TANBIIH

الحَمـْدُ للهِ المُــوَفَّـقِ للِعُـلاَ حَمـْدً يُوَافـــِي بِرَّهُ المُتَـــكَامِــلا وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَي النَّبِيِّ المُصْطَفَىَ وَالآلِ مَــــعْ صَـــحْــبٍ وَتُبَّـاعٍ وِل إنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا تَقْوَى الإلهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ وَتِبَاعُ أَهْوَى رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلاَ إن أخوف ما أخاف على أمتي اتباع الهوى وطول الأمل إنَّ الطَّرِيقَ شَرِيعَةٌُ وَطَرِيقَةٌ وَحَقِيقَةُ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلا فَشَرِيعَةٌ كَسَفِينَة وَطَرِيقَةٌ كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيقَةٌ دُرٌّ غَلاَ فَشَرِيعَةٌ أَخْذٌ بِدِينِ الخَالِقِ وَقِيَامُهُ بَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ انْجَلاَ وَطَرِِيقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطَ كَالوَرَع وَعَزِيمَةُ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاَ وَحَقِيقَةُ لَوُصُولُهِ لِلمَقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُورُ التّجَلِّي بِانجَلاَ مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق

hiasan

BELAJAR MENGKAJI HAKIKAT DIRI UNTUK MENGENAL ILAHI

Selasa, 05 Juni 2012

Tersesatnya dirimu terjebak pada KERAMAT dalam memperlihatkan keistimewaan DIRI


( استشرافك ان يعلم الخلق بخصوصيتك دليل على عدم الصدق فى عبوديتك )


Artinya : "Perhatian kamu agar makhluk tahu akan kekhususan (ibadah) mu merupakan
Hikmah ini masih berhubungadalil (petunju) atas ketidak benaranmu dalam ber'ubudiyyah ".
n erat dengan hikmah sebelumnya, yang merupakan penjelas hikmah sebelumnya.

Beliau syekh Ibnu ‘Athoillah rahimahulloh memaparkan bahwa seorang hamba masih dikatakan sebagai orang yang pamer (مرائِيًا) walaupun ketika ia sedang beribadah tidak sedang disaksikan oleh orang lain dikarenakan perhatian dan keinginannya agar orang lain tahu akan kekhususiahan dan ibadahnya.

Kalimat (الاستشراف) adalah ungkapan yang berarti perhatian/pandangan nafsu kepada sesuatu hal (kesenangan-kesenangannya) dan mengharapkan akan hasilnya sesuatu tersebut. Tidak ada sesuatu yang bisa mendorong hamba agar orang lain tahu akan kekhususiahannya dalam beribadah kecuali kesenangan nafsunya tersebut.

Dari sini bisa diketahui bahwa selama masih ada istisyrof (الاستشراف) didalam hatinya hamba yang sedang beribadah menunjukkan tidak adanya kejujuran dan kebenaran dalam 'ubudiyah kepada Alloh, karena apabila dikatakan sudah benar dalam 'ubudiyahnya maka samarnya ibadah dari manusia pastinya lebih lezat dari pada dhohirnya ibadah dihadapan manusia.

Diriwayatkan dari syeikh Ahmad bin Abil Hawari :

من أحب ان يعرف بشيئ من الخير أو يذكر به فقد أشرك فى عبادته, لأن من خدم على المحبة لا يحب ان يرى خدمته غير مخدومه
.
Artinya : "Barang siapa yang senang akan diketahui / disebutkan kebaikannya, maka sungguh ia sudah menyekutukan Alloh didalam ibadahnya, karena orang yang berkhidmah atas nama mahabbah/cinta tidak senang apabila selain orang yang dikhidmahi tahu akan khidmahnya".

Jadi, seorang hamba masih belum dikatakan benar dalam 'ubudiyahnya kepada Alloh subhanahu wa ta'ala kecuali jika ia sudah bisa menundukkan nafsunya kepada tuntutan-tuntutan ubudiyah kepadaNya dan memurnikan mahabbah/cintanya kepada Alloh serta menghilangkan perhatian dan perasaan ingin diketahuinya kekhususiahan ibadah oleh orang lain.

Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara hamba yang masih dalam awal suluknya kepada Alloh dengan yang sudah sampai pada derajat makrifat dan muroqobah kepadaNya, hanya saja sesugguhnya tuntutan-tuntutan dakwah (menyampaikan syari'at)lah yang mewajibkan bagi setiap muslim untuk berdakwah dengan tawadhu' dan ikhlas setelah ia mampu melepaskan diri dari istisyrof (الاستشراف) tadi.

Hamba yang sudah benar Islamnya, yang faham akan rukun-rukunnya dan hakikat keimanan, ia diharuskan untuk berdakwah sekuat mungkin dengan cinta kasih dan adab rosululloh, karena dalil yang menunjukkan akan hal ini sudah jelas termaktub dalam dalil-dalil syar'i.

Adapun hal yang paling penting dan bisa dijadikan pegangan oleh seorang da'i agar sukses dalam menyampaikan dakwahnya adalah ia harus mampu memposisikannya dirinya sebagai Qudwah Hasanah (Panutan Ummat yang baik). Hal ini sangatlah tidak mudah, karena Qudwah hasanah bisa wujud apabila seorang da'i mampu merealisasikan nilai-nilai ajaran Islam, akhlak yang mahmudah, bisa mempraktekkan sabar ketika ditimpa musibah, mampu mempraktekkan mahabbahnya seorang hamba kepada Robnya dan mampu menepis kesenangan-kesenangan nafsu yang mengotori hatinya dan menghijabnya dari musyahadah kepada Alloh subhanahu wa ta'ala.

Jadi, jika ini semua bisa terealisasi dan dipegang teguh, maka seorang da'i boleh memperlihatkan amal baiknya dihadapan orang lain.

Adapun dalil syar'i yang menerangkan hal ini adalah riwayatnya syekh Imam Muslim didalam kitab shohihnya dari syekh Jurair bin Abdulloh Al Bujali, disana diceritakan bahwa ada salah satu sahabat anshor yang datang membawa sekarung harta untuk disedekahkan, kemudian orang lain yang tahu akan hal ini mengikuti perilakunya tersebut (bersedekah). Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

من سن سنة حسنة فله أجرها, وأجر من عمل بها لا ينقص ذلك من أجورهم شيئا


Memperlihatkan kekhususiahan ibadah ini adakalanya dengan memperlihatkan amal ibadah dihadapan orang lain secara dhohir seperti riwayat diatas dan adakalanya dengan membicarakannya kepada orang lain setelah selesai melakukan amal tersebut.


Dalam dua haliyah ini seorang hamba harus selalu waspada dalam menjaga hatinya dari godaan syaitan dan kesenangan nafsu yang selalu ikut andil dalam merusak amal ibadah, lebih-lebih waspada akan munculnya istisyrof (الاستشراف) yang telah digambarkan
oleh syekh Ibnu 'Athoillah rahimahulloh.


syeikh Al Imam Al Ghozali rahimahuloah berpendapat bahwa menceritakan amal ketaatan kepada orang lain lebih bahaya dan cenderung kepada sifat riya' serta lebih dekat dengan menuruti kesenangan nafsu, dari pada memperlihatkan amal secara dhohir didepan mereka. Ini dikarenakan beban lisan untuk mengucapkan sesuatu itu sangatlah ringan dan mudah, dan bagi nafsu sendiri bisa merasakan kelezatan didalam memperihatkan kekhususiahan suatu ibadah, hanya saja ketika hatinya akan dimasuki sifat riya' tidak akan merusak ibadah yang sudah selesai dilakukan.


Bagi hamba yang hatinya sudah kuat, sempurna ikhlasnya, dan dihadapannya pujian ataupun ejekan dari manusia sama saja, maka ia diperbolehkan menyebut dan menceritakan amal ibadahnya dihadapan mereka seraya mengharapkan agar mereka bisa meniru amal kebaikannya, bahkan ini disunnahkan apabila niatnya benar-benar suci dan selamat dari penyakit-penyakit hati.


