi saw. Ia minta agar bisa mendekat, sampai pada maqam Nabi saw, dan berusaha untuk mencapainya. Tetapi, haatif Rabbani—suara Surgawi—pengumuman surgawi muncul dan mengatakan, “Wahai Abayazid, waspadalah! Antara kau dengan Nabi Penutup saw terdapat 10.000 samudra cahaya.” 10.000 samudra cahaya. Tetapi tetap saja ia berkata, “Walaupun yang pertama, aku harus berusaha untuk meraihnya.” Dan ia meminta agar bisa bergerak. Dan pengumuman yang lain datang dari langit, “Wahai Abayazid, waspadalah! Jika kau meletakkan kakimu satu langkah di depanmu menuju samudra cahaya yang pertama, kau akan terbakar, kau akan musnah dari eksistensimu, tak ada lagi kesempatan bagimu untuk kembali ke eksistensimu ketika kesempatan lain… tak ada kesempatan bagimu. Kau tamat. Tak ada lagi kesempatan untukmu. Cahaya itu bisa membakarmu, dan tak ada kesempatan bagimu untuk tiba di maqam yang kau tempati sekarang ini. Kau tamat, musnah dari eksistensimu. Waspadalah!”

Di mana hadirat Nabi saw? Di mana beliau hadir? Hadirat Ilahi, bagaimana menurut kalian?

Oleh sebab itu jangan berpikir bahwa, ketika kalian mengatakan, “Kami berusaha untuk meraih maqam-maqam surgawi,” bahwa kalian berusaha untuk mencapai maqam kami di Hadirat Ilahi. Kalian tidak akan pernah tahu di mana kalian hadir—di mana maqam kalian di Hadirat Ilahi. Allahu Akbar. Allahu Akbar. Oleh sebab itu, ketika seorang hamba, ia berusaha untuk membuat jalannya—kami menyebutnya “suluk,” untuk menemukan jalannya menuju Hadirat Ilahi, itu hanya untuknya saja. Kalian tidak dapat menemukan dua orang pada level yang sama. Masing-masing mempunyai level yang berbeda di Hadirat Ilahi, atau maqam yang berbeda di Hadirat Ilahi.

Dan kita harus berusaha untuk mencapai maqam-maqam kita di Hadirat Ilahi, dalam semua ibadah dan salat hanya untuk diri kita, untuk membuat diri kita lebih dekat dengan maqam kita di Hadirat Ilahi. Itu bukanlah untuk Allah, apa yang kita lakukan, bukanlah untuk-Nya. Itu hanya untuk diri kita sendiri, agar diri kita lebih dekat, lebih dekat lagi. Jika kita kehilangan kekuatan yang sangat besar, himmat, kuda yang besar. Kalian dapat melakukannya untuk diri kalian sendiri untuk mencapainya, atau mendekati maqam kalian di Hadirat Ilahi.

Itu artinya apa yang kita lakukan sekarang di sini, jika kalian hidup semilyar tahun, kita dapat mencapainya. Tidak cukup untuk membuat diri kita berusia jutaan tahun, beribadah untuk mendekati maqam surgawi kita di Hadirat Ilahi. Tetapi yuhayyit—mempersiapkan diri kita untuk mencapai maqam-maqam kita. Dan jika Allah swt rida dengan perbuatan kalian dan ibadah kalian, Dia akan menganugerahkan kepada kalian sebagaimana Dia berfirman, “Jika hamba-Ku mendekati-Ku satu kaki, Aku akan datang kepadanya 10.” Ketika kalian akan meraih maqam kalian di Hadirat Ilahi, membuat kalian mencapai 10. 10 kekuatan yang lebih banyak diberikan kepada kalian, setiap kalian melangkah satu kaki, Dia memberi kalian 10. dan kemudian yang 10 itu akan menjadi 100. 100 akan menjadi 1.000. 1.000 akan menjadi 10.000. 10.000 akan menjadi 100.000. Jadi, apa yang kita lakukan bukanlah apa-apa. Tak ada nilainya, tak ada suatu kekuatan. Tetapi itu adalah karena Allah melihat niat kalian. Sesuai dengan niat kalian, Dia membuka jalan bagi kalian untuk naik. Oleh sebab itu, niat adalah faktor yang paling penting dalam setiap ibadah dalam Islam. Karena itu membuat kalian lebih dekat dengan Hadirat Ilahi, untuk meraih maqam kalian pada level Hadirat Ilahi milik kalian.

PESAN-PESAN ROSULULLOH

Rasulullah saw. bersabda:
Orang yang memandang rendah lima manusia ia merugi akan lirna hal
memandang rendah Ulama, rugi tentang agama memandang rendah Penguasa, rugi tentang dunia
memandang rendah Tetangga, rugi akan bantuannya
memandang rendah Saudara, rugi akan darmanya
dan memandang rendah Keluarga, rugi akan harmonisnya
Rasulullah saw. bersabda:
Akan datang suatu masa
dimana ummatku mencinta lima
hingga mereka lupakan lima
cinta dunia, lupa alam baka
cinta tanah subur, lupa alam kubur
cinta harta benda, lupa hisab amalnya
cinta anak istri, lupa bidadari
dan cinta diri sendiri, lupa pada Ilahi
Rasulullah saw. bersabda:
Allah berikan lima upaya
dan disediakan-Nya imbalan lima
Allah ajari insan bersyukur
dan Dia berikan tambahan makmur
Allah ajari insan berdoa
dan Dia jamin akan ijabahnya
Allah ajari insan bertobat
dan Dia jamin diterma tobatnya
Allah ajari insan istighfar
dan Dia sediakan pengampunannya
Allah ajari insan berderma
dan Dia bersedia membalas dermanya

Rasulullah saw. bersabda:

Di balik limpahan harta,
tersimpan lima tipu daya
Pertama, kesulitan menyatukannya
Kedua, sibuk berdoa
demi keselamatannya
Ketiga, khawatir ada perampok akan menjarahnya
Keempat, memungkinkan predikat bakhil pada empunya
Kelima, menjauhkan diri
dari keakraban bersama

Dan dibalik derma, tersimpan lima rahasia
Membawa empunya pada ketenangan jiwa
Tak perlu berdoa untuk keselamatannya
Aman dari perampok yang mengintainya
Menyandang predikat insan penderma
Dan merasa tentram bersama sesama insan

Rasulullah saw. bersabda:

Mengunjungi saudara, berarti menjaga rahasia
Berderma pada sesama, berarti melindungi harta benda
Berhati tulus, berarti menjaga amal mulia
Berjiwa jujur, berarti menjaga alur kata-kata
Dan bermusyawarah, berarti mengasah logika

Rasulullah saw. bersabda:

Akan datang suatu masa atas ummatku
mereka cinta dunia lupa alam baka
cinta kehidupan lupa kematian
cinta istana lupa surga
cinta harta benda lupa hisab amalnya
dan cinta alam semesta lupa Penciptanya

Pohon Mari’fat (pengertian):

Metafora Ma’rifat itu seperti pohon yang memiliki enam cabang. Akarnya kokoh di bumi yaqin dan pembenaran, dan cabang-cabangnya tegak dengan iman dan tauhid.

