TANBIIH

الحَمـْدُ للهِ المُــوَفَّـقِ للِعُـلاَ حَمـْدً يُوَافـــِي بِرَّهُ المُتَـــكَامِــلا وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَي النَّبِيِّ المُصْطَفَىَ وَالآلِ مَــــعْ صَـــحْــبٍ وَتُبَّـاعٍ وِل إنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا تَقْوَى الإلهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ وَتِبَاعُ أَهْوَى رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلاَ إن أخوف ما أخاف على أمتي اتباع الهوى وطول الأمل إنَّ الطَّرِيقَ شَرِيعَةٌُ وَطَرِيقَةٌ وَحَقِيقَةُ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلا فَشَرِيعَةٌ كَسَفِينَة وَطَرِيقَةٌ كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيقَةٌ دُرٌّ غَلاَ فَشَرِيعَةٌ أَخْذٌ بِدِينِ الخَالِقِ وَقِيَامُهُ بَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ انْجَلاَ وَطَرِِيقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطَ كَالوَرَع وَعَزِيمَةُ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاَ وَحَقِيقَةُ لَوُصُولُهِ لِلمَقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُورُ التّجَلِّي بِانجَلاَ مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق

hiasan

BELAJAR MENGKAJI HAKIKAT DIRI UNTUK MENGENAL ILAHI

Selasa, 06 November 2012

DIALOG SUFISME

                                                                      

1. Sufisme dan Islam (Muhammad Ali al-Mishri)

2. Pemahaman secara Mendalam 


Jawaban-jawaban pertanyaan ini ditujukan untuk Sufi  dalam Islam

1. SUFISME DAN ISLAM

Pertanyaan 1: Apakah dasar-dasar Sufisme ?

Jawaban: Dasar utama Sufisme adalah keyakinan; keyakinan Islami (Iman) dengan enam dasar, yaitu: adanya Allah; Allah Yang Esa, adanya para Malaikat, para Rasul, Hari Pembalasan, Takdir.

Pertanyaan 2: Bagaimana dasar-dasar tersebut dipahami, karena tidak satu pun merupakan subyek pembuktian umum oleh mayoritas masyarakat?

Jawaban: Semuanya dicatat di dalam pikiran dan dialami dalam "hati".

Pertanyaan 3: Apakah penyelesaian Sufisme?

Jawaban: Persepsi yang melampaui suatu pernyataan di dalam "hati".

Pertanyaan 4: Apa perbedaan antara yang Berubah dan orang-orang lain?

Jawaban: Pemahaman yang Berubah adalah sesuatu yang lain dari apa yang biasa disebut pengetahuan oleh orang lain.

Pertanyaan 5: Apa pengetahuan masyarakat biasa?

Jawaban: Adalah suatu peniruan; belajar melalui latihan dari para instruktur; dianggap yang sejati padahal tidak.

Pertanyaan 6: Bagaimana keyakinan sejati dikembangkan?

Jawaban: Dengan mendatangi, melalui beberapa praktek, Jalan yang hanya satu dari tujuhpuluh dua Jalan yang mungkin terbuka untuk manusia. Bisa saja terjadi, setelah mengikuti jalan imitasi, muncul satu yang sejati, tetapi ini sulit.

Pertanyaan 7: Apa bentuk religi lahiriah yang diikuti orang yang Berubah?

Jawaban: Mayoritas mengikuti peribadatan Islam dan masyarakat Tradisi, serta petunjuk-petunjuk ritualnya dimapankan oleh Syeikh Maturidi dari Samarkand. Mereka yang mengikuti kegiatan Islam dalam Empat Madzhab Utama, umumnya disebut Masyarakat Keselamatan (Muslim).

Pertanyaan 8: Saat ia menanyakan madzhabnya, Bayazid al-Bisthami mengatakan, "Aku dari madzhab Allah." Apa artinya ini?

Jawaban: Semua pengakuan di atas (rukun Iman) dianggap sebagai Madzhab Allah.

Pertanyaan 9: Kaum Sufi menunjuk dirinya sebagai fenomena, pemikiran, binatang dan sayur-sayuran. Mengapa?

Jawaban: Nabi bersabda, bahwa pada Hari Pembalasan manusia dibangkitkan dalam bentuk binatang, sesuai perbuatan mereka sebelumnya. Bentuknya muncul menjadi binatang atau bentuk lain yang menyerupai secara internal, daripada bentuk kemanusiaannya. Dalam tidurnya, manusia melihat dirinya sebagai manusia; Bagaimanapun, ia mungkin melihat dirinya sendiri, sesuai dengan tendensi dominannya, sebagai seekor domba, kera, atau babi. Kesalahpahaman terhadap hal-hal tersebut menimbulkan kepercayaan bahwa kehidupan manusia berlalu menuju kebinatangan (transmigrasi), secara harfiah ditafsirkan oleh orang-orang yang tidak tahu tanpa kedalaman perspektif

Pertanyaan 10: Kaum Sufi menggunakan simbol-simbol dan menganjurkan gagasan-gagasan yang bertentangan dengan persyaratan-persyaratan sosial yang sudah mapan, dan asing untuk suatu susunan pernyataan pemikiran yang secara umum digunakan untuk sesuatu yang lebih tinggi. Mereka berbicara tentang kekasih, gelas anggur dan sebagainya. Bagaimana hal ini dapat dipahami?

Jawaban: Bagi kaum Sufi, agama seperti yang dipahami orang biasa adalah suatu yang mentah, eksternal. Simbol-simbol mereka menunjukkan keadaan tertentu. Mereka berhak menggunakan simbol "Allah" untuk sesuatu yang sama sekali tidak diketahui siapa pun, terpisah dari ilusi yang disebabkan oleh emosi.

Pertanyaan 11: Bagaimana al-Qur'an dapat menjadi alis sang kekasih (hal yang utama)?

Jawaban: Bagaimana al-Qur'an menjadi tanda yang dibuat dari karbon dan getah di atas secarik kertas, dengan menggunakan kayu dari rawa?

Pertanyaan 12: Para Darwis mengatakan bahwa mereka melihat Tuhan. Bagaimana mungkin?

Jawaban: Itu bukan kebenaran secara harfiah; namun merupakan perlambang suatu keadaan tertentu.

Pertanyaan 13: Tidak dapatkah suatu individu dilihat melalui lahiriahnya atau manifestasinya?

Jawaban: Bukan suatu individu; hanya eksternal dan manifestasinya yang terlihat. Ketika engkau melihat seseorang menghampiri dirimu, mungkin engkau berkata, "Aku bertemu Zaid"; tetapi engkau hanya dapat melihat apa yang dapat engkau lihat dari lahiriah dan superficial Zaid.

Pertanyaan 14: Menurut keyakinan ummat Muslim, merupakan penghinaan terhadap Tuhan karena kaum darwis mengatakan, "Kami tidak takut Neraka, atau mendambakan Surga."

Jawaban: Mereka tidak bermaksud demikian. Maksud mereka, bahwa ketakutan dan dambaan bukan jalan di mana manusia harus dilatih.

Pertanyaan 15: Engkau sebutkan bahwa tidak ada kontradiksi antara perilaku eksternal atau keyakinan dan persepsi batiniah kaum Sufi. Bila demikian, mengapa kaum Sufi bersikeras terhadap hal-hal tertentu dari orang lain?

Jawaban: Penyelubungan tersebut bukannya menentang tingkah laku yang baik, tetapi menentang pemahaman biasa. Sebagian besar sarjana yang diunggulkan tidak dapat memahami apa yang tidak ia alami, oleh karena itu tersembunyi darinya.

Pertanyaan 16: Jika seseorang hanya mengetahui keyakinan religius dan bukan ilmu khusus kaum Sufi, akankah keagamaannya tersebut kurang dari kaum Sufi?

Jawaban: Tidak, keyakinannya akan menjadi keyakinan religius paling sempurna, tidak dapat menjadi sesuatu yang lebih rendah daripada keyakinan seorang Sufi.

Pertanyaan 17: Apa perbedaan antara Nabi, orang suci dan mereka yang mempunyai pengetahuan tinggi serta penyelam besar?

Jawaban: Jika mereka mempunyai keyakinan religius, maka keyakinan mereka semua sama. Perbedaan mereka terletak pada pengetahuan mereka, bukan perasaan mereka. Seorang raja sama dengan warganya yang memiliki dua mata, hidung dan mulut. Ia berbeda dalam karakter dan fungsi.

(Muhammad Ali al-Mishri)

2. PEMAHAMAN SECARA MENDALAM

Pertanyaan 1: Untuk berapa lama Sufisme hidup?

Jawaban: Sufisme selalu hidup. Hal itu dipraktekkan secara sangat luas dan beragam; kulit luar dari perbedaan tersebut, kurangnya informasi telah menyesatkan kedalam pemikiran bahwa mereka secara esensial berbeda.

Pertanyaan 2: Apakah Sufisme merupakan makna bagian dalam dari Islam, atau apakah hal itu merupakan aplikasi yang lebih luas?

Jawaban: Sufisme adalah pengetahuan dengan jalan mana manusia dapat menyadari dirinya sendiri dan mencapai keabadian. Kaum Sufi dapat mengajar dengan (menggunakan) suatu kendaraan (sarana), apa pun namanya. Kendaraan religius, sepanjang sejarah telah digunakan dengan bermacam nama.

Pertanyaan 3: Mengapa seharusnya seseorang mempelajari Sufisme?

Jawaban: Karena dia diciptakan untuk mempelajarinya; itulah langkah berikutnya.

Pertanyaan 4: Namun banyak orang percaya bahwa ajaran-ajaran yang bukan disebut Sufisme merupakan langkah mereka yang berikutnya.