Dari kalangan salaf sendiri banyak riwayat yang menceritakan tentang menyebutkan amal ibadah yang telah dikerjakan oleh mereka, diantaranya riwayat yang diceritakan dari syekh Sa'd bin Mu'adz, beliau berkata :

ما صليت صلاة منذ أسلمت فحدثت نفسي بغيرها وما تبعت جنازة فجدثت نفسي بغير ما هي قائلة وما هو

مقول لها وما سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول قولا قط إلا علمت أنه حق.


Artinya : Saya tidak pernah sholat satu sholat pun sejak aku masuk Islam kemudian aku berbicara tentang selain sholat, aku tidak pernah ikut mengiring satu jenazah pun kemudian aku berbicara tentang selain Jenazah, dan sama sekali aku tidak pernah mendengarkan ucapan Rosul shallallohu 'alaihi wa sallama kecuali saya tahu bahwa sesungguhnya ucapan beliau adalah Haq (benar).

Diriwayatkan juga dari Sayyidina Umar bin Khaththab radhiyallohu 'anhu, beliau berkata:

ما أبالي أصبحت على عسر أو يسر لأني لا أدري أيهما خير لي


Artinya : Saya tidak perduli apakah ketika menjelang pagi saya dalam keadaan sulit (payah) atau dalam keadaan mudah, karena sesungguhnya aku tidak tahu mana dari kedua haliyah ini (sulit dan mudah) yang lebih baik bagiku.

Beliau syekh umar bin abdul 'aziz rahimahulloh juga pernah berkata :

ما قضى الله فيّ بقضاء قط فسرّني أن يكون قضى لي بغيره وما أصبح لي هوى إلا فى مواقع قدر الله


Artinya : "Alloh tidak memberikan kepadaku satu putusan pun, kemudian aku senang apabila Ia memberikan putusan lain selain keputusan tadi dan saya tidak merasa senang kecuali jatuh dalam lingkup qodarnya Alloh.

Semua riwayat ini merupakan dalil yang membolehkan memperlihatkan haliyah-haliyah (tingkah) yang terpuji, apabila haliyah tersebut keluar dari orang yang sudah menjadi qudwah hasanah, dan ia mengharapkan agar perilakunya ditiru bagi orang yang melihatnya. Maka dari itu pintu untuk memperlihatkan amal tidaklah tertutup.

Adapun sifat yang masih dikatakan riya' dan merupakan penyakit hati adalah (الاستشراف) istisyrofnya hamba yang sedang dikarunai oleh Alloh khususiyyah dan amal-amal ketaatan, ia ingin agar orang lain tahu akan muroqobahnya kepada Allah, sebagaimana hikmah yang telah disampaikan oleh syekh Ibnu 'Athoillah As Sakandary diatas. Wallohu A'lam

Senin, 04 Juni 2012

NURANI YANG BISU KARENA TERTUTUP HAWA NAFSU

"Ada seorang raja menderita penyakit yang mengerikan. Sangat mengerikan. Menceritakannya kembali akan sangat tidak enak. Sejumlah tabib Yunani dengan sepakat memutuskan bahwa penyakitnya hanya akan sembuh, bila raja mau makan empedu orang dengan syarat-syarat tertentu. Raja memerintahkan agar orang itu dicari di seluruh negeri. Seorang anak petani dengan kualifikasi yang disebutkan tabib ditemukan. Raja memberikan anugerah yang berlimpah kepada kedua orang tuanya, sehingga mereka senang anaknya dijadikan korban. Jaksa Agung (Mahkamah Agung) memutuskan boleh menumpah darah rakyat untuk menyelamatkan nyawa raja. Algojo siap memotong kepalanya.

Tiba-tiba pemuda itu mendongak ke langit seraya tersenyum. Raja bertanya : "Dalam keadaan seperti ini kamu masih bisa tersenyum?" anak muda itupun menjawab : "Ayah dan bunda seharusnya menjaga dan merawat anaknya, Jaksa Agung mestinya tempat mengajukan pengaduan dan raja menjadi sandaran untuk menegakkan keadilan. Tapi kini ayah dan ibuku mengantarkan aku pada kematian karena pertimbangan dunia, Jaksa Agung telah menjatuhkan vonisnya, dan sultan mencari keselamatan dengan menghancurkan ku. Selain Tuhan tidak ada lagi yang dapat melindungiku. Kemana aku lari dari cengkeraman tangan mu? akan ku cari keadilan yang bertentangan dengan kekuasaan mu". Hati raja tersentuh, ia menangis dan berkata "Lebih baik akau binasa dari pada menumpahkan darah yang tak bersalah". Raja mencium kepala anak muda itu, memeluknya dan memberikan hadiah yang banyak, kemudian membebaskannya". Demikianlah kisah yang dituturkan oleh Jalaluddin Rakhmat dalam kata pengantar bukunya "Rekayasa Sosial, Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar".

Menurut hemat saya, kisah tersebut merupakan sebuah ilustrasi yang ingin mengetengahkan sebuah pesan moral, bahwa terkadang nurani manusia itu bisu, bungkam terhadap sebuah perbuatan yang mestinya diingkari oleh nurani (munkar), bahkan tak mustahil justru nurani tersebut meng-iyakan dan setuju terhadap kemunkaran. Padahal bila merujuk kepada salah satu sabda Nabi Saw, bahwa pengingkaran nurani semata tanpa disertai usaha pencegahan secara lisan, dan kekuasaan merupakan indikator lemahnya keimanan. Apabila nurani pun sudah tidak lagi mengingkari sebuah kemunkaran, dimanakah keimanan kita? Mungkinkah iman kita telah usang, lusuh dan kemudian memudar seiring dengan perputaran waktu? Na'udzu billah.....

Dalam kondisi sosial politik dewasa ini, kerap kali nurani kita bungkam dan bisu terhadap sebuah kemunkaran, padahal seharusnya kita mampu mengambil sikap oposan, melawan dan menolak kemunkaran. Demikianlah, pesan yang disampaikan oleh Subhan SD dalam bukunya "Ulama-Ulama Oposan".

Ali ibn Abi Thalib pernah berkata : "Bahwa yang membentuk suatu masyarakat adalah perasaan setuju dan tidak setuju". Karena itu bungkam terhadap kemunkaran menyebabkan kita menjadi bagian dari mereka.

Sementara Murtadha Muthahhari menyatakan : "Bahwa eksistensi suatu masyarakat tak jauh beda dengan eksistensi individu, karena itu dalam masyarakat pun ada dosa seperti dalam individu yang disebut dengan dosa sosial".

Dengan bahasa yang diflomatis seorang ilmuan dalam wawancaranya di sebuah stasiun televisi mengatakan : "Bukan hanya salah Firáun, Firáun menjadi demikian sombong dan angkuh karena tak pernah ada yang mengingkarinya". Oleh karena itulah al-Qurán mengungkapkan dalam Qs. al-Anfal (8) : 25 "Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang zhalim saja diantara kamu, dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksanya".

Kata Nurani berasal dari Bahasa Arab "Nur-un" yang makna generiknya "cahaya, terang dan jelas" sekaligus merupakan lawan dari kata "Dzulmun" yang artinya "gelap". Karena itulah nurani adalah salah satu potensi yang dimiliki manusia untuk mencari kebenaran, yang oleh Ibn Miskawaih disebut "al-Hikmah al-Khalidah". Sebagaimana sabda Nabi kepada seseorang yang meminta nasihat kepadanya "Istafti Qolbaka" (minta fatwalah pada nuranimu). 

Akan tetapi karena kelemahannya (Qs. al-Nisa' (4) : 28), manusia sangat rentan tergelincir pada kejatuhan moral dan spiritual, melalui perbuatan dosa, yang menurut al-Ghozali menyebabkan noda dan kegelapan hati. Dengan demikian semua perbuatan dosa adalah zhulm-un (penyebab kegelapan hati) sehingga hati para pelaku dosa tidak layak lagi disebut nurani, akan tetapi zhulmani (hati yang gelap) yang melahirkan manusia-manusia gelap (Dzalim), seperti : Homo Homoni Lupus (manusia srigala bagi sesama).