 Cabang pertama, Khauf (rasa takut) dan Raja’ (harapan pada anugerah-rahmatNya) yang disertai dengan cabang perenungan...

Cabang kedua, berlaku benar dan serasi dengan kehendak Allah, yang disertai dengan cabang Ikhlas.
Cabang ketiga, Khasyyah (takut penuh cinta) dan menangis, yang disertai dengan cabang Taqwa.
Cabang keempat, Qana’ah (menerima pemberian Allah) dan ridlo, yang disertai cabang Tawakkal.
Cabang kelima, Pengagungan dan rasa malu yang disertai dengan cabang ketentraman.
Cabang keenam, Istiqomah dan berselaras dengan Allah yang disertai dengan cabang cinta dan kasih.

 Setiap cabang dari masing-masing akan bercabang pula sampai tiada hingga dalam jumlah kebajikan, dalam tindakan benar dan perbuatan, kemesraan berdekat –dekat dengan Allah, kesunyian Qurbah (dekat denganNYA), kebeningan waktu dan segala sepadan yang tak bisa disifati oleh siapa pun jua.

Di setiap cabang yang ada akan berbuah berbagai-bagai, yang satu sama lainnya tidak sama, rasanya, yang di bawahnya ada cahaya-cahaya taufiqNya, yang mengalir dari sumber anugerah dan pertolonganNya. Dalam hal ini manusia berpaut-paut dalam derajat dan berbeda-beda dalam kondisi ruhani.
Diantara mereka :

1- Ada yang mengambil cabangnya saja, tapi alpa dari akarnya, tertutup dari pohonnya dan tertirai dari rasa manis buahnya. 
2-Ada yang hanya berpegang teguh pada cabangnya belaka. 
3-Ada yang pula yang berpegang pada akar aslinya, dan meraih semuanya (pohon, cabang dan buah) tanpa sedikit pun menoleh pada semuanya, tetapi hanya memandang yang memilikinya, Sang Penciptanya. 
Siapa yang tak memiliki cahaya dalam lampu pertolongan Ilahi, walaupun telah mengumpulkan, mengkaji semua kitab dan hadits, kisah-kisah, maka tidak akan bertambah kecuali malah jauh dan lari dari Allah, sebagaimana keledai yang memikul buku-buku.

Ada seseorang yang datang kepada Imam Ali Karromallahu Wajhah:
“Ajari aku tentang ilmu-ilmu rahasia…”pintanya.
“Apa yang kau perbuat perihal ilmu utama?” kata Sayyidina Ali.
“Apakah pangkal utama ilmu?” orang itu balik bertanya.
“Apakah kamu mengenal Tuhanmu?” Tanya beliau.
“Ya..” jawabnya.
“Apa yang sudah kau lakukan dalam menjalankan kewajibanNya?”
“Masya Allah…” jawab orang itu.
“Berangkatlah dan teguhkan dengan itu (hak dan kewajiban), jika kamu sudah kokoh benar, kamu baru datang kemari, kamu akan saya ajari ilmu-ilmu rahasia…” Jawab beliau.

Ada yang mengatakan, “Perbedaan antara ilmu ma’rifat dan ilmu lainnya adalah seperti perbedaan antara hidup dan mati.

Semoga Allah mengampuni kita. Amin.

Minggu, 27 Mei 2012

SUSAHNYA MENGAMALKAN AMALAN BATIN

MENGAMALKAN syariat lahir adalah hal yang sulit. Buktinya lihat saja umat Islam hari ini tidak sedikit yang tidak shalat, tidak puasa, tidak membayar zakat, tidak dapat membaca Al Quran, tidak belajar agama, tidak menutup aurat, melakukan pergaulan bebas, ikut sistem riba, berzina, minum minuman keras, menipu, mengadu domba, fitnah-memfitnah dan macam-macam perbuatan yang semuanya sangat bertentangan dengan syariat.

Umat Islam hari ini, yang bangga dengan keIslaman mereka adalah umat Islam yang gagal menegakkan syiar Islam dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat mereka. Bukannya mereka tidak tahu apa itu syariat Islam yang diperintahkan pada mereka, tetapi mereka tidak mampu melaksanakannya. Mereka lemah untuk melawan tuntutan hawa nafsu dan syaitan yang kuat menarik kepada jalan-jalan kejahatan dan kerusakan.

Begitulah susahnya untuk mengamalkan syariat Islam dan itu menjadi masalah besar yang dihadapi oleh mayoritas umat Islam hari ini.
Namun, mengamalkan syariat batin jauh lebih susah daripada syariat lahir. Sebab amalan batin merupakan ilmu rasa (zauk) dan bukan ilmu kata, bukan sebutan dan teori tetapi merupakan rasa hati. Bukan saja orang yang lemah syariatnya tidak dapat melaksanakan syariat batin bahkan orang yang syariat lahirnya sudah kuat dan bagus masih belum dapat merasakan dan menghayatinya.

Buktinya dapat kita rasakan sendiri. Meskipun sedikit banyak kita sudah melakukan syariat lahir seperti shalat fardhu, shalat sunat, puasa, zakat, haji, berjuang dan berjihad, belajar ilmu-ilmu agama bahkan mengajar orang lain menutup aurat, berdakwah dan lain-lain, tetapi kita masih lalai dari mengingat Allah dan tidak cinta pada-Nya, tidak ada rasa takut dengan kehebatan Allah serta hina diri dengan Allah.


Tidak sabar berhadapan dengan ujian, tidak merasakan kuasa itu di tangan Allah, tidak merasa diri berdosa. Masih suka mengumpat, hasad dengki, cinta dunia, tidak ada rasa belas kasihan, tidak berlapang dada bila berhadapan dengan manusia yang beraneka ragam, sombong, pemarah, pendendam, jahat sangka, serakah, keras kepala, keluh kesah, putus asa, tidak redha dengan takdir, tidak bimbang dengan hari hisab, tidak takut Neraka, tidak rasa rindu dengan Syurga yang penuh kenikmatan.

Kita menganggap kehebatan kita yang membuat diri kita mencapai kejayaan. Kita tidak merasakan bahwa kapan saja Allah bisa datangkan bencana dan mematikan kita.