Jawaban: Ini adalah disebabkan oleh kepelikan ummat manusia yang memiliki dua bentuk pemahaman: Pemahaman lebih Tinggi dan Pemahaman yang Kurang. Pemahaman lebih Tinggi adalah apabila seseorang ingin mengerti tetapi sebagai gantinya mengembangkan hanya suatu keyakinan bahwa jalan tertentu adalah benar. Pemahaman yang Kurang merupakan bayangan dari Pemahaman lebih Tinggi. Seperti halnya bayangan, hal itu adalah suatu penyimpangan dari kenyataan, mempertahankan hanya sebagian dari yang asli.

Pertanyaan 5: Apakah kenyataan bahwa kaum Sufi yang telah terkenal seperti itu dan tokoh-tokoh yang dihargai (mulia) tidak menarik orang untuk mempelajarinya?

Jawaban: Kaum Sufi yang telah dikenal secara umum hanyalah suatu jumlah kecil dari keseluruhan kaum Sufi; mereka yang tidak dapat tinggal diluar keulungan (keadaan terkemuka). Daya tarik kepada seorang tokoh yang sangat dihargai oleh seorang murid yang potensial, merupakan suatu bagian dari Pemahaman yang Kurang. Selanjutnya dia mungkin mengetahui lebih baik.

Pertanyaan 6: Adakah konflik antara kaum Sufi dan metode-metode pemikiran lain?

Jawaban: Tidak akan terjadi, karena Sufisme mengujudkan atau menambahkan semua metode-metode pemikiran; masing-masing memiliki kegunaannya.

Pertanyaan 7: Apakah Sufisme terbatas pada suatu bahasa tertentu, komunitas tertentu, atau periode sejarah tertentu?

Jawaban: Permukaan yang nyata (jelas) dari Sufisme pada suatu waktu, tempat atau komunitas mungkin sering beragam, karena Sufisme harus menghadirkan dirinya sendiri dalam suatu bentuk yang akan bisa dimengerti suatu masyarakat.

Pertanyaan 8: Inikah sebabnya ada guru-guru Sufi dengan demikian banyak sistem yang berbeda dan yang terkenal dalam begitu banyak negara yang berbeda-beda?

Jawaban: Tidak ada alasan lain.

Pertanyaan 9: Namun orang suka melakukan perjalanan untuk mengunjungi guru-guru di negeri lain, yang bahasanya pun bahkan mereka tidak mengerti.

Jawaban: Tindakan-tindakan serupa itu, kecuali kalau dikerjakan di bawah instruksi-instruksi khusus untuk tujuan tertentu, dapat berguna hanya dalam Pemahaman yang Kurang.

Pertanyaan 10: Adakah suatu perbedaan antara apa yang ingin ditemukan oleh seorang laki-laki dan perempuan, dan apakah dia memang membutuhkan untuk menemukan, untuk kehidupan batiniahnya?

Jawaban: Ya, hampir tanpa kecuali. Itulah fungsi (manfaat) seorang guru untuk menyusun pelaksanaan yang benar dari jawaban untuk kebutuhan tersebut, bukan keinginan. Keinginan adalah milik lingkungan orang-orang dari Pemahaman yang Kurang.

Pertanyaan 11: Apakah pembagian Anda atas Pemahaman ke dalam Pemahaman lebih Tinggi dan Pemahaman yang Kurang, lazim untuk semua Sufi?

Jawaban: Tidak ada yang meletakkan kata-kata lazim untuk semua Sufi.

Pertanyaan 12: Apakah yang lazim untuk semua bentuk dari Sufisme?

Jawaban: Keberadaan guru, kapasitas murid, kepelikan (sifat aneh) individu, interaksi antara anggota komunitas, Kenyataan (yang sesungguhnya) dibalik bentuk-bentuk.

Pertanyaan 13: Mengapa beberapa guru Sufi mengajukan murid-murid ke dalam macam-macam Aliran (Tarekat) yang berbeda?

Jawaban: Karena Aliran-aliran tersebut mewakili ajaran yang sungguh-sungguh ada, yang dibangun menghadapi orang-orang berkait dengan kepribadian individu. Orang-orang berbeda antara yang satu dengan lainnya.

Pertanyaan 14: Tetapi mengumpulkan informasi mengenai kaum Sufi dan ajaran-ajaran mereka tidak dapat lain kecuali merupakan suatu kegiatan memulai usaha yang baik, membimbing kepada pengetahuan?

Jawaban: Ini merupakan suatu pertanyaan dari (kalangan) Pemahaman yang Kurang. Informasi mengenai kegiatan dari satu kelompok Sufi mungkin saja berbahaya secara potensial bagi orang lainnya.

Pertanyaan 15: Mengapa ada juga beberapa indikasi dari aliran Ahmad Yasavi dari Turki dan Ibnu al-Arabi dari Andalusia?

Jawaban: Karena, di dalam (kalangan) Pemahaman lebih Tinggi, bengkel kerja dibongkar setelah kerja diselesaikan

Selasa, 30 Oktober 2012

ULAMA PEWARIS NABI


                                                                Allah SWT berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu”. (QS. al-Baqoroh 143)

Firman Allah: شهداء على الناس sebagai saksi untuk manusia, maksudnya; Rasulullah Muhammad SAW dan sebagian umatnya akan menjadi saksi di akherat kelak untuk manusia, juga untuk para Nabi terdahulu dan umatnya. Hal tersebut dinyatakan oleh sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhori RA dari Abi Said al-Khudri RA Rasulullah SAW bersabda:

“قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (يُدَّعى نُوْحٌ عَلَيْهِ السَّلاَمُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُوْلُ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ يَا رَبِّ فَيَقُوْلُ هَلْ بَلَّغْتَ فَيَقُوْلُ نَعَمْ فَيُقَالُ ِلأُمَّتِهِ هَلْ بَلَّغَكُمْ فَيَقُوْلُوْنَ مَا أَتَانَا مِنْ نَذِيْرٍ فَيَقُوْلُ مَنْ يَشْهَدُ لَكَ فَيَقُوْلُ مُحَمَّدٌ وَأُمَّتُهُ فَيَشْهَدُوْنَ أَنَّهُ قَدْ بَِلَّغَ وَيَكُوْنُ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا فَذَالِكَ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ وَكَذَالِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا…).

“Nabi Nuh AS dipanggil menghadap dan Allah swt. bertanya: “Adakah sudah engkau sampaikan?”, Beliau menjawab: “Benar”. Maka Allah swt. bertanya kepada umatnya: “Apakah sudah sampai kepadamu?”, mereka menjawab: “Tidak ada satu peringatanpun yang datang”. Allah Ta’ala bertanya lagi: “Apakah engkau mempunyai saksi ?”, maka mereka menjawab: “Muhammad dan umatnya”. Kemudian Nabi SAW dan umatnya bersaksi bahwa sesungguhnya Nabi Nuh AS sudah menyampaikan. Dan jadilah Rasul menyaksikan kepada kalian.

Yang demikian itu adalah sebagaimana firman Allah SWT:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Ini merupakan peristiwa ghaib yang dipublikasikan Allah SWT melalui al-Qur’an al-Karim, sebagai persaksian akan keutamaan umat Muhammad SAW dibanding umat Nabi terdahulu. “Keutamaan” yang dipancarkan melalui “keutamaan seorang Nabi yang Utama” sehingga umatnya menjadi “umat yang utama” pula.

Barangkali umat Muhammad SAW sendiri tidak pernah menyadari, bahwa fungsi kekholifahannya meliputi hak menjadi saksi bagi umat terdahulu bahkan Nabi mereka. Kalau yang demikian itu bukan Rasulullah SAW yang mengabarkan, tentu tidak ada orang yang mempercayainya. Namun ketika yang mengabarkan berita ghaib itu sebuah hadits shoheh, maka barangsiapa tidak percaya berarti tidak percaya kepada Allah SWT.

Kalau ada pertanyaan: “Bagaimana logikanya umat Muhammad SAW dapat menjadi saksi bagi umat sebelumnya, padahal sedikitpun mereka tidak pernah melihat kehidupan umat tersebut? Bukankah orang yang akan menjadi saksi harus melihat perbuatan yang akan disaksikan itu dengan mata kepala?”. Jawabnya: “Yang demikian itu menunjukkan apa yang disampaikan Allah SWT dengan wahyu-Nya (al-Qur’an) sungguh benar adanya. Karena hanya melalui al-Qur’an dan hadits, umat Muhammad SAW dapat mengetahui sejarah umat terdahulu tersebut.

Manakala Ulama pewaris Nabi akhir zaman itu benar-benar menguasai ilmu pengetahuan yang dikandung al-Qur’an dan sunnah Nabi, maka siapapun dapat menjadi saksi bagi umat sebelumnya”. Ini berarti, apabila Umat akhir zaman ini ingin mendapatkan kedudukan yang mulia itu, terlebih dahulu harus melengkapi diri dengan ilmu pengetahuan yang luas. Allah SWT telah menyatakan dengan firman-Nya:

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga bersaksi yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Ali Imran 18)

Tugas risalah yang diemban Rasulullah Muhammad SAW, di samping sebagai saksi sekaligus juga sebagai pemimpin dan pembimbing serta pengatur urusan para saksi, baik urusan lahir maupun batin, jasmani maupun ruhani, urusan dunia maupun akherat. Baginda Nabi SAW melatih dan mentarbiyah jiwa mereka agar menjadi umat pilihan yang siap menjadi pemimpin umat menuju hidayah Allah SWT, bahkan bersama-sama dalam satu perjalanan untuk menggapai keridlaan Allah SWT. Demikian itu secara simple tercakup dalam istilah “Rahmatan Lil ‘Aalamiin”, yaitu memancarkan rahmat Allah SWT kepada seluruh alam semesta.

Tugas risalah Nabi itu bagaikan air hujan yang diturunkan dari langit, maka tanah yang gersang menjadi subur, benih-benih yang berserakan menjadi hidup lalu tumbuh menjadi tanaman. Selanjutnya buahnya dapat dipetik dan dimakan setiap saat, lalu menjadi sumber penghidupan yang menghidupkan kehidupan seluruh makhluk yang ada di atasnya.

