"Ada seorang raja menderita penyakit yang mengerikan. Sangat mengerikan. Menceritakannya kembali akan sangat tidak enak. Sejumlah tabib Yunani dengan sepakat memutuskan bahwa penyakitnya hanya akan sembuh, bila raja mau makan empedu orang dengan syarat-syarat tertentu. Raja memerintahkan agar orang itu dicari di seluruh negeri. Seorang anak petani dengan kualifikasi yang disebutkan tabib ditemukan. Raja memberikan anugerah yang berlimpah kepada kedua orang tuanya, sehingga mereka senang anaknya dijadikan korban. Jaksa Agung (Mahkamah Agung) memutuskan boleh menumpah darah rakyat untuk menyelamatkan nyawa raja. Algojo siap memotong kepalanya.
Tiba-tiba pemuda itu mendongak ke langit seraya tersenyum. Raja bertanya : "Dalam keadaan seperti ini kamu masih bisa tersenyum?" anak muda itupun menjawab : "Ayah dan bunda seharusnya menjaga dan merawat anaknya, Jaksa Agung mestinya tempat mengajukan pengaduan dan raja menjadi sandaran untuk menegakkan keadilan. Tapi kini ayah dan ibuku mengantarkan aku pada kematian karena pertimbangan dunia, Jaksa Agung telah menjatuhkan vonisnya, dan sultan mencari keselamatan dengan menghancurkan ku. Selain Tuhan tidak ada lagi yang dapat melindungiku. Kemana aku lari dari cengkeraman tangan mu? akan ku cari keadilan yang bertentangan dengan kekuasaan mu". Hati raja tersentuh, ia menangis dan berkata "Lebih baik akau binasa dari pada menumpahkan darah yang tak bersalah". Raja mencium kepala anak muda itu, memeluknya dan memberikan hadiah yang banyak, kemudian membebaskannya". Demikianlah kisah yang dituturkan oleh Jalaluddin Rakhmat dalam kata pengantar bukunya "Rekayasa Sosial, Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar".
Menurut hemat saya, kisah tersebut merupakan sebuah ilustrasi yang ingin mengetengahkan sebuah pesan moral, bahwa terkadang nurani manusia itu bisu, bungkam terhadap sebuah perbuatan yang mestinya diingkari oleh nurani (munkar), bahkan tak mustahil justru nurani tersebut meng-iyakan dan setuju terhadap kemunkaran. Padahal bila merujuk kepada salah satu sabda Nabi Saw, bahwa pengingkaran nurani semata tanpa disertai usaha pencegahan secara lisan, dan kekuasaan merupakan indikator lemahnya keimanan. Apabila nurani pun sudah tidak lagi mengingkari sebuah kemunkaran, dimanakah keimanan kita? Mungkinkah iman kita telah usang, lusuh dan kemudian memudar seiring dengan perputaran waktu? Na'udzu billah.....
Dalam kondisi sosial politik dewasa ini, kerap kali nurani kita bungkam dan bisu terhadap sebuah kemunkaran, padahal seharusnya kita mampu mengambil sikap oposan, melawan dan menolak kemunkaran. Demikianlah, pesan yang disampaikan oleh Subhan SD dalam bukunya "Ulama-Ulama Oposan".
Ali ibn Abi Thalib pernah berkata : "Bahwa yang membentuk suatu masyarakat adalah perasaan setuju dan tidak setuju". Karena itu bungkam terhadap kemunkaran menyebabkan kita menjadi bagian dari mereka.
Sementara Murtadha Muthahhari menyatakan : "Bahwa eksistensi suatu masyarakat tak jauh beda dengan eksistensi individu, karena itu dalam masyarakat pun ada dosa seperti dalam individu yang disebut dengan dosa sosial".
Dengan bahasa yang diflomatis seorang ilmuan dalam wawancaranya di sebuah stasiun televisi mengatakan : "Bukan hanya salah Firáun, Firáun menjadi demikian sombong dan angkuh karena tak pernah ada yang mengingkarinya". Oleh karena itulah al-Qurán mengungkapkan dalam Qs. al-Anfal (8) : 25 "Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang zhalim saja diantara kamu, dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksanya".
Kata Nurani berasal dari Bahasa Arab "Nur-un" yang makna generiknya "cahaya, terang dan jelas" sekaligus merupakan lawan dari kata "Dzulmun" yang artinya "gelap". Karena itulah nurani adalah salah satu potensi yang dimiliki manusia untuk mencari kebenaran, yang oleh Ibn Miskawaih disebut "al-Hikmah al-Khalidah". Sebagaimana sabda Nabi kepada seseorang yang meminta nasihat kepadanya "Istafti Qolbaka" (minta fatwalah pada nuranimu).
Menurut hemat saya, kisah tersebut merupakan sebuah ilustrasi yang ingin mengetengahkan sebuah pesan moral, bahwa terkadang nurani manusia itu bisu, bungkam terhadap sebuah perbuatan yang mestinya diingkari oleh nurani (munkar), bahkan tak mustahil justru nurani tersebut meng-iyakan dan setuju terhadap kemunkaran. Padahal bila merujuk kepada salah satu sabda Nabi Saw, bahwa pengingkaran nurani semata tanpa disertai usaha pencegahan secara lisan, dan kekuasaan merupakan indikator lemahnya keimanan. Apabila nurani pun sudah tidak lagi mengingkari sebuah kemunkaran, dimanakah keimanan kita? Mungkinkah iman kita telah usang, lusuh dan kemudian memudar seiring dengan perputaran waktu? Na'udzu billah.....
Dalam kondisi sosial politik dewasa ini, kerap kali nurani kita bungkam dan bisu terhadap sebuah kemunkaran, padahal seharusnya kita mampu mengambil sikap oposan, melawan dan menolak kemunkaran. Demikianlah, pesan yang disampaikan oleh Subhan SD dalam bukunya "Ulama-Ulama Oposan".
Ali ibn Abi Thalib pernah berkata : "Bahwa yang membentuk suatu masyarakat adalah perasaan setuju dan tidak setuju". Karena itu bungkam terhadap kemunkaran menyebabkan kita menjadi bagian dari mereka.
Sementara Murtadha Muthahhari menyatakan : "Bahwa eksistensi suatu masyarakat tak jauh beda dengan eksistensi individu, karena itu dalam masyarakat pun ada dosa seperti dalam individu yang disebut dengan dosa sosial".
Dengan bahasa yang diflomatis seorang ilmuan dalam wawancaranya di sebuah stasiun televisi mengatakan : "Bukan hanya salah Firáun, Firáun menjadi demikian sombong dan angkuh karena tak pernah ada yang mengingkarinya". Oleh karena itulah al-Qurán mengungkapkan dalam Qs. al-Anfal (8) : 25 "Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang zhalim saja diantara kamu, dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksanya".
Kata Nurani berasal dari Bahasa Arab "Nur-un" yang makna generiknya "cahaya, terang dan jelas" sekaligus merupakan lawan dari kata "Dzulmun" yang artinya "gelap". Karena itulah nurani adalah salah satu potensi yang dimiliki manusia untuk mencari kebenaran, yang oleh Ibn Miskawaih disebut "al-Hikmah al-Khalidah". Sebagaimana sabda Nabi kepada seseorang yang meminta nasihat kepadanya "Istafti Qolbaka" (minta fatwalah pada nuranimu).
Akan tetapi karena kelemahannya (Qs. al-Nisa' (4) : 28), manusia sangat rentan tergelincir pada kejatuhan moral dan spiritual, melalui perbuatan dosa, yang menurut al-Ghozali menyebabkan noda dan kegelapan hati. Dengan demikian semua perbuatan dosa adalah zhulm-un (penyebab kegelapan hati) sehingga hati para pelaku dosa tidak layak lagi disebut nurani, akan tetapi zhulmani (hati yang gelap) yang melahirkan manusia-manusia gelap (Dzalim), seperti : Homo Homoni Lupus (manusia srigala bagi sesama).
اللهم ءارنا الحق حقا وارزقنا اتباعة وءارنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنا بة
Mudah-muahan Alloh Yang Maha Kuasa dan Maha Adil segera nemperlihatkan ke Maha AdilanNYA. Karena Engkaulah Yaa Alloh Satu-Satunya Dzat yang takkan pernah terkalahkan. Amiin
اللهم ءارنا الحق حقا وارزقنا اتباعة وءارنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنا بة
Mudah-muahan Alloh Yang Maha Kuasa dan Maha Adil segera nemperlihatkan ke Maha AdilanNYA. Karena Engkaulah Yaa Alloh Satu-Satunya Dzat yang takkan pernah terkalahkan. Amiin