Karena merasa hebat maka kita membuat hutang, gila pangkat, membuat macam-macam rencana, tidak merasa kelemahan diri, tidak senang dengan kata nista orang, tidak senang dengan kelebihan orang yang menandingi kita, rasa menderita dengan kemiskinan, masih benci dengan orang yang tidak beramal (bukan rasa kasihan), masih merasa lebih bila berhadapan dengan orang yang tidak beramal, masih rasa terhina untuk menerima kebenaran dari orang lain, masih berat untuk mengakui kesalahan walaupun sadar kita sudah bersalah.

Jiwa merasa menderita bila dicaci, merasa tenang dan senang hati bila disanjung, merasa bangga bila mendapat nikmat, merasa mau hidup lebih lama lagi dan merasa menderita bila miskin dan papa.


Merasa bangga dengan kelebihan diri, merasa terhina dengan kekurangan, tidak pernah puas (cukup) dengan apa yang ada, tidak merasa berdosa (bersalah), tidak merasa dunia kecil dan hina, tidak merasa akhirat besar, tidak menderita bila berbuat dosa atau kesalahan tetapi menderita bila harta dan jabatannya hilang.

Mereka yang bagus dan kuat syariat lahirnya pun masih belum dapat melaksanakan amalan batin (syariat batin) secara istiqamah dan sungguh-sungguh, apalagi yang amalan lahirnya diabaikan sama sekali. Lebih susah bagi mereka mendapatkan amalan batin.

Kalau diumpamakan syariat itu pohon, maka amalan batin adalah buahnya. Orang yang sudah memiliki pohon pun belum tentu memperoleh buahnya (dan kalaupun dapat buah belum tentu enak rasa buahnya), apalagi orang yang tidak menanam pohon sama sekali.

Begitulah perbandingannya orang yang tidak bersyariat. Susah sekali baginya untuk merasakan hakikat. Kalau secara lahir dia tidak dapat tunduk pada Allah, tentu batinnya lebih susah untuk diserahkan pada Allah.


Di antara tanda susahnya mendapat hakikat (amalan batin) ialah:
Ketika kita shalat, secara lahir kita berdiri, rukuk dan sujud dengan mulut memuji dan berdoa pada Allah, tetapi kemanakah hati kita (ingatan dan fikiran)?


Apakah juga menghadap Allah, khusyuk dan tawadhuk serta rasa rendah dan hina diri dengan penuh pengabdian dan harapan serta malu dan takut kepada Allah SWT? Ataukah hati terbang menerawang ke mana-mana, tidak menghiraukan Allah Yang Maha Perkasa yang sedang disembah?

Begitu juga ketika sedang membaca Al Quran, bertahlil, zikir dan wirid, berselawat dan bertakbir, bertasbih dan bertahmid. Adakah ruh kita turut menghayatinya? Atau waktu itu ruh sedang merasakan satu perasaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan amalan lahir yang sedang dilakukan?

Pernahkah kita merasa indah bila sendirian di tempat sunyi karena mengingat Allah dan menumpukan perhatian sepenuhnya pada-Nya, merasa rendah dan hina diri, menyesali dosa dan kelalaian, mengingati-Nya sambil berniat dengan sungguh-sungguh untuk memperbanyak amal bakti pada-Nya?
Kalau ada orang Islam yang sakit menderita atau miskin, adakah hati kita merasa belas kasihan untuk membantu atau menolong mendoakan dari jauh agar dia selamat?

Pernahkah pula kita menghitung dosa-dosa lahir dan batin sambil menangis karena istighfar kita terlalu sedikit dibandingkan dengan dosa kita yang menyebabkan kita nanti jadi bahan bakar api neraka?
Selalukah hati kita senantiasa ingat pada mati yang bisa saja mendatangi kita sebentar lagi, karena memang Tuhan dapat berbuat begitu. Kalau pun kita belum dimatikan, artinya Tuhan menginginkan kita mencoba lagi untuk mencari jalan mendekatkan diri pada-Nya?

Pernahkah kita menghitung berapa banyak harta kita, uang kita, rumah kita, kendaraan kita, perabotan kita, pakaian kita, sepatu kita, makanan kita dan simpanan kita yang lebih dari keperluan kita walaupun diperoleh dengan cara yang halal? Semua itu akan diperkirakan, dihisab dan ditanya, dicerca dan dihina oleh Allah di padang mahsyar nanti karena kita membesarkan dunia dan mengecilkan akhirat.

Pernahkah kita renungkan orang-orang yang pernah kita perlakukan secara kasar, kita umpat, kita tipu, kita fitnah, kita hina dan kita aniaya. Baik mereka itu adalah suami kita, isteri kita, ibu bapak kita, kaum kerabat kita, sahabat kita, tetangga kita atau siapa saja. Sudahkah kita meminta maaf dan membersihkan dosa dengan manusia di dunia tanpa menunggu tibanya hari yang dahsyat (hari kiamat)?

Apabila Allah memberikan rasa sakit pada kita atau pada orang lain yang kita kasihi (apa pun jenis penyakit itu), dapatkah kita tenangkan hati dengan rasa kesabaran dan kesadaran bahwa sakit adalah kifarah (pengampunan) dosa atau sebagai peningkatan derajat dan pangkat di sisi Allah SWT?
Ketika menerima takdir atau rezeki yang tidak sesuai dengan kehendak kita, dapatkah kita merasa redha, karena itulah satu pemberian Allah yang sesuai untuk kita.

Di saat sesuatu yang kita inginkan dan cita-citakan tidak kita peroleh, dapatkah kita tenangkan perasaan kita dengan rasa insaf akan kelemahan dan kekurangan diri sebagai hamba Allah yang hina dina, yang menggantungkan hidup mati dan rezeki sepenuhnya pada Allah?

Di waktu mendapat nikmat, terasakah di hati bahwa itu adalah sebagai pemberian Allah lalu timbul rasa terima kasih (syukur) pada Allah dan rasa takut kalau-kalau nikmat itu tidak dapat digunakan karena Allah dan berniat sungguh-sungguh untuk menggunakan nikmat itu hanya untuk Allah?

Kalau kita miskin dapatkah kita merasa bahagia dengan kemiskinan itu dan merasa lega karena tidak perlu lagi mengurus nikmat Allah? Adakah kita merasa bahwa kemiskinan itu menyebabkan kita tidak perlu lagi mengadu dan meminta pada manusia kecuali pada Allah?

Kalau ada orang mencerca kita bisakah hati kita merasa senang dan tenang lalu kita bersikap diam tanpa sakit, susah hati dan dendam. Bahkan kita memaafkan orang itu sambil mendoakan kebaikan untuknya sebab kita merasa bahwa ia telah memberi pahala pada kita melalui cercaannya itu?
Imam As Syafie berpuisi:

"Apabila seorang yang jahat mencerca aku, bertambah tinggilah kehormatanku. Tidak ada yang lebih hina kecuali kalau aku yang mencercanya."