اللهم ءارنا الحق حقا وارزقنا اتباعة وءارنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنا بة

Mudah-muahan Alloh Yang Maha Kuasa dan Maha Adil segera nemperlihatkan ke Maha AdilanNYA. Karena Engkaulah Yaa Alloh Satu-Satunya Dzat yang takkan pernah terkalahkan. Amiin

Minggu, 03 Juni 2012

Kewajiban Lisan dan Telinga - Menurut Aqidah keIMANAN

-

Lisan atau mulut adalah mediator bagi manusia dalam mencapai maslahat bagi dirinya, yang karenanya Alloh subhanahu wata’ala menetapkan kewajiban terhadap lisan untuk tetap melaksanakan atau menggunakan lisan tersebut sesuai dengan perintahNYA, sebagaimana firman Alloh subhanahu wata’ala, artinya,

قُولُوا آَمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا

“Katakanlah (hai orang-orang mu'min), "Kami beriman kepada Alloh dan apa yang diturunkan kepada kami.” (QS.al-Baqarah:136)

Dan juga firman-Nya

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

“Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS al-Baqarah:83)

Disini jelas bahwa lisan kita dituntut oleh Yang Maha mencipta untuk berbicara baik kepada manusia dan jangan sekali2 kita menggunakannya untuk berbohong, menipu, berjanji palsu atau yang lainnya yang dilarang oleh Alloh. Ingatlah Alloh tak kan pernah keliru atau takut dengan setatus manusia manapun. Karena Dialah Alloh Hakim Yang Maha Adil yng takkan pernah bisa direkayasa atau terkalahkan oleh manusia sehebat apapun.

فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ , أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا اللَّهُ وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Demikanlah kewajiban yang Alloh bebankan terhadap lisan yaitu mengatakan dan mengungkapkan apa yang terdapat di dalam hati. Maka segala apa saja yang diwajibkan oleh Alloh terhadap lisan adalah merupakan bagian dari keimanan.

Kewajiban Telinga

Allah subhanahu wata’ala mewajibkan pendengaran agar dibersihkan dari apa-apa yang Dia haramkan , dan menjaganya dari segala yang dilarang untuk didengar. Allah berfirman tentang pendengaran

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آَيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا (140)

“Dan sungguh Alloh telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Alloh diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka”(QS.an-Nisa':140)

Alloh SWT mengecualikan bagi orang-orang yang lupa mendengarkan yang haram melalui firman

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آَيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (68)

“Dan jika kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (QS.al-An'am:68)

Dia juga berfirman,

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ (18)

“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Alloh petunjuk dan mereka itulah orang- orang yang mempunyai akal.”(QS. az-Zumar:18)

Dalam ayat yang lain disebutkan

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ, الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ, وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ, وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ

“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' di dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat.” (QS. al-Mu'minun:1-4)

Dalam ayat lain disebutkan,

وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ لَا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ (55)

"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya." (QS. al-Qashash:55)

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا (72)

"Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. al-Furqaan:72)

Inilah apa yang diwajibkan oleh Alloh terhadap pendengaran, dan itu semua merupakan tugasnya serta termasuk dalam bagian keimanan seorang MUSLIM 

WALLOHU A'LAM 

IMAN MENURUT AHLUS SUNNAH-

Secara Aqidah 


ما الأيمان  الأيمان هوغير ذكر وحمد ولكن يمثل بالذكر والحمد لأن الأيمان هداية واقرار وتصديق فالهداية صنع اي فعل الرب وهو بمنزلة الذكر والحمد والاقراروالتصديق فعل العبد وهو بمنزلة فهمك علي حقيقة كله واولادهما الي الطاعة الصالحة *
Artinya:
Apakah yang di namakan iman “iman itu bukan ingat dan memuji tetapi di serupakan dengan ingat dan memuji (yaqin rasa)” karena sesungguhnya iman itu petunjuk alloh,ikrar hati dan jiwa, adapun HIDAYAH (petunjuk)  itu pekerjaannya alloh sendiri dengan turunnya ingat dan puji. Adapun iqrar dan pembenaran itu pekerjaannya  hamba dengan turunnya kepahaman akan kebenarannya alloh dengan keseluruhan. Sedang berkumpulnya  hidayah,iqrar dan pembenaran akan melahirkan ketaatan yang baik menurut alloh sendiri.


1. Iman adalah qoul (perkataan) dan ‘amal (perbuatan).

Iman dalam arti syar`i (iman syar`i) terdiri dari qaul (perkataan) dan ‘amal (perbuatan).

Yang dimaksud dengan perkataan adalah perkataan hati dan perkataan lisan.

Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan adalah perbuatan hati dan perbuatan anggota badan. Jadi iman itu mempunyai dua sisi yaitu sisi hati dan sisi anggota badan (termasuk lisan).

Sisi hati ada dua bagian yaitu perkataan hati dan perbuatan hati. Demikian juga sisi anggota badan yaitu perkataan lisan dan perbuatan anggota badan. Semua empat bagian itu adalah iman. Ketika empat bagian itu didapati pada diri seseorang, maka setiap bagian juga dinamakan iman seperti keseluruhannya pun dinamakan iman. Seseorang tidak dinamakan mu`min (orang yang beriman) ketika salah satu dari empat bagian itu tidak ada (tidak ada sama sekali atau yang tidak ada adalah bagian tertentu yang ketidak-adaannya berarti kekufuran) kecuali kalau yang tidak ada adalah sisi anggota badan dikarenakan ketidak-sanggupan, seperti misalnya orang bisu, yang tidak mungkin sanggup bersyahadat.

Yang dimaksud dengan perkataan hati adalah ilmu yang diketahui oleh hati dan dipercayai. Pada orang yang beriman perkataan hati ini akan melahirkan pekerjaan hati (perbuatan hati), yaitu ketundukan kepada Allah, takut dan cinta kepada-Nya, dan lain sebagainya yang termasuk pekerjaan-pekerjaan hati. Kalau perkataan hati itu tidak melahirkan pekerjaan-pekerjaan hati seperti tadi, maka iman itu pun tidak terwujud dan orang itu pun tidak dinamakan sebagai orang yang beriman. Kemudian, kalau pekerjaan hati terwujudkan maka tidak boleh tidak perkataan lisan dan perbuatan anggota badan pun akan terwujud. ini adalah suatu kepastian yang tidak diragukan lagi oleh setiap orang yang berakal.

Ketika perkataan lisan dan perbuatan anggota badan tidak terwujudkan, maka dipastikan bahwa pekerjaan hati tidak terlahirkan. Dengan demikian perkataan hati yang ada tidak ada gunanya dan si empunya pun bukanlah orang yang beriman. Hal yang demikian ada pada iblis yang mengetahui dan mengakui keesaan dan uluhiyah Alloh, tetapi tidak terlahirkan padanya perbuatan hati seperti tunduk kepada Alloh dan lain-lainnya. Demikian pula dengan Fir`aun yang mengetahui kebenaran nabi Musa tetapi tidak terwujud padanya pekerjaan hati yang dituntut. Diriwayatkan oleh Imam Al-Lalika`i, bahwa Imam Al-Bukhari berkata: "telah kutemui lebih dari seribu ulama di banyak negeri, tidak satupun dari mereka yang berikhtilaf bahwasanya iman itu adalah qaul wa ‘amal (perkataan dan perbuatan), bisa bertambah dan bisa berkurang".

2. Iman dari segi hati.




في اي موضغ الايمان في الجسد عند الحياة فالجواب الايمان في اربعة مواضع اولها في القلب كما قال الله تعالي كتب الله في قلوبهم الايمان والثانية  في الصدر كما قال الله تعالي فمن شرح الله صدره الاسلام والثالثة في الفؤد كما قال الله تعالي ما كذب الفؤد ما رئ والربعة في اللسان كما قال الله تعالي انما يتذكر ؤلوالألباب

Dimanakah iman itu diletakkan dalam jasad ketika manusia hidup,maka jawablah ada di  4 tempat :
1.       Di dalam hati  seperti firman alloh swt : alloh telah menuliskan iman itu di dalam hati kalian semua
2.      Bertempat di dada  seperti firman alloh swt : alloh telah melapangkan dada setiap orang-orang yang telah pasrah/selamat (islam)
3.      Bertempat di hati fu’ad seperti firman alloh swt : hati sanubari tidak akan bohong dan tertipu dengan apa yg di ketahui
4.      Bertempant pada lisan manusia seperti penjelasannya alloh swt : orang-orang yang mempunyai hati pastilah ingat dengan apa yang di ucapkan



Asal atau dasar iman ada di dalam hati. Kemudian akibat dari keberadaannya, maka lahirlah amal dan perkataan iman yang dzohir.

