يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا الأَلْبَابِ(البقرة/269).
"Alloh memberikan HIKMAH kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang diberi HIKMAH, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak" (Al Qur'an, Surah Al Baqoroh, 2:269) Hendaklah engkau membaca al-Qur’an dan merenungkannya dengan penerimaan qolbuMU. Ketika engkau membacanya, perhatikanlah kualitas-kualitas dan sifat-sifat terpuji yang dilekatkan oleh Alloh kepada hamba-hamba-Nya yang Dia cintai. Hendaklah juga engkau engkau bersifat dengan kualitas-kualitas dan sifat-sifat itu. Perhatikan pula kualitas-kualitas dan sifat-sifat yang dicela oleh Alloh dalam al-Qur’an yang dimiliki oleh orang yang Dia benci.
Maka jauhilah kualitas-kualitas dan sifat-sifat itu. Alloh tidak menyebut untuk engkau kualitas-kualitas dan sifat-sifat itu dalam Kitab-Nya dan menurunkannya kecuali agar engkau mengamalkan dengan cara itu. Bila engkau membaca al-Qur’an, jadilah engkau al-Qur’an demi apa yang ada dalam al-Qur’anuntuk membaca (tilāwah) tetapi juga merenungkan (tadabbur) al-Qur’an.
Merenungkan (tadabbur) di sini adalah mempelajari, mengkaji dan melihat secara mendalam dengan qolbu, yang berimplikasi pada transformasi spiritual dalam perjalanan menuju Alloh.
Membaca dan merenungkan al-Qur’an membawa seseorang kepada pengetahuan dan kesadaran tentang kualitas-kualitas dan sifat-sifat terpuji yang harus dia miliki dan kualitas-kualitas dan sifat-sifat tercela yang harus dia jauhi. Kualitas-kualitas dan sifat-sifat terpuji itu adalah kualitas-kualitas dan sifat-sifat Alloh, yang tidak lain adalah identik dengan al-Qur’an.
Karena itu, para ahlillah memberikan wasiat agar kita menjadi al-Qur’an, atau berakhlak dengan al-Qur’an sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw... tidak membatasi apapun dengan aqal indrawi semata ... terjebak pada takwil semata ...
Syeikh Ibn ‘Arabi mewasiatkan agar orang-orang mukmin berusaha dengan sungguh-sungguh memelihara (yang berarti pula menghafal) al-Qur’an dengan amal sebagaimana memeliharanya dengan bacaan.
Syekh ini memperingatkan bahwa tidak ada orang yang lebih pedih siksaannya pada Hari Qiyamat daripada orang yang menghafal satu ayat al-Qur’an kemudian ia melupakannya. Demikian pula orang yang menghafal satu ayat al-Qur’an kemudian ia tidak mengamalkannya.
Maka pada Hari Kiamat ayat itu akan menjadi saksi dan kesedihan atas dirinya.Pesan Rasul Alloh Saiyidina Muhammad saw, yang di ceritakan oleh syekh Ibn ‘Arabi, mengungkapkan keadaan orang yang membaca al-Qur’an dan orang yang tidak membacanya, baik orang mukmin maupun orang munafik. Beliau berkata, “Perumpamaan orang mukmin yang membaca al-Qur’an adalah seperti buah jeruk sitrun yang baunya harum.” Buah jeruk sitrun itu berarti bacaan dan itu adalah nafas-nafas yang keluar.
Bacaan itu adalah ibarat bau-bau harum yang dikeluarkan oleh napas-napas yang rasanya lezat, yang berarti IMAN. Karena itu, beliau berkata, “Orang yang ridho dengan Alloh sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Saiyidina Muhammad saw sebagai Nabinya, niscaya merasakan lezatnya IMAN.” Maka rasa lezatnya dinisbahkan pada IMAN.
Kemudian beliau berkata, “Perumpamaan orang MUKMIN yang tidak membaca al-Qur’an adalah seperti buah yang lezat rasanya” dalam arti ia adalah MUKMIN yang memiliki IMAN, “tetapi baunya tidak harum dalam arti ia bukan pembaca atau pengikut (tālī) dalam keadaan yang tidak ada pembaca, meskipun ia termasuk penghafal al-Qur’an. Beliau berkata pula, “Perumpamaan orang munafik yang membaca al-Qur’an adalah seperti kasturi berbau harum,” karena al-Qur’an adalah harum, dan ia tidak lain dari nafas-nafas pembaca ketika waktu dan keadaan membacanya, “tetapi pahit rasanya” karena kemunafikan adalah penutupan batin, sedangkan manisnya iman adalah merasakan lezatnya iman itu.