15. Begitu juga kalau orang menipu, menganiaya dan mencuri harta kita, mampukah kita relakan saja atas dasar kita ingin mendapat pahala karena menanggung kerugian itu?

16. Di waktu kita merasa bersalah dengan seseorang, apakah datang rasa takut akan kemurkaan Allah pada kita dan sanggupkah kita minta maaf sambil mengakui kesalahan kita?

17. Setelah kita melakukan usaha dan ikhtiar dengan kerja-kerja kita, apakah kita dapat melupakan usaha kita itu dan menyerahkannya kepada Allah? Ataukah kita merasa besar dan terikat dengan usaha itu hingga kita merasa senang dan tenang dengan usaha itu?

 18. Kalau orang lain mendapat kesenangan dan kejayaan dapatkah kita merasa gembira, turut bersyukur dan mengharapkan kekalnya nikmat itu bersamanya tanpa hasud dengki dan sakit hati? 

19. Setiap kali orang bersalah, lahirkah rasa kasihan kita padanya, di samping ingin membetulkannya tanpa menghina dan mengumpatnya?

20. Kalau ada orang memuji kita, adakah kita merasa susah hati sebab pujian itu dapat merusakkan amalan kita? Dapatkah kita bendung hati dari rasa bangga dan sombong, kemudian mengembalikan pujian pada Allah yang patut menerima pujian dan yang mengaruniakan kemuliaan itu?

21. Bisakah kita menunjukkan rasa kasih sayang dan ramah tamah dengan semua orang sekalipun kepada orang bawahan kita?

22. Selamatkah kita dari jahat (buruk) sangka dan prasangka pada orang lain?

 23. Kalau kita diturunkan dari jabatan atau kekayaan kita hilang, selamatkah kita dari rasa kecewa dan putus asa karena merasakan pemberian jabatan dan penurunannya adalah ketentuan Allah? Sebab itu kita merasa ridha.

24. Sanggupkah kita bertenggang rasa dengan orang lain di waktu orang itu juga memerlukan apa yang kita perlukan?

25. Apakah kita senantiasa puas dan cukup dengan apa yang ada tanpa mengharapkan apa yang tidak ada?
Susah untuk memberi jawaban pada semua persoalan-persoalan yang telah diajukan di atas karena memang susah untuk melakukan amalan-amalan batin, teramat sulit dan rumit. Itulah sebabnya banyak orang yang tidak melihat dan tidak memperdulikannya.

Namun, bagi mereka yang betul-betul mau mendekatkan diri pada Allah, di situlah titik tumpuan perhatian dan minatnya. Dia akan berusaha tanpa jemu untuk melakukan amalan-amalan batin dan menyuburkannya sepanjang masa dengan cara melawan hawa nafsu (mujahadatunnafsi). Dia akan mendidik hatinya itu supaya biasa dan suka dengan amalan batin. Bahkan dia sanggup berkorban (mujahadah) untuk itu.
Para ulama berkata:

Perjuangan itu 10 bagian. Satu bagian ialah perjuangan menentang musuh-musuh lahir (orang kafir, munafik, Yahudi dan Nasrani), di waktu-waktu yang tertentu saja (bukan sepanjang masa). Manakala sebagian lagi ialah perjuangan menentang musuh batin (nafsu dan syaitan) yang tiada hentinya yakni sepanjang masa."
Melaksanakan amalan batin memang susah dibandingkan dengan amalan lahir. Tetapi amalan batin itu lebih penting kedudukannya dari amalan yang lain.

Sabda Rasulullah SAW :
Terjemahannya : Bahwasanya Allah tidak memandang akan rupa dan harta kamu, tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu. (Riwayat Muslim)

Dan Allah berfirman :

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

"Bagi manusia ada malaikat-malaikat, yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." – (QS.13:11)
 
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada kaum itu, hinggalah mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka (hati mereka). 

Kalau hati kita jahat, Allah tidak akan membantu kita dalam berbagai hal. Kalau hati kita rusak Allah sama sekali tidak akan memandang kita. Begitulah keutamaan amalan batin. Tiap umat Islam wajib melakukannya. Kalau kita lalai artinya sepanjang hidup kita berada dalam dosa. Dosa batin yang tidak kita sadari.
Marilah kita bersihkan dosa lahir dan dosa batin kita. Mari kita bermujahadah untuk itu. Moga-moga Allah SWT merestui kita :


وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ


 Dan mereka yang bermujahadah dalam jalan Kami, Nisaya Kami tunjukan jalan-jalan Kami itu. Sesungguhnya Allah berserta dengan orang yang berbuat baik. (Al Ankabut: 69).

KENALILAH DIRIMU ...

Kenali Diri
 
ISLAM yang telah Allah redhakan untuk menjadi agama kita, dan disampaikan melalui utusan-Nya Nabi Muhammad SAW merupakan satu syariat yang mencakup persoalan hidup lahir dan batin. Syariat lahir disebut syariat. Syariat batin disebut hakikat. Hal itu sangat sesuai dengan struktur kejadian manusia itu sendiri yang merupakan kombinasi antara jasad lahir dan jasad batin.

Jasad lahir adalah semua anggota tubuh kita yang nampak dengan mata. Sedangkan jasad batin adalah jasad gaib yang menggerakkan seluruh anggota lahir. Jasad batin dapat merasa, mengingat, memikirkan, mengetahui, memahami segala sesuatu yang terjadi di dalam diri kita masing-masing. Allah SWT menetapkan bahwa syariat lahir untuk diamalkan oleh jasad lahir sedangkan syariat batin untuk diamalkan oleh jasad batin yaitu ruh.

Sesuai dengan keadaan lahir batin kita yang saling berkaitan erat tanpa terpisah-pisah maka begitu pula amalan lahir dan batin wajib dilaksanakan secara serentak di setiap waktu dan keadaan. Kalau kita membeda-bedakan atau menolak salah satu dari amalan itu, maka kita tidak mungkin menjadi hamba Allah yang sebenarnya sebab Islam memandang syariat itu sebagai kulit, sedangkan hakikat itu adalah intipati.

Kedua-duanya sama-sama penting dan saling memerlukan, ibarat kulit dan isi pada buah-buahan. Keduanya mesti ada untuk kesempurnaan wujud buah itu sendiri. Tanpa kulit, isi tidak selamat malah isi tidak mungkin ada kalau kulit tidak ada. Sebaliknya tanpa isi, kulit jadi tidak berarti apa-apa. Sebab buah yang dimakan adalah isinya bukan kulitnya.