Ayat-ayat berikut akan menunjukkan bahwa dasar iman ada di dalam hati.

مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَ قَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ وَ لَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللهِ وَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمُ

“Barangsiapa yang kafir kepada Alloh sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Alloh), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Alloh menimpanya dan baginya adzab yang besar”. (QS. An-Nahl (16): 106)

لاَّ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ اْلأَخِرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَ رَسُولَهُ وَ لَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلاَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيمَانَ وَ أَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَ يُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَ رَضُوا عَنْهُ أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلآَ إِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

 “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Alloh dan Rosul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Alloh telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Alloh ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Alloh. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Alloh itulah golongan yang beruntung”. (QS. Al-Mujaadilah (58): 22)

وَ اعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِّنَ اْلأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَ لَكِنَّ اللهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ اْلإِيمَانَ وَ زَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَ كَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَ الْفُسُوقَ وَ الْعِصْيَانَ أُوْلَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ

“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kalian ada Rosululloh. Kalau ia menuruti (kemauan) kalian dalam beberapa urusan benar-benarlah kalian akan mendapat kesusahan tetapi Alloh menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hati kalian serta menjadikan kalian benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus”. (QS. Al-Hujuraat (49): 7)

قَالَتِ اْلأَعْرَابُ ءَامَنَّا قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ اْلإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِن تُطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ لاَيَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Orang-orang Arab Badui itu berkata: Kami telah beriman. Katakanlah (kepada mereka): Kalian belum beriman, tetapi katakanlah: Kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian, dan jika kalian ta'at kepada Alloh dan Rosul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalan kalian; sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Al-Hujuraat (49): 14)

Tanpa wujud iman di dalam hati tidak akan ada amal dan perkataan iman dzohir. Demikian juga sebaliknya tidak adanya amal dan perkataan iman yang dzohir adalah dalil akan tidak adanya iman di dalam hati. 

Rosululloh bersabda :

اَلاَ إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ لَهَا سَائِرُ الْجَسَدِ وَ إِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ لَهَا سَائِرُ الْجَسَدِ أَلاَ وَ هِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Jika, dia baik maka baiklah seluruh jasadnya. Dan jika rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah, segumpal daging tersebut adalah hati”

1.       
وقال النبي صلي الله عليه وسلم وحقيقة الايمان على اربعة اوجه اولها اقرار باللسان والثانية والتصديق بالجنان اي القلوب والثالثة يعمل بالاركان والرابعة يعمل بالنية وكمالها موافقة للسنة نبينا محمد صلي الله عليه وسلم
Sabda  Nabi Muhammad SAW :
 Kebenaran iman (keyaqinan) itu ada 4 ketentuan :
1.      Bersumpah dengan lisan
2.      Membenarkan dengan beberapa hati
3.      Melakukan rukun-rukunnya
4.      Melakukan dengan niat
Adapun kesempurnaan iman itu mufakat dengan sunnahnya Rosululloh SAW

Karena keterangan diatas masih banyak hilafiyah (perbedaan) di antara ulama-ulama maka keluarlah dua pemahaman antara ahli syari’at dan ahli tauhid dan inilah yang menjadi perbedaan pandangan menurut keyaqinan masing-masing.


Ibnu Taimiyyah dalam Al-Iman (hal. 177) berkata :

“Jika hati berisikan ilmu dan perbuatan hati yang shaleh (dari iman), maka pastilah badan dan perkataan (lisan) akan sholeh dengan iman”

Imam Al-Mirwazi (Abu Abdullah Muhammad bin Nashr bin Al-Hajjaj Al-Mirwazi, dilahirkan di Baghdad tahun 202 H dan wafat pada tahun 294 H, Seorang ulama besar dalam ilmu hadis) menjelaskan :

“Dalil bahwasanya hanya sebatas ilmu dan kepercayaan saja tidak akan berguna bagi pelakunya adalah firman Alloh  tentang perkataan iblis :

مَا مَنَعَكَ قَالَ أَلاَّ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَ خَلَقْتَهُ مِن طِينٍ

"Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu. Menjawab iblis: Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah" (QS. Al-A’raaf (7): 12)

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ

"Iblis menjawab : Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya” (QS. Shaad (38): 82)

Dalam ayat tersebut Alloh mengkhabarkan bahwa iblis sudah tahu bahwasanya Allohlah yang menciptakannya. Tetapi dia menolak tunduk kepada perintah Alloh untuk sujud kepada Adam, maka kepercayaan dan ilmunya tidak berguna untuknya ketika ketundukan tidak ada. Dalil lainnya adalah:

وَ لَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابُ مِّنْ عِندِ اللَّهِ مُصَدِّقُ ُلِّمَا مَعَهُمْ وَ كَانُوا مِن قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَآءَهُم مَّا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ

“Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur'an dari Alloh yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemena-ngan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, lalu mereka ingkar kepadanya. Maka la'nat Allohlah atas orang-orang yang ingkar itu". (QS. Al-Baqarah (2): 89)

الَّذِينَ ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَآءَهُمْ وَ إِنَّ فَرِيقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَ هُمْ يَعْلَمُونَ

“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyem-bunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui". ( QS. Al-Baqarah (2): 146)

Di sini dijelaskan oleh Alloh bahwa sebagian orang-orang Yahudi telah mengetahui kebenaran kenabian Rasulullah, tetapi hal ini tidak menjadikan mereka dari orang-orang yang beriman, karena pengetahuan mereka tidak direalisasikan dengan ketundukan dan ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya.

3. IMAN DARI SEGI DZOHIR.

1. Perkataan lisan bagian dari iman.

Perkataan lisan seperti syahadah laa ilaha illalloh-Muhammad Rosululloh, dzikir, amar ma`ruf nahi munkar dan lain-lainnya adalah bagian dari iman. Di antara kata-kata lisan ada yang sifatnya syarat dari iman, ada yang wajib dan ada pula yang mustahab. Dua kalimat syahadah adalah syarat dari wujud-nya iman, di mana seseorang tidak dinamakan orang yang beriman tanpa mengucapkan dua syahadat tersebut (kecuali bagi orang yang tidak sanggup).

Dalil-dalil dari Al-Qur`an dan Hadis yang menunjukkan bahwa kata-kata lisan adalah bagian dari iman banyak sekali tetapi yang tertegas di antaranya adalah hadis shahih muttafaq di antara ahlus sunnah :

اَلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَ سَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَ سِتُّوْنَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ وَ الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ

“Iman itu 70 lebih atau 60 lebih cabang. Iman yang paling utama adalah ucapan Laa Ilaaha Illallaah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan halangan dari jalan. Sedangkan malu bagian dari iman”.(Muttafaq `Alaih)

Sedangkan dalil bahwa dua syahadah adalah syarat dari terwujudnya iman adalah sabda Rosululloh SAW:

أُمِرْتُ أَنْ أُقُاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ فَإِذَا قَالُوْهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَ أَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا

“Aku diperintahkan memerangi manusia, hingga mereka mengucapkan Laa Ilaaha Illallooh. Jika, mereka mengucapkannya, terpeliharalah dariku darah-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali dengan haknya”. (Muttafaq `Alaih) 

Di kitab Al-Iman hal. 287, Ibnu Taimiyah berkata :

“Telah sepakat kaum muslimin bahwa barangsiapa yang tidak mengucapkan dua syahadah, maka orang itu adalah orang kafir”.

Al-Imam Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam (hal. 23) berkata :

“Barang siapa meninggalkan dua syahadah maka dia sudah keluar dari Islam”.

Sudah barang tentu dua syahadah yang diterima Alloh adalah yang keluar dari iman yang ada di hati seseorang. Sedangkan ucapan dua syahadah hanya dari mulut saja, tidak ada artinya di sisi Alloh, walau di sisi manusia pengucapnya dianggap muslim. Dengan demikian seseorang harus benar-benar mengerti arti dari dua syahadat ini dan menerima semua konsekuensi dari kandungan keduanya.

