TANBIIH

الحَمـْدُ للهِ المُــوَفَّـقِ للِعُـلاَ حَمـْدً يُوَافـــِي بِرَّهُ المُتَـــكَامِــلا وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَي النَّبِيِّ المُصْطَفَىَ وَالآلِ مَــــعْ صَـــحْــبٍ وَتُبَّـاعٍ وِل إنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا تَقْوَى الإلهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ وَتِبَاعُ أَهْوَى رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلاَ إن أخوف ما أخاف على أمتي اتباع الهوى وطول الأمل إنَّ الطَّرِيقَ شَرِيعَةٌُ وَطَرِيقَةٌ وَحَقِيقَةُ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلا فَشَرِيعَةٌ كَسَفِينَة وَطَرِيقَةٌ كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيقَةٌ دُرٌّ غَلاَ فَشَرِيعَةٌ أَخْذٌ بِدِينِ الخَالِقِ وَقِيَامُهُ بَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ انْجَلاَ وَطَرِِيقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطَ كَالوَرَع وَعَزِيمَةُ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاَ وَحَقِيقَةُ لَوُصُولُهِ لِلمَقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُورُ التّجَلِّي بِانجَلاَ مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق

hiasan

BELAJAR MENGKAJI HAKIKAT DIRI UNTUK MENGENAL ILAHI

Minggu, 03 Juni 2012

Al-Qur’an sebagai Sang Pencakup SegalaNYA ....

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا الأَلْبَابِ(البقرة/269).



"Alloh memberikan HIKMAH kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang diberi HIKMAH, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak" (Al Qur'an, Surah Al Baqoroh, 2:269) Hendaklah engkau membaca al-Qur’an dan merenungkannya dengan penerimaan qolbuMU. Ketika engkau membacanya, perhatikanlah kualitas-kualitas dan sifat-sifat terpuji yang dilekatkan oleh Alloh kepada hamba-hamba-Nya yang Dia cintai. Hendaklah juga engkau engkau bersifat dengan kualitas-kualitas dan sifat-sifat itu. Perhatikan pula kualitas-kualitas dan sifat-sifat yang dicela oleh Alloh dalam al-Qur’an yang dimiliki oleh orang yang Dia benci.



Maka jauhilah kualitas-kualitas dan sifat-sifat itu. Alloh tidak menyebut untuk engkau kualitas-kualitas dan sifat-sifat itu dalam Kitab-Nya dan menurunkannya kecuali agar engkau mengamalkan dengan cara itu. Bila engkau membaca al-Qur’an, jadilah engkau al-Qur’an demi apa yang ada dalam al-Qur’anuntuk membaca (tilāwah) tetapi juga merenungkan (tadabbur) al-Qur’an.



Merenungkan (tadabbur) di sini adalah mempelajari, mengkaji dan melihat secara mendalam dengan qolbu, yang berimplikasi pada transformasi spiritual dalam perjalanan menuju Alloh.



Membaca dan merenungkan al-Qur’an membawa seseorang kepada pengetahuan dan kesadaran tentang kualitas-kualitas dan sifat-sifat terpuji yang harus dia miliki dan kualitas-kualitas dan sifat-sifat tercela yang harus dia jauhi. Kualitas-kualitas dan sifat-sifat terpuji itu adalah kualitas-kualitas dan sifat-sifat Alloh, yang tidak lain adalah identik dengan al-Qur’an.



Karena itu, para ahlillah memberikan wasiat agar kita menjadi al-Qur’an, atau berakhlak dengan al-Qur’an sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw... tidak membatasi apapun dengan aqal indrawi semata ... terjebak pada takwil semata ...



Syeikh Ibn ‘Arabi mewasiatkan agar orang-orang mukmin berusaha dengan sungguh-sungguh memelihara (yang berarti pula menghafal) al-Qur’an dengan amal sebagaimana memeliharanya dengan bacaan.



Syekh ini memperingatkan bahwa tidak ada orang yang lebih pedih siksaannya pada Hari Qiyamat daripada orang yang menghafal satu ayat al-Qur’an kemudian ia melupakannya. Demikian pula orang yang menghafal satu ayat al-Qur’an kemudian ia tidak mengamalkannya.



Maka pada Hari Kiamat ayat itu akan menjadi saksi dan kesedihan atas dirinya.Pesan Rasul Alloh Saiyidina Muhammad saw, yang di ceritakan oleh syekh Ibn ‘Arabi, mengungkapkan keadaan orang yang membaca al-Qur’an dan orang yang tidak membacanya, baik orang mukmin maupun orang munafik. Beliau berkata, “Perumpamaan orang mukmin yang membaca al-Qur’an adalah seperti buah jeruk sitrun yang baunya harum.” Buah jeruk sitrun itu berarti bacaan dan itu adalah nafas-nafas yang keluar.



Bacaan itu adalah ibarat bau-bau harum yang dikeluarkan oleh napas-napas yang rasanya lezat, yang berarti IMAN. Karena itu, beliau berkata, “Orang yang ridho dengan Alloh sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Saiyidina Muhammad saw sebagai Nabinya, niscaya merasakan lezatnya IMAN.” Maka rasa lezatnya dinisbahkan pada IMAN.



Kemudian beliau berkata, “Perumpamaan orang MUKMIN yang tidak membaca al-Qur’an adalah seperti buah yang lezat rasanya” dalam arti ia adalah MUKMIN yang memiliki IMAN, “tetapi baunya tidak harum dalam arti ia bukan pembaca atau pengikut (tālī) dalam keadaan yang tidak ada pembaca, meskipun ia termasuk penghafal al-Qur’an. Beliau berkata pula, “Perumpamaan orang munafik yang membaca al-Qur’an adalah seperti kasturi berbau harum,” karena al-Qur’an adalah harum, dan ia tidak lain dari nafas-nafas pembaca ketika waktu dan keadaan membacanya, “tetapi pahit rasanya” karena kemunafikan adalah penutupan batin, sedangkan manisnya iman adalah merasakan lezatnya iman itu.



Kemudian beliau berkata, “Perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al-Qur’an adalah seperti ketimun yang pahit rasanya dan tidak harum baunya,” karena ia bukan pembaca al-Qur’an.Atas dasar kajian ini, Syekh Ibn ‘Arabi menyimpulkan bahwa dalam setiap perkataan yang baik (kalām thayyib) ada ridho Alloh SWT.



Bentuk KALAM Alloh dari orang MUKMIN dan orang MUNAFIQ adalah bentuk al-Qur’an dalam perumpaan itu tetapi posisi al-Qur’an tidak tersembunyi. Tidak ada suatu perkataan pun yang membuat dekat kepada Alloh yang menandingi perkataan AllohKutipan yang cukup singkat di atas mengingatkan kita pada doktrin penilaian para sebagian ulama' pada syekh Ibn ‘Arabi tentang wahdat al-wujūd bahwa tidak ada sesuatu pun dalam wujud kecuali AL-ILAH (al-Haqq) yang ada hanya Wujud Yang Esa, yaitu Alloh semata .



Segala sesuatu selain Alloh tidak ada pada dirinya ia ada hanya sebagai penampakan diri (tajallīyah) ALLOH . Alam adalah ekspresi atau manifestasi Alloh ('ainulloh / bayang-bayang) .



Maka ketika seorang hamba membaca al-Qur’an, pada hakikatnya bukanlah ia yang membacanya tetapi Alloh-lah yang membacanya.



Yang menjadi pembaca hakiki al-Qur’an bukalah hamba itu tetapi adalah Alloh. Begitu juga ketika seorang hamba berdzikir pada Alloh, pada hakikatnya bukanlah ia yang berdzikir tetapi Alloh-lah yang berdzikir kepada diri-Nya. Yang menjadi pedzikir hakiki bukanlah hamba itu tetapi adalah Alloh



.ومن عمل لطلب الجزاء فهو نسيان من الفضل والرحمة الله





SELAMAT BELAJAR JANGAN FAHAMI AL-QUR'AN HANYA SEBATAS TAFSIRNYA SEMATA (sebatas TENGGOROKAN / hanya sebatas yang kalian tau) karena masih banyak makna-makna yang belum tersirat ... agar dirimu menjadi KENYATAAN AYAT - AYAT ALLOH SWT .............

TAFSIR AYAT YANG TERSEMBUNYI DIBALIK SURAT AL-IMRON AYAT 103




وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu, karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." – (QS.3:103)

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا  : berpeganglah kamu sekalian dengan tali alloh ... yang di maksud tali di sini mempunyai makna yang tersembunyi ...

1 : tali agama  yaitu tali ukhuwah islamiyah yang di ikat dengan SYAHADATAIN
   Di antara perkara yang sering merusak ukhuwah Islamiyah ialah adanya sikap dari sebagian kita yang tak mau memaklumi bila saudaranya berbuat salah atau keliru. Padahal kesalahan yang dilakukan oleh seseorang itu bisa jadi karena lupa, salah paham, bodoh, karena belum tahu ilmunya atau karena terpaksa sehingga berbuat demikian.

 Sikap pukul rata (gebyah uyah) ini banyak terjadi di kalangan kaum muslimin, bahkan juga di kalangan Ahlus Sunnah. Ketika ada orang yang berbuat salah, bukannya dinasihati atau diingatkan, malah dihadapi dengan sikap permusuhan. Terkadang digelari sebutan-sebutan yang jelek atau malah ia dijauhkan dari kaum muslimin.