Begitu juga hubungan syariat dan hakikat. Keduanya mesti diterima dan diamalkan serentak. Keduanya saling mengisi dan memerlukan. Kalau kita bersyariat saja (artinya berkulit saja tanpa isi), itu tidak membawa arti apa-apa di sisi Allah.

Sabda Rasulullah SAW:
Terjemahannya : "Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu." (Riwayat : Muslim)

Sebaliknya kalau kita berhakikat saja (isi tanpa kulit), maka tidak ada jaminan keselamatan dari Allah SWT. Hakikat itu akan mudah rusak, dan kita sama sekali tidak akan memperoleh apa-apa, bahkan agama Islam yang kita anut akan rusak tanpa kita sadari.

Berkata Imam Malik Rahimahullahu Taala:

Terjemahannya : "Barangsiapa berfiqih (syariat) dan tidak bertasawuf maka ia jadi fasik. Barangsiapayang bertasawuf (hakikat) tanpa fiqih maka ia adalah kafir zindik."

Artinya kita mesti mengamalkan keduanya sekaligus, yaitu syariat dan hakikat. Kalau kita pilih salah satu, kita tidak akan selamat. Kalau kita bersyariat saja tanpa dilindungi oleh hakikat, kita akan menjadi fasik. Dan kalau kita berhakikat saja tanpa dikawal oleh syariat, maka hakikat itu akan mudah rusak sehingga kita jatuh kafir zindik (kafir tanpa sadar).

Begitulah pentingnya syariat dan hakikat. Tetapi bila kedua-duanya ada, maka hakikatlah yang lebih utama.

Seperti dalam sabda Rasulullah SAW:
Terjemahannya : Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu. (Riwayat : Muslim)

Hadis itu tidak bermaksud bahwa syariat tidak penting. Bahkan syariat juga adalah hukum-hukum fardhu yang wajib diamalkan oleh seluruh umat Islam. Hanya saja dalam keadaan keduanya (syariat dan hakikat) itu sama-sama diamalkan, Allah memberi keutamaan pada amalan hakikat. Perbandingannya seperti antara kulit dan isi buah. Kedua-duanya sama penting, tetapi manusia memberi keutamaan pada isi sebab bisa dimakan.

Begitulah peranan hakikat. Peranannya menentukan berakhlak atau tidaknya seorang manusia kepada Allah dan kepada sesama manusia. Orang yang kuat amalan batinnya atau tinggi pencapaian tasawufnya adalah orang yang hatinya selalu dekat dengan Allah. Ia senantiasa merasakan kebesaran Allah, dibandingkan dirinya yang maha lemah dan senantiasa memerlukan pertolongan Allah. Ia sangat beradab dengan Allah dan dapat mengorbankan dunia untuk Tuhannya. Ia juga mampu mengasihi semua manusia, bersedia susah untuk manusia dan akan menyelamatkan manusia dari tipuan dunia, nafsu dan syaitan.
Sebaliknya orang yang lemah dalam amalan batin adalah orang yang hatinya jauh dan terpisah dari Allah. Ia tidak takut dengan Allah, tidak malu, tidak harap, dan tidak cinta kepada Allah. Ia tidak redha dan tidak sabar, kurang beradab dengan Allah, penuh hasad dengki, sombong, bakhil, dendam dan pemarah. Ia akan menjadi seorang pencinta dunia yang bekerja keras hanya untuk dunianya. Orang seperti itu selalu dibelenggu oleh kecintaan kepada dunia hingga takut berjuang dan berjihad untuk agama Allah serta untuk kehidupan akhirat yang kekal abadi.

Orang yang tidak berhakikat, sekalipun melakukan ibadah shalat, puasa, dan banyak membaca Al Quran serta gigih berjuang adalah orang yang kurang berakhlak dengan Allah dan kurang berakhlak dengan manusia.

Kurangnya amalan batin dapat menyebabkan orang-orang yang tidak berhakikat itu biasanya mati dalam dosa yang tidak sadar. Mungkin dosa karena buruk sangka dengan Allah, putus asa dengan ketentuan Allah, tidak redha dengan takdir Allah atau dosa karena merasa bahwa amalannya lah yang akan menyelamatkan dirinya dari neraka Allah.

Rasa riya', ujub atau merasa diri bersih itu pun adalah dosa batin. Dosa batin, tak seorang pun yang dapat melihatnya, bahkan diri sendiri pun tidak dapat merasakannya. Hanya orang yang mempunyai basirah (pandangan hati yang tembus) saja yang dapat mengetahuinya.

Nanti, bila Allah bukakan segala kesalahan (dosa-dosa batin itu) di akhirat, barulah manusia akan terkejut dan tersentak.

Ulama tasawuf berkata:
"Biarlah sedikit amalan beserta rasa takut pada Allah, karena itu lebih baik daripada banyak amalan tetapi tidak ada rasa takut dengan Allah. Lebih baik orang yang merasa berdosa dan bersalah dengan Allah daripada orang yang banyak amalan tetapi tidak rasa berdosa pada Allah bahkan dia merasa telah cukup dengan amalan itu."

Firman Allah :

يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ

إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

 Hari kiamat ialah hari dimana harta dan anak-anak tidak dapat memberi manfaat, kecuali mereka yang menghadap Allah membawa hati yang selamat sejahtera.(Asy Syuara: 88-89) 

Hati yang selamat sejahtera ialah hati orang bertaqwa yang berisi iman, yakin, ikhlas, redha, sabar, syukur, tawakal, takut, harap dan lain-lain rasa hati dengan Allah SWT. Hati yang senantiasa merasa sehat dalam kesakitan, kaya dalam kemiskinan, ramai dalam kesendirian, lapang dalam kesempitan dan terhibur dalam kesusahan. Ia bersikap redha dengan apa saja pemberian Tuhan-Nya.

Untuk memperoleh hati yang seperti itu, kita mesti bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu untuk melakukan amalan lahir dan batin (syariat dan hakikat). Kedua-duanya akan saling mengawal untuk mengangkat kita ke taraf taqwa.