Baginda Nabi Muhammad SAW di samping sebagai Rasul, juga menjadi saksi bagi umatnya. Ketika Rasul Muhammad SAW wafat, tugas kenabian itu tidak diserahkan kembali kepada Allah SWT seperti yang pernah terjadi kepada Nabi Isa AS, melainkan diwariskan kepada hamba pilihan dari umat-umatnya. Itulah Ulama’ Allah sebagai pewaris dan penerus perjuangan Beliau sampai hari kiamat. Ini adalah salah satu dan yang paling utama dari sekian keutamaan yang diberikan Allah kepada umat Nabi Muhammad SAW.

Tongkat estafet kepewarisan itu bukan untuk menyampaikan “risalah dan nubuwah”, akan tetapi untuk menyampaikan “Walayah”, yang sekaligus juga agar menjadi saksi bagi manusia pada zamannya. Karena sejak wafatnya Rasulullah SAW, Nubuwah dan Risalah itu telah terputus. Jadi, bukan untuk menjadi Nabi-Nya akan tetapi menjadi Wali-Nya. Allah SWT berfirman:

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami. (QS. Faathir 32)

Oleh karena itu, manusia harus mengenal manusia, mencari keutamaan (fadhol) Allah SWT yang tersimpan di dalam diri manusia, itulah “mutiara manusia” yang tersimpan dalam jiwa manusia, mutiara rahasia tersebut dinyatakan Allah dengan firman-Nya; “Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”. (QS. al- Mu’min 61)

Sebagai kholifah Allah di muka bumi, di dalam dirinya ada sesuatu yang dirahasiakan untuk manusia, bahkan kepada dirinya sendiri, padahal yang dirahasiakan itu seringkali menjadi “sumber inayah dan hidayah” bagi orang lain. Ada kalanya rahmat Ilahiyat yang dirahasiakan di balik mutiara rahasia itu, ternyata merupakan pintu surga yang diidam-idamkan oleh orang-orang yang ada di lingkungannya.

Ketika seorang murid berusaha menggali “mutiara rahasia” itu dengan pelaksanaan tawasul secara ruhaniah kepada guru Mursyidnya, sambung-menyambung (rabith) sampai kepada maha guru yang mulia, Rasulullah Muhammad SAW untuk wushul/LING kepada Allah Ta’ala, dan ketika ternyata murid itu berhasil mendapatkannya, maka saat itu baru mengetahui bahwa mutiara itu di akherat kelak ternyata menjadi faktor penyelamat bagi hidupnya. Itulah “syafa’at Nabi” yang diwariskan kepada ahlinya, barangsiapa tidak mengusakannya di dunia, tentunya dengan berusaha mencintai Rasulullah Muhammad SAW melebihi cinta kepada dirinya sendiri, maka di akherat kelak tidak akan mendapat bagian apa-apa dari “mutiara utama” itu.

Rabu, 24 Oktober 2012

TRADISI " SESAJEN " DALAM RITUAL KEAGAMAAN DAN MASYARAKAT

                                                  

1. Haram, jika tujuannya untuk mendekatkan diri (taqarrub ) pada jin,



2. Boleh, jika hanya bertujuan bersedekah untuk mendekatkan diri pada Alloh (taqarrub ilallah), selama tidak dilakukan dengan menyia-akan harta benda.



Catatan : Sebenarnya sekedar bersedekah dengan niat mendekatkan diri pada Allah tidak pantas dilakukan di tempat-tempat tadi, agar orang-orang awam tidak meyakini bahwa penghuni tempat-tempat tersebut memang dapat mendatangkan malapetaka kalau tidak diberikan sesajen, atau keyakinan-keyakinan lain yang bertentangan dengan syariat.



مسألة -ث : العادة المطردة فى بعض البلاد لدفع شر الجن من وضع طعام أو نحوه فى الأبيار أو الزرع وقت حصاده وفى كل مكان يظن أنه مأوى الجن وكذلك إيقاد السرج فى محل ادخار نحو الأرز الى سبعة أيام من يوم الإدخار ونحو ذلك كل ذلك حرام حيث قصد به التقرب إلى الجن بل إن قصد التعظيم والعبادة له كان ذلك كفرا-والعياذ بالله- قياسا على الذبح للأصنام المنصوص فى كتبهم.

وأما مجرد التصدق بنية التقرب إلى الله ليدفع شر ذلك الجن فجائز ما لم يكن فيه إضاعة مال مثل الإيقاظ المذكور انفا, فإن ذلك ليس هو التصدق المحمود شرعا كما صرحوا أن الإيقاد أمام مصلى التراويح وفوق جبل أحد بدعة.

قلت : حتى إن مجرد التصدق بنية التقرب إلى الله لا ينبغى فعله فى خصوص تلك الأماكن لئلا يوهم العوام ما لا يجوز إعتقاده.



“Tradisi yang sudah mengakar di sebagian masyarakat yang menyajikan makanan dan semacamnya kemudian diletakkan di dekat sumur atau tanaman yang hendak dipanen dan ditempat-tempat lain yang dianggap tempatnya jin, serta tradisi lain seperti menyalakan beberapa lampu di tempat penyimpanan padi selama tujuh hari yang dimulai dari hari pertama menyimpan padi tersebut, begitu pula tradisi-tradisi lain seperti dua contoh di atas itu hukumnya haram jika memang bertujuan mendekatkan diri kepada jin. Bahkan bisa menyebabkan kekafiran ( murtad ) jika disertai tujuan pemuliaan dan wujud pengabdian. Keputusan hukum ini diqiyaskan dengan hukum penyembelihan hewan yang dipersembahkan untuk berhala yang disebutkan oleh fuqaha dalam kitab-kitab mereka.

Adapun jika sekedar bersedekah dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah untuk menghindarkan diri dari kejahatan yang dilakukan oleh jin tersebut maka diperbolehkan selama tidak dengan cara menyia-nyiakan harta benda, seperti tradisi menyalakan lampu yang baru saja disebutkan. Karena hal tersebut tidak termasuk dalam sedekah yang terpuji dalam pandangan syari'at, Sebagaimana ulama menjelaskan bahwa menyalakan lampu di depan tempat shalat tarawih dan di atas gunung arafah itu dikategorikan bid'ah.

Saya berkata : Bahkan sekedar bersedekah dengan niat mendekatkan diri pada Allah pun tidak pantas dilakukan di tempat-tempat ditempat-tempat tersebut, agar orang awam tidak salah faham,lalu meyakini hal yang tidak seharusnya diyakini .” (Bulghatut Thullab hlm. 90/91)

SUFII (Ahlu Suffah) ADALAH PETARUNG SETIA ROSULULLAH SAW YANG BIJAK DAN TANPA PAMRIH

                                                         

Banyak yang menyebut bahwasanya Ahl al-Suffah adalah generasi sufi pertama dalam Islam. Istilah ‘sufi’ sendiri ada yang berpendapat berasal dari kata Ahl al-Suffah. Al-suffah adalah bangku yang dijadikan alas tidur mereka dengan berbantal pelana.

Mereka adalah sekelompok sahabat yang mendiami bilik-bilik yang disediakan Rasulullah SAW di sekitar Masjid Nabawi. Seluruh waktu mereka dipergunakan sebanyak-banyaknya untuk hal-hal yang bermanfaat dan seluas-luasnya untuk memahami ajaran Islam. Keperluan dan kebutuhan hidup sehari-hari mereka diambil dari dana bantuan kaum Muslimin sesuai kemampuan masing-masing.

Ahl al-Suffah bukanlah sekelompok umat yang istimewa atau diistimewakan, mereka juga bekerja, berperang, bahkan diantara mereka adalah panglima perang dan periwayat hadis. Sikap yang menonjol pada Sahabat dan Ahl al-Suffah adalah zuhud. Zuhud atau al-zuhd secara harfiah bermakna keadaan meninggalkan kehidupan dunia yang bersifat materi dan menekuni hal-hal yang bersifat rohani.

Tapi jangan disalah tafsirkan, perilaku yang meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi, misalnya tidak peduli terhadap keluarga, pekerjaan dan lain sebagainya, bukan merupakan bagian dari zuhud.

Walaupun menjauhi kesenangan duniawi dan memilih hidup sederhana, mereka berbahagia bersama Rasululah SAW, berjihad mendampingi Rasululah SAW, bersikap zuhud dan qana’ah dalam menghadapi hidup. Mereka merasa lebih bahagia bila berada di sisi Rasululah SAW, menimba ilmu dari setiap wahyu yang diterima Rasululah SAW, dengan ikhlas dan penuh kegembiraan.

Dalam khalwah, mereka pergunakan untuk shalat, membaca Al-Qur’an, mengkaji ayat demi ayat secara bersama dan memusatkan diri untuk berdzikir. Sebagian mereka belajar menulis. ‘Ubadah ibn al-Samit merupakan salah seorang yang sering mengajar mereka menulis dan membaca. Bahkan salah seorang dari mereka ada yang terkenal karena pengetahuan dan hafalannya tentang hadis-hadis Nabi, seperti Abu Hurayrah yang meriwayatkan banyak hadis Nabi SAW.

Petarung Ulung

Selain menjadi orang-orang yang mengkhususkan diri untuk mempelajari dan mengembangkan ajaran Islam, Ahl as-Suffah juga merupakan pasukan yang mumpuni yang sewaktu-waktu siap dikirim ke medan perang menghadapi orang-orang kafir. Mereka terkenal sebagai pasukan yang sangat berani.

Ketika pertempuran dan perang berkecamuk dengan silih berganti mereka memimpin pasukan menjadi laskar Islam yang tangguh. Di kala damai mereka sering mendapat tugas dari Rasululah SAW sebagai duta umat ke negeri-negeri yang ditaklukkan pasukan Islam dan sekaligus menjadi da’i yang menyampaikan dakwah dan mengajarkan Islam di sana.

