Allah SWT berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu”. (QS. al-Baqoroh 143)
Firman Allah: شهداء على الناس sebagai saksi untuk manusia, maksudnya; Rasulullah Muhammad SAW dan sebagian umatnya akan menjadi saksi di akherat kelak untuk manusia, juga untuk para Nabi terdahulu dan umatnya. Hal tersebut dinyatakan oleh sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhori RA dari Abi Said al-Khudri RA Rasulullah SAW bersabda:
“قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (يُدَّعى نُوْحٌ عَلَيْهِ السَّلاَمُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُوْلُ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ يَا رَبِّ فَيَقُوْلُ هَلْ بَلَّغْتَ فَيَقُوْلُ نَعَمْ فَيُقَالُ ِلأُمَّتِهِ هَلْ بَلَّغَكُمْ فَيَقُوْلُوْنَ مَا أَتَانَا مِنْ نَذِيْرٍ فَيَقُوْلُ مَنْ يَشْهَدُ لَكَ فَيَقُوْلُ مُحَمَّدٌ وَأُمَّتُهُ فَيَشْهَدُوْنَ أَنَّهُ قَدْ بَِلَّغَ وَيَكُوْنُ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا فَذَالِكَ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ وَكَذَالِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا…).
“Nabi Nuh AS dipanggil menghadap dan Allah swt. bertanya: “Adakah sudah engkau sampaikan?”, Beliau menjawab: “Benar”. Maka Allah swt. bertanya kepada umatnya: “Apakah sudah sampai kepadamu?”, mereka menjawab: “Tidak ada satu peringatanpun yang datang”. Allah Ta’ala bertanya lagi: “Apakah engkau mempunyai saksi ?”, maka mereka menjawab: “Muhammad dan umatnya”. Kemudian Nabi SAW dan umatnya bersaksi bahwa sesungguhnya Nabi Nuh AS sudah menyampaikan. Dan jadilah Rasul menyaksikan kepada kalian.
Yang demikian itu adalah sebagaimana firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Ini merupakan peristiwa ghaib yang dipublikasikan Allah SWT melalui al-Qur’an al-Karim, sebagai persaksian akan keutamaan umat Muhammad SAW dibanding umat Nabi terdahulu. “Keutamaan” yang dipancarkan melalui “keutamaan seorang Nabi yang Utama” sehingga umatnya menjadi “umat yang utama” pula.
Barangkali umat Muhammad SAW sendiri tidak pernah menyadari, bahwa fungsi kekholifahannya meliputi hak menjadi saksi bagi umat terdahulu bahkan Nabi mereka. Kalau yang demikian itu bukan Rasulullah SAW yang mengabarkan, tentu tidak ada orang yang mempercayainya. Namun ketika yang mengabarkan berita ghaib itu sebuah hadits shoheh, maka barangsiapa tidak percaya berarti tidak percaya kepada Allah SWT.
Kalau ada pertanyaan: “Bagaimana logikanya umat Muhammad SAW dapat menjadi saksi bagi umat sebelumnya, padahal sedikitpun mereka tidak pernah melihat kehidupan umat tersebut? Bukankah orang yang akan menjadi saksi harus melihat perbuatan yang akan disaksikan itu dengan mata kepala?”. Jawabnya: “Yang demikian itu menunjukkan apa yang disampaikan Allah SWT dengan wahyu-Nya (al-Qur’an) sungguh benar adanya. Karena hanya melalui al-Qur’an dan hadits, umat Muhammad SAW dapat mengetahui sejarah umat terdahulu tersebut.
Manakala Ulama pewaris Nabi akhir zaman itu benar-benar menguasai ilmu pengetahuan yang dikandung al-Qur’an dan sunnah Nabi, maka siapapun dapat menjadi saksi bagi umat sebelumnya”. Ini berarti, apabila Umat akhir zaman ini ingin mendapatkan kedudukan yang mulia itu, terlebih dahulu harus melengkapi diri dengan ilmu pengetahuan yang luas. Allah SWT telah menyatakan dengan firman-Nya:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga bersaksi yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Ali Imran 18)
Tugas risalah yang diemban Rasulullah Muhammad SAW, di samping sebagai saksi sekaligus juga sebagai pemimpin dan pembimbing serta pengatur urusan para saksi, baik urusan lahir maupun batin, jasmani maupun ruhani, urusan dunia maupun akherat. Baginda Nabi SAW melatih dan mentarbiyah jiwa mereka agar menjadi umat pilihan yang siap menjadi pemimpin umat menuju hidayah Allah SWT, bahkan bersama-sama dalam satu perjalanan untuk menggapai keridlaan Allah SWT. Demikian itu secara simple tercakup dalam istilah “Rahmatan Lil ‘Aalamiin”, yaitu memancarkan rahmat Allah SWT kepada seluruh alam semesta.