Syariat dan hakikat akan mendidik dan memimpin kita menjadi seorang insan kamil yang mampu memenuhi keinginan dan keperluan fitrah murni manusia secara suci lagi mulia. Orang seperti itulah yang Allah maksudkan sebagai golongan As Siddiqin atau golongan Al 'Arifin. Sifat mereka Allah uraikan dalam Surah Al Furqaan ayat 63-74:

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا

"Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu, (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati; dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan." – (QS.25:63)

وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا


"Dan orang yang melalui malam hari, dengan bersujud dan berdiri (shalat) untuk Rabb-mereka." – (QS.25:64)

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا

"Dan orang-orang yang berkata: 'Ya Rabb-kami, jauhkan azab Jahanam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal'." – (QS.25:65)

إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا

"Sesungguhnya, Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman." – (QS.25:66)

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir (membelanjakannya), dan adalah (belanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian (secukup keperluannya saja)." – (QS.25:67)


وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا

"Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya), kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya)," – (QS.25:68)

يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا

"(yakni) akan dilipat-gandakan azab untuknya pada hari kiamat, dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina," – (QS.25:69)

إِلا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

"kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka (untuk) mereka itu, kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang." – (QS.25:70)

وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا

"Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah, dengan taubat yang sebenar-benarnya." – (QS.25:71)

وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan diri-nya." – (QS.25:72)

وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا

"Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta." – (QS.25:73)

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

"Dan orang-orang yang berkata: 'Ya Rabb-kami, anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang (anggota keluarga) yang bertaqwa'." – (QS.25:74)

Merekalah orang-orang bertaqwa yang akan memperoleh ketenangan hidup di dunia dan di akhirat. Mereka adalah tempat untuk kita mempelajari dan mencontoh kehidupan yang aman dan bahagia. Suasana seperti itu pernah terjadi, yaitu dalam kehidupan salafussoleh. Mereka telah menjalani suatu kehidupan, di mana mereka menerima dan mengamalkan sepenuhnya kehendak syariat dan hakikat. Hasilnya, mereka (para salafussoleh) menjadi orang-orang yang bahagia dan membahagiakan orang lain.
Sejarah 15 abad yang silam memberitahu kepada kita bahwa 3/4 dunia menjadi tenang, aman dan damai di bawah pemerintahan mereka. Kawan maupun lawan merasa selamat berada di dalam kekuasaan mereka. Demikianlah satu kenyataan yang membuktikan bahwa sekiranya manusia patuh menjalani syariat lahir dan batin, maka selamat dan berbahagialah mereka di dunia dan di akhirat.

Allah berfirman :

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ


  "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal soleh di antara kamu bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dia akan menegakkan bagi mereka agama yang telah diredhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang ingkar sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang fasik." (An Nur : 55) .


AMALAN LAHIR DAN AMALAN BATIN

SYARIAT ialah amalan-amalan lahir yang diperintahkan kepada umat Islam baik wajib maupun sunat. Dan apa saja yang dilarang baik yang haram atau makruh termasuk juga amalan-amalan yang kedudukannya mubah.

Syariat lahir terbagi dua :

1. Hablumminallah
2. Hablumminannas

Hablumminallah ialah amalan-amalan yang termasuk persoalan ibadah. Contohnya solat, puasa, zakat, haji, baca Al Quran, doa, zikir, tahlil, selawat dan lain-lain.

Hablumminannas ialah amalan-amalan lahir kita yang termasuk dalam bidang-bidang muamalat (kerja-kerja yang ada hubungannya dengan masyarakat), munakahat (persoalan kekeluargaan) dan jenayah serta tarbiah Islamiah, soal-soal siasah, fisabilillah, jihad dan persoalan alam beserta isinya.

Sedangkan HAKIKAT ialah amalan batin yang diperintahkan ataupun yang dilarang oleh Allah SWT kepada umat Islam. Amalan yang diperintahkan, dikenal sebagai sifat mahmudah (sifat-sifat terpuji) dan yang dilarang ialah sifat mazmumah (sifat-sifat terkeji).
Hakikat juga terbagi dua :

1. Berakhlak dengan Allah
2. Berakhlak dengan manusia

Bentuk-bentuk akhlak dengan Allah di antaranya ialah :

Mengenal Allah dengan yakin
Merasakan kehebatan Allah
Merasa gentar dengan Neraka Allah
Merasa senantiasa diawasi oleh Allah
Merasa hina diri dan malu dengan Allah
Merasa redha terhadap setiap takdir dan ketentuan Allah SWT
Sabar dengan berbagai ujian Allah
Mensyukuri nikmat-nikmat pemberian Allah
Mencintai Allah
Merasa takut pada Allah atas kelalaian dan dosa-dosa
Tawakal kepada Allah
Merasa harap pada rahmat Allah
Rindu pada Allah
Senantiasa mengingat Allah
Rindu pada syurga Allah karena ingin bertemu dengan-Nya
Bentuk-bentuk akhlak kepada manusia :
Mengasihinya sebagaimana kita mengasihi diri kita sendiri
Merasa gembira di atas kegembiraannya dan turut berdukacita karena kedukacitaannya
Menginginkan kebahagiaan untuknya di samping berharap agar musibah menjauhinya
Benci pada kejahatannya tetapi kasihan pada dirinya hingga timbul perasaan untuk menasehatinya
Pemurah padanya
Bertenggang rasa dengannya
Mengenang jasanya dan berusaha membalasnya karena Allah

Memaafkan kesalahannya dan sanggup meminta maaf atas kesalahan padanya
Kebaikannya disanjung dan diikuti, kejahatannya dinasehati dan dirahasiakan.

Lapang dada berhadapan dengan macam-macam manusia, Bersikap baik sangka kepada sesama orang Islam. Tawadhuk dengan sesama manusia.

Keduanya, syariat dan hakikat adalah perkara yang sangat penting untuk membentuk pribadi yang benar-benar bertakwa dan terlepas dari sifat-sifat munafik.

Kita wajib mengamalkan keduanya secara serentak dan seiring. Namun mesti diakui bahwa tidak mudah bagi kita untuk mengamalkannya.

Allah SWT menjelaskan hal itu dengan firman-Nya dalam surah Al Baqarah :
 
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ

الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

"Mintalah bantuan dalam urusanmu dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu adalah sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa kepada-Nya lah mereka akan kembali." (Al Baqarah : 45)

Allah SWT mengatakan untuk menjadi orang yang sabar itu susah dan untuk menjadi orang-orang yang tetap mengerjakan shalat itu juga susah. Maknanya amalan lahir dan batin itu memang susah untuk diamalkan. Tetapi hal itu menjadi mudah bila kita dapat memiliki sesuatu yang lebih penting dari keduanya yaitu rasa khusyuk dengan Allah (rasa diawasi Allah setiap masa), yakni yakin dengan pertemuan dan pengembalian diri ke hadirat Allah SWT di akhirat nanti.

Dari situ kita akan faham bahwa di antara amalan lahir dan batin, yang mesti diberatkan dan didahulukan pada diri kita ialah amalan batin. Kita berusaha dulu mendapatkan rasa khusyuk atau yakin akan kewujudan Allah serta pertemuan kembali kita dengan-Nya di satu hari nanti, barulah kita akan memiliki kekuatan untuk mengamalkan syariat dan hakikat.