Sebagian mereka yang syahid di Badar, antara lain; Safwan ibn Bayda, Zayd ibn Khattab, Kharim ibn Fatik al-Asadi, Khubayh ibn Yasaf, Salim ibn Umair, dan Haritsah ibn Nu’man al-Ansari.

Yang syahid di Uhud; Hanzhalah al-Ghazil. Syahid dalam Perang Hudaibiyah; Jurhad ibn Khuwa’ad dan Abu Suraybah al-Ghifari. Syahid di Khaibar; Tariq ibn Amr. Syahid di Tabuk; Abd Allah Dzu al-Bijadam. Syahid di Yamamah; Salim dan Zayd ibn al-Khattab. Dengan demikian, mereka menghabiskan malam hari untuk ibadah dan siang hari untuk berperang.

Jumlah mereka bervariasi dari waktu ke waktu. Mereka bertambah saat delegasi berdatangan ke Madinah. Penghuni permanen kira-kira 70 orang, tetapi jumlah mereka bertambah setiap saat. Suatu ketika Sa’ad ibn Ubadah menjamu sekitar 80 orang.

Abu Nu’aim adalah ulama pertama yang membuat daftar nama-nama mereka di kalangan Ahl al-Suffah. Ia mengutip dari sumber-sumber terdahulu tanpa menyebut referensinya. Barangkali dari buku Abu Abd al-Rahman al-Sulami (wafat 412 H) yang menulis tentang Ahl as-Suffah. Diantara sahabat yang termasuk ke dalam golongan Ahl as-Suffah yang ditulis Abu Nu’aim, ditambah lagi dengan nama-nama yang disebut dalam sumber-sumber lain ada 55 orang.

Salah satu Ahl al-Suffah yang tertulis sebagai Mursyid dalam silsilah Tarekat Naqsyabandiyah adalah Sayyidina Salman al-Farisi RA. Beliau inisiator strategi pertahanan dalam ‘Perang Parit’ yang belum pernah dikenal sebelumnya di Jazirah Arab. Sayyidina Salman al-Farisi RA mendapat ilmu yang menjadi amalan para sufi ini berasal dari Sayyidina Abu Bakar al-Siddiq, yang mendapat langsung dari Nabi Muhammad SAW, seperti diterangkan Nabi sendiri:

“Tidak ada sesuatu pun yang dicurahkan Allah ke dalam dadaku, melainkan aku mencurahkan kembali ke dalam dada Abu Bakar.”


hadits Qudsi berikut ini yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :

 وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ اَلَّذِي يُبْصِرُبِهِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَهُ اَلَّتِي يَمْشِي بِهَا
وَاِنْ سَألَنِي لاُعْطَيْنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذَنِي لاُعِيْذَنَّهُ. (رواه البخاري)

"HambaKu yang mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang telah Kuwajibkan kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil (amalan-amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku mencintainya, maka jika Aku telah mencintainya. Akulah yang menjadi pendengarannya dan dengan itu ia mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya dan dengan itu ia melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul (musuh), dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia pasti Ku lindungi”.

Minggu, 21 Oktober 2012

TEMPAT KEBERADAAN ARWAH

Abu bakar RA ditanya tentang arwah2 ketika keluar dari jasadnya,kemanakah perginya??

beliau menjawab,ada 7 tempat

1=adapun arwah para nabi dan rosul tempatnya adalah surga adnin

2=adapun arwah para ulama' tempatnya adalah surga firdaus

3=ad



apun arwah para su'ada' (khusnul khotimah) tempatnya adalah surga illiyyin

4=adapun arwahnya orang2 mati syahid maka arwahnya berterbangan sebagaimana burung dan menuju dalam surga kapan ia mau

5=adapun arwahnya orang2 mukmin yang berdosa maka bergelantungan diudara,tidak dibumi dan tidak dilangit sampai hari kiamat

6=adapun arwah para anak2 orang mukmin tempatnya digunung yang terbuat dari misik

7=adapun arwahnya orang2 kafir itu dineraka sijjin dan disiksa beserta jasad2nya sampai hari kiamat



وسئل ابو بكر رضى الله تعالى عنه عن الارواح حين تخرج من الاجساد اين

تذهب؟

قال فى سبعة مواضع

اما ارواح الانبياء والمرسلين فمقرها جنات عدن

واما ارواح العلماء فمقرها جنات الفردوس

واما ارواح السعداء فمقرها جنات عليين

واما ارواح الشهداء فتطير مثل الطيور فى الجنة حيث شاءت

واما ارواح المؤمنين المذنبين فتكون معلقة فى الهواء لا فى الارض ولا فى السماء الى يوم القيامة

واما ارواح اولاد المؤمنين فتكون فى جبل من المسك

واما ارواح الكافرين فى سجين يعذبون مع اجسادهم الى يوم القيامة



durrotun nasihin hal 179-180 cetakan darul fikri

Arwah anak-anak orang muslim menurut banyak keterangan termasuk yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i berada disurga menempat diperut burung pipit yang berdiam diri dilentera-lentera dan digantungkan di ‘Arsy, ada juga keterangan bahwa mereka berada dibawah gunung MISIK disurga....



الجنة و النار و فقد الاولاد 4



للإمام جلال الدين السيوطي



و سئل بعض العلماء عن الأرواح بعد الموت ، فقال إن روح الأنبياء في جنة عدن و أرواح الشهداء في الفردوس وسط الجنة في حواصل طيور خضر يطيفون في الجنة حيث شاءوا و أرواح أولاد المؤمنين في حواصل عصافير الجنة عند جبال المسك و أرواح أولاد المشركين يترددون في الجنة ليس لهم مكان مخصوص و ارواح الذين عليهم دين و يأكلون أموال الناس بالباطل معلقة في الهواء لا تصل إلى الجنة و لا إلى السماء ، و أرواح فساق الكفار تعذب في القبر مع الجسد ، و أرواح المنافقين في نار جهنم .



Sebagian Ulama ditanya tentang keberadaan arwah setelah meninggal, beliau menjawab :

“Sesungguhnya arwah para nabi berada disurga Adn, arwah para syuhada disurga firdaus menempat pada perut burung hijau yang berlalu lalang mengelilingi surga, arwah para anak-anak orang muslim dalam perut burung pipit surga berada dibawah gunung MISIK, arwah para anak-anak orang musrik berputar-putar disurga namun tiada punya tempat khusus untuk menetap, arwah orang-orang yang memiliki tanggungan hutang, memakan harta orang lain dengan bathil digantungkan diangkasa dan tiada pernah sampai ke surga dan langit, arwah orang-orang fasik yang kafir disiksa dalam kubur mereka dan arwah-arwah orang munafik berada dineraka jahannam”.



ولابن منده عن ابن شهاب قال: بلغني أن أرواح الشهداء في أجواف طير خضر معلقة بالعرش، تغدو ثم تروح إلى رياض الجنة، تأتي ربها ولابن أبي حاتم عن ابن مسعود قال: إن أرواح الشهداء في أجواف طير خضر في قناديل تحت العرش، تسرح في الجنة حيث شاءت، ثم ترجع إلى قناديلها، وإن أرواح ولدان المؤمنين في أجواف عصافير، تسرح في الجنة حيث شاءت .



Dari Ibn mandah dari Ibn Syihab, beliau berkata :

“Arwah para syuhada berada dalam perut burung hijau yang digantungkan di ‘Arsy, sembari menikamati makanan dan istirahat damai di taman surga dan mendatangi Tuhannya”



Sedang Ibn Hatim meriwayatkan dari Ibn Mas’ud ra, ia berkata :

“Arwah para syuhada berada dalam perut burung hijau yang digantungkan dalam lentera-lentera ‘Arsy, mereka dapat keluar masuk dari tempat kediamannya sesuka hati, sedang arwah para anak-anak orang mukmin berada pada perut burung-burung pipit, mereka juga dapat keluar masuk dari tempat kediamannya sesuka hati”.



Dalam keterangan kitab lain terdapat tambahan keterangan bahwa arwah mereka dibawah naungan Nabi Ibrahim As dan Sarah yang kelak dihari kiamat dikembalikan pada orang tua mereka masing-masing.



ملخص لكتاب شرح الصدورفي شرح حال الموتى والقبور للسيوطي

-وأما عن مقر الأرواح......و أولاد المؤمنين ففي جبل في الجنة يكفلهم إبراهيم وسارة حتى يردهم لآبائهم يوم القيامة.



Sedang tempat keberadaan arwah...

Arwah anak-anak orang mukmin berada dibawah gunung yang ada disurga, diasuh oleh Nabi Ibrahim dan Sarah hingga dikemudian datangnya hari kiamat dikembalikan pada orang tua mereka masing-masing, mereka juga dapat keluar masuk dari tempat kediamannya sesuka hati”.



أرواح ذراري المسلمين في أجواف طير خضر تسرح في الجنة يكلفهم أبوهم إبراهيم فيدل هذا أنهما خلقنا

وكذلك نص الشافعي عن السلف على أن أطفال المسليمن في الجنة

وجاء صريحا عن السلف على أن أرواحهم في الجنة كما روى الليث عن أبي قيس عن هذيل عن ابن مسعود قال : إن أرواح الشهداء في أجواف طير خضر تسرح في الجنة حيث شاؤوا وإن أرواح أولاد المسلمين في أجواف عصافير تسرح بهم في الجنة حيث شاءت فتأوي إلى قناديل معلقة في العرش خرجه ابن أبي حاتم



Arwah para anak-anak orang mukmin berada pada perut burung-burung hijau di surga, mereka keluar masuk disurga berada dibawah asuhan Nabi Ibrahim AS, demikian juga pernyataan Imam Syafi’i dari sumber Ulama Salaf menyatakan sesungguhnya arwah anak-anak orang muslim berada disurga sebagaimana riwayat al-Layts dari Abu Qais dari Hudzail dari Ibn Mas’ud ra yang menyatakan :

“Arwah para syuhada berada dalam perut burung hijau yang digantungkan dalam lentera-lentera ‘Arsy, mereka dapat keluar masuk dari tempat kediamannya sesuka hati, sedang arwah para anak-anak orang mukmin berada pada perut burung-burung pipit, mereka juga dapat keluar masuk dari tempat kediamannya sesuka hati, mereka menempat pada lentera-lentera yang digantungkan di Arsy”.