2. Pekerjaan (amal) anggota badan bagian dari iman.

Salafush shaleh ketika menetapkan bahwa pekerjaan anggota badan adalah bagian dari iman, telah mendasarkan ketetapan ini atas banyak dalil di antaranya :

وَ كَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَ يَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَ مَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَ إِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَي اللهُ وَ مَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفُ رَّحِيمُ

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rosul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa orang yang telah diberi petunjuk oleh Alloh, dan Alloh tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Alloh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia” (QS. Al-Baqarah (2): 143)

Al Hulaimi (Abu Abdullah Al-Husain bin Al-Hasan bin Muhammad bin Hulaimi Al-Bukhari Asy-Syafi’i, dilahirkan di Jarjan tahun 383 H dan wafat tahun 403 H, seorang pemimpin ahlu hadis) menjelaskan :

“Telah berijma` ahlu tafsir bahwa yang dimaksud dengan imanukum di sini adalah sholat dengan berkiblat ke Baitul Maqdis. Maka terbukti bahwa sholat adalah iman, dengan demikian semua amal sholeh adalah iman. Karena tidak ada bedanya antara sholat dengan amal-amal lain dalam penamaan ini”.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَ إِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَ مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Alloh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabbnyalah mereka bertawakkal (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rejeki yang Kami berikan kepada mereka". (QS. Al-Anfaal (8): 2-3)

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللهِ وَ رَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَ جَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَ أَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلاَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Alloh, mereka itulah orang-orang yang benar". (QS. Al-Hujuraat (49): 15)

Maka kata-kata إ نما ) ) di sini menunjukkan bahwa amal-amal yang disebutkan di ayat tersebut adalah amal-amal imaniyyah yang ada pada seorang yang beriman. Demikian juga sabda Rasulullah kepada para utusan qobilah Abd Al-Qais :

أمُرُكُمْ بِالإِيْمَانِ بِاللهِ وَحْدَهُ

“Aku perintahkan kalian untuk beriman kepada Alloh Yang MahEsa”.

Beliau melanjutkan :

هَلْ تَدْرُوْنَ مَا الإِيْمَانُ بِاللهِ وَحْدَهُ ؟

“Apakah kalian mengetahui apakah iman kepada Alloh Yang Maha Esa ?” Mereka menjawab : “Alloh dan RosulNya Lebih mengetahui”. Lalu beliau bersabda :

شَهَادَةُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ إِقَامُ الصَّلاَةِ وَ إِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَ أَنْ تُعْطُوا مِنِ الْغَنَائِمِ الْخُمُسَ

“Bersyahadah bahwa tidak ada Ilaah Yang haq kecuali Alloh, mendirikan sholat, menunaikan zakat, memberikan 1\5 harta rampasan perang…” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan dengan tegas bahwa perkataan dan pekerjaan badan adalah iman atau bagian dari iman. Sudah barang tentu pula perkataan dan pekerjaan badan ini harus disertai iman yang berada di dalam hati, kalau tidak maka yang demikian tidak menjadi iman.


DENGAN DEMIKIAN IMAN ITU DI BAGI MENJADI DUA BAGIAN 

IMAN menurut pandangan ahli syari’at : 


فعل مأمورات وترك المنهيات
                                             

 Artinya :
                                                mengerjakan yang di perintah dan meninggalkan semua larangannya

                                                         

IMAN menurut tauhid :


لا تنقصهم العصيان ولا تزىدهم الأحسان في الرجاء


Yang artinya :
                       Seorang ahli tauhid    tidak akan menambah akan kebajikan di dalam pengharapan
                             pernah bisa mengurangi kema’siatan dan tidak akan pernah bisa                                                                 
قال النبي محمد صلي الله عليه وسلم الممكنات كلها من الله ولم يكن  معه غيره اي تقديره هو الله الموجود هوالله الشهادة هوالله المحاض
          

 Sabda nabi muhammad SAW yang artinya :
      Sesuatu kemungkinan yang ada seluruhnya dari alloh dan tidak ada yang menyertai sesuatu itu
       Kecuali alloh ,yang dimaksud semua kemungkinan itu adalah kehendak alloh,alloh yang
        wujud,alloh yang menyaksikan sendiri dan alloh dzat yang murni


وقال تعالي كل من عليها فان ويبقي وجه ربك ذوالجلال والاكرام
                

Firman alloh SWT yang artinya :
                   Seluruh mahluk yang bertempat di bumi semuanya rusak kecuali dzat nya alloh
                   Sendiri yg mempunyai keagungan dan kemuliaan
 


SEMOGA INI MENJADI PENERANG BAGI KITA AGAR SELALU MAU BELAJAR KARENA BUKAN INI SUDAH DI PUNCAK KARENA INI MASIH DALAM TAHAPAN-TAHAPAN UMUMNYA SEORANG YANG BERIMAN SECARA NALAR BATAS INDRAWI SEMATA ... AGAR IMAN KITA MENCAPAI PADA TITIK DIMANA IMAN YANG HANYA MUTHLAQ DAN ITHLAQ KEPADA ALLOH SERTA ADAB ROSULULLOH KITA HENDAKNYA MENGAMBIL GURU SANAD AGAR KIRANYA KITA TIDAK DALAM KATEGORI IMAN SEBATAS TENGGOROKAN DAN TIDAK YAQIN SEPENUHNYA KEPADA ALLOH ( HAQ QU AL-YAQIIN) DAN SANADNYA PUN TERSAMBUNG HINGGA SAMPAI PADA WASHILAH KE SAIYIDINA ROSULILLAH SHOLLALLOHU'ALAIHI WASALLAM  ... SEMOGA INI BISA MENJADI PENGANTAR KITA PADA GERBANG ISLAM KAFFAH YANG MENJADIKAN ISLAM ROHMAT LIL'AALAMIIN ... WALLOHU' A'LAM ...........

Al-Qur’an sebagai Sang Pencakup SegalaNYA ....

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا الأَلْبَابِ(البقرة/269).



"Alloh memberikan HIKMAH kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang diberi HIKMAH, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak" (Al Qur'an, Surah Al Baqoroh, 2:269) Hendaklah engkau membaca al-Qur’an dan merenungkannya dengan penerimaan qolbuMU. Ketika engkau membacanya, perhatikanlah kualitas-kualitas dan sifat-sifat terpuji yang dilekatkan oleh Alloh kepada hamba-hamba-Nya yang Dia cintai. Hendaklah juga engkau engkau bersifat dengan kualitas-kualitas dan sifat-sifat itu. Perhatikan pula kualitas-kualitas dan sifat-sifat yang dicela oleh Alloh dalam al-Qur’an yang dimiliki oleh orang yang Dia benci.



Maka jauhilah kualitas-kualitas dan sifat-sifat itu. Alloh tidak menyebut untuk engkau kualitas-kualitas dan sifat-sifat itu dalam Kitab-Nya dan menurunkannya kecuali agar engkau mengamalkan dengan cara itu. Bila engkau membaca al-Qur’an, jadilah engkau al-Qur’an demi apa yang ada dalam al-Qur’anuntuk membaca (tilāwah) tetapi juga merenungkan (tadabbur) al-Qur’an.



Merenungkan (tadabbur) di sini adalah mempelajari, mengkaji dan melihat secara mendalam dengan qolbu, yang berimplikasi pada transformasi spiritual dalam perjalanan menuju Alloh.



Membaca dan merenungkan al-Qur’an membawa seseorang kepada pengetahuan dan kesadaran tentang kualitas-kualitas dan sifat-sifat terpuji yang harus dia miliki dan kualitas-kualitas dan sifat-sifat tercela yang harus dia jauhi. Kualitas-kualitas dan sifat-sifat terpuji itu adalah kualitas-kualitas dan sifat-sifat Alloh, yang tidak lain adalah identik dengan al-Qur’an.



Karena itu, para ahlillah memberikan wasiat agar kita menjadi al-Qur’an, atau berakhlak dengan al-Qur’an sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw... tidak membatasi apapun dengan aqal indrawi semata ... terjebak pada takwil semata ...



Syeikh Ibn ‘Arabi mewasiatkan agar orang-orang mukmin berusaha dengan sungguh-sungguh memelihara (yang berarti pula menghafal) al-Qur’an dengan amal sebagaimana memeliharanya dengan bacaan.



Syekh ini memperingatkan bahwa tidak ada orang yang lebih pedih siksaannya pada Hari Qiyamat daripada orang yang menghafal satu ayat al-Qur’an kemudian ia melupakannya. Demikian pula orang yang menghafal satu ayat al-Qur’an kemudian ia tidak mengamalkannya.



Maka pada Hari Kiamat ayat itu akan menjadi saksi dan kesedihan atas dirinya.Pesan Rasul Alloh Saiyidina Muhammad saw, yang di ceritakan oleh syekh Ibn ‘Arabi, mengungkapkan keadaan orang yang membaca al-Qur’an dan orang yang tidak membacanya, baik orang mukmin maupun orang munafik. Beliau berkata, “Perumpamaan orang mukmin yang membaca al-Qur’an adalah seperti buah jeruk sitrun yang baunya harum.” Buah jeruk sitrun itu berarti bacaan dan itu adalah nafas-nafas yang keluar.



Bacaan itu adalah ibarat bau-bau harum yang dikeluarkan oleh napas-napas yang rasanya lezat, yang berarti IMAN. Karena itu, beliau berkata, “Orang yang ridho dengan Alloh sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Saiyidina Muhammad saw sebagai Nabinya, niscaya merasakan lezatnya IMAN.” Maka rasa lezatnya dinisbahkan pada IMAN.



Kemudian beliau berkata, “Perumpamaan orang MUKMIN yang tidak membaca al-Qur’an adalah seperti buah yang lezat rasanya” dalam arti ia adalah MUKMIN yang memiliki IMAN, “tetapi baunya tidak harum dalam arti ia bukan pembaca atau pengikut (tālī) dalam keadaan yang tidak ada pembaca, meskipun ia termasuk penghafal al-Qur’an. Beliau berkata pula, “Perumpamaan orang munafik yang membaca al-Qur’an adalah seperti kasturi berbau harum,” karena al-Qur’an adalah harum, dan ia tidak lain dari nafas-nafas pembaca ketika waktu dan keadaan membacanya, “tetapi pahit rasanya” karena kemunafikan adalah penutupan batin, sedangkan manisnya iman adalah merasakan lezatnya iman itu.



Kemudian beliau berkata, “Perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al-Qur’an adalah seperti ketimun yang pahit rasanya dan tidak harum baunya,” karena ia bukan pembaca al-Qur’an.Atas dasar kajian ini, Syekh Ibn ‘Arabi menyimpulkan bahwa dalam setiap perkataan yang baik (kalām thayyib) ada ridho Alloh SWT.



Bentuk KALAM Alloh dari orang MUKMIN dan orang MUNAFIQ adalah bentuk al-Qur’an dalam perumpaan itu tetapi posisi al-Qur’an tidak tersembunyi. Tidak ada suatu perkataan pun yang membuat dekat kepada Alloh yang menandingi perkataan AllohKutipan yang cukup singkat di atas mengingatkan kita pada doktrin penilaian para sebagian ulama' pada syekh Ibn ‘Arabi tentang wahdat al-wujūd bahwa tidak ada sesuatu pun dalam wujud kecuali AL-ILAH (al-Haqq) yang ada hanya Wujud Yang Esa, yaitu Alloh semata .



Segala sesuatu selain Alloh tidak ada pada dirinya ia ada hanya sebagai penampakan diri (tajallīyah) ALLOH . Alam adalah ekspresi atau manifestasi Alloh ('ainulloh / bayang-bayang) .



Maka ketika seorang hamba membaca al-Qur’an, pada hakikatnya bukanlah ia yang membacanya tetapi Alloh-lah yang membacanya.



Yang menjadi pembaca hakiki al-Qur’an bukalah hamba itu tetapi adalah Alloh. Begitu juga ketika seorang hamba berdzikir pada Alloh, pada hakikatnya bukanlah ia yang berdzikir tetapi Alloh-lah yang berdzikir kepada diri-Nya. Yang menjadi pedzikir hakiki bukanlah hamba itu tetapi adalah Alloh



.ومن عمل لطلب الجزاء فهو نسيان من الفضل والرحمة الله





SELAMAT BELAJAR JANGAN FAHAMI AL-QUR'AN HANYA SEBATAS TAFSIRNYA SEMATA (sebatas TENGGOROKAN / hanya sebatas yang kalian tau) karena masih banyak makna-makna yang belum tersirat ... agar dirimu menjadi KENYATAAN AYAT - AYAT ALLOH SWT .............

TAFSIR AYAT YANG TERSEMBUNYI DIBALIK SURAT AL-IMRON AYAT 103




وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu, karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." – (QS.3:103)

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا  : berpeganglah kamu sekalian dengan tali alloh ... yang di maksud tali di sini mempunyai makna yang tersembunyi ...

1 : tali agama  yaitu tali ukhuwah islamiyah yang di ikat dengan SYAHADATAIN
   Di antara perkara yang sering merusak ukhuwah Islamiyah ialah adanya sikap dari sebagian kita yang tak mau memaklumi bila saudaranya berbuat salah atau keliru. Padahal kesalahan yang dilakukan oleh seseorang itu bisa jadi karena lupa, salah paham, bodoh, karena belum tahu ilmunya atau karena terpaksa sehingga berbuat demikian.

 Sikap pukul rata (gebyah uyah) ini banyak terjadi di kalangan kaum muslimin, bahkan juga di kalangan Ahlus Sunnah. Ketika ada orang yang berbuat salah, bukannya dinasihati atau diingatkan, malah dihadapi dengan sikap permusuhan. Terkadang digelari sebutan-sebutan yang jelek atau malah ia dijauhkan dari kaum muslimin.

 Sikap yang lebih ekstrim dlm masalah ini adalah apa yang ditunjukkan kelompok Khawarij ,mujasimah & musyabbihah. Mereka lebih tak bisa melihat saudaranya yang berbuat kesalahan. Orang yang terjatuh dlm perbuatan dosa, dlm pandangan mereka, telah terjatuh dlm kekafiran hingga halal darah & hartanya bahkan istri dan anaknya halal sbgai budak / tawanan perang

 Kondisi ini tentu akan bermuara pada pecahnya ukhuwah di kalangan umat Islam dan menjadikan kembali islam pada masa JAHILIYAH . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Tidak boleh mengkafirkan seorang muslim dgn sebab sebuah dosa atau kesalahan yang ia kerjakan, selama ia masih menjadi ahlul qiblat (masih shalat). Seperti dlm masalah-masalah yang masih diperselisihkan kaum muslimin di mana mereka berpendapat dgn suatu pendapat yang kita anggap salah, maka tak bisa kita mengkafirkannya. Karena Allohmemberi udzur kepada mereka. Alloh berfirman:

 آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ. لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Rasul telah beriman kepada Al-Qur`an yang diturunkan kepadanya dari Rabb mereka, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Alloh, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, & rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): ‘Kami tak membeda-bedakan antara seorangpun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya’, & mereka mengatakan: ‘Kami dengar & kami taat’. (Mereka berdoa): ‘Ampunilah kami ya Rabb kami & kepada Engkaulah tempat kembali’.” Allah tak membebani seseorang melainkan sesuai dgn kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya & ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami pikul. Maafkanlah kami; ampunilah kami; & rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir’.”  (Al-Baqarah: 285)
Disebutkan dlm riwayat yang shahih (HR. Muslim dari Abu Hurairah dlm Shahih beliau) bahwa Allah telah mengabulkan doa para nabi & doa orang-orang beriman ini. Sehingga diangkatlah pena dari orang-orang yang berbuat kesalahan karena lupa atau karena ia tak mengerti ilmunya. Juga bagi orang yang tak sanggup memikul suatu beban.”

 Orang-orang Khawarij tak mau membedakan hal-hal tersebut. Menurut mereka, barangsiapa berbuat dosa maka dia menentang Al-Qur`an. Barangsiapa menentang Al-Qur`an berarti menentang Allah l & barangsiapa menentang Allah l berarti dia kafir. Mereka menyamakan semua perbuatan salah & menganggapnya sebagai kekafiran.
 Syaikhul Islam melanjutkan: “Khawarij yang telah salah dlm hukum ini oleh Rasulullah diperintahkan utk diperangi.
 Rasulullah n bersabda:

 لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ قَتَلْتُهُمْ قَتْلَ عَادٍ

 “Sungguh jika aku sempat menjumpai mereka, aku akan perangi mereka, aku akan tumpas layaknya kaum Aad.” (Muttafaqun alaihi)
 Allah l juga memerintahkan utk memerangi mereka. Allah  berfirman:

 وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ

 “Kalau ada dua kelompok kaum mukminin berperang maka damaikanlah keduanya. Kalau salah satunya memberontak, maka perangilah mereka sampai mereka kembali kepada Allah.”
 (Al-Hujurat:9)
 Ketika Ali bin Abi Thalib Ra  benar-benar menjumpai orang-orang Khawarij, maka beliau bersama para sahabat pun memerangi mereka. Begitupun seluruh imam baik dari generasi sahabat, tabi’in, atau setelah mereka sepakat bahwa Khawarij itu harus diperangi. Namun Ali bin Abi Thalib z tak mengkafirkan mereka.
Begitu pula sahabat yang lain seperti Sa’d bin Abi Waqqash z & lainnya, mereka juga memerangi orang-orang Khawarij. Namun mereka tetap menganggap Khawarij itu sebagai kaum muslimin. Sehingga cara memeranginya pun berbeda dgn memerangi orang kafir. Bila orang kafir diperangi maka hartanya menjadi ghanimah, wanita & anak-anak mereka menjadi tawanan. Sedangkan memerangi Khawarij tak demikian. Mereka hanya diperangi sampai mereka mau kembali ke jalan Alloh  & kembali taat kepada penguasanya.
 Ali bin Abi Thalib Ra memerangi Khawarij setelah terbukti mereka menumpahkan darah & merampas harta kaum muslimin dgn dzolim. Ali bin Abi Thalib Ra berkata: “Demi Alloh, aku akan perangi mereka sampai tak tidak tersisa 10 orang pun di antara mereka.”

 Ketika para sahabat menyebut mereka sebagai kafir, maka Ali Ra berkata:

 لاَ، مِنَ الْكُفْرِ فَرُّوْا

“Tidak. Mereka justru lari dari kekufuran.”

 Sikap orang-orang Khawarij yang demikian yakni khawatir terjatuh pada kekafiran inilah yang menyebabkan mereka memiliki sikap ekstrim dlm melihat perbuatan dosa.  Apa akibatnya? Terjadilah perpecahan & pertumpahan darah di tengah-tengah  kaum muslimin.
 Kesesatan Khawarij yang telah jelas diterangkan oleh nash & disepakati kaum muslimin –bahkan membuat mereka boleh diperangi– tak menyebabkan mereka boleh utk dikafirkan. Apalagi beragam kelompok lain yang bermunculan pada masa ini, di mana mereka dihinggapi berbagai kekeliruan & kebodohan, maka mereka tak bisa utk dikatakan sebagai kafir. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang bodoh yang tak tahu tentang apa yang diperselisihkan.”

 Inilah perbedaan antara Khawarij dgn Ahlus Sunnah. Khawarij menganggap kafir kaum muslimin, & khususnya Ahlus Sunnah, karena dianggap sebagai kelompok yang pro thaghut (pro pemerintah). Namun demikian kita tetap tak mengkafirkan mereka. Inilah bijaknya Ahlus Sunnah. Mereka berjalan dgn ilmu, bukan dgn emosi. Mereka mengetahui bahwa hukum asal darah kaum muslimin adalah terjaga. Begitu pula dgn kehormatan & harta kaum muslimin, semuanya terjaga
Rosululloh Muhammad SAW  menyatakan dlm hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari & Muslim saat Haji Wada, beliau n berkata:

 فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا إلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ

“Sungguh darah, harta, & kehormatan kalian adalah suci seperti sucinya hari ini (hari Arafah), seperti sucinya bulan ini (bulan Dzulhijjah) & seperti sucinya negeri ini (Makkah), hingga hari kalian bertemu Rabb kalian.” (Muttafaqun ‘alaih)

 Karena itu kita jangan sampai terjerumus ke dlm kesalahan yang sama dgn Khawarij. Yaitu tak membedakan antara orang yang salah karena lupa, tak tahu atau terpaksa, dgn para penentang Sunnah. Hingga akhirnya kita menyamaratakan & menyikapi mereka dgn sikap yang sama, yaitu memusuhi & menjatuhkan kehormatannya.

 Kita harus menjaga agar darah kaum muslimin tak tertumpah dgn cara yang dzalim, begitu pula dgn harta & kehormatan mereka. Karena darah, harta, & kehormatan kaum muslimin adalah suci sebagaimana sucinya Hari Arafah, sucinya Kota Mekkah, & bulan Dzulhijjah. Kita harus menjaga kemuliaan darah, harta, & kehormatan kaum muslimin sebagaimana kita menjaga kemuliaan hari Arafah, Kota Makkah, & bulan Dzulhijjah.

Yang tak kalah penting utk diperhatikan adalah masalah harta. Seluruh kaum muslimin harus saling menjaga harta saudaranya. Jangan sampai kita merampas harta orang lain secara dzalim, jangan menipu, atau berhutang dgn niat utk tak membayar. Semua perbuatan ini juga terlarang sebagaimana terlarangnya menumpahkan darah kaum muslimin.

 Sungguh merupakan kejadian yang benar-benar memalukan jika ada seorang yang mengaku Ahlus Sunnah memakan harta saudaranya dgn cara yang dzalim dlm masalah perdagangan atau hutang piutang hingga terjadi permusuhan di antara mereka. Terjadi saling boikot, saling tahdzir, saling mencela, & sebagainya hanya karena semata-mata masalah uang. Masalah ini bisa menjadi besar & berbahaya, yang semuanya berawal hanya karena tak dijaganya harta sesama muslim.

 Untuk urusan menumpahkan darah sesama muslim, barangkali Khawarij yang paling ahli. Namun utk urusan memakan harta sesama muslim dgn cara yang dzalim, melanggar kehormatan saudaranya yang mestinya jangan sampai dilanggar, ternyata terjadi juga di kalangan orang-orang yang mengaku Ahlus Sunnah.
 Karena itu saya wasiatkan kepada kita semua & kaum muslimin, takutlah kepada Allah l. Kita bicara tentang Khawarij, bahwa mereka itu kelompok sesat yang telah melanggar hadits Rasulullah n tentang larangan menumpahkan darah sesama muslim dgn cara yang dzalim, sementara di saat yang sama kita pun melanggar hadits tersebut pada sisi yang lain.

 Perbuatan mengambil harta sesama muslim dgn cara yang batil atau melanggar kehormatannya, merupakan dua keharaman yang memiliki kedudukan sama sebagaimana larangan menumpahkan darah seorang muslim dgn cara yang batil. Karena tiga masalah ini disebutkan oleh Rasululloh SAW
================================================================================
Saya teringat waktu kecil ketika sedang ikut sholat berjamaah di masjid di kampung saya. Setiap imam sampai pada ucapan “wa ladh-dhallin …” teman-teman sebaya saya sering memanjangkan bahkan membelok-belokkan ucapan “amiiiiiin …”. Meskipun para jamaah sudah selesai teman-teman itu masih juga melanjutkan “iiiin….”. Sehingga setiap saya ikut shalat berjamaah di masjid itu, sejak takbiratul ihram saya mesti sibuk memperhatikan teman saya kanan kiri dan depan belakang dan berpikir bahwa teman-teman saya itu nanti shalat main-main, ribut, atau mengganggu orang lain shalat. Saya benar-benar jengkel, maka untuk hari-hari berikutnya saya sejak awal sudah siap-siap jika teman-teman saya itu nanti main-main dalam shalat. Saya benar-benar jengkel, di samping ada teman yang main-main, ribut, lari sana sini, bahkan ada yang sengaja batuk-batuk padahal sebenarnya tidak batuk hanya disengaja, entah mengapa. Langsung saya berjalan, keluar dari barisan (shaf) saya dan mendekati teman yang batuk-batuk tadi.
Sambil saya menunjuk-nunjuk dengan jari telunjuk, “He ! Sholat itu kata pak guru tidak boleh main-main seperti itu, batal!
Seperti saya ini, sholat yang benar, tidak ganggu orang, dan khusuk!
” kata saya sambil kembali ke tempat saya sholat semula.

Ternyata setelah saya dewasa dan tua ini, terutama di zaman sekarang ini, pengalaman saya waktu kecil itu menjadikan saya tersenyum dan malu sendiri. Lebih-lebih setelah saya ingat  kiyai saya pernah mengutip ayat Al-Qur’an :

 وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلا تُبْصِرُونَ

“Dan pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat, 51 : 21)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, menurut Qatadah ayat itu mengandung maksud berpikir, merenungkan, akan diri sendiri; mengetaui bahwa diciptakannya komponen-komponen diri manusia itu untuk mengabdi (beribadah) kepada Penciptanya.

 Al-Mawardi dalam Tafsirnya lebih detail menjelaskan ada lima interpretasi dalam ayat itu. Pertama, memperhatikan sabilul-ghaith wal-baul (jalan untuk buang air besar dan kecil) (pendapat Ibnu Zubair dan Mujahid). Kedua, memperhatikan harmonisasi kerja kedua tangan, kedua kaki, dan anggauta tubuh lainnya merupakan bukti bahwa kamu sekalian diciptakan oleh Yang Maha Pencipta untuk mengabdi (beribadah) kepada-Nya (pendapat Qatadah). Ketiga, memperhatikan kamu sekalian asalnya diciptakan dari tanah, kemudian menjadi manusia yang tersebar di seluruh muka bumi (pendapat Ibnu Zaid). Keempat,

memperhatikan hidup dan mati kamu sekalian dan bagaimana makanan masuk dan keluar dari diri kamu sekalian (pendapat As-Sadi). Kelima, memperhatikan keadaan kamu sekalian ketika kondisi tua sesudah muda, kondisi lemah sesudah kuat, dan kondisi rambut beruban sebelumnya hitam (pendapat Al-Hasan).

Dalam Tafsir Al-Wasith, di jelaskan ayat Al-Qur’an itu mengandung maksud, bahwa pada diri dan penciptaan kamu sekalian, apakah tidak kamu perhatikan ? –yaitu perhatian, pemikiran, dan ibrah (pelajaran)- karena sesungguhnya asalnya kamu diciptakan dari saripati tanah, menjadi sperma, menjadi segumpal darah, menjadi segumpal daging, lalu menjadi makhluk dengan bentuk spesifik. Kemudian dalam penjagaan dan perlindungan dalam kandungan ibu kamu, dalam perkembangan kamu fase demi fase, dalam perbedaan bahasa dan warna kulit kamu, dalam berbagai susunan halus yang menakjubkan untuk tubuh dan anggota badan kamu, lalu dalam perbedaan potensi daya pikir, pemahaman, dan keluasan kamu. Pada semua itu dan yang lainnya merupakan ibrah (pelajaran) bagi orang yang mau mengambil pelajaran hidup.

Benar, sebenarnya saya sendiri belum memperhatikan diri sendiri meskipun dalam hal yang paling sederhana, lebih-lebih terhadap hal-hal yang rumit yang bersifat fisik-material, belum lagi yang bersifat nonfisik-material. Paling mudah adalah melihat orang lain, terutama wajahnya. Dia cemberut, sedih, gembira. Dia … dan seterusnya, pokoknya mudah melihat orang lain. Wajah diri sendiri bagaimana ? Saya juga suka mentertawakan orang lain, padahal bersamaan itu pula orang yang saya tertawakan itu tertawa juga karena saya tertawa.

Seorang santri atau siswa madrasah setingkat ibtida’iyah (SD) kadang-kadang mengingatkan saya untuk segera sadar dan mau serta berani memperhatikan diri sendiri dengan melantunkan nazham (semacam syair) dari kitab Al-Jauharatu fit-Taukhid (Imam Burhanuddin Ibrahim) :
“Fanzhur ila nafsika tsumman-taqili … lil-‘alamil-‘ulwiyyi tsummas-sufli”
(Perhatikan pada dirimu sendiri, lalu lanjutkan pada alam yang tinggi dan yang bawah), “Tajid bihi shun’an badi’al-hikami … lakin bihi qooma daliilul-‘adami”(Maka akan kamu temukan dengan perhatian itu ciptaan Tuhan yang indah menakjubkan dan penuh kebijaksanaan, dengan perhatian itupun ditemukan bukti adanya makhluk ciptaan yang bersifat sesaat).

Orang banyak tahu

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

  "Bagi manusia ada malaikat-malaikat, yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (QS. Ar-Ra’du, 13 : 11).

 Namun, mengapa banyak orang juga merasa kehidupan ini tidak berubah juga. Ya, mungkin seperti saya ini diri sendiri belum mau berubah. Saya sendiri setelah saya memperhatikan diri sendiri ternyata banyak salah dan dosa, namun selama ini justru suka dan mudah melihat salah dan dosa orang lain. Padahal banyak yang tahu 

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu (untuk melakukan perbaikan) ….” (QS. Ali Imran, 3 : 133). 

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ

Lalu “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri ….” (QS. Al-Baqarah, 2 : 44).

Siapa yang perlu memulainya lebih dahulu? Saya teringat seorang  kiyai berceramah,
 “Mulailah dari dirimu sendiri, lalu orang-orang terdekat.” (HR. Nasa’i).
Dan “Apabila Allah memberi salah seorang kamu (kesempatan berbuat) kebaikan, mulailah dari dirinya sendiri dan keluarganya.” (HR. Muslim). Maka jawabnya, diri saya sendiri yang memulai lebih dahulu.

Semoga saya bersegera, sekarang juga, memulai mau dan berani memperhatikan diri sendiri, tidak seperti waktu kecil suka dan mudah menyalahkan orang lain padahal tanpa saya sadari saya sendiri di saat itu pula melakukan kesalahan yang sama. Saya cari kekurangan, kesalahan dan dosa diri sendiri untuk perubahan dan perbaikan dalam menyongsong kehidupan mendatang yang lebih baik dari sekarang. Bukankah secara jelas,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hasyr : 18)


2 : tali hidup yaitu  nafas ,nufus anfus ,tanaffas  & anfas
Dalam kitab bayan Tauhid di sebutkan ;


واما جسر الحى (حبل) وهو اربعة احدها نفس وهو داخل فقدط وهو حمد الروح الذي حمدا لا ينقطع اصلا
وثانيها تنفس وهو الخارج فقط هو نظر الروح
وثالثها انفاس وهو لا سكن ولا يتحرك  هو عروفية الروح 
ورابعها نُفُسٌ وهو لا مخرج ولا مدخل هو قدرية الروح

Adapun talinya hidup (persambungan antara mahluk & alloh) itu ada 4 :
 1 : nafas  yaitu hawa yang masuk melalui penciuman saja dan nafas itu menjadi PAMUJI nya RUH yang benar-benar mengagungkan pada dzaatu al-khaiyi tidak terputus sama sekali
2- tanaffas : hawa yang keluar melalui penciuman saja dan itu menjadi penglihatannya (bashiroh) Ruh
3 : Anfaas : hawa yang  tidak diam dan tidak bergerak  dan itu menjadi pengertiannya Ruh
4 : Nufus : hawa yang  tidak keluar dan tidak masuk dan itu menjadi kekuasaannya Ruh

SELEBIHNYA MARILAH KITA KAJI KEMBALI APA YANG MENJADI PESAN’’ ROSULULLOH DARI MAKNA YANG TERSURAT SERTA MAKNA YANG TERSIRAT ... INILAH KENAPA ULAMA’ SUFI SELALU MENGANJURKAN UNTUK SESEGERA MENGENAL DIRI AGAR MENGENAL ILAHI ....

PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI

JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...

KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN











AlkisAnnabila