Tanpa rasa khusyuk itu, kita tidak akan dapat mengalahkan hawa nafsu dan syaitan yang senantiasa bersungguh-sungguh mengajak kita mendurhakai Allah.
Itulah panduan kita untuk memperjuangkan Islam dalam diri kita. Yang mesti didahulukan ialah berusaha supaya hati kita berubah, dari hati yang tidak kenal Allah kepada hati yang khusyuk dan cinta kepada Allah. Dari hati yang lalai kepada hati yang senantiasa mengingat Allah.
Bila hati sudah cinta pada Allah, kita akan merasa ringan dalam menerima dan mengamalkan syariat Allah lahir dan batin

Kamis, 24 Mei 2012

APAKAH HANYA DENGAN MENGUCAPKAN LAA ILAAHA ILLALLOH MENJAMIN KITA MASUK SURGA DAN SUDAH ISLAM


Jika dilihat dari judulnya, mungkin banyak di antara kaum muslimin sendiri yang malas untuk membaca tulisan dengan judul ini. Karena menganggap bahwa masalah tauhid ini; anak kecil juga tahu kalau Allah subhanahu wa ta’ala itu Tuhan yang Satu (Esa), Dialah yang menciptakan alam semesta ini beserta segala isinya, jadi buat apa diperpanjang lebar?

Ketahuilah Bahwa Penghuni Surga Itu Sedikit

Yang jadi masalah adalah ketika penghuni surga jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah penghuni neraka sebagai mana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Allah berfirman: “Wahai Adam!” maka ia menjawab: “Labbaik wa sa’daik” kemudian Allah berfirman: “Keluarkanlah dari keturunanmu delegasi neraka!” maka Adam bertanya: “Ya Rabb, apakah itu delegasi neraka?” Allah berfirman: “Dari setiap 1000 orang 999 di neraka dan hanya 1 orang yang masuk surga.” Maka ketika itu para sahabat yang mendengar bergemuruh membicarakan hal tersebut. Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah siapakah di antara kami yang menjadi satu orang tersebut?” Maka beliau bersabda: “Bergembiralah, karena kalian berada di dalam dua umat, tidaklah umat tersebut berbaur dengan umat yang lain melainkan akan memperbanyaknya, yaitu Ya’juj dan Ma’juj. Pada lafaz yang lain: “Dan tidaklah posisi kalian di antara manusia melainkan seperti rambut putih di kulit sapi yang hitam, atau seperti rambut hitam di kulit sapi yang putih.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Padahal kita ketahui bahwa kaum muslimin saat ini adalah hampir separuh penduduk dunia dan terus bertambah, sedangkan kaum kuffar di Eropa jumlahnya kian berkurang karena mereka ‘malas’ untuk menikah dan punya anak. Bahkan di antara negara-negara Eropa yang memberikan tunjangan agar penduduknya mau menikah dan punya anak.

Kabar yang sedikit menggembirakan kita adalah kenyataan bahwa Ya’juj dan Ma’juj yang akan keluar menjelang hari kiamat itu jumlahnya sangat banyak, hingga mampu meminum air danau thobariah hingga kering, sebagaimana dikabarkan dalam hadits yang shahih. Akan tetapi kita tidak mengetahui berapa perbandingan sebenarnya antara orang yang mengaku islam dengan orang-orang kafir. Sedangkan orang yang mengaku Islam dan mengucapkan kalimat syahadat belum tentu masuk surga. Sebab…

Mengucapkan Kalimat Syahadat Bukan Jaminan Masuk Surga

“Wah, ngawur anda !!” (berdasarkan hadits “Siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallah akan masuk surga”). Mungkin itu komentar yang muncul, setelah membaca sub judul di atas. Akan tetapi yang kami maksudkan di sini adalah, bahwa hanya sekedar perkataan tidaklah bermanfaat bagi kita jika kita tidak memahami dan mengamalkan maknanya. Karena kaum munafik juga mengatakan kalimat tersebut, mereka juga sholat, puasa, mengeluarkan zakat, dan pergi haji seperti kaum muslimin yang lainnya. Akan tetapi, mengapa kaum munafik ditempatkan pada jurang neraka yang paling dasar? Allah berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisaa’: 145)

Yang lebih mengherankan, apa yang menyebabkan mereka tidak bisa menjawab 3 pertanyaan yang mudah (siapa Rabbmu? apa agamamu? dan siapa nabimu? di dalam kubur?).

Jawaban mereka adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Hah… hah… aku tidak tahu, aku mendengar orang mengatakan sesuatu, kemudian aku mengatakan hal tersebut.”

Pertanyaannya memang mudah, tetapi menjawabnya sangatlah sulit. Karena hati manusia di akhirat merupakan hasil dari perbuatannya di dunia. Jika di dunia dia meremehkan agamanya, maka dia tidak akan bisa mengatakan bahwa agamanya adalah Islam. Sekarang, jika kaum munafik yang mengucapkan syahadat kemudian mengamalkan sholat, puasa, zakat, dan haji, tidak dianggap telah mengamalkan makna syahadat, maka apa sih makna syahadat yang (harus kita amalkan) sebenarnya?

Makna Kalimat Syahadat “Laa Ilaaha Illallah”

Makna kalimat syahadat tersebut bukanlah pengakuan bahwa Allah adalah pencipta, pemberi rezeki dan pengatur seluruh alam semesta ini. Karena orang Yahudi dan Nasrani juga mengakuinya. Akan tetapi mereka tetap dikatakan kafir. Bahkan kaum musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga meyakini hal tersebut. Sebagaimana difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam banyak ayat di Al Quran, di antaranya adalah:
Katakanlah (wahai Muhammad): “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)

Bahkan kaum musyrikin tersebut mengatakan bahwa penyembahan mereka terhadap berhala-berhala yang merupakan patung orang-orang shalih itu adalah dengan tujuan untuk mendapatkan syafaat mereka dan kedekatan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala (sebagaimana para penyembah kuburan para wali di sebagian negeri kaum muslimin). Hal tersebut dinyatakan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut:

Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3)
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan mudarat dan manfaat bagi mereka, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18)

Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah.” (QS. Yusuf: 106)

Yaitu mengimani, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah pencipta, pemberi rezeki dan pengatur alam semesta, akan tetapi mempersekutukan-Nya dalam peribadatan. Secara ringkas makna syahadat “Laa ilaaha illallah” adalah tidak ada sembahan yang haq (benar) kecuali Allah. Seorang yang bersaksi dengan kalimat tersebut harus meninggalkan pengabdian kepada selain Allah dan hanya beribadah kepada Allah saja secara lahir maupun batin. Sama saja, baik yang dijadikan sembahan selain Allah itu malaikat, nabi, wali, orang-orang shalih, matahari, bulan, bintang, batu, pohon, jin, patung dan gambar-gambar. Jika kita masih merasa tenang dengan menganggap diri kita adalah ahli tauhid serta memandang remeh untuk mendalami dan medakwahkannya maka perhatikanlah beberapa hal berikut:

Tujuan Penciptaan Jin dan Manusia Adalah Untuk Menauhidkan Allah


“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka (hanya) menyembahku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Seseorang tidaklah dianggap telah beribadah kepada Allah jika dia masih berbuat syirik, sebab amalan ibadah dari orang yang mempersekutukan Allah akan dihapuskan dan tidak bermanfaat sedikit pun di sisi Allah.


Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Karena tauhid adalah menunggalkan Allah dalam peribadatan, maka syirik membatalkan tauhid sebagaimana berhadats dapat membatalkan wudhu. Jika sholatnya orang yang berhadats tidaklah sah, dalam arti kata belum dianggap telah melakukan sholat sehingga harus diulangi, maka begitu pun syirik jika mencampuri tauhid, akan merusak tauhid tersebut dan membatalkannya.

Tauhid Merupakan Tujuan Diutusnya Para Rasul

Sebelumnya manusia adalah umat yang satu, berasal dari Nabi Adam ‘alaihissalam. Mereka beriman dan menyembah hanya kepada Allah saja. Kemudian datanglah syaitan menggoda manusia untuk mengada-adakan bid’ah dalam agama mereka. Bid’ah-bid’ah kecil yang semula dianggap remah saat generasi berganti generasi, bid’ahnya pun semakin menjadi. Hingga pada akhirnya menggelincirkan mereka kepada bid’ah yang sangat besar, yaitu kemusyrikan.

Iblis terbilang cukup ‘sabar’ dalam melancarkan aksinya selama sepuluh abad untuk menggelincirkan keturunan Adam ‘alaihissalam kepada kemusyrikan –sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu (lihat “Kisah Para Nabi”, Ibnu Katsir)– Hingga tatkala seluruhnya tenggelam dalam kemusyrikan, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nuh ‘alaihi salam.

Demikianlah, setiap kali kemusyrikan merajalela pada suatu kaum, maka Allah mengutus rasul-Nya untuk mengembalikan mereka kepada tauhid dan menjauhi syirik.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thoghut (sembahan selain Allah).” (QS. An Nahl: 36)

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: bahwa tidak ada sembahan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. Al Anbiya: 25)

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, Allah subhanahu wa ta’ala tidak lagi mengutus rasul. Hal ini bukanlah dalil bahwa kemusyrikan tidak akan pernah terjadi lagi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana dikatakan beberapa orang. Akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala menjamin bahwa akan senantiasa ada segolongan dari umat ini yang berada di atas tauhid dan mendakwahkannya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim.

Tauhid Adalah Kewajiban Pertama Bagi Manusia Dewasa dan Berakal

Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa mendahulukan perintah tauhid dan menjauhi syirik, sebelum memerintahkan yang lainnya dalam setiap firmannya di Al Quran.

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun. Dan berbuat baiklah pada kedua orang tua (ibu & bapak), karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabiil dan hamba sahayamu.” (QS. An Nisa: 36)

Pelanggaran Tauhid Adalah Keharaman Yang Terbesar

“Katakanlah: marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan suatu apapun dengan Dia, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua…” (QS. Al An’am: 151)

Allah mendahulukan penyebutan pengharaman syirik sebelum yang lainnya, karena keharaman syirik adalah yang terbesar.

Tauhid Harus Diajarkan Sejak Dini

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Ibnu Abbas tentang tauhid sejak beliau masih kecil.
“Jika engkau hendak memohon, maka mintalah kepada Allah, jika engkau hendak memohon pertolongan, maka memohonlah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

Tauhid Adalah Materi Dakwah Yang Pertama Kali Harus Di jelaskan pengertiannya

Saat mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka hendaklah dakwah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah syahadat Laa ilaaha illallah (dalam riwayat lain disebutkan: agar mereka menauhidkan Allah).” (HR. Bukhari, Muslim)
buah dari kajian di atas adalah kesadaran 

pada orang “ngaji diri” diawali dengan mengajeni (menghargai) sesama / menghormati sesama kemudian dia diajini (dihargai)dan menjadilah aji soko, soko ajining diri, caranya kebersihan hati, dan cara diatas.
 ==========================================
 yang dimaksud ngaji diri adalah memahami diri pribadi baik secara lahir maupun secara bathin

itu pernyataan sepertinya bukan yang pertama yang harus dilakukan oleh kita kan karena sepengetahuan saya adalah tahu dulu siapa pencipta kita kan? ada yang awal dan ada yang akhir….
 ==========================================
 ma’rifat syareat thoriqot hakekat

mungkin itu yang saya maksud…
 adakah secara lahiriah tahapan yang lebih mendetail step demi step untuk sampai ngaji diri…kemudian ngaji lalaku dan lainnya?
 ==========================================
 untuk bisa ngaji diri sebenarnya susah susah gampang karena apa yang kita pelajari tidak jauh dari diri kita sendiri misalnya belajar tentang mengenali dan mengendalikan hawa nafsu pribadi , belajar jujur terhadap diri sendiri dan yang terpenting adalah terlepas dari rekayasa akal pikiran kita sendiri

apa dulu yang harus dilakukan? shalat dullu atau apa dulu..sehingga kita secara aqidah tidak tersesat, karena walaubagaimanapun parasit akidah akan selalu menempel?
 ==========================================
 mengenal Gusti Allah terlebih dahulu kemudian barulah menjalankan perintahNya lanjut kepada pembuktiaan akan kebenaran akan firman2xNya untuk sampai pada tahap keyakinan tertinggi yaitu Amarul yakin

dan bagaimana kita bisa tahu bahwa kita sdang melaksanakan suatu “lelaku” itu tidak terkena parasit aqidah?
 ==========================================
 gunakan akal sehat apakah apa yang kita lakukan itu bertentangan dengan firman Allah dan sabda Rosul ataukah tidak

intinya lihatlah perilaku Rosululloh SAW karena beliau adalah sebaik-baik contoh untuk kita semua.
 beliau tetap membumi dengan menjalankan syareatNya itulah sebaik baik contoh.
 Tunjukan yang umum dan simpan yang khusus hanya untuk kepentingan pribadi atau kalaupun akan dibicarakan, sebaiknya bicarakanlah dengan orang2x yang setaraf pengetahuannya agar tidak terjadi/timbul fitnah….
 inilah jalan yang diambil oleh Nabi kita dan para Wali yaitu menjalankan keumuman ( Syareat ) tanpa menunjukan kekhususan.
semoga selalu dalam bimbingan alloh 

PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI

JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...

KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN











AlkisAnnabila