Ahwaal al-Qubuur I/70



Wallaahu A'lamu Bis Showaab

TRADISI SESAJEN DALAM RITUAL KEAGAMAAN DAN MASYARAKAT

1. Haram, jika tujuannya untuk mendekatkan diri (taqarrub ) pada jin,



2. Boleh, jika hanya bertujuan bersedekah untuk mendekatkan diri pada Alloh (taqarrub ilallah), selama tidak dilakukan dengan menyia-akan harta benda.



Catatan : Sebenarnya sekedar bersedekah dengan niat mendekatkan diri pada Allah tidak pantas dilakukan di tempat-tempat tadi, agar orang-orang awam tidak meyakini bahwa penghuni tempat-tempat tersebut memang dapat mendatangkan malapetaka kalau tidak diberikan sesajen, atau keyakinan-keyakinan lain yang bertentangan dengan syariat.



مسألة -ث : العادة المطردة فى بعض البلاد لدفع شر الجن من وضع طعام أو نحوه فى الأبيار أو الزرع وقت حصاده وفى كل مكان يظن أنه مأوى الجن وكذلك إيقاد السرج فى محل ادخار نحو الأرز الى سبعة أيام من يوم الإدخار ونحو ذلك كل ذلك حرام حيث قصد به التقرب إلى الجن بل إن قصد التعظيم والعبادة له كان ذلك كفرا-والعياذ بالله- قياسا على الذبح للأصنام المنصوص فى كتبهم.

وأما مجرد التصدق بنية التقرب إلى الله ليدفع شر ذلك الجن فجائز ما لم يكن فيه إضاعة مال مثل الإيقاظ المذكور انفا, فإن ذلك ليس هو التصدق المحمود شرعا كما صرحوا أن الإيقاد أمام مصلى التراويح وفوق جبل أحد بدعة.

قلت : حتى إن مجرد التصدق بنية التقرب إلى الله لا ينبغى فعله فى خصوص تلك الأماكن لئلا يوهم العوام ما لا يجوز إعتقاده.



“Tradisi yang sudah mengakar di sebagian masyarakat yang menyajikan makanan dan semacamnya kemudian diletakkan di dekat sumur atau tanaman yang hendak dipanen dan ditempat-tempat lain yang dianggap tempatnya jin, serta tradisi lain seperti menyalakan beberapa lampu di tempat penyimpanan padi selama tujuh hari yang dimulai dari hari pertama menyimpan padi tersebut, begitu pula tradisi-tradisi lain seperti dua contoh di atas itu hukumnya haram jika memang bertujuan mendekatkan diri kepada jin. Bahkan bisa menyebabkan kekafiran ( murtad ) jika disertai tujuan pemuliaan dan wujud pengabdian. Keputusan hukum ini diqiyaskan dengan hukum penyembelihan hewan yang dipersembahkan untuk berhala yang disebutkan oleh fuqaha dalam kitab-kitab mereka.

Adapun jika sekedar bersedekah dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah untuk menghindarkan diri dari kejahatan yang dilakukan oleh jin tersebut maka diperbolehkan selama tidak dengan cara menyia-nyiakan harta benda, seperti tradisi menyalakan lampu yang baru saja disebutkan. Karena hal tersebut tidak termasuk dalam sedekah yang terpuji dalam pandangan syari'at, Sebagaimana ulama menjelaskan bahwa menyalakan lampu di depan tempat shalat tarawih dan di atas gunung arafah itu dikategorikan bid'ah.

Saya berkata : Bahkan sekedar bersedekah dengan niat mendekatkan diri pada Allah pun tidak pantas dilakukan di tempat-tempat ditempat-tempat tersebut, agar orang awam tidak salah faham,lalu meyakini hal yang tidak seharusnya diyakini .” (Bulghatut Thullab hlm. 90/91)

DALIL-DALIL QUNUT



Bismillaahirrahmaanirraahiim


Ketahuilah, bahwa membaca do’a qunut pada roka’at terakhir setelah ruku’ di dalam sholat fardlu seluruhnya adalah sunnah, bila telah turun kepada umat Islam suatu mushibah, atau marabahaya, atau bencana, atau yang semisalnya. Dan qunut semacam ini disebut dengan nama “Qunut Nazilah”.



Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, berkata :



كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ حِينَ يَفْرُغُ مِنْ صَلاَةِ الْفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ، وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ : سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، ثُمَّ يَقُولُ، وَهُوَ قَائِمٌ : "اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ، وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ، وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ، وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ، اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ، وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِي يُوسُفَ، اللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ "، ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَّهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أُنْزِلَ : { لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ }. {رواه البخاري (٤٥٦٠)، ومسلم (٦٧٥)، وأبو داود (١٤٤٢)}. واللفظ لمسلم



“Adalah Rasulullah SAW, membaca ketika telah selesai dari sholat shubuh dari membaca Al-Qur’an, lalu beliau bertakbir, dan mengangkat kepalanya, (seraya membaca) : SAMI’ALLAAHU LIMAN HAMIDAH, ROBBANAA WALAKAL HAMDU, beliau membaca (do’a qunut), sedang beliau dalam keadaan berdiri : “Ya Allah, selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, dan Salamah bin Hisyam, dan ‘Aiyyasy bin Abi Rabi’ah, dan orang-orang yang lemah dari golongan orang-orang yang beriman. Ya Allah, kuatkanlah kesengsaraan-Mu atas Bani Mudhor, dan jadikanlah kesengsaraan itu atas mereka seperti tahun-tahunnya Nabi Yusuf. Ya Allah, laknatlah Lihyan, dan Ri’lan dan Dzakwan, dan ‘Ushoiyyah yang telah bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya”. Kemudian telah sampai kepada kami (suatu berita), bahwasanya beliau SAW, telah meninggalkan (do’a melaknat) itu, tatkala telah diturunkan (Q.S. Ali Imran : 128) : “Tidak ada bagimu dari urusan mereka sesuatupun, atau Allah akan menerima taubat atas mereka, atau Allah akan menyiksa mereka, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang dholim”. (H.R. Al-Bukhari, No Hadits : 4560, Muslim, No Hadits : 675, dan Abu Dawud, No Hadits : 1442). Dan redaksi hadits ini adalah milik Imam Muslim.



Imam Muslim rahimahullah, telah memasukkan hadits tersebut di dalam Kitab Al-Masaajid Wa Mawaadhi’i As-Sholat, pada bab ke-54, yaitu : “Bab sunnahnya qunut di dalam seluruh sholat, apabila telah turun kepada orang-orang Islam suatau nazilah”.



Dan Imam Abu Dawud rahimahullah, telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a, berkata :



قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلاَةِ الصُّبْحِ، فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ، إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ، يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ، وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ. {رواه أبو داود (١٤٤٣)}. حديث حسن

“Rasulullah SAW, telah qunut selama sebulan berturut-turut di dalam sholat Dhuhur, dan ‘Ashar, dan Maghrib, dan ‘Isya’, dan sholat Shubuh, di belakang tiap-tiap sholat, ketika telah mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, dari roka’at terakhir, beliau berdo’a atas beberapa orang dari Bani Sulaim, atas Ri’lin dan Dzakwan dan ‘Ushoiyyah, dan orang-orang yang berada dibelakang beliau mengamininya”. (H.R. Abu Dawud, No Hadits : 1443).



Dan begitu pula sunnah membaca do’a qunut di dalam sholat shubuh setiap hari, dan sholat witir di pertengahan yang kedua dari bulan Romadlon. Dan kesunnahannya membaca do’a qunut di sini adalah termasuk sunnah ab’adh, sehingga apabila seorang musholli telah lupa membacanya atau sengaja meninggalkannya, maka sholatnya tetap sah, akan tetapi hendaknya ia melakukan sujud sahwi.



Dari Muhammad bin Siirin r.a, berkata :



سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ، أَقَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصُّبْحِ؟ قَالَ : نَعَمْ، فَقِيلَ لَهُ : أَوَقَنَتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ؟ قَالَ : بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا. {رواه البخاري (١٠٠١)، ومسلم (٦٧٧)، وأبو داود (١٤٤٤)، والنسائي (١٠٦٧)}. حديث صحيح

“Anas bin Malik r.a, ditanya, apakah Nabi SAW, melakukan qunut di dalam sholat shubuh?, ia menjawab : “Ya”, kemudian dikatakan kepadanya : Apakah beliau qunut sebelum ruku’?, ia menjawab : Setelah rukuk’ secara ringan”. (H.R. Al-Bukhari, No Hadits : 1001, Muslim, No Hadits : 677, dan Abu Dawud, No Hadits : 1444, dan An-Nasa’i, No Hadits : 1067).



Dan adapun hadits-hadits shohih yang telah menjelaskan, bahwa Rasulullah SAW, diperintahkan untuk meninggalkan do’a qunut di dalam sholat shubuh, maka menurut pendapat Imam As-Syafi’i dan yang lainnya adalah, bahwa Rasulullah SAW, tidak diperintahkan untuk meninggalkan qunut di dalam sholat shubuh secara mutlak, akan tetapi beliau hanyalah diperintahkan agar meninggalkan do’a melaknat kepada orang-orang yang telah bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya. Karena hal itu bukanlah termasuk urusan beliau SAW, namun merupakan urusan Allah SWT, secara mutlak. Sebagaimana keterangan di dalam surat Ali Imran ayat 128.



