Yang pertama adalah ilmu-ilmu yang harus diperoleh manusia dengan cara bertahap terhadap berbagai fenomena diluar dirinya / atau dalam diri. dengan ilmu-ilmu tersebut manusia diperintahkan untuk dapat memurnikannya menjadi hikmah. setelah memperoleh hikmah tersebut, manusia manusia diwajibkan untuk memurnikan berbagai hikmah kebijaksanaan tersebut menjadi pemahaman kesempurnaan tauhid jadi tidak terjebak pada keilmuan itu sendiri.
Kronologi proses diatas memerlukan dua tahapan atau dua hal sehingga manusia dapat memperoleh pemahaman kesempurnaan tauhid,
Cara mendapatkannya secara bertahap, kemudian hasilnya diproses lebih lanjut secara batiniah.
Nah untuk memprosesnya dibutuhkan usaha untuk memurnikan ilmu-ilmu menjadi hikmah, dan hikmah menjadi pemahaman kesempurnaan tauhid.
Untuk mendapatkan kemampuan memurnikan ilmu dan hikmah tersebut manusia membutuhkan penyucian jiwa. Penyucian jiwa diperlukan untuk mendapatkan hidayah dari Alloh, Hidayah adalah tuntunan yang bersifat pemberian mutlak.
Hidayah dapat pula dikatakan sebagai Tauhid yang fitrah. Fitrah karena merupakan pemberian mutlak dari Allah tanpa perlu manusia tersebut melakukan usaha. Akan tetapi manusia baru dapat mengapresiasi Hidayah atau Tauhid yang bersifat pemberian mutlak tersebut dengan sempurna jika ia mampu menyelaraskan atau menghubungkan antara hidayah atau potensi Fitrah yang ada di dalam dirinya tersebut dengan fenomena-fenomena yang berada di luar dirinya.
Atau dengan kata lain tauhid yang telah ada dalam diri manusia tersebut belum mencapai kesempurnaan sebelum manusia tersebut mampu menghubungkan tauhid yang merupakan pemberian Alloh secara mutlak dan telah ada di dalam dirinya tersebut dengan pembuktian tauhid melalui fenomena-fenomena ciptaan Alloh yang berada di luar dirinya. Untuk menghubungkannya dibutuhkan ilmu.
Dengan cara memahami keadaan yang ada , dengan tujuan menemukan hubungan atau keselarasan antara Potensi Fitrahnya dengan fenomena-fenomena yang berada di luar dirinya, manusia akan mampu menghayati potensi fitrahnya sendiri.
Potensi fitrah manusia juga lebih sering oleh kalangan luas disebut dengan hati nurani.
Oleh karena itu seiring dengan perjalanan hidupnya manusia harus selalu tetap menjaga keadaan hatinya. Sedikit banyak diperlukan pula ilmu kognitif dan hikmah supaya manusia selalu dapat tetap fitri dengan cara mampu menjaga keadaan hatinya selalu bersih. ilmu dan hikmah sedikit banyak akan membantu menuntun manusia untuk terbiasa mengikuti insting ilahiahnya, insting tersebut akan menghindarkan manusia dari segala hal yang akan menjauhkan atau menghalangi manusia itu sendiri dari mendapatkan hidayah atau tuntunan langsung dari Alloh.
Akhirnya dapat ditangkap maknanya bukan
bermakna duka tapi justru menunjukkan betapa besarnya
Kebesaran dan Kekuasaan Alloh kepada hamba-hamba-Nya,
Makhluk-makhluk material ini.
sedikit banyak carita tersebut dapat menjadi arah
dan sedikit petunjuk menuju keimanan bagi yang
mampu menangkap maksudnya, demikian Cerita tersebut:
Kehendak-Ku (Alloh) terwujud dengan penciptaan-Ku
akan makhluk-makhluk-Ku.
Kehendak adalah satu diantara ketakterhinggaan sifat-Ku.
Tapi merupakan sifat-Ku yang paling tidak dominan.