Kemudian beliau berkata, “Perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al-Qur’an adalah seperti ketimun yang pahit rasanya dan tidak harum baunya,” karena ia bukan pembaca al-Qur’an.Atas dasar kajian ini, Syekh Ibn ‘Arabi menyimpulkan bahwa dalam setiap perkataan yang baik (kalām thayyib) ada ridho Alloh SWT.
Bentuk KALAM Alloh dari orang MUKMIN dan orang MUNAFIQ adalah bentuk al-Qur’an dalam perumpaan itu tetapi posisi al-Qur’an tidak tersembunyi. Tidak ada suatu perkataan pun yang membuat dekat kepada Alloh yang menandingi perkataan AllohKutipan yang cukup singkat di atas mengingatkan kita pada doktrin penilaian para sebagian ulama' pada syekh Ibn ‘Arabi tentang wahdat al-wujūd bahwa tidak ada sesuatu pun dalam wujud kecuali AL-ILAH (al-Haqq) yang ada hanya Wujud Yang Esa, yaitu Alloh semata .
Segala sesuatu selain Alloh tidak ada pada dirinya ia ada hanya sebagai penampakan diri (tajallīyah) ALLOH . Alam adalah ekspresi atau manifestasi Alloh ('ainulloh / bayang-bayang) .
Maka ketika seorang hamba membaca al-Qur’an, pada hakikatnya bukanlah ia yang membacanya tetapi Alloh-lah yang membacanya.
Yang menjadi pembaca hakiki al-Qur’an bukalah hamba itu tetapi adalah Alloh. Begitu juga ketika seorang hamba berdzikir pada Alloh, pada hakikatnya bukanlah ia yang berdzikir tetapi Alloh-lah yang berdzikir kepada diri-Nya. Yang menjadi pedzikir hakiki bukanlah hamba itu tetapi adalah Alloh
.ومن عمل لطلب الجزاء فهو نسيان من الفضل والرحمة الله
SELAMAT BELAJAR JANGAN FAHAMI AL-QUR'AN HANYA SEBATAS TAFSIRNYA SEMATA (sebatas TENGGOROKAN / hanya sebatas yang kalian tau) karena masih banyak makna-makna yang belum tersirat ... agar dirimu menjadi KENYATAAN AYAT - AYAT ALLOH SWT .............
"Alloh memberikan HIKMAH kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang diberi HIKMAH, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak" (Al Qur'an, Surah Al Baqoroh, 2:269) Hendaklah engkau membaca al-Qur’an dan merenungkannya dengan penerimaan qolbuMU. Ketika engkau membacanya, perhatikanlah kualitas-kualitas dan sifat-sifat terpuji yang dilekatkan oleh Alloh kepada hamba-hamba-Nya yang Dia cintai. Hendaklah juga engkau engkau bersifat dengan kualitas-kualitas dan sifat-sifat itu. Perhatikan pula kualitas-kualitas dan sifat-sifat yang dicela oleh Alloh dalam al-Qur’an yang dimiliki oleh orang yang Dia benci.
Maka jauhilah kualitas-kualitas dan sifat-sifat itu. Alloh tidak menyebut untuk engkau kualitas-kualitas dan sifat-sifat itu dalam Kitab-Nya dan menurunkannya kecuali agar engkau mengamalkan dengan cara itu. Bila engkau membaca al-Qur’an, jadilah engkau al-Qur’an demi apa yang ada dalam al-Qur’anuntuk membaca (tilāwah) tetapi juga merenungkan (tadabbur) al-Qur’an.
Merenungkan (tadabbur) di sini adalah mempelajari, mengkaji dan melihat secara mendalam dengan qolbu, yang berimplikasi pada transformasi spiritual dalam perjalanan menuju Alloh.
Membaca dan merenungkan al-Qur’an membawa seseorang kepada pengetahuan dan kesadaran tentang kualitas-kualitas dan sifat-sifat terpuji yang harus dia miliki dan kualitas-kualitas dan sifat-sifat tercela yang harus dia jauhi. Kualitas-kualitas dan sifat-sifat terpuji itu adalah kualitas-kualitas dan sifat-sifat Alloh, yang tidak lain adalah identik dengan al-Qur’an.
Karena itu, para ahlillah memberikan wasiat agar kita menjadi al-Qur’an, atau berakhlak dengan al-Qur’an sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw... tidak membatasi apapun dengan aqal indrawi semata ... terjebak pada takwil semata ...
Syeikh Ibn ‘Arabi mewasiatkan agar orang-orang mukmin berusaha dengan sungguh-sungguh memelihara (yang berarti pula menghafal) al-Qur’an dengan amal sebagaimana memeliharanya dengan bacaan.
Syekh ini memperingatkan bahwa tidak ada orang yang lebih pedih siksaannya pada Hari Qiyamat daripada orang yang menghafal satu ayat al-Qur’an kemudian ia melupakannya. Demikian pula orang yang menghafal satu ayat al-Qur’an kemudian ia tidak mengamalkannya.
Maka pada Hari Kiamat ayat itu akan menjadi saksi dan kesedihan atas dirinya.Pesan Rasul Alloh Saiyidina Muhammad saw, yang di ceritakan oleh syekh Ibn ‘Arabi, mengungkapkan keadaan orang yang membaca al-Qur’an dan orang yang tidak membacanya, baik orang mukmin maupun orang munafik. Beliau berkata, “Perumpamaan orang mukmin yang membaca al-Qur’an adalah seperti buah jeruk sitrun yang baunya harum.” Buah jeruk sitrun itu berarti bacaan dan itu adalah nafas-nafas yang keluar.
Bacaan itu adalah ibarat bau-bau harum yang dikeluarkan oleh napas-napas yang rasanya lezat, yang berarti IMAN. Karena itu, beliau berkata, “Orang yang ridho dengan Alloh sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Saiyidina Muhammad saw sebagai Nabinya, niscaya merasakan lezatnya IMAN.” Maka rasa lezatnya dinisbahkan pada IMAN.
Kemudian beliau berkata, “Perumpamaan orang MUKMIN yang tidak membaca al-Qur’an adalah seperti buah yang lezat rasanya” dalam arti ia adalah MUKMIN yang memiliki IMAN, “tetapi baunya tidak harum dalam arti ia bukan pembaca atau pengikut (tālī) dalam keadaan yang tidak ada pembaca, meskipun ia termasuk penghafal al-Qur’an. Beliau berkata pula, “Perumpamaan orang munafik yang membaca al-Qur’an adalah seperti kasturi berbau harum,” karena al-Qur’an adalah harum, dan ia tidak lain dari nafas-nafas pembaca ketika waktu dan keadaan membacanya, “tetapi pahit rasanya” karena kemunafikan adalah penutupan batin, sedangkan manisnya iman adalah merasakan lezatnya iman itu.
Kemudian beliau berkata, “Perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al-Qur’an adalah seperti ketimun yang pahit rasanya dan tidak harum baunya,” karena ia bukan pembaca al-Qur’an.Atas dasar kajian ini, Syekh Ibn ‘Arabi menyimpulkan bahwa dalam setiap perkataan yang baik (kalām thayyib) ada ridho Alloh SWT.
Bentuk KALAM Alloh dari orang MUKMIN dan orang MUNAFIQ adalah bentuk al-Qur’an dalam perumpaan itu tetapi posisi al-Qur’an tidak tersembunyi. Tidak ada suatu perkataan pun yang membuat dekat kepada Alloh yang menandingi perkataan AllohKutipan yang cukup singkat di atas mengingatkan kita pada doktrin penilaian para sebagian ulama' pada syekh Ibn ‘Arabi tentang wahdat al-wujūd bahwa tidak ada sesuatu pun dalam wujud kecuali AL-ILAH (al-Haqq) yang ada hanya Wujud Yang Esa, yaitu Alloh semata .
Segala sesuatu selain Alloh tidak ada pada dirinya ia ada hanya sebagai penampakan diri (tajallīyah) ALLOH . Alam adalah ekspresi atau manifestasi Alloh ('ainulloh / bayang-bayang) .
Maka ketika seorang hamba membaca al-Qur’an, pada hakikatnya bukanlah ia yang membacanya tetapi Alloh-lah yang membacanya.
Yang menjadi pembaca hakiki al-Qur’an bukalah hamba itu tetapi adalah Alloh. Begitu juga ketika seorang hamba berdzikir pada Alloh, pada hakikatnya bukanlah ia yang berdzikir tetapi Alloh-lah yang berdzikir kepada diri-Nya. Yang menjadi pedzikir hakiki bukanlah hamba itu tetapi adalah Alloh
.ومن عمل لطلب الجزاء فهو نسيان من الفضل والرحمة الله
SELAMAT BELAJAR JANGAN FAHAMI AL-QUR'AN HANYA SEBATAS TAFSIRNYA SEMATA (sebatas TENGGOROKAN / hanya sebatas yang kalian tau) karena masih banyak makna-makna yang belum tersirat ... agar dirimu menjadi KENYATAAN AYAT - AYAT ALLOH SWT .............