 Sikap yang lebih ekstrim dlm masalah ini adalah apa yang ditunjukkan kelompok Khawarij ,mujasimah & musyabbihah. Mereka lebih tak bisa melihat saudaranya yang berbuat kesalahan. Orang yang terjatuh dlm perbuatan dosa, dlm pandangan mereka, telah terjatuh dlm kekafiran hingga halal darah & hartanya bahkan istri dan anaknya halal sbgai budak / tawanan perang

 Kondisi ini tentu akan bermuara pada pecahnya ukhuwah di kalangan umat Islam dan menjadikan kembali islam pada masa JAHILIYAH . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Tidak boleh mengkafirkan seorang muslim dgn sebab sebuah dosa atau kesalahan yang ia kerjakan, selama ia masih menjadi ahlul qiblat (masih shalat). Seperti dlm masalah-masalah yang masih diperselisihkan kaum muslimin di mana mereka berpendapat dgn suatu pendapat yang kita anggap salah, maka tak bisa kita mengkafirkannya. Karena Allohmemberi udzur kepada mereka. Alloh berfirman:

 آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ. لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Rasul telah beriman kepada Al-Qur`an yang diturunkan kepadanya dari Rabb mereka, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Alloh, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, & rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): ‘Kami tak membeda-bedakan antara seorangpun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya’, & mereka mengatakan: ‘Kami dengar & kami taat’. (Mereka berdoa): ‘Ampunilah kami ya Rabb kami & kepada Engkaulah tempat kembali’.” Allah tak membebani seseorang melainkan sesuai dgn kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya & ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami pikul. Maafkanlah kami; ampunilah kami; & rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir’.”  (Al-Baqarah: 285)
Disebutkan dlm riwayat yang shahih (HR. Muslim dari Abu Hurairah dlm Shahih beliau) bahwa Allah telah mengabulkan doa para nabi & doa orang-orang beriman ini. Sehingga diangkatlah pena dari orang-orang yang berbuat kesalahan karena lupa atau karena ia tak mengerti ilmunya. Juga bagi orang yang tak sanggup memikul suatu beban.”

 Orang-orang Khawarij tak mau membedakan hal-hal tersebut. Menurut mereka, barangsiapa berbuat dosa maka dia menentang Al-Qur`an. Barangsiapa menentang Al-Qur`an berarti menentang Allah l & barangsiapa menentang Allah l berarti dia kafir. Mereka menyamakan semua perbuatan salah & menganggapnya sebagai kekafiran.
 Syaikhul Islam melanjutkan: “Khawarij yang telah salah dlm hukum ini oleh Rasulullah diperintahkan utk diperangi.
 Rasulullah n bersabda:

 لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ قَتَلْتُهُمْ قَتْلَ عَادٍ

 “Sungguh jika aku sempat menjumpai mereka, aku akan perangi mereka, aku akan tumpas layaknya kaum Aad.” (Muttafaqun alaihi)
 Allah l juga memerintahkan utk memerangi mereka. Allah  berfirman:

 وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ

 “Kalau ada dua kelompok kaum mukminin berperang maka damaikanlah keduanya. Kalau salah satunya memberontak, maka perangilah mereka sampai mereka kembali kepada Allah.”
 (Al-Hujurat:9)
 Ketika Ali bin Abi Thalib Ra  benar-benar menjumpai orang-orang Khawarij, maka beliau bersama para sahabat pun memerangi mereka. Begitupun seluruh imam baik dari generasi sahabat, tabi’in, atau setelah mereka sepakat bahwa Khawarij itu harus diperangi. Namun Ali bin Abi Thalib z tak mengkafirkan mereka.
Begitu pula sahabat yang lain seperti Sa’d bin Abi Waqqash z & lainnya, mereka juga memerangi orang-orang Khawarij. Namun mereka tetap menganggap Khawarij itu sebagai kaum muslimin. Sehingga cara memeranginya pun berbeda dgn memerangi orang kafir. Bila orang kafir diperangi maka hartanya menjadi ghanimah, wanita & anak-anak mereka menjadi tawanan. Sedangkan memerangi Khawarij tak demikian. Mereka hanya diperangi sampai mereka mau kembali ke jalan Alloh  & kembali taat kepada penguasanya.
 Ali bin Abi Thalib Ra memerangi Khawarij setelah terbukti mereka menumpahkan darah & merampas harta kaum muslimin dgn dzolim. Ali bin Abi Thalib Ra berkata: “Demi Alloh, aku akan perangi mereka sampai tak tidak tersisa 10 orang pun di antara mereka.”

 Ketika para sahabat menyebut mereka sebagai kafir, maka Ali Ra berkata:

 لاَ، مِنَ الْكُفْرِ فَرُّوْا

“Tidak. Mereka justru lari dari kekufuran.”

 Sikap orang-orang Khawarij yang demikian yakni khawatir terjatuh pada kekafiran inilah yang menyebabkan mereka memiliki sikap ekstrim dlm melihat perbuatan dosa.  Apa akibatnya? Terjadilah perpecahan & pertumpahan darah di tengah-tengah  kaum muslimin.
 Kesesatan Khawarij yang telah jelas diterangkan oleh nash & disepakati kaum muslimin –bahkan membuat mereka boleh diperangi– tak menyebabkan mereka boleh utk dikafirkan. Apalagi beragam kelompok lain yang bermunculan pada masa ini, di mana mereka dihinggapi berbagai kekeliruan & kebodohan, maka mereka tak bisa utk dikatakan sebagai kafir. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang bodoh yang tak tahu tentang apa yang diperselisihkan.”

 Inilah perbedaan antara Khawarij dgn Ahlus Sunnah. Khawarij menganggap kafir kaum muslimin, & khususnya Ahlus Sunnah, karena dianggap sebagai kelompok yang pro thaghut (pro pemerintah). Namun demikian kita tetap tak mengkafirkan mereka. Inilah bijaknya Ahlus Sunnah. Mereka berjalan dgn ilmu, bukan dgn emosi. Mereka mengetahui bahwa hukum asal darah kaum muslimin adalah terjaga. Begitu pula dgn kehormatan & harta kaum muslimin, semuanya terjaga
Rosululloh Muhammad SAW  menyatakan dlm hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari & Muslim saat Haji Wada, beliau n berkata:

 فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا إلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ

“Sungguh darah, harta, & kehormatan kalian adalah suci seperti sucinya hari ini (hari Arafah), seperti sucinya bulan ini (bulan Dzulhijjah) & seperti sucinya negeri ini (Makkah), hingga hari kalian bertemu Rabb kalian.” (Muttafaqun ‘alaih)

 Karena itu kita jangan sampai terjerumus ke dlm kesalahan yang sama dgn Khawarij. Yaitu tak membedakan antara orang yang salah karena lupa, tak tahu atau terpaksa, dgn para penentang Sunnah. Hingga akhirnya kita menyamaratakan & menyikapi mereka dgn sikap yang sama, yaitu memusuhi & menjatuhkan kehormatannya.

 Kita harus menjaga agar darah kaum muslimin tak tertumpah dgn cara yang dzalim, begitu pula dgn harta & kehormatan mereka. Karena darah, harta, & kehormatan kaum muslimin adalah suci sebagaimana sucinya Hari Arafah, sucinya Kota Mekkah, & bulan Dzulhijjah. Kita harus menjaga kemuliaan darah, harta, & kehormatan kaum muslimin sebagaimana kita menjaga kemuliaan hari Arafah, Kota Makkah, & bulan Dzulhijjah.

Yang tak kalah penting utk diperhatikan adalah masalah harta. Seluruh kaum muslimin harus saling menjaga harta saudaranya. Jangan sampai kita merampas harta orang lain secara dzalim, jangan menipu, atau berhutang dgn niat utk tak membayar. Semua perbuatan ini juga terlarang sebagaimana terlarangnya menumpahkan darah kaum muslimin.

 Sungguh merupakan kejadian yang benar-benar memalukan jika ada seorang yang mengaku Ahlus Sunnah memakan harta saudaranya dgn cara yang dzalim dlm masalah perdagangan atau hutang piutang hingga terjadi permusuhan di antara mereka. Terjadi saling boikot, saling tahdzir, saling mencela, & sebagainya hanya karena semata-mata masalah uang. Masalah ini bisa menjadi besar & berbahaya, yang semuanya berawal hanya karena tak dijaganya harta sesama muslim.

 Untuk urusan menumpahkan darah sesama muslim, barangkali Khawarij yang paling ahli. Namun utk urusan memakan harta sesama muslim dgn cara yang dzalim, melanggar kehormatan saudaranya yang mestinya jangan sampai dilanggar, ternyata terjadi juga di kalangan orang-orang yang mengaku Ahlus Sunnah.
 Karena itu saya wasiatkan kepada kita semua & kaum muslimin, takutlah kepada Allah l. Kita bicara tentang Khawarij, bahwa mereka itu kelompok sesat yang telah melanggar hadits Rasulullah n tentang larangan menumpahkan darah sesama muslim dgn cara yang dzalim, sementara di saat yang sama kita pun melanggar hadits tersebut pada sisi yang lain.

 Perbuatan mengambil harta sesama muslim dgn cara yang batil atau melanggar kehormatannya, merupakan dua keharaman yang memiliki kedudukan sama sebagaimana larangan menumpahkan darah seorang muslim dgn cara yang batil. Karena tiga masalah ini disebutkan oleh Rasululloh SAW
================================================================================
Saya teringat waktu kecil ketika sedang ikut sholat berjamaah di masjid di kampung saya. Setiap imam sampai pada ucapan “wa ladh-dhallin …” teman-teman sebaya saya sering memanjangkan bahkan membelok-belokkan ucapan “amiiiiiin …”. Meskipun para jamaah sudah selesai teman-teman itu masih juga melanjutkan “iiiin….”. Sehingga setiap saya ikut shalat berjamaah di masjid itu, sejak takbiratul ihram saya mesti sibuk memperhatikan teman saya kanan kiri dan depan belakang dan berpikir bahwa teman-teman saya itu nanti shalat main-main, ribut, atau mengganggu orang lain shalat. Saya benar-benar jengkel, maka untuk hari-hari berikutnya saya sejak awal sudah siap-siap jika teman-teman saya itu nanti main-main dalam shalat. Saya benar-benar jengkel, di samping ada teman yang main-main, ribut, lari sana sini, bahkan ada yang sengaja batuk-batuk padahal sebenarnya tidak batuk hanya disengaja, entah mengapa. Langsung saya berjalan, keluar dari barisan (shaf) saya dan mendekati teman yang batuk-batuk tadi.
Sambil saya menunjuk-nunjuk dengan jari telunjuk, “He ! Sholat itu kata pak guru tidak boleh main-main seperti itu, batal!
Seperti saya ini, sholat yang benar, tidak ganggu orang, dan khusuk!
” kata saya sambil kembali ke tempat saya sholat semula.

Ternyata setelah saya dewasa dan tua ini, terutama di zaman sekarang ini, pengalaman saya waktu kecil itu menjadikan saya tersenyum dan malu sendiri. Lebih-lebih setelah saya ingat  kiyai saya pernah mengutip ayat Al-Qur’an :

 وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلا تُبْصِرُونَ

“Dan pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat, 51 : 21)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, menurut Qatadah ayat itu mengandung maksud berpikir, merenungkan, akan diri sendiri; mengetaui bahwa diciptakannya komponen-komponen diri manusia itu untuk mengabdi (beribadah) kepada Penciptanya.

 Al-Mawardi dalam Tafsirnya lebih detail menjelaskan ada lima interpretasi dalam ayat itu. Pertama, memperhatikan sabilul-ghaith wal-baul (jalan untuk buang air besar dan kecil) (pendapat Ibnu Zubair dan Mujahid). Kedua, memperhatikan harmonisasi kerja kedua tangan, kedua kaki, dan anggauta tubuh lainnya merupakan bukti bahwa kamu sekalian diciptakan oleh Yang Maha Pencipta untuk mengabdi (beribadah) kepada-Nya (pendapat Qatadah). Ketiga, memperhatikan kamu sekalian asalnya diciptakan dari tanah, kemudian menjadi manusia yang tersebar di seluruh muka bumi (pendapat Ibnu Zaid). Keempat,

memperhatikan hidup dan mati kamu sekalian dan bagaimana makanan masuk dan keluar dari diri kamu sekalian (pendapat As-Sadi). Kelima, memperhatikan keadaan kamu sekalian ketika kondisi tua sesudah muda, kondisi lemah sesudah kuat, dan kondisi rambut beruban sebelumnya hitam (pendapat Al-Hasan).

Dalam Tafsir Al-Wasith, di jelaskan ayat Al-Qur’an itu mengandung maksud, bahwa pada diri dan penciptaan kamu sekalian, apakah tidak kamu perhatikan ? –yaitu perhatian, pemikiran, dan ibrah (pelajaran)- karena sesungguhnya asalnya kamu diciptakan dari saripati tanah, menjadi sperma, menjadi segumpal darah, menjadi segumpal daging, lalu menjadi makhluk dengan bentuk spesifik. Kemudian dalam penjagaan dan perlindungan dalam kandungan ibu kamu, dalam perkembangan kamu fase demi fase, dalam perbedaan bahasa dan warna kulit kamu, dalam berbagai susunan halus yang menakjubkan untuk tubuh dan anggota badan kamu, lalu dalam perbedaan potensi daya pikir, pemahaman, dan keluasan kamu. Pada semua itu dan yang lainnya merupakan ibrah (pelajaran) bagi orang yang mau mengambil pelajaran hidup.

Benar, sebenarnya saya sendiri belum memperhatikan diri sendiri meskipun dalam hal yang paling sederhana, lebih-lebih terhadap hal-hal yang rumit yang bersifat fisik-material, belum lagi yang bersifat nonfisik-material. Paling mudah adalah melihat orang lain, terutama wajahnya. Dia cemberut, sedih, gembira. Dia … dan seterusnya, pokoknya mudah melihat orang lain. Wajah diri sendiri bagaimana ? Saya juga suka mentertawakan orang lain, padahal bersamaan itu pula orang yang saya tertawakan itu tertawa juga karena saya tertawa.

Seorang santri atau siswa madrasah setingkat ibtida’iyah (SD) kadang-kadang mengingatkan saya untuk segera sadar dan mau serta berani memperhatikan diri sendiri dengan melantunkan nazham (semacam syair) dari kitab Al-Jauharatu fit-Taukhid (Imam Burhanuddin Ibrahim) :
“Fanzhur ila nafsika tsumman-taqili … lil-‘alamil-‘ulwiyyi tsummas-sufli”
(Perhatikan pada dirimu sendiri, lalu lanjutkan pada alam yang tinggi dan yang bawah), “Tajid bihi shun’an badi’al-hikami … lakin bihi qooma daliilul-‘adami”(Maka akan kamu temukan dengan perhatian itu ciptaan Tuhan yang indah menakjubkan dan penuh kebijaksanaan, dengan perhatian itupun ditemukan bukti adanya makhluk ciptaan yang bersifat sesaat).

Orang banyak tahu

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

  "Bagi manusia ada malaikat-malaikat, yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (QS. Ar-Ra’du, 13 : 11).

 Namun, mengapa banyak orang juga merasa kehidupan ini tidak berubah juga. Ya, mungkin seperti saya ini diri sendiri belum mau berubah. Saya sendiri setelah saya memperhatikan diri sendiri ternyata banyak salah dan dosa, namun selama ini justru suka dan mudah melihat salah dan dosa orang lain. Padahal banyak yang tahu 

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu (untuk melakukan perbaikan) ….” (QS. Ali Imran, 3 : 133). 

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ

Lalu “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri ….” (QS. Al-Baqarah, 2 : 44).

Siapa yang perlu memulainya lebih dahulu? Saya teringat seorang  kiyai berceramah,
 “Mulailah dari dirimu sendiri, lalu orang-orang terdekat.” (HR. Nasa’i).
Dan “Apabila Allah memberi salah seorang kamu (kesempatan berbuat) kebaikan, mulailah dari dirinya sendiri dan keluarganya.” (HR. Muslim). Maka jawabnya, diri saya sendiri yang memulai lebih dahulu.

Semoga saya bersegera, sekarang juga, memulai mau dan berani memperhatikan diri sendiri, tidak seperti waktu kecil suka dan mudah menyalahkan orang lain padahal tanpa saya sadari saya sendiri di saat itu pula melakukan kesalahan yang sama. Saya cari kekurangan, kesalahan dan dosa diri sendiri untuk perubahan dan perbaikan dalam menyongsong kehidupan mendatang yang lebih baik dari sekarang. Bukankah secara jelas,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hasyr : 18)


2 : tali hidup yaitu  nafas ,nufus anfus ,tanaffas  & anfas
Dalam kitab bayan Tauhid di sebutkan ;


واما جسر الحى (حبل) وهو اربعة احدها نفس وهو داخل فقدط وهو حمد الروح الذي حمدا لا ينقطع اصلا
وثانيها تنفس وهو الخارج فقط هو نظر الروح
وثالثها انفاس وهو لا سكن ولا يتحرك  هو عروفية الروح 
ورابعها نُفُسٌ وهو لا مخرج ولا مدخل هو قدرية الروح

Adapun talinya hidup (persambungan antara mahluk & alloh) itu ada 4 :
 1 : nafas  yaitu hawa yang masuk melalui penciuman saja dan nafas itu menjadi PAMUJI nya RUH yang benar-benar mengagungkan pada dzaatu al-khaiyi tidak terputus sama sekali
2- tanaffas : hawa yang keluar melalui penciuman saja dan itu menjadi penglihatannya (bashiroh) Ruh
3 : Anfaas : hawa yang  tidak diam dan tidak bergerak  dan itu menjadi pengertiannya Ruh
4 : Nufus : hawa yang  tidak keluar dan tidak masuk dan itu menjadi kekuasaannya Ruh

SELEBIHNYA MARILAH KITA KAJI KEMBALI APA YANG MENJADI PESAN’’ ROSULULLOH DARI MAKNA YANG TERSURAT SERTA MAKNA YANG TERSIRAT ... INILAH KENAPA ULAMA’ SUFI SELALU MENGANJURKAN UNTUK SESEGERA MENGENAL DIRI AGAR MENGENAL ILAHI ....

PENGERTIAN TENTANG MENGERTI AKAN DIRI MENURUT PANDANGAN IMAM AL-GHOZALI Ra

“Tahu Diri”. Apa yang dimaksud dengan “Tahu diri”? Bagaimana cara agar kita tahu diri ? Jawabannya dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab beliau yang sedang penulis jadikan bahan pengajian ini.

Tahu Diri

Imam Al-Ghazali mengatakan :

اعلم أن مفتاح معرفة الله تعالى هو معرفة النفس، كما قال سبحانه وتعالى: (سَنُريهِم آياتِنا في الآفاقِ وَفي أَنفُسِهِم حَتّى يَتَبَيَّنَ لَهُم أَنَّهُ الحَقُّ).

“Ketahuilah bahwasanya kunci pengetahuan (ma’rifah) kepada Allah Ta’ala adalah pengetahuan (ma’rifah) tentang diri sebagaimana yang firman Allah swt : ‘Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar’ “ (QS. Fushshilat, 41 : 53)

Kemudian beliau mengutip suatu ungkapan yang cukup popular di kalangan ulama terutama di kalangan shufi :

من عرف نفسه فقد عرف ربه.

“Siapa yang tahu akan dirinya sendiri sungguh ia tahu akan Tuhannya”.

Terlepas perdebatan ulama tentang ungkapan tersebut hadits atau bukan yang penting dalam konteks pengajian ini adalah memahami maksudnya bukan secara harfiah. Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam kitabnya Hulyatu al-Auliya’ jauh-jauh hari telah menjelaskan :

وسئل سهل عن قوله: من عرف نفسه فقد عرف ربه. قال: من عرف نفسه لربه عرف ربه لنفسه. (حلية الأولياء – ج 4 / ص 350)

“Sahal pernah ditanya tentang ungkapannya :’Siapa yang tahu akan dirinya sendiri sungguh ia tahu akan Tuhannya.’ Jawabnya, ’Siapa yang tahu akan dirinya sendiri untuk Tuhannya, maka Tuhannya tahu untuk diri orang itu sendiri’ “.

Selanjutnya Imam Al-Ghazali mengatakan :

وليس شيء أقرب إليك من نفسك، فإذا لم تعرف نفسك، فكيف تعرف ربك؟ فإن قلت: إني أعرف نفسي! فإنما تعرف الجسم الظاهر، الذي هو اليد والرجل والرأس والجثة، ولا تعرف ما في باطنك من الأمر الذي به إذا غضبت طلبت الخصومة، وإذا اشتهيت طلبت النكاح، وإذا جعت طلبت الأكل، وإذا عطشت طلبت الشرب. والدواب تشاركك في هذه الأمور.

“Tidak ada sesuatu yang lebih dekat kepada anda daripada diri anda sendiri. Jika anda tidak tahu akan diri anda sendiri, bagaimana anda bisa tahu tentang Tuhan anda. Jika anda berkata, ‘Saya tahu diri saya’, berarti yang anda ketahui fisik luar tubuh anda, yakni tangan, kaki, kepala dan anggauta-anggauta badan lainnya. Namun anda tidak tahu anggauta-anggauta tubuh yang ada di dalam perut anda. Anda hanyalah sekedar jika marah marah-marah kepada seseorang, untuk memenuhi syahwat anda kawin, jika lapar anda makan, jika haus anda minum. Jika demikian samalah anda dengan binatang?”

فالواجب عليك أن تعرف نفسك بالحقيقة؛ حتى تدرك أي شيء أنت، ومن أين جئت إلى هذا المكان، ولأي شيء خلقت، وبأي شيء سعادتك، وبأي شيء شقاؤك.

“Anda perlu tahu akan diri anda sendiri yang sejatinya (tidak sekedar hanya tahu fisik luar anda), sehingga anda mengenal siapa anda, dari mana anda datang sampai di tempat (dunia) ini, untuk apa anda diciptakan, serta di manakah letak kebahagiaan anda dan kesedihan anda yang sejatinya ?”

وقد جمعت في باطنك صفات: منها صفات البهائم، ومنها صفات السباع، ومنها صفات الشياطين، ومنها صفات الملائكة، فالروح حقيقة جوهرك وغيرها غريب منك، وعارية عندك.

“Sungguh dalam diri anda terdapat sifat-sifat : sebagian sifat-sifat binatang, sebagian yang lain sifat-sifat setan dan selebihnya sifat-sifat malaikat. Sedangkan ruh merupakan esensi yang hakiki diri anda sebagai sesuatu yang asing serta sebagai pinjaman bagi anda.”

فالواجب عليك أن تعرف هذا، وتعرف أن لكل واحد من هؤلاء غذاء وسعادة. فإن سعادة البهائم في الأكل، والشرب، والنوم، والنكاح، فإن كنت منهم فاجتهد في أعمال الجوف والفرج.

“Untuk itu anda perlu tahu akan hal ini. Anda ketahui bahwa masing-masing dari semua itu terdapat makanan dan kebahagiaan. Kebahagiaan binatang terletak pada makan, minum, tidur, dan kawin. Jika anda seperti itu kerja keraslah untuk memenuhi nafsu kerongkongan dan alat kelamin.”

وسعادة السباع في الضرب، والفتك. وسعادة الشياطين في المكر، والشر، والحيل. فإن كنت منهم فاشتغل باشتغالهم. وسعادة الملائكة في مشاهدة جمال الحضرة الربوبية، وليس للغضب والشهوة إليهم طريق. فإن كنت من جوهر الملائكة، فاجتهد في معرفة أصلك؛ حتى تعرف الطريق إلى الحضرة الإلهية، وتبلغ إلى مشاهدة الجلال والجمال، وتخلص نفسك من قيد الشهوة والغضب،

“Kebahagiaan binatang buas terletak pada penerkaman dan pemangsaan. Kebahagiaan setan terletak pada trik, kelicikan, dan kejahatan. Jika anda seperti itu sibukkanlah diri anda seperti kesibukannya. Kebahagiaan malaikat untuk menyaksikan keindahan Ketuhanan yang kekal, dan bagi mereka terbebas dari suatu amarah dan nafsu. Jika yang dominan pada diri anda adalah esensi malaikat, cobalah bersungguh-sungguh untuk mengetahui asal usul diri anda, sehingga anda mengetahui cara untuk menuju ke hadirat Ilahi, terbimbing menuju kesaksian kemuliaan dan keindahan-Nya, membersihkan diri anda dari perangkap nafsu syahwat dan amarah.”

وتعلم أن هذه الصفات لأي شيء ركبت فيك؛ فما خلقها الله تعالى لتكون أسيرها، ولكن خلقها حتى تكون أسرك، وتسخرها للسفر الذي قدامك، وتجعل إحداها مركبك، والأخرى سلاحك؛ حتى تصيد بها سعادتك. فإذا بلغت غرضك فقاوم بها تحت قدميك، وارجع إلى مكان سعادتك.

“Anda pun perlu tahu dari sifat-sifat yang mana yang ada pada diri anda, mestikah apa yang diciptakan oleh Allah Ta’ala menjadi perangkap dan anda pun terperangkap olehnya, ataukah anda yang mesti menundukkannya untuk suatu perjalanan sehingga yang satu menjadi kendaraan dan yang lainnya sebagai senjata, sehingga anda menemukan kebahagiaan anda. Jika anda telah sampai pada tujuan anda maka anda berdiri tegar dan kembalilah pada tempat kebahagiaan anda.”

Demikian penjelasan Imam Al-Ghazali, bahwa kunci pengetahuan kepada Allah adalah pengetahuan akan diri sendiri (tahu diri). Tahu diri bukanlah tahu anggauta tubuh, seperti wajah, tangan, kaki, dan sebagainya, karena semua ini hanyalah bagian diri yang berbentuk fisik (jasad).

Manusia perlu tahu akan diri sendiri yang sejatinya, sehingga mengenal siapa diri ini, dari mana datang sampai di dunia ini, untuk apa diciptakan, serta di manakah letak kebahagiaan yang sejatinya. Kemudian, dalam diri manusia terdapat tiga anasir sifat : sifat binatang, sifat setan, dan sifat malaikat. Di samping itu ada ruh sebagai pinjaman yang manusia tidak tahu apa sejatinya ruh itu.

Jika kebahagian hanyalah makan, minum, tidur, dan memenuhi kebutuhan nafsu syahwat berarti samalah dengan binatang. Jika kebahagiaan hanyalah kelihaian melakukan trik-trik, kelicikan, dan kejahatan berarti samalah dengan setan. Sedang mencapai kesaksian (musyahadah) keindahan Ilahiah merupakan kebahagiaan malaikat.

Manusia bukanlah malaikat yang terbebas dari suatu amarah dan nafsu. Namun manusia dapat bersungguh-sungguh untuk tidak terperangkap oleh amarah dan nafsu itu dengan mengetahui asal usul diri manusia sendiri, sehingga mengetahui cara untuk menuju ke hadirat Ilahi, terbimbing menuju kesaksian kemuliaan dan keindahan-Nya, membersihkan diri dari perangkap nafsu syahwat dan amarah.

Bagaimana cara agar tahu diri ?

Jawaban pertanyaan ini terdapat dalam penjelasan Imam Al-Ghazali selanjutnya :

إذا شئت أن تعرف نفسك، فاعلم أنك من شيئين: الأول: هذا القلب، والثاني: يسمى النفس والروح. والنفس هو القلب الذي تعرفه بعين الباطن، وحقيقتك الباطن؛ لأن الجسد أول وهو الآخر، والنفس آخر وهو الأول. ويسمى قلباً. وليس القلب هذه القطعة اللحمية التي في الصدر من الجانب الأيسر؛ لأنه يكون في الدواب والموتى. وكل شيء تبصره بعين الظاهر فهو من هذا العالم الذي يسمى عالم الشهادة.

“Apabila anda menghendaki agar tahu diri anda, sadarilah bahwa diri anda –di samping terdiri dari bentuk fisik (jasad) juga- terdiri dari dua anasir. Pertama, qalbu (hati). Kedua, apa yang disebut dengan jiwa atau ruh. Jiwa atau ruh adalah hati yang dapat diindera dengan mata batin dan diri anda yang hakiki adalah batin, karena fisik (jasad) adalah yang awal dan ia sebagai yang akhir. Sedangkan jiwa atau ruh adalah yang akhir namun ia sebagai yang awal, dan disebutlah dengan qalbu. Namun qalbu ini bukanlah sepotong daging yang ada di dalam sisi kiri dada, karena qalbu yang seperti ini ada pada binatang dan mati. Setiap sesuatu yang dapat diindera dengan kasat mata adalah termasuk alam yang disebut dengan alam nyata (alam syahadah)”

وأما حقيقة القلب، فليس من هذا العالم، لكنه من عالم الغيب؛ فهو في هذا العالم غريب، وتلك القطعة اللحمية مركبة، وكل أعضاء الجسد عساكره وهو الملك، ومعرفة الله ومشاهدة جمال الحضرة صفاته، والتكليف عليه، والخطاب معه، وله الثواب، وعليه العقاب، والسعادة والشقاء تلحقانه، والروح الحيواني في كل شيء تبعه ومعه.

Sejatinya qalbu itu bukanlah termasuk alam nyata ini, namun ia termasuk alam ghaib di luar alam nyata ini, dan yang berbentuk susunan daging. Setiap anggauta jasad adalah polisinya, sedang qalbu yang sejati sebagai raja. Lalu ma’rifatullah dan musyahadah keindahan dan keagungan sifat-Nya, tugas kewajiban yang dititahkan-Nya, pahala dan siksa, kebahagiaan dan kesedihan sebagai akibat akhirnya. Sedangkan ruh hewani dalam segala hal adalah pengikut dan pelengkap belaka.

ومعرفة حقيقته، ومعرفة صفاته، مفتاح معرفة الله سبحانه وتعال؛ فعليك بالمجاهدة حتى تعرفه؛ لأنه جوهر عزيز من جنس جوهر الملائكة، وأصل معدنه من الحضرة الإلهية، من ذلك المكان جاء، وإلى ذلك المكان يعود.

Ma’rifat terhadap hakikat qalbu dan sifatnya merupakan kunci ma’rifat kepada Allah swt. Maka engkau dituntut untuk bermujahadah (jihad) hingga mengenal-Nya, karena qalbu merupakan jenis anasir malaikah yang berasal dari keagungan dan kemuliaan Ilahiah, dari sanalah datangnya da ke sana pula kembalinya.

Kesimpulan

1-Kunci kebahagiaan hidup adalah ma’rifatullah dan kunci ma’rifatullah adalah ma’rifatun nafsi.
2--Manusia terdiri dari anasir jasad dan jiwa/ruh (qalbiah) yang harus bermujahadah menuju musyahadah ke hadirat Allah swt.
3-Mujahadah dan musyahadah inilah yang membedakan manusia dengan binatang.

Jumat, 01 Juni 2012

Risalah Fi Ilmi Al-Tauhid Waa Adaabiha ‘Inda Ahli Al-Tasawuf



بسم الله الرحمن الرحيم



Segala Puji dan Keagungan senantiasa kita curahkan kepada Dzat yang telah berfirman di dalam kitabnya Al - Qur’an yang berfungsi sebagai pemberi penjelasan, ialah Dzat yang paling benar Qoulnya.

هو الذى ارسل رسوله بالهدى ودين الحقّ ليظهره على الدين كله ولوكره المشركون .


“Dialah Dzat yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq, agar dimenangkannya terhadap semua agama, sekalipun orang-orang musyrik membencinya”
Rahmad ta’dzim dan keselamatan mudah-mudahan tetap terlimpah curahkan kepada junjungan kita, nabi yang menjanjikan syafa’at-nya kepada kita, Rasul yang menjadi wasilah kita untuk menuju Tuhan, ialah Nabi Muhammad Saw yang telah bersabda :

إنّ اصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمّد وشرالامور محد ثاتها. وكل محدثة بدعة, وكل بدعة ضلالة, وكل ضلالة فى النار.


“Sungguh sebenar-benarnya hadits / ucapan adalah kitabullah “Al-Qur’an”. Sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Muhammad Saw, dan seburuk-buruknya perkara adalah perkara baru yang tidak berdasar agama


Segala puji bagi Allah, “Al – Hamdulillah” sebagai sebuah ungkapan rasa syukur atas segala anugerah – Nya, Rahmat ta’dzim dan keselamatan mudah-mudahan terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh keluarganya


Nafsu itu di zaman modern ini dikenal dengan sebutan atom, sosok benda yang tidak dapat diketahui lewat panca indra (penglihatan, penciuman,pendengaran, pengraba dan perasa). Nafsu itu dzarroh, dan darroh itu barang yang sangat kecil yang berada di punggung laki-laki. Di waktu nafsu di alam ruh, dia di baiat sebuah perjanjian, bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Mereka menyaksikan hal itu, bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Allah berfirman:


وإذ أخذ ربك من بني آدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على أنفسهم ألست بربكم قالوا بلى شهدنا أن تقولوا يومَ القيامة إنا كنا عن هذا غافلين


Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”,(QS.Al-A’raaf:172)


يا أيتها النفس المطمئنة ارجعي إِلى ربك راضية مرضية


Hai jiwa yang tenang.Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (QS.Al-Fajr:172)


Dzaroh itu kadang dimaknai dalam kitab-kitab salaf (makan Jawa) dengan makna Semut Pudak, semut yang sangat kecil. Berbeda dzarroh yang bermakna atom, benda yang tidak dapat ditangkap dengan panca indra. Atom itu sendiri ditemukan oleh orang yahudi pada tahun 1945. Allah berfirman:


فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره ومن يعمل مثقال ذرة شرا يره


Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.(QS. Zalzalah: 7-8)


Nafsu yang dibawa seorang Bapak itu tidak ada apa-apanya. dan tidak bisa berperan, namun setelah ada peran seorang Ibu benda itu menjadi sangat berguna dan bermanfaat sekali. Prosesnya, setelah nafsu itu dipancarkan oleh Bapak ke rahim Ibu dengan disertai gaya gesekan tarik menarik, nafsu keluar dengan wujud sperma (sperma itu terdiri dari berjuta-juta sel, dan yang menjadi manusia itu cuma satu sel) maka terjadilah proses percampuran antara nafsu dan nutfah Ibu, yang akhirnya terjadilah pembuahan yang menjadikan sebab terjadinya manusia.


Kejadian ini sungguh luar biasa bagi orang yang mau berfikir di dalamnya. Mengapa nafsu yang tidak ada apa-apanya bisa menjadi sangat bermanfaat setelah dicampurkan. Hal itu menunjukan akan kebesaran Allah yang agung yang menciptakan mahluknya dengan berpasang-pasangan. Nafsu berpasangan dengan sukma. Ayah berpasangan dengan Ibu, laki-laki berpasangan dengan perempuan, maka lahirlah manusia. Allah berfirman:


سبحان الذي خلق الأزواج كلها مما تنبِت الْأرض ومن أنفسهم وممالايعلمون


Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.(QS. Yasin :36)


Ilmu pengetahuan di zaman modern terus berkenbang seiring dengan langkah manusia. Orang-orang berlomba untuk menemukan inovasi yang bermanfaat bagi manusia. Orang-orang kafir menukan atom, sebuah rumus yang dimiliki Islam dalam kitab suci Al-Quran padahal orang Islam sendiri itu tidak mengetahui hal itu. Meskipun tidak tahu atom tapi orang Islam mengetahui apa itu dzarrah, suatu benda yang terkecil. Jika orang mau berfikir tentang apa yang ada di dalamnya niscaya orang itu akan menemukan sebuah konsep bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Rosulullah saw bersabda:


من عرف نفسه فقد عرف ربه

Barang siapa yang mengetahui dirinya. maka dia akan mengetahui tuhannya … dalil ini yang selalu menjadi taklif di antara para ulama’ serta sampai ada yang mengatakan dalil dlo’if … padahal dalil ini sering kali di ucapkan oleh sayyidina ‘ali dan syaiyidina umar bin khottob dalam mengajarkan setiap pemeluk agama islam untuk selalu intropeksi diri serta sadar akan KeESAan ALLOH serta menafikan diri HAMBA …

Kalam Menurut Pandangan Ahli Tauhid Sufii




اله الخلق مولانا قديم # وموصوف بأوصاف الكمال

Siapakah AL-ILAH (alloh) si mahluk INI :

Dzat wajibul wujud yang tidak di dahului sifat ADAM (tidak ada) HUDUST (baru) FANA’ (rusak) dzat yang tidak di dahului oleh sifat AWAL dan dzat yang tidak bisa di batasi oleh sifat akhir … DIAlah dzattulloh yang tidak bertempat & masa yang maha awal maha akhir maha qodim .. dzat tidak terikat ruang dan waktu yang meliputi seluruh alam (IKHATHOH) .. baik alam mulki (jasad) alam lahir DUNIA … dan alam akhirat …. serta dzat yang tidak terpisah dari mahluk-mahluknya dengan sifat MAIYAH (besertaan) serta dzat yang maha dekat terhadap mahluk-mahlukNYA (AL-AQROB) …. semua telah di jelaskan di dalam al-qur’an :

وكان الله علي كل شئ محيطا

dan adanya alloh itu maha meliputi di seluruh mahluknya (setiap perkara yang ada) … bagai mana kita tahu meliputinya alloh kepada kita semua .. di ibarat meliputinya angin kepada manusia …. tidak di luar dan tidak di dalam … meliputinya dari mulai ujung rambut sampai ujung kaki … terus bagaimana kita ini merasa kalo diri kita terpisah dari alloh ..???

وهو معكم اينما كنتم

adapun alloh itu menyertai seluruh mahluknya di manapun dia berada ,, inikan jawaban di mana alloh ?? alloh itu beserta kita semua dimanapun kita berada ,ketidak terbatasannya alloh itu dapat kita fahami dari sifat-sifat menyertainya pada setiap” mahluknya …. berarti alloh tidak jauh tidak dekat …. karena bagaimana kita menganggap alloh jauh kalo selalu menyertai mahluknya … bagaimana kita melihat kedekatan alloh kalo alloh itu maha meliputi pada mahluknya … semisal kita melihat pada sesuatu yang lain dari dalam / dari luar diri … melihatnya kita semua itu bersandar dari sifat BASHIROHNYA alloh , dengan kata lain aku melihat sesuatu yang sebenarnya melihat itu bukan si aku / si anu sebenarnya yang melihat itu alloh sendiri dengan sifat bashirohnya alloh sendiri … ???

ونحن اقرب اليه من حبل الوريد

dalil ini yang menunjukkan keMAHA dekatannya ALLOH pada mahluknya ” adapun alloh itu lebih dekat daripada sesuatu yang paling dekat di antara sesuatu yang paling dekat pada mahluknya” jika kita berfikir .. dekatnya lidah dengan rasa itu lebih dekat alloh dalam kenyataannya, dekatnya alloh pada sesuatu itu tidak sama dengan dekatnya sesuatu pada sesuatu .. kalo dekatnya sesuatu pada sesuatu itu masih ada kata terpisah sedang alloh tidak terpisah dan berkumpul pada sesuatu ….

Dengan ini kita bisa berfikir apakah KALAM ITU : kalam itu adalah pengertian (hidayah) yang tidak berupa huruf ,perkataan,lafadz / kalimah namun pengertian yang lahir dari setiap HIKMAH pelajaran pelajaran hidup yang kita alami ini … karena sifatnya KALAM itu tidak juz dan tidak jirim …. karena KALAM itu adalah kehendak alloh yang bersifat qodim dan azali ,,, namun tidak bertentangan dengan hukum serta pemahaman aqal indrawi semata … di ibarat rasa manis , bagaimanakah kita bisa menggambarkan rasa manis itu dengan perkataan / mencontohkan nya … dan rasa manis itu identik dengan kata gula , namun tidak semua manis itu adalah gula , bisa madu bisa yang lainya … karena KALAM itu bersifat universal (meliputi,bersamaan,dekat) yang selalu beriringan tidak terpisah tidak berkumpul (ESA)

kesimpulan: dengan ini kajian / pengertian setiap pembahasan sebuah dalil al-qur’an & hadist itu masih memerlukan kajian IJMA’ dan QIYAS ,, agar kiranya kita tidak mudah terjebak pada perkataan hukum yang memecah belahkan pengertian HIDUP ,,, dan inilah hasil perenungan yang masih butuh penyempurnaan ,semoga masukan-masukan dari saudara-saudaraku sekalian bisa menambah wawasan kajiannya AL_FAQIR dalam belajar menuju HAQIQAT yang sebenar-benarNYA …

KALAM: PENGERTIAN YANG SUDAH TERSUSUN DAN BERFAIDAH … SERTA TIDAK TERBATASI OLEH LAFADZ DAN KALIMAH SEMATA ,,, KARENA ITU HAQ ALLOH ….

اله الخلق مولانا قديم # وموصوف بأوصاف الكمال

TUHANKU ADALAH PENCIPTA YANG BERSIFAT QODIM (DAHULU) YANG MEMPUNYAI SELURUH SIFAT-SIFAT KASAMPURNAN … MAHA DEKAT MAHA MELIPUTI DAN BERSAMAAN .. TIDAK BERTEMPAT NAMUN ADA DAN WAJIBUL WUJUD ADANYA … TUHAN YANG TIDAK GHAIB / BERSEMAYAM DI ATAS ARSY , KURSI, DIATAS LANGIT … KARENA TUHANKU TIDAK TERIKAT PADA TEMPAT RUANG DAN WAKTU DAN TIDAK BISA DI QIYAS …DENGAN APAPUN KEMAHA KEKALANNYA …


Kamis, 31 Mei 2012

ASAL USUL, TUJUAN, MAQAMAT DAN AHWAL TASAWUF



Manusia sebagimana disebutkan Ibnu Khaldun memiliki panca indera (anggota tubuh), akal pikiran dan hati sanubari. Ketiga potensi ini harus bersih, sehat berdaya guna dan dapat bekerja sama secara harmonis. Untuk menhasilkan kondisi seperti ini ada tiga bidang ilmu yang berperan penting.

Pertama, Fiqih berperan untuk membersihkan dan meyehatkan panca indera dan anggota tubuh. Istilah yang digunakan fiqih untuk hal tersebut adalah thaharah (bersuci). Oleh karena itu fiqih lebih banyak berkenaan dengan dimensi eksoterik (lahiriyah atau jasmaniyah) dari manusia. Kedua, filsafat berfungsi untuk menggerakkan, menyehatkan dan meluruskan akal pikiran manusia. Karenanya filsafat lebih berurusan dengan dimensi metafisik dari manusia. Ketiga tasauf berperan dalam membersihkan hati sanubari manusia. Karenya tasauf banyak berurusan dengan dimensi esoterik (batin atau ruhaniyah) manusia. 

 PENGERTIAN TASAWUF.

1. Tasawuf dalam Pengertian Etimologis (bahasa)

Para peneliti, baik klasik maupun kontemporer, berbeda pendapat seputar asal muasal kata tasauf. Perbedaan pendapat ini melahirkan banyak perbedaan, sehingga berimbas kepada definisi. Adapun yang terpenting dalam kaitannya dengan asal muasal atau istilah yang dihubung-hubungkan dengan kata tasauf adalah sebagai berikut:

a.. Kata shufi diambil dari kata shafa (jernih, bersih) atau shuf (bulu domba) pendapat ini benar, jika dilihat dari sisi makna yang dikandung tasauf, tetapi kurang tepat jika dilihat dari sisi akar katanya. Menurut kaidah bahasa penisbatan kata shufi terhadap kata shafa tidak tepat. Karena kata shafa adalah shafa`i bukan shufi. Demikian juga kata shuf adalah shafawi , bukan shufi

b. Sebagian pendapat, kata shufi dinisbatkan kepada ahlush Shuffah. Kata ini dipakai untuk menyebutkan orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin dan Anshor yang memakai pelana sebagai bantal, pelana disebut Shuffah. Mereka dihibur oleh Rasululloh SAW, dan beliau juga menganjurkan sahabat-sahabatnya menghibur ahlush shuffah ini. Penisbatan ini juga tidak tepat. Karena kata shuffah adalah shuffi bukan shufi.

c. Pendapat lain menyebutkan bahwa, kata shufi diambil dari akar kata shaff. Dari segi bahasa tidak tepat, karena nisbat kata shaff adalah shaffi, bukan sufi.

d. Sebagian pendapat menyatakan bahwa kaum sufi dinisbatkan kepada kabilah Bani shuufah, yakni kabilah baduwi yang mengurus Ka`bah pada masa jahiliyah.

e. Sebagian pendapat mengemukakan bahwa kata sufi diambil dari kata shawfaanah. Kata ini juga tidak tepat karena nisbah kata shawfaanah adalah shawfaani, bukan sufi.

f. Sebagian berpendapat bahwa kata sufi adalah nisbat dari kata suufiya. Kata ini berasal dari bahasa Yunani (shopie atau shophos) yang berarti mencintai dan mengutamakan filsafat atau hikmah. Pendapat ini kurang tepat karena huruf " س " dari bahasa Yunani selalu ditransliterasikan dengan huruf siin dalam bahasa Arab, bukan huruf "ص ". Jika kata sufi diasumsikan berasal dari kata sophie, maka harus ditulis dengan huruf "siin" bukan huruf "shaad"

g. Pendapat terakhir menyebutkan bahwa kata sufi diambil dari kata shuuf (bulu domba kasar), karena memakai baju dari bulu domba kasar adalah kebiasaan para dan shiddiqin.. Pakaian ini juga merupakan tanda orang-orang miskin yang rajin beribadah.
Dari beberapa teori yang telah dikemukakan di atas tentang asal usul kata sufi atau secara etimologi.

Maka teori terakhir yang banyak diterima sebagai asal kata sufi, yaitu kata sufi berasal dari kata shuuf (bulu domba kasar). Karena dari sisi makna maupun bahasa sangat sesuai. Sebagaimana yang diutarakan oleh syeich Qasim Ghoni " Walhasil, pendapat yang paling sesuai dengan logika akal, mantiq dan kaidah bahasa adalah pendapat yang mengatakan bahwa sufi adalah kata Arab, shuuf (bulu domba). Di mana orang-orang zuhud yang selalu riyadhah (latihan) pada abad-abad pertama Hijriyah disebut sufi, karena mereka terbiasa memakai pakaian dari bulu domba kasar". 

2. Tasawuf dalam Pengertian Terminologis (Istilah)

 Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang digunakannya msing-masing. Perbedaan ini terjadi karena banyaknya mazhab dalam tasawuf. Di antara definisi tasawuf adalah sebagai berikut:

a. Ma`ruf al-Karkhi (W. 200 H) mendefinisikan tasawuf sebagai: "menempuh hakikat, dan memutuskan harapan kepada sesama makhluk".

b. Abu al-Hasan al-Tsawri (W. 161 H) mengatakan, " Tasawuf berarti membenci dunia dan mencintai Alloh". 
Berdasarkan kedua definisi di atas, maka tasawuf bisa diartikan sebagai " berzuhud di dunia mengkhususkan semua amal hanya bagi Alloh, dan meninggalkan hal-hal yang dapat membangkitkan syahwat".

c. Al-Kittani (W. 322 H) mendefinisikan tasawuf sebagai "akhlak, maka barangsiapa yang menambah akhlaknya, berarti ia telah menambah kesucian dirinya".

d. Al-Hariri (W. 311 H) menyebutkan tasawuf sebagai " masuk ke dalam akhlak sunni (mulia), dan keluar dari akhlak rendah". 
Dan sebagai himpunan dari beberapa definisi di atas, al-Junaid (W. 297 H) sebagai salah seorang tokoh sufi, mendefinisikan tasawuf sebagai "membersihkan hati dri apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (instinct) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, menghendaki sifat-sifat suci keruahanian, dan bergantung kepada ilmu-ilmu haqiqat, memakai barang yang terlebih penting dan terlebih kekal, menaburkan nasehat kepada sesame umat, memegang teguh janji dengan Alloh dalam hal haqiqat, dan mengikuti contoh Rasululloh dalam hal syari`at". 

B. SUMBER-SUMBER TASAWUF

Di kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasauf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi (agama nasrani), unsur Yunani, unsur Hindu/Budha, dan unsur Persia. Sebagian dari mereka berusaha untuk bersikap moderat. Mereka berpendapat bahwa faktor pertama timbulnya ajaran tasauf adalah al-Qur`an al-Karim dan kehidupan Rasulullah SAW. Dari keduanya terambil benih-benih tasauf yang pertama. Kemudian diikuti kebudayaan asing, yaitu India, Yunani, Persia, dan Masehi.

1. Unsur Islam.

Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriyah atau jasmaniyah, dan kehidupan yang bersifat batiniyah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniyah itulah kemudian lahir tasauf. Unsur kehidupan tasauf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, yakni al-Qur`an, al-Sunnah (praktek Kehidupan Rasul SAW) dan para sahabatnya.

وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمِيثَاقَهُ الَّذِي وَاثَقَكُمْ بِهِ إِذْ قُلْتُمْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

"Dan ingatlah karunia Allah kepadamu, dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan: 'Kami dengar, dan kami taati'. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui isi hati(mu)." – (QS.5:7)


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran), karena Allah menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." – (QS.5:8)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil menjadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu, menjadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertawakallah kepada Allah, jika kamu betul-betul orang yang beriman." – (QS.5:57)


Al-Qur`an antara lain: berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Alloh dapat saling mencintai (mahabbah) sesamamu , 


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ يَوْمَ لا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb-kamu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu, dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari, ketika Allah tidak menghinakan Nabi, dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: 'Ya Rabb-kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu'." – (QS.66:8)
Perintah manusia agar selalu bertaubah, membersihkan diri serta memohon ampunan kepada Alloh, 

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

"Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan, dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan." – (QS.2:110)

Petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Alloh di manapun mereka berada,

dan beberapa ayat lainnya yang tidak penulis sebutkan secara rinci.
Sejalan dengan apa yang diungkapkan al-Qur`an di atas, al-sunnah pun mengungkapkan tentang kehidupan rohaniyah dengan mendekatkan diri kepada Allah. Di antaranya hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

ازهد فى الدنيا يحبك الله وازهد فيما في ايدي الناس يحبوك.( رواه ابن ماجه)

Artinya: "Bersikap zuhudlah didunia, niscaya Alloh akan mencintaimu! Bersikap zuhudlah dari segala apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia akan mencintaimu! (HR Ibnu Majah)
Abdullah bin `Umar RA berkata, " Rasululloh SAW memegang pundakku sembari bersabda:

كن في الد نيا كانك غريب او عابر سبيل.( رواه البخاري)

Artinya: "Jadilah engkau di dunia ini laksana orang asing atau orang yang sedang menyeberang jalan". (HR. Bukhari).

 Hadits-hadits inilah oleh para sufi dijadikan sumber kedua setelah al-Qur`an dalam merealisasikan ajaran-ajaran tasauf. Di samping beberapa hadith lainnya tentang zuhud dan menjauhi kemewahan dunia.
Selanjutnya di dalam kehidupan Nabi SAW juga terdapat petunjuk yang menggambarkan sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad SAW telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira` menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan di mana waktu itu orang Arab larut dalamnya, seperti dalam praktek perdagangan dengan menggunakan segala cara untuk menghalalkannya.

2. Unsur Luar Islam
 Unsur-unsur luar Islam yang diduga mempengaruhi tasawuf Islam itu selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Unsur Masehi

 Adanya pengaruh dari agama Kristen (Nasrani) dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara sebagaimana yang dilakukan oleh para pendeta-pendeta. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer berpendapat bahwa tasauf adalah buah dari unsr agama Nasrani yang terdapat di zaman Jahiliyah. Hal ini diperkuat oleh keterangan yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama Nasrani. 
Selanjutnya Noldiker mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan para sufi sebagai lambang kesederhanaan hidup adalah merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah itu bersal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasauf berasal dari agama Nasrani.

b. Unsur Yunani

Kebudayaan Yunani yang populer yaitu filsafat telah merambah dunia. Di mana perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncak perkembangannya pada Daulah Abbasiyah. Metode berpikir filsafat Yunani telah ikut mempengaruhi pola pikir sebagian umat Islam terutama masalah tasauf. Di antara pola pikir yang dimaksud adalah mengenai Filsafat mistik Phythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah di alam samawi. Untuk memperoleh hidup di alam samawi manusia harus membersihkan roh dengan meninggalkan dunia materi, yaitu zuhud, untuk selanjutnya berkotemplasi.
 Filsafat Emanasi Plotinus yang menyebutkan bahwa wujud ini memancar dari Zat Tuhan yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor dan untuk kembali ketempat asalnya roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Pensucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, atau sampai bersatu dengan Alloh. 

c. Unsur Hindu / Budha.

 Ajaran-ajaran Hindu mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Alloh untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman. Dan dalam ajaran Budha dengan faham nirwananya. Untuk mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham nirwana.
 Teori-teori inilah yang mengatakan bahwa tasawuf dalam Islam timbul dan muncul akibat pengaruh-pengaruh dari faham tersebut di atas. Apakah teori-teori ini benar atau tidak, diperlukan penelitian yang mendalam. Namun yang jelas, tanpa adanya pengaruh dari faham-faham tersebut, sufisme bisa muncul dari sumber pokok ajaran Islam yaitu al-Qur`an dan al-Sunnah.

  "Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad menyimpulkan bahwa tasawuf Islam telah tumbuh sejak tumbuhnya agama Islam itu sendiri. bertumbuh dalam jiwa Pendiri Islam itu sendiri, yaitu Nabi Muhammad di campur airnya dari dalam al-Qur`an itu sendiri". 

TUJUAN TASAWUF 

 Tujuan pokok tasauf adalah untuk mencapai "ma`rifatullah" (mengenal Alloh) dengan sebenar-benarnya. Dan hikmahnya adalah sampai kepada Alloh, tersingkap hijab (dinding) yang membatasi dirinya dengan Alloh. Adapun yang dimaksud dengan tujuan mencapai kesempurnaan hidup dan ma`rifatulloh dalam pandangan tasawuf adalah sebagai berikut:

1. Ma`rifatulloh atau Ma`rifat billah

 Ma`rifatulloh adalah melihat Alloh dengan matahati (`ain al-basiroh) mereka secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesaran-Nya, tetapi tidak dengan kaifiyat artinya Alloh digambarkan seperti benda atau manusia ataupun lainnya. Istilah lain sebagai ganti ma`rifat adalah ru`yah, musyahadah dan liqo`. Ru`yat dapat dicapai sesudah kasyaf yaitu terbukanya dinding yang selalu menyelimuti antara hamba dengan rabb-nya. Ma`rifat tetap bisa dicapai oleh seseorang bila sudah menjalankan syari`at dan membersihkan jiwanya dari segala kotoran maksiat.

 Bagi para mutasawwifin, ma`rifat billah adalah tujuan utama dan merupakan kelezatan ayang paling tinggi menurut pengakuan al-Ghozali di mana ia mengemukan sebagai berikut: "Kelezatan mengenal Alloh dan melihat keindahan Ketuhanan dan melihat rahasia-rahasia hal ke-Alloh-an adalah lebih lezat dari derajat kepemimpinan yang merupakan puncak dari kelezatan-kelezatan yang ada pada makhluk. 
Dari penjelasan di atas dapatlah difahami bahwa:
a. Ma`rifat billah bisa dikasab dengan melalui beberpa tingkat atau tahapan
b. Ma`rifat billah dicapai dengan adanya nur yang dianugerahkan Allah ke dalam hati yang bersih sesudah hamba itu terlepas dari belenggu nafsu dan kotoran maksiat.


2. Insan kamil

Tujuan tasauf berikutnya adalah tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan atau insan kamil yaitu manusia yang sudah mengenal dirinya sendiri, keberadaannya dan memiliki sifat-sifat utama.
 Insan Kamil dalam pandangan para mutasawwifin pengertiannya beragam. Ibnu `Arabi, seorang ahli tasauf yang berfaham pantheisme atau wahdatul wujud, ia berpendapat: " manusia utama atau insan kamil adalah manusia yang sempurna karena adanya realisasiwahdah asasi dengan Tuhan yang mengakibatkan adanya sifat dan keutamaan Tuhan padanya. Lebih lanjut Jalaluddin Rumi menyatakan: " insan kamil adalah seorang yang sadar tentang ke-aku-annya yang trasedent (menjadi hakNYA) dan abadi, yang tak diciptakan dan bersifat ilahi. Insan kamil langsung berhubungan dengan Tuhan, tidak ada lagi Nabi atau malaikat yang mengatara padanya. 

D. MAQAMAT DAN AHWAL

1. Maqomat

 Secara harfiyah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Alloh. Dalam bahasa inggris maqomat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. 
 Maqomat (kedudukan) adalah istilah kaum sufi yang menunjukkan arti nilai etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang salik (pencari kebenaran spiritual dalam praktek ibadah). Imam al-Qusyairi membicarakan maqamat yaitu adab yang dijalani dengan semacam tindakan dan pemaksaan diri. Dengan demikian, kedudukan setiap manusia adalah kedudukannya ketika melaksanakan hal itu dengan cara latihan. Adapun syaratnya adalah ia tidak naik dari satu kedudukan ke kedudukan lainnya, sebelum menyempurnakan kedudukan. 

 Tentang berapa jumlah maqomat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan. Di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta`aruf li Mazhab ahl al-Tasauf mengatakan bahwa maqomat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu: al-taubah, al-zuhud, al-sabr, al-faqr, al-tawadhu`, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridha, al-mahabbah, dan al-ma`rifah.
 Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitabnya al-Luma` menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara`, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal,dan al-ridho`. 
 Dari kutipan tersebut memperlihatkan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqomat yang disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara`, al-faqr, al-sabr, al-tawakkal, dan al-ridho`

a. Al-Zuhud.

 Secara harfiyah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Atau meninggalkan dunia untuk beribadah. Syaikh Abul Qasim al-Junaidi al-Baghdadi memberikan pengertian al-zuhud, yaitu "bersifat dermawan dari harta yang dimiliki sehingga tak mempunyai harta, serta tidak mempunyai sifat serakah". Sementara Masruq mengemukakan pandangannyan, bahwa zuhud adalah seseorang yang mempunyai sifat selalu tidak memiliki sesuatu kecuali karena kemurahan dari Alloh. 

Hati yang zuhud terhadap sesuatu adalah hati yang tidak menghendaki, tetapi ia tidak membenci dan tidak lari daripadanya, tidak menginginkan dan tidak menuntut. Zuhud yang terpuji menurut syara` adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak memberikan manfaat di akhirat atau meningglkan segala sesuatu yang tidak diperlukan di akhirat. Sehingga membantunya meraih keindahan kehidupan akhirat.
Zuhud termasuk salah satu ajaran Agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu.
Di antara tokoh sufi yang menggeluti sifat ini, yaitu Sufyan al-Tsauri (W.135 H), Abu Hasyim (W. 150 H), Jabir Ibn Hasyim (W. 190 H), hasan Basri (W. 110 h), dan Rabiah al-Adawiyah.
b. Al-Taubah.

 Al-Taubah berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan, taabatan, mataaban yang artinya kembali dan menyesal. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan diserti janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai melakukan amal kebaikan. Untuk mencapai taubat yang sebenarnya tidak cukup hanya satu kali saja. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubah yang sesungguhnya. Taubat yang sesungguhnya dalam faham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Alloh. Orang yang taubat adalah orang yang cinta kepada Alloh, dan yang demikian senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Alloh.

Taubat itu ada tiga tingkatan, yaitu:

1) Taubat kembali dari kemaksiatan menuju kepada ketaatan karena takut murka Alloh.
2).Inabah, kembali dari yang baik menuju kepada yang lebih baik karena memohon ridho Alloh.
3).Taubat para Nabi dan Rasul, tidak menharapkan pahala dan tidak pula takut siksa, dan baginya sudah maksum.

c. Al-Wara`

 Secara harfiyah al-wara`artinya sholeh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dalam pengertian sufi al-wara` adalah meninggalkan segala sesuatu yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat). Kaum sufi menyadari benar bahwa setiap makanan,minuman, pakaian dan sebagainya yang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum akan kekerasan hati, sulit mendapatkan hidayah dan ilham dari Alloh. Hal ini sangat ditakuti oleh para sufi yang senantiasa mengharapkan nur ilahi yang dipancarkan lewat hatinya yang bersih.

d. Al-Faqr.

Secara harfiyah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau lebih miskin dari orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir itu adalah tidak menerima lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rizki kecuali hanya untuk dapat menjalakan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tidak ada pada diri kita, kalau diberi diterima, tidak meminta tetapi tidak menolak.

e. Sabar

 Sabar yang dimaksudkan dalam ajaran sufi adalah sifat yang dikehendaki oleh Alloh dengan jalan meninggalkan ucapan yang bisa membawa adanya keluh kesah dan keluh kesah itupun dibawa kedalam ibadat. Selanjutnya di kalangan para sufi pula di artikan sabar adalah sabar dalam menjalankan perintah Alloh, dalam menjauhi segala laranngan-Nya dan dalam menerima segala percobaan-percobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita. 

f. Tawakkal

 Sahal bin Abdulloh bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Alloh seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashor mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh kepada Alloh.  mengemukakan, bahwa tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qodo' dan keputusan Alloh. 
 Tawakkal terdiri atas bermacam-macam jenis menurut tingkatannya dan penamaannya sesuai dengan derajat sehingga menjadi tawakkal, taslim, dan tafwidh. Tawakkal merupakan awal dari suatu kedudukan (maqom) yang bersifat rohani, al-taslim adalah perantaranya, sedangkan tafwidh adalah akhirnya.

g. Kerelaan (Ridho)

 Menurut Syaikh Dzun Nun al-Misri, ridha adalah hati merasa senang dan bahagia atas apa yang telah ditetapkan Alloh untuknya. Al-Haris al-Muhasibi mendefinisikan ridho sebagai, hati menerima keputusan hukum (taqdir). Jadi ridho pada intinya adalah seseorang yang rela menerima berbagai bala atau bencana dengan harapan dan kegembiraan.

 Ridho adalah prestasi tertinggi yang telah dilalui dalam perjalanan sufi seseorang. Para syaikh sufi mengatakan, keridhoan adalah gerbang Allah SWT yang terbesar. Maksudnya, barangsiapa mendapat kehormatan dengan ridho, berarti ia telah disambut dengan sambutan yang paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan tertinggi. 

2. Ahwal

Al-Haal atau ahwal atau hal menurut kaum sufi adalah makna, nilai, atau rasa yang hadir dalam hati secara otomatis (dengan sendirinya), tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan, dan pemaksaan. Keadaan tersebut merupakan pemberian, sedangkan maqam adalah hasil usaha. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (al-Khauf), rendah hati (al-tawadhu`), patuh (al-taqwa), ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-wajd), berterima kasih (al-Syukr).

 Hal berlainan dengan maqam,bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi diperdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Alloh. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi yaitu datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati alloh.

 Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagai disebutkan di atas, seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riyadhah, mujahadah, kholwat, uzlah, muraqobah, suluk dan sebagainya. Riyadhoh berarti latihan mental dengan melaksanakan dzikir dan tafakkur serta melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Mujahadah berarti berusaha bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allam. Selanjutnya khalwat berarti menyepi atau bersemedi, dan uzlah berarti mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan. Dan Muraqobah berarti mendekatkan diri kepada Alloh, dan suluk berarti menjalankan cara hidup sebagai sufi dengan dzikir serta tidak memakan makanan yang berdarah.
 Berdasarkan uraian di atas, nampak jelas bahwa jalan menuju ketempat tujuan yang harus dilalui oleh para sufi untuk memperoleh hubungan batin dan bersatu secara rohaniyah dengan Alloh bukanlah jalan yang mudah. Tetapi harus melewati maqam demi maqam. Melewati satu maqom saja amat berat apalagi melewati beberapa maqom.


Tasawuf itu ihsan

Saudara-saudaraku yang budiman, jangan tertipu oleh dakwaan sebahagian orang bahwa tasawuf tidak ada di dalam alquran. Tasawuf itu ada di dalam alquran, hanya saja ia tersirat. Sebagaimana tersiratnya dilalah-dilalah hukum di balik nash-nash alquran begitu pula isyarat-isyarat tasawuf banyak tersembunyi di sebalik lafazh-lafazh alquran. Bukan ianya hendak disembunyikan Allah dari semua orang, tetapi agar ada usaha dan upaya untuk melakukan penggalian terhadap sumber-sumber ilahiyah yang dilakukan oleh jiwa-jiwa yang intibah. Di situlah akan muncul ijtihad dan mujahadah yang mengandung nilai-nilai ibadah (wa ma kholaqtul jinna wal insa illa liya'buduni).

Tasawuf itu akhlaq (innama bu'itstu li utammima makarimal akhlaq); berusaha mengganti sifat-sifat madzmumah (takhalli) dengan sifat-sifat mahmudah (tahalli). Kedua proses ini sering disebut dengan mujahadah. Para Rasul, Nabi, dan orang-orang arif sholihin semuanya melalui proses mujahadah. Mujahadah itu terformat secara teori di dalam rukun iman dan terformat secara praktek di dalam rukun Islam. Pengamalan Iman dan Islam secara benar akan menatijahkan Ihsan. Ihsan itu adalah an ta'budallaha ka annaka tarah (musyahadah), fa in lam takun tarah fa innahu yarok (mur'aqobah). Ihsan inilah yang diistilahkan dengan ma'rifat. Ma'rifat itu melihat Allah bukan dengan mata kepala (bashor) tetapi dengan mata hati (bashiroh). Sebagaimana kenikmatan ukhrowi yang terbesar itu adalah melihat Allah, begitu pula kenikmatan duniawi yang terbesar adalah melihat Allah.

Dengan pemahaman tasawuf yang seperti ini, insya Allah kita tidak akan tersalah dalam memberikan penilaian yang objektif terhadap tasawuf. Itulah yang dimaksud oleh perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah; "Dan kami tidak mengingkari tarekat sufiyah serta pensucian batin daripada kotoran-kotoran maksiat yang bergelantungan di dalam qolbu dan jawarih selama istiqomah di atas qonun syariat dan manhaj yang lurus lagi murni." (Al Hadiah As-Saniyah Risalah Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abd. Wahhab hal.50 dalam kitab Mauqif A'immah Harakah Salafiyah Cet. Dar Salam Kairo hal. 20).

Adapun praktek-praktek yang menyimpang dari syariat seperti perdukunan, zindiq, pluralisme, ittihad dan hulul yang dituduhkan sebahagian orang; itu adalah natijah daripada tasawuf, maka itu tidak benar, sangat jauh dari apa yang diajarkan oleh tokoh-tokoh sufi; Imam Junaid Al-Baghdadi, Imam Ghazali, Imam Ibnu Arabi, Imam Abd. Qadir Al-Jailani, Imam Abu Hasan Asy-Syadzili, Imam Ibnu Atho'illah As Sakandari, Imam Sya'roni, Imam Suyuthi, Syaikh Abdul Qadir Isa dan imam-imam tasawuf lainnya qaddasallahu sirrahum.

Tasawuf juga adalah suatu ilmu yang membahas jasmani syariat dari sisi lain. Sisi lain yang dimaksud adalah sisi ruhani. Kalau fiqih membahas syariat dari sisi zhohir, maka tasawuf dari sisi batin. Sholat misalkan, ilmu tentang rukun, syarat dan hal-hal yang membatalkan sholat itu dibahas dalam ilmu fiqih. Adapun ilmu tentang khusyu' hanya dibahas dalam ilmu tasawuf. Wallahu a'lam.

PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI

JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...

KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN











AlkisAnnabila