Imam An-Nawawi rahimahullah, di dalam kitab Al-Adzkar telah menyebutkan :



إِعْلَمْ، أَنَّ الْقُنُوتَ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ سُنَّةٌ لِلْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ فِيْهِ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : " أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا". رواه الحاكم أبو عبد الله في كتاب الأربعين، وقال : حديثٌ صحيحٌ.

Ketahuilah, sesungguhnya qunut di dalam sholat shubuh adalah sunnah, karena ada hadits yang shohih di dalamnya dari Anas r.a, : “Sesungguhnya Rasulullah SAW, tidak henti-hentinya melakukan qunut di dalam sholat shubuh, sehingga beliau meninggal dunia”. (H.R. Al-Hakim Abu Abdillah di dalam kitab Al-Arbain). Dan beliau berkata : Hadits ini adalah shohih.



Imam Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi di dalam kitab sunannya telah banyak meriwayatkan hadits tentang qunut di dalam sholat shubuh, dan salah satu di antaranya adalah dari Anas bin Malik r.a, berkata :



أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ، ثُمَّ تَرَكَهُ، وَأَمَّا فِى الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا. {رواه الدارقطني (١٦٧٦، و١٦٧٧)، والبيهقي (٣١٨٨)}. حديث حسن

“Sesungguhnya Nabi SAW, qunut selama sebulan, beliau berdo’a atas mereka, kemudian beliau meninggalkannya, dan adapun dalam sholat shubuh,

maka beliau tidak henti-hentinya melakukan qunut sehingga beliau meninggal dunia”. (H.R. Ad-Daraquthni, No Hadits : 1676, dan, 1677, dan Al-Baihaqi, No Hadits : 3188).



Beliau juga meriwayatkan dari Sa’id bin Abdul Aziz dengan sanad yang hasan, tentang orang yang telah lupa di dalam qunut sholat shubuh, ia berkata :



يَسْجُدُ سَجْدَتَي السَّهْوِ {رواه الدارقطني (١٦٨٥)}. إسنادُه حسنٌ

“Dia hendaknya sujud pada dua kali sujud sahwi”. (H.R. Ad-Daraquthni, No Hadits : 1685). Sanadnya hasan.



Dan adapun do’a qunut yang dibaca di dalam sholat witir dan sholat shubuh, maka para imam pemilik kitab As-Sunan telah meriwayatkannya dari Al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib r.a, berkata :



عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ : اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ. {رواه أبو داود (١٤٢٥)، والنسائي (١٧٤١)، والترمذي (٤٦٤)، وابن ماجه (١١٧٨)}. وزاد النسائي : وَصَلَّى اللهُ عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ



“Ya Allah, tunjukilah aku di dalam orang yang telah Engkau beri petunjuk, dan sehatkanlah aku di dalam orang yang telah Engkau beri kesehatan, dan urusilah aku di dalam orang yang telah Engkau urusi, dan berkahilah untukku di dalam sesuatu yang telah Engkau berikan, dan peliharalah aku pada keburukannya sesuatu yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau yang menetapkan dan tidak ditetapkan atas Engkau, dan sesungguhnya tidak ada yang menghinakan pada orang yang telah Engkau kuasai, dan tidak ada yang menguatkan kepada orang yang telah Engkau musuhi, Maha Suci Engkau wahai Tuhan kami dan Maha Tinggi Engkau”. (H.R. Abu Dawud, No Hadits : 1425, dan An-Nasa’i, No Hadits : 1741, dan At-Tirmidzi, No Hadits : 464, dan Ibnu Majah, 1178). Dan An-Nasa’i telah menambahkan : WA SHOLLALLAAHU ‘ALAA AN-NABIYYI MUHAMMADIN”. (No Hadits : 1742).



Imam An-Nawawi rahimahullah, berkata :



وَفِي رِوَايَةٍ رَوَاهَا الْبَيْهَقِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَنَفِيَّةِ وَهُوَ ابْنُ عَلِيِّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : إِنَّ هَذَا الدُّعَاءَ هُوَ الَّذِي كَانَ أَبِي يَدْعُو بِهِ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ فِي قُنُوتِهِ. وَرَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ مِنْ طُرُقٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَغَيْرِهِ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعَلِّمُهُمْ هَذَا الدُّعَاءَ لِيَدْعُوَ بِهِ فِي الْقُنُوتِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ. وَفِي رِوَايَةٍ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ وَفِي وِتْرِ اللَّيْلِ بِهَذِهِ الْكَلِمَاتِ. (المجموع شرح المهذب، ٣/٤٥٩



Dan di dalam suatu riwayat, Imam Al-Baihaqi telah meriwayatkannya dari Muhammad bin Al-Hanafiyah, dan ia adalah anaknya Ali bin Abu Thalib r.a, telah berkata : “Sesungguhnya do’a ini adalah yang ayahku berdo’a dengannya di dalam sholat shubuh di dalam qunutnya”. Dan Al-Baihaqi telah meriwayatkannya dari beberapa jalur dari Ibnu Abbas dan yang lainnya : “Sesungguhnya Nabi SAW, mengajarkan kepada mereka pada do’a ini, agar mereka berdo’a dengannya di dalam qunut dari sholat shubuh”. Dan dalam suatu riwayat : “Sesungguhnya Nabi SAW, adalah qunut di dalam sholat shubuh dan sholat witir malam hari dengan kalimat-kalimat ini”. (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, Juz 3/459).



Telah diriwayatkan dari Abu Rafi’ r.a, berkata : Umar bin Al-Khatthab r.a, telah melakukan qunut setelah ruku’ di dalam sholat shubuh, maka aku telah mendengarkannya, ia membaca :



اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِيْنُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ وَنَخْلَعُ مَنْ يَفْجُرُكَ، اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، نَرْجُو رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إِنَّ عَذَابَكَ الْجِدَّ بِالْكُفَّارِ مُلْحِقٌ. اللَّهُمَّ عَذِّبِ الْكَفَرَةَ الَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ، وَيُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ، وَيُقَاتِلُونَ أَوْلِيَاءَكَ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ،

وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ، وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ، وَاجْعَلْ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيْمَانَ وَالْحِكْمَةَ، وَثَبِّتْهُمْ عَلَى مِلَّةِ رَسُولِكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَوْزِعْهُمْ أَنْ يُوفُوا بِعَهْدِكَ الَّذِي عَاهَدْتَهُمْ عَلَيْهِ، وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ إِلَهَ الْحَقِّ وَاجْعَلْنَا مِنْهُمْ. (أخرجه البيهقي، أنظر في الأذكار النووية، وفي المجموع، ٣/٤٥٦

“Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan kepada-Mu, dan kami memohon ampun kepada-Mu, dan kami tidak kufur kepada-Mu, dan kami beriman kepada-Mu, dan kami tanggalkan orang yang menentang kepada-Mu. Ya Allah, hanya kepada-Mu kami menyembah, dan bagi-Mu kami sholat dan bersujud, dan kepada-Mu kami berlari dan kami bergegas, kami mengharap rahmat-Mu, dan kami takut pada siksaan-Mu, sesungguhnya siksa-Mu yang dahsyat pada orang-orang kafir adalah bertubi-tubi. Ya Allah, siksalah orang-orang kafir yang telah menghalang-halangi dari jalan-Mu, dan menyiksa pada rasul-rasul-Mu, dan memerangi wali-wali-Mu. Ya Allah, ampunilah dosa bagi orang-orang mukmin dan mukminat, dan orang-orang muslim dan muslimat, dan perbaikilah urusan di antara mereka, dan lembutkanlah di antara hati mereka, dan jadikanlah di dalam hati mereka keimanan dan hikmah, dan tetapkanlah mereka di atas agama rasul-Mu SAW, dan ilhamilah mereka agar dapat memenuhi janji-janji-Mu yang telah Engkau janjikan

kepada mereka atasnya, dan tolonglah mereka atas musuh-musuh-Mu dan musuh-musuh mereka, wahai Tuhannya kebenaran, dan jadikanlah kami termasuk dari golongan mereka”. (H.R. Al-Baihaqi, lihat Al-Adzkar An-Nawawiyah, dan Al-Majmu’, Juz 3/456).



Dan disunnahkan dalam membaca do’a qunut, bagi imam dan makmum dan bagi orang yang sholat sendirian, agar mengangkat kedua tangan. Akan tetapi tidak disunnahkan mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah setelahnya. Dan disunnahkan pula bagi imam, agar menggunakan shighot jama’ dalam berdo’a, dan makmum agar mengamininya.



Telah diriwayatkan dari Tsauban r.a, berkata ; Rasulullah SAW, telah bersabda :



لاَ يَؤُمُّ رَجُلٌ قَوْمًا فَيَخُصَّ نَفْسَهُ بِالدُّعَاءِ دُونَهُمْ، فَإِنْ فَعَلَ فَقَدْ خَانَهُمْ. {رواه أبو داود (٩٠)، والترمذي (٣٥٧)}. حديث حسن

“Tidaklah mengimami oleh seorang lelaki pada suatu kaum, lalu ia mengkhususkan pada dirinya sendiri di dalam do’anya tanpa mereka, jika ia melakukannya, maka sungguh ia telah berkhianat kepada mereka”. (H.R. Abu Dawud, No Hadits : 90, dan At-Tirmidzi, No Hadits : 357). At-Tirmidzi berkata : Ini adalah hadits hasan.

Minggu, 14 Oktober 2012

Hukum Wasilah dan Tawasul Yang di perkosa para WAHABI

                         

Mengapa Bertawassul ?