Sifat-Ku yang dominan dan mendasari semua sifat-sifat-Ku
adalah kebesaran-Ku yang meliputi segalanya
dan ketakterbatasan-Ku.
Kebesaran-Ku dan ketakterbatasan-Ku
adalah dasar manifestasi semua sifat-sifat-Ku.
Oleh karenanya zat-Ku meliputi seluruh
semesta ruang dan keberadaan,
sehingga sebenarnya tidak ada itu kekosongan.
Pada hakikatnya terdapat dzat-Ku dimanapun
dan berada di manapun termasuk di ‘ruang’
yang dalam pandangan indera dan pikiran manusia adalah ruang kosong.
Oleh karena itu sebenarnya tidak ada itu ruang kosong.
Hanya saja dalam dunia materi ini,
Aku mengghaibkan dzat-Ku dihadapan indera,
perasaan dan pikiran makhluk-Ku.
Apabila Aku berkehendak dzat-Ku untuk ghaib maka
kehendak manusia untuk mengindera-Ku
jelas tak akan mampu terlaksana.
Ibarat orang yang main petak umpet.
Orang tidak tampak oleh si pencari karena bersembunyi.
Aku sengaja bersembunyi karena memang Ku-
kehendaki diri-Ku tidak terlihat oleh si pencari.
bagaimana jika Aku yang berkehendak untuk bersembunyi (tak terlihat)?,
maka kehendak-Ku untuk menggaibkan dzat-Ku
dari indera dan pikiran manusia berada diatas kehendak,
pikiran dan segala usaha manusia untuk melihat dzat-Ku.
Karena Aku mengetahui apa isi, perasaan, pikiran,
dan kehendak manusia sebelum kehendak
manusia itu menyadari-Ku.
Ibarat kecepatan cahaya pun bagaikan
kecepatan yang paling lambat bahkan berhenti,
tak memiliki kecepatan dihadapan-Ku.
Cahaya tak mampu menyentuh-Ku.
Ibarat orang berenang yang berpindah di air,
air mengalir ke tempat yang telah ditinggalkan
oleh orang yang berpindah itu,
dan tempat yang dulu ditempati air
sekarang ditempati oleh orang itu.
Tapi orang yang berenang itu masih sedikit dapat
merasakan air melalui gesekan aliran air dengan tubuhnya.
Air selalu beradaptasi menyesuaikan dengan bentuk sekitarnya.
Tapi udara bisa lebih lembut lagi,
udara lebih tidak terasa oleh manusia yang berada di dalamnya.
Tapi bagaimana jika dzat-Ku yang menyelimuti segala yang terindera manusia ini?
Jelas tidak akan mampu dirasakan bahkan tidak hanya oleh indera peraba
manusia tapi juga oleh pikiran dan kehendak manusia.
Tapi bahkan tidak seperti itu, Aku lebih dari itu.
Aku tidak seperti udara ataupun air yang memerlukan berpindah.
Tidak mungkin Aku memerlukan berpindah,
Dzat-Ku maha kuasa. Berarti hamba-hamba-Ku, kalianlah yang semu.
Jika kalian berpindah maka kuasa-Ku
yang membentukmu di suatu tempat Aku hentikan,
dan Aku tampakkan kuasa-Ku untuk menegakkan kalian
di tempat lain dimana kalian berpindah.
Tapi bahkan lebih dari itu, segala bentuk dan makhluk ciptaan
serta kehidupannya di alam material atau
inderawi ini pada hakikatnya adalah ilusi-Ku.
Yang ter-Ghaib menurut indera hamba-hamba-Ku
sebenarnya justru diri-Ku, Sang Hyang Nyata.
Sedangkan yang tampak diantara indera kalian
sendiri sebenarnya adalah justru yang tidak nyata.
Manusia yang mempunyai iman kepada-Ku
mampu menyadari keberadaan-Ku
walaupun tidak terjangkau oleh indera, perasaan dan pikirannya.
Sementara yang ingkar kepada-Ku tidak akan percaya segala
sesuatu yang tidak terdeteksi oleh indera, perasaan dan pikirannya.