SebenarNya Alloh secara langsung mengatur dunia, sebab Dzat-Nya adalah tanzih, tiada banding secara mutlak (transenden). Dia mengatur melalui Nur Muhammad, Logos. Jika Dzat-Nya turut campur dalam pengaturan alam yang penuh pertentangan, maka kalimat Allohu Ahad (lihat kembali bab satu) menjadi tidak berarti....
pengertian ini di ambil dari dialognya NABI MUHAMMAD DAN NABI IBRAHIM dalam firman alloh
: عن قول الله - تعالى - : {والله خلقكم وما تعملون} ؟
Dan Allah menciptakan kamu dan apa yang Anda lakukan
فأجاب بقوله :هذا مما قاله إبراهيم ، عليه الصلاة والسلام ،
لقومه {قال أتعبدون ما تنحتون
Rosululloh Saw menjawab: Ini adalah apa yang dia katakan khabibulloh ibrahim As pada kaumnya
Dikatakan kaumnya: apakah kamu semua bisa menyembah dengan apa yang kamu sekalian tidak mendiami / menempati pada penyembahan itu sedang AL-ILAH
والله خلقكم وما تعملون
Allah menciptakan kamu dan apa yang Anda lakukan..
أي ما تعملون من هذه الأصنام ليقيم عليهم الحجة بأنها لا تصلح آلهة ،
لأنها إذا كانت مخلوقة لله - تعالى - فمن الذي يستحق العبادة المخلوق أم الخالق؟
artinya : perkara Apa yang Anda lakukan di dalam penyembahan ini adalah salah satu berhala hidup apakah itu sebuah haqiqat penyembahan . karena sesungguhnya mahluk tidak pantas menyembah alloh dengan dirinya untuk melayani AL-ILAH . karena sesungguhnya jika mereka diciptakan oleh alloh - Maha Kuasa - siapakah yang layak menyembah makhluk atau Sang Pencipta itu sendiri ... ??
الجواب الخالق.
Jawabannya yang pantas menyembah adalah Sang Pencipta sendiri ...??
وهل يستحق المخلوق أن يكون شريكاً في هذه العبادة ؟
Apakah makhluk itu layak menjadi mitra (sekutu) dalam ibadah
لا . فإبراهيم ، عليه الصلاة والسلام ، أراد أن يقيم الحجة على قومه بأن ما عملوه من هذه الأصنام التي نحتوها مخلوق الله -عز وجل.
Tidak makhluk tidak pantas menjadi sekutu bagi alloh .
Kemudian kholilulloh ibrahim AS menghendaki dan memberi pengertian pada qoumnya bahwa apa yang umat-Nya lakukan dari berhala-berhala yang dia bikin itu di sembah dengan dirinya yang juga sama'' mahluk alloh dan makhluk Alloh yang Maha Kuasa itu menyembah alloh SWT dengan dirinya ??
- فكيف يليق بهم أن يشركوا مع الله -تعالى - هذا المخلوق .
Bagaimana bisa memperoleh sebuah makna UBUDIYAH jika dalam penyembahan itu hamba sendiri marasa pantas menjadi sekutu kepada alloh swt . untuk melibatkan mereka dengan AL-ILAH yang Maha Kuasa - makhluk ini dan itu kata-kata ini apa yang Anda lakukan "apa" nama yang melekat ke bagian belakang mengatakan apa Ini wajah ini menghadap kepada alloh swt ...
وليس فيها أنه يبرر شركهم بالله ويقول : إن عملكم مخلوق لله فأنتم بريئون من اللوم عليه ،
Ini bukan maqom yang dibenarkan Alloh dan mereka syirik mengatakan bahwa makhluk dengan AL-ILAH Anda tidak bersalah dari kesalahan untuk itu ketika keadaanmu (tingkah ubudiyah) tidak menghendaki pada penyembahan itu .. namun hanya alloh yang menyembah dan disembah dan yang beramal
عن قول الله - تعالى - : {والله خلقكم وما تعملون} ؟
فأجاب بقوله:هذا مما قاله إبراهيم ، عليه الصلاة والسلام ،
لقومه {قال أتعبدون ما تنحتون . والله خلقكم وما تعملون}
أي ما تعملون من هذه الأصنام ليقيم عليهم الحجة بأنها لا تصلح آلهة ،
لأنها إذا كانت مخلوقة لله - تعالى - فمن الذي يستحق العبادة المخلوق أم الخالق؟
الجواب الخالق. وهل يستحق المخلوق أن يكون شريكاً في هذه العبادة ؟ لا . فإبراهيم ، عليه الصلاة والسلام ، أراد أن يقيم الحجة على قومه بأن ما عملوه من هذه الأصنام التي نحتوها مخلوق الله -عز وجل -فكيف يليق بهم أن يشركوا مع الله -تعالى - هذا المخلوق
فأجاب بقوله:هذا