Wasilah (= perantara) artinya sesuatu yang menjadikan kita dekat kepada Allah SWT. Adapun tawassul sendiri berarti mendekatkan diri kepada Allah atau berdo’a kepada Allah dengan mempergunakan wasilah, atau mendekatkan diri dengan bantuan perantara. Pernyataan demikan dapat dilihat dalam surat Al-Maidah ayat 35, Allah berfirman :

يَااَيُّهَااَّلذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوااللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ اْلوَسِيْلَةَ

“Wahai orang-orang yang beriman takutlah kamu kepada Allah, dan carilah jalan (wasilah / perantara).” 

Ada beberapa macam wasilah. Orang-orang yang dekat dengan Allah bisa menjadi wasilah agar manusia juga semakin dekat kepada Allah SWT. Ibadah dan amal kebajikan juga dapat dijadikan wasilah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Amar ma’ruf dan nahi mungkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) juga termasuk wasilah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Mengenai tawassul dengan sesama manusia, tidak ada larangan dalam ayat Al-Qur’an dan Hadits mengenai tawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah para Nabi, para Rasul, sahabat-sahabat Rasulullah SAW, para tabi’in, para shuhada dan para ulama shalihin.

Karena itu, berdo’a dengan memakai wasilah orang-orang yang dekat dengan Allah di atas tidak disalahkan, artinya telah di sepakati kebolehannya. Bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah, senyatanya tetap memohon kepada Allah SWT karena Allah-lah tempat meminta dan harus diyakini bahwa sesungguhnya : 

لاَمَانَعَ لمِاَ اَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِى لمِاَ مَنَعْتَ


Tidak ada yang bisa mencegah terhadap apa yang Engkau (Allah) berikan, dan tidak ada yang bisa memberi sesuatu apabila Engkau (Allah) mencegahnya.

Secara psikologis tawassul sangat membantu manusia dalam berdoa. Katakanlah bertawassul sama dengan meminta orang-orang yang dekat kepada Allah SWT itu agar mereka ikut memohon kepada Allah SWT atas apa yang kita minta.

Tidak ada unsur-unsur syirik dalam bertawassul, karena pada saat bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT seperti para Nabi, para Rasul dan para shalihin, pada hakikatnya kita tidak bertawassul dengan dzat mereka, tetapi bertawassul dengan amal perbuatan mereka yang shaleh.

Karenanya, tidak mungkin kita bertawassul dengan orang-orang yang ahli ma’siat, pendosa yang menjauhkan diri dari Allah, dan juga tidak bertawassul dengan pohon, batu, gunung dan lain-lain


APAKAH BERTAWASUL BUKAN TERMASUK SYIRIK ? 

Seorang pembaca artikel menanyakan fasal tentang tawassul atau mendoakan melalui perantara orang yang sudah meninggal. “Apakah bertawasul / berdo’a dengan perantaraan orang yang sudah mati hukumnya haram atau termasuk syirik karena sudah meminta kepada yang mati (lewat perantaraan) ?
Saya gelisah, karena amalan ini banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia.
Apalagi dilakukan sebelum bulan Ramadhan dengan mengunjungi makam-makam wali dan lain-lain sehingga untuk mendo’akan orang tua kita yang sudah meninggal pun seakan terlupakan,” katanya.

Perlu kami jelaskan kembali bahwa tawassul secara bahasa artinya perantara dan mendekatkan diri. Disebutkan dalam firman Allah SWT:

يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, ” (Al-Maidah:35).

Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.

Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan didahului bacaan alhamdulillah dan shalawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar doa yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah SWT . Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan

Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul kepada Allah SWT dengan perantaraan amal sholeh, sebagaimana orang melaksanakan sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam hadits sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya; yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.

Adapun yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya bertawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), adalah tawassul pada amal perbuatannya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’. Pendapat ini berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi SAW:

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا وَإِنَّا نَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَافَيَسْقُوْنَ. أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137

“Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: “Ya Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun.” (HR. Bukhori)

Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad SAW ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. “Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat.”

Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya.

Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlorot, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah SWT semata. Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT.

Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa.

PARA SAHABAT DAN SHOLIHIN PUN BERTAWASUL

Dalam kitab Riyadlus-Shalihin bab Wadaais-shahib hadits no.3, Rasulullah SAW bertawassul supaya Umar jangan lupa untuk menyertakan Rasulullah dalam segala do’anya di Mekkah ketika umrah :


عَنْ عُمَرَبْنِ اْلخَطَّابِ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ اِسْتَأْذَنْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى اْلعُمْرَةِ فَأذِنَ لىِ وَقَالَ: لاَتَنْسَنَا يَااُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ فَقَالَ كَلِمَةً مَايَسُرُّنِى اَنَّ لىِ بِهَاالدُّنْيَا. وَفِى رِوَايَةِ قَالَ اَشْرِكْنَا يَااُخَىَّ فِى دُعَائِكَ. رواه ابوداود والترمذى

“Dari shahabat Umar Ibnul Khattab r.a. berkata: saya minta idzin kepada Nabi SAW untuk melakukan ibadah umrah, kemudian Nabi mengidzinkan saya dan Rasulullah SAW bersabda; wahai saudaraku! Jangan kau lupakan kami dalam do’amu; Umar berkata: suatu kalimat yang bagi saya lelah senang dari pada pendapat kekayaan dunia. Dalam riwayat lain; Rasulullah SAW bersabda: sertakanlah kami dalam do’amu”. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dan masih banyak lagi dalil-dalil tawassul, namun kiranya cukup apa yang telah disebutkan di atas.

Dalam hadits di atas Rasulullah meminta kepada sayyidina Umar untuk menyertakan Rasulullah dalam do’anya sayyidina Umar selama di Makkah, padahal kalau Rasulullah berdo’a sendiri tentu lebih diterima, tetapi beliau masih meminta do’a kepada sayyidinda Umar.

Sandaran lain untuk tawassul jenis ini seperti dalam kitab Sahhihul Bukhari jilid I, bahwa Sayyidina Umar Ibnul Khattab bertawassul dengan Rasulullah dan Sahabat Abbas ketika musim paceklik, sebagaimana disebutkan berikut ini :

عَنْ أَنَسٍ اَنَّ عُمَرَابْنَ اْلخَطَّابِ رَضِىَاللهُ عَنْهُ كاَنَ اِذَا قَحَطُوْا اِسْتَسْقىَ بِالعَبَّاسِْبنِ عَبْدِاْلمُطَلِّبِ فَقَالَ: الَّلهُمَّ اِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَاِنَّا نَتَوَسَّلُ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا, قَالَ: فَيُسْقَوْنَ. رواه البخارى

“Dari sahabat Anas; bahwasannya Umar Ibnul Khattab r.a. apabila dalam keadaan paceklik (kekeringan) ia memohon hujan dengan wasilah Sahabat Abbas Ibn Abdil Muthalib, maka berdo’a sayyidina Umar : Yaa Allah sesungguhnya kami bertawassul kepada Engkau dengan wasilah paman Nabi kami (Sahabat Abbas) maka berilah kami hujan, berkata Sayyidina Umar kemudian diturunkan hujan”. (HR Bukhari)

Bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah seperti para nabi, rasul dan shalihin, bukan berarti meminta kepada mereka, tetapi memohon agar mereka ikut memohon kepada Allah agar permohonan do’a diterima Allah SWT. Sebab, seluruhnya juga adalah haq Allah, seperti disebutkan berikut ini:

لاَمَانِعَ لمِاَ أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لمِاَ مَنَعْتَ

“Tiada ada yang mencegah kalau Allah mau memberi, dan tidak ada yang bisa memberi kalau Allah mencegahnya.”

قُلْ هُوَاللهُ اَحَدٌ, اَللهُ الصَّمَدُ

“Katakanlah Dia Allah yang Maha Esa dan Allah tempat meminta.”

Dalam kitab Al-Kabir wal Awsath Al-Imam Thabrani meriwayatkan sejarah Fathimah binti Asad Ibu Sayyidina Ali bin Abi Thalib ketika wafat, Rasulullah SAW yang menggali kuburan dan membuang tanahnya dengan tangan beliau. Maka tatkala selesai, Rasulullah masuk ke kubur tadi dan berbaring sambil berdo’a :

اَللهُ الَّذِى يحُىِْ وَيمُيِتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَيَمُوْتُ اغْفِرْ لأُِ مّىِ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْ خَلَهَا ِبحَقّ ِنَبِيّكَ وَاْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِى فَاءِنَّكَ اَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ وَكَبَّرَأَرْبَعًا وَاَدْخَلُوْ هَا هُوَ وَاْلعَبَّاسُ وَاَبُوْ بَكْرٍ الّصِدّيِقِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمْ

“Allah yang menghidupkan dan yang mematikan dan Dia yang hidup tidak mati; Ampunilah! Untuk Ibu saya Fathimah binti Asad dan ajarkanlah kepadanya hujjah (jawaban ketika ditanya malaikat) kepadanya dan luaskan kuburnya dengan wasilah kebenaran Nabimu dan kebenaran para Anbiya’ sebelum saya, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dan Rasulullah takbir empat kali dan mereka memasukkan ke dalam kubur ia (Rasulullah), Sahabat Abbas Abu Bakar As-Shaddiq r.a.” (HR Thabrani).

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari shahabat Anas. Lalu, diriwayatkan pula Ibnu Abi Syaibah dari shahabat Jabir, dan diriwayatkan pula Ibnu Abdul Barr dari shahbat Ibnu Abbas.

Dengan demikian, bertawassul dengan berdo’a dan mempergunakan wasilah, baik dengan iman, amal shaleh dan dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT jelas tidak disalahkan oleh agama bahkan dibenarkan. Lalu, bertawassul bukan berarti meminta kepada yang dijadikan wasilah, tetapi memohon agar yang dijadikan wasilah memberikan keberkahan untuk diterima do’a para pemohonnya.

Selanjutnya, bertawassul dengan wasilah yang disenangi Allah, atau berdo’a dengan menyebut sesuatu yang disenangi Allah, tentu Allah akan menyenangi kita, dan meridloinya. Maka apa yang disenangi Allah, seyogyanya disebut dalam do’an

TAWASUL DENGAN MEMBACA SHOLAWAT PADA ROSULULLOH 

(Tafsir Singkat Surat Al-Ahzab 56) :

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Ma’nahu wallohu ‘alam : “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. 33 : 56)

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Para malaikat telah bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Maka dengan begini Allah SWT telah mencontohkan dan menganjurkan kepada seluruh umat Islam supaya bersholawat pula kepada Nabi Muhammad SAW, dan supaya mengucapkan salam dengan penuh penghormatan kepadanya.

Lafad sholawat adalah bentuk jamak dari sholat, artinya du’a-du’a kepada Allah SWT. Dalam Hasyiyah Tashilul Masalik lil alfiyah Ibnu Maalik disebutkan, yang dimaksud sholawat menurut Imam Abi Hisyam, gurunya Imam Sibaweh adalah ‘Al-Lathief’, artinya ‘limpahan kelembutan kasih-sayang (kanyaah)‘. Adapun menurut Imam Abu Qotho, adalah bagaimana hubungannya ;

Jika keluar dari Alloh SWT disebutnya rahmat.

Jika keluar dari Malaikat disebutnya istighfar.

Jika keluar dari Bani Adam disebutnya du’a

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Sayidina Kaab bin Ujrah yang bertanya : “Wahai Rasulullah, adapun pemberian salam kepadamu kami telah mengetahuinya. Bagaimana kami harus membaca sholawat ?”. Nabi menjawab, ucapkanlah :

اللهم صل على سيد نا محمد وعلى آل سيد نا محمد , كما صليت على سيد نا إبراهيم وعلى آل سيد نا إبراهيم , إنك حميد مجيد. اللهم بارك على سيد نا محمد وعلى آل سيد نا محمد كما باركت على سيد نا إبراهيم وعلى آل سيد نا إبراهيم إنك حميد مجيد

Selanjutnya penting menyampaikan sholawat ini kepada keluarganya Nabi SAW, supaya terhindar dari rahmat yang terputus. Sebagaimana yang disampaikan Nabi SAW kepada Sayidina Umar Ibnu Khottob ; “Takutlah kalian dari sholawat bathor, yaitu membaca sholawat kepada Nabi SAW saja, tanpa membaca untuk keluarganya”.

Adapun keluarga Kangjeng Nabi Muhammad SAW keseluruhannya ada 3 ;
Kullu muslimin wa muslimatin wa lao ashiyan (fie maqoomid du’a), yaitu setiap muslimin dan muslimat meskipun ahli maksiat.

Mu’min Bani Hasyim wa Bani Mutholib (fie maqoomiz-zakat), yaitu mukminin dari keluarga besar Hasyim dan keluarga besar Abdul Mutholib.

Kullu taqiyyin (fie maqoomil mad-hi), yaitu setiap orang2 yang bertaqwa.

Membaca sholawat hendaknya disertai dengan didasari niat rasa cinta, hormat dan memuliakan kepada beliau. Apabila seseorang membaca sholawat kepada Nabi SAW tidak disertai dengan niat dan rasa hormat, maka timbangannya tidak lebih berat ketimbang selembar sayap. Maka bacalah dengan penuh penghormatan.

Ummul mukminin Siti Aisyah RA berkata : “Barangsiapa cinta kepada Allah Ta’ala, maka dia banyak menyebutnya dan buahnya ialah Allah SWT akan mengingat dia, juga memberi rahmat dan ampunan kepadanya, serta memasukannya ke dalam surga bersama para Nabi dan para wali. Dan Allah memberi kehormatan pula kepadanya dengan melihat keindahan-Nya. Dan barang siapa cinta kepada Nabi Muhammad SAW, maka hendaklah ia banyak membaca sholawat untuk Nabi Muhammad SAW, dan buahnya ialah ia akan mendapat syafaat dan akan bersama beliau di surga” .

Kebutuhan mendapat syafaat agar mendapat keselamatan di dunia serta akhirat adalah keniscayaan. Siapa lagi yang diberi hak memberi syafaat agung oleh Alloh SWT kalau bukan yang paling diagungkan oleh Alloh SWT, yaitu junjunan kita Kangjeng Nabi Muhammad SAW dengan syafaat udhmanya.

Semakin banyak2 membaca sholawat, maka semakin banyaklah limpahannya

Kamis, 11 Oktober 2012

PEMBERONTAK DIRI


Kadang sifat pemberontak dianggap kebanyakan orang sebagai sesuatu yang buruk yang akhirnya kebanyakan orang juga Akan membencinya karena dianggap sebagai sesuatu yang tabu juga karena Akan menjadi minoritas sehingga memang Akan membuat posisi kita juga Dari segi keuntungan jelas tidak menguntungkan…….

Pilihan yang tidak Mudah memang untuk kita bisa menjalaninya…
Tetapi kalo kita punya kemauan pasti nantinya akan terbiasa Dan malah menikmatinya………..
Karena ternyata untuk MenemukanNya kita harus mempunyai sifat itu
Sehingga selalu mencari Dan selalu Yaqin atas apa yang terjadi di hidup Dan kehidupan ini……….

Siapa bilang Sang Maha ini senang dengan orang-orang yang yakin….??
Justru Dia lebih menyukai orang-orang yang ragu Dan pemberontak……
Karena membutuhkan keluarnya diri dari keraguan Dan
Pemberontakan untuk menemukan Dia yang tersembunyi.

Bagaimana mulai dari Nabi Adam sampai Rasulullah Muhammad Al Mustafa mempunyai jiwa pemberontak pada diri, Dan tidaj ragu terhadap Ketidaksempurnaan sehingga membuat mereka menjadi insan terpilih, yang tercipta melalui sebuah proses Ruhani yang berakhir dengan MenemukanNya……

Jangan pernah takut menjadi pemberontak Dan bersyukurlah dengan ke tidak raguanmu, karena justru itu Akan mendatangkan nikmat tersendiri nantinya, dengan sifat-sifat itu justru akan menuntunmu menemukanNya.  
Jangan membencinya karena itu justru tidak Akan pernah MenemukanNya, Dan jangan juga terlalu yakin dengan Keyakinanmu karena justru itu bisa membuatmu Akan bertambah jauh dariNya …
Kadang sesuatu yang kita benci justru yang bisa menyelamatkan kita, Dan sesuatu yang kita cinta justru bisa membuat terjerumus ke jurang yang paling dalam…….

Selasa, 02 Oktober 2012

DESAH RINDUKU



Ketika musim memajang rindunya pada hujan

ada sebongkah cemas yang tak bisa kuucapkan

aku hanya ingin memelukmu

dari senja hingga subuh tiba

setapak demi setapak kudaki jalan terjal kerisauan

saat tiba di persimpangan ingin kutanggalkan segala ragu

dan rasa bosan

akh…..,betapa kebimbangan terasa

telah berubah menjadi keyakinan.

aku yakin akan ketulusan cintamu

tapi catatlah olehmu, tentang satu kepastianku’

aku tak pernah berpaling darimu’

Aku tak tahu lagi harus lari kemana Aku tak tahu lagi harus berbuat apa…

Tak ada lagi yang aku punya Hanya Engkau saat ini tempatku meminta…

kuputuskan meninggalkannya krna smnjak brsamanya hari-hariku hanya dipenuhi

dengan linangan airmata, bahkan aku kcewa saat kutau cintanya tak stulus dulu

dia cinta pertamaku, tapi ia tega menodai cinta kami dgn dusta dan janji-janji palsu,

kenapa semuanya harus aku alami, kenapa cinta tak seindah yg aku harapkan,

dan semua org hanya diam membisu saat aku butuh seseorang untuk menguatkanku,,,

Aku kelaparan.

Perih kutahan perutku yang kempis karena sedari pagi tak ku masukan apapun,

Aku berusaha lalui malam ini dengan menjilat air mata mungkin ini dinner paling nikmat buatku saat ini,

Setelah lelah menangis dan kurasa air mata ini tlah kering Aku hanya tertunduk lesu

 Tak ada suara hanya nada sesenggukan yg sesekali kluar dri mulutku…

 Tenggorokan ku terasa kering nafaskupun mulai sesak….

 Kucoba berdiri walau tubuhku terasa lemas sekali,

lalu perlahan aku berjalan menuju sebuah cermin ygterpampang dikamarku…
kutatap wajah ini sangat pucat sekali ,matakupun terlihat sgt merah

JERAT RINDU HATI



Tau kah kamu,

aku gugup sewaktu menulis ini..

Kepalaku berputar, darahku berpacu

menahan kata yg terbata,

Lalu melayanglah pikiranku..

kau…..

selalu menari di kesepianku

tertawa di ketidak lucuan hariku

pada menit yg mendamba…

tanyaku pada rembulan ,

mengapa sinarmu redup begini ??

 sapaku pada angin malam 

mengapa terpaanmu dingin begini ??

sedangkan sepi kian menghujam
di kala hati terkikis kerinduan
di ujung penantian malam ,,

sunyi benar-benar menikamku dalam gelap

buatku tak berdaya hadapi rasa sepi

hanya bisa pasrah berkali di hujam kenangan

yang tiba-tiba muncul ke permukaan angan

aku bisa apa jika ku sendiri tak berdaya

apakah aku harus menyerah begitu saja

sedang dalam hidup ku punya mimpi dan tujuan

adakah malaikat yang kan datang menolongku..

telapak kaki kian penuh luka dan penuh darah

namun tetap kan ku pijakkan dalam bumi-Nya

hingga ku terbujur kaku dalam liang-Nya

karena ku percaya akan rahasia indah-Nya

PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI

JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...

KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN











AlkisAnnabila