Tugas risalah Nabi itu bagaikan air hujan yang diturunkan dari langit, maka tanah yang gersang menjadi subur, benih-benih yang berserakan menjadi hidup lalu tumbuh menjadi tanaman. Selanjutnya buahnya dapat dipetik dan dimakan setiap saat, lalu menjadi sumber penghidupan yang menghidupkan kehidupan seluruh makhluk yang ada di atasnya.
Baginda Nabi Muhammad SAW di samping sebagai Rasul, juga menjadi saksi bagi umatnya. Ketika Rasul Muhammad SAW wafat, tugas kenabian itu tidak diserahkan kembali kepada Allah SWT seperti yang pernah terjadi kepada Nabi Isa AS, melainkan diwariskan kepada hamba pilihan dari umat-umatnya. Itulah Ulama’ Allah sebagai pewaris dan penerus perjuangan Beliau sampai hari kiamat. Ini adalah salah satu dan yang paling utama dari sekian keutamaan yang diberikan Allah kepada umat Nabi Muhammad SAW.
Tongkat estafet kepewarisan itu bukan untuk menyampaikan “risalah dan nubuwah”, akan tetapi untuk menyampaikan “Walayah”, yang sekaligus juga agar menjadi saksi bagi manusia pada zamannya. Karena sejak wafatnya Rasulullah SAW, Nubuwah dan Risalah itu telah terputus. Jadi, bukan untuk menjadi Nabi-Nya akan tetapi menjadi Wali-Nya. Allah SWT berfirman:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Ini merupakan peristiwa ghaib yang dipublikasikan Allah SWT melalui al-Qur’an al-Karim, sebagai persaksian akan keutamaan umat Muhammad SAW dibanding umat Nabi terdahulu. “Keutamaan” yang dipancarkan melalui “keutamaan seorang Nabi yang Utama” sehingga umatnya menjadi “umat yang utama” pula.
Barangkali umat Muhammad SAW sendiri tidak pernah menyadari, bahwa fungsi kekholifahannya meliputi hak menjadi saksi bagi umat terdahulu bahkan Nabi mereka. Kalau yang demikian itu bukan Rasulullah SAW yang mengabarkan, tentu tidak ada orang yang mempercayainya. Namun ketika yang mengabarkan berita ghaib itu sebuah hadits shoheh, maka barangsiapa tidak percaya berarti tidak percaya kepada Allah SWT.
Kalau ada pertanyaan: “Bagaimana logikanya umat Muhammad SAW dapat menjadi saksi bagi umat sebelumnya, padahal sedikitpun mereka tidak pernah melihat kehidupan umat tersebut? Bukankah orang yang akan menjadi saksi harus melihat perbuatan yang akan disaksikan itu dengan mata kepala?”. Jawabnya: “Yang demikian itu menunjukkan apa yang disampaikan Allah SWT dengan wahyu-Nya (al-Qur’an) sungguh benar adanya. Karena hanya melalui al-Qur’an dan hadits, umat Muhammad SAW dapat mengetahui sejarah umat terdahulu tersebut.
Manakala Ulama pewaris Nabi akhir zaman itu benar-benar menguasai ilmu pengetahuan yang dikandung al-Qur’an dan sunnah Nabi, maka siapapun dapat menjadi saksi bagi umat sebelumnya”. Ini berarti, apabila Umat akhir zaman ini ingin mendapatkan kedudukan yang mulia itu, terlebih dahulu harus melengkapi diri dengan ilmu pengetahuan yang luas. Allah SWT telah menyatakan dengan firman-Nya:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga bersaksi yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Ali Imran 18)
Tugas risalah yang diemban Rasulullah Muhammad SAW, di samping sebagai saksi sekaligus juga sebagai pemimpin dan pembimbing serta pengatur urusan para saksi, baik urusan lahir maupun batin, jasmani maupun ruhani, urusan dunia maupun akherat. Baginda Nabi SAW melatih dan mentarbiyah jiwa mereka agar menjadi umat pilihan yang siap menjadi pemimpin umat menuju hidayah Allah SWT, bahkan bersama-sama dalam satu perjalanan untuk menggapai keridlaan Allah SWT. Demikian itu secara simple tercakup dalam istilah “Rahmatan Lil ‘Aalamiin”, yaitu memancarkan rahmat Allah SWT kepada seluruh alam semesta.
Tugas risalah Nabi itu bagaikan air hujan yang diturunkan dari langit, maka tanah yang gersang menjadi subur, benih-benih yang berserakan menjadi hidup lalu tumbuh menjadi tanaman. Selanjutnya buahnya dapat dipetik dan dimakan setiap saat, lalu menjadi sumber penghidupan yang menghidupkan kehidupan seluruh makhluk yang ada di atasnya.
Baginda Nabi Muhammad SAW di samping sebagai Rasul, juga menjadi saksi bagi umatnya. Ketika Rasul Muhammad SAW wafat, tugas kenabian itu tidak diserahkan kembali kepada Allah SWT seperti yang pernah terjadi kepada Nabi Isa AS, melainkan diwariskan kepada hamba pilihan dari umat-umatnya. Itulah Ulama’ Allah sebagai pewaris dan penerus perjuangan Beliau sampai hari kiamat. Ini adalah salah satu dan yang paling utama dari sekian keutamaan yang diberikan Allah kepada umat Nabi Muhammad SAW.
Tongkat estafet kepewarisan itu bukan untuk menyampaikan “risalah dan nubuwah”, akan tetapi untuk menyampaikan “Walayah”, yang sekaligus juga agar menjadi saksi bagi manusia pada zamannya. Karena sejak wafatnya Rasulullah SAW, Nubuwah dan Risalah itu telah terputus. Jadi, bukan untuk menjadi Nabi-Nya akan tetapi menjadi Wali-Nya. Allah SWT berfirman:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami. (QS. Faathir 32)
Oleh karena itu, manusia harus mengenal manusia, mencari keutamaan (fadhol) Allah SWT yang tersimpan di dalam diri manusia, itulah “mutiara manusia” yang tersimpan dalam jiwa manusia, mutiara rahasia tersebut dinyatakan Allah dengan firman-Nya; “Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”. (QS. al- Mu’min 61)
Sebagai kholifah Allah di muka bumi, di dalam dirinya ada sesuatu yang dirahasiakan untuk manusia, bahkan kepada dirinya sendiri, padahal yang dirahasiakan itu seringkali menjadi “sumber inayah dan hidayah” bagi orang lain. Ada kalanya rahmat Ilahiyat yang dirahasiakan di balik mutiara rahasia itu, ternyata merupakan pintu surga yang diidam-idamkan oleh orang-orang yang ada di lingkungannya.
Ketika seorang murid berusaha menggali “mutiara rahasia” itu dengan pelaksanaan tawasul secara ruhaniah kepada guru Mursyidnya, sambung-menyambung (rabith) sampai kepada maha guru yang mulia, Rasulullah Muhammad SAW untuk wushul/LING kepada Allah Ta’ala, dan ketika ternyata murid itu berhasil mendapatkannya, maka saat itu baru mengetahui bahwa mutiara itu di akherat kelak ternyata menjadi faktor penyelamat bagi hidupnya. Itulah “syafa’at Nabi” yang diwariskan kepada ahlinya, barangsiapa tidak mengusakannya di dunia, tentunya dengan berusaha mencintai Rasulullah Muhammad SAW melebihi cinta kepada dirinya sendiri, maka di akherat kelak tidak akan mendapat bagian apa-apa dari “mutiara utama” itu.
Oleh karena itu, manusia harus mengenal manusia, mencari keutamaan (fadhol) Allah SWT yang tersimpan di dalam diri manusia, itulah “mutiara manusia” yang tersimpan dalam jiwa manusia, mutiara rahasia tersebut dinyatakan Allah dengan firman-Nya; “Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”. (QS. al- Mu’min 61)
Sebagai kholifah Allah di muka bumi, di dalam dirinya ada sesuatu yang dirahasiakan untuk manusia, bahkan kepada dirinya sendiri, padahal yang dirahasiakan itu seringkali menjadi “sumber inayah dan hidayah” bagi orang lain. Ada kalanya rahmat Ilahiyat yang dirahasiakan di balik mutiara rahasia itu, ternyata merupakan pintu surga yang diidam-idamkan oleh orang-orang yang ada di lingkungannya.
Ketika seorang murid berusaha menggali “mutiara rahasia” itu dengan pelaksanaan tawasul secara ruhaniah kepada guru Mursyidnya, sambung-menyambung (rabith) sampai kepada maha guru yang mulia, Rasulullah Muhammad SAW untuk wushul/LING kepada Allah Ta’ala, dan ketika ternyata murid itu berhasil mendapatkannya, maka saat itu baru mengetahui bahwa mutiara itu di akherat kelak ternyata menjadi faktor penyelamat bagi hidupnya. Itulah “syafa’at Nabi” yang diwariskan kepada ahlinya, barangsiapa tidak mengusakannya di dunia, tentunya dengan berusaha mencintai Rasulullah Muhammad SAW melebihi cinta kepada dirinya sendiri, maka di akherat kelak tidak akan mendapat bagian apa-apa dari “mutiara utama” itu.
1 komentar:
Keren gan artikenlya, Sukses terus buat Adminnya
Salam kenal dari Blog Zufar Rizal
Jangan lupa di follow blog saya ini http://b-z-r.blogspot.com
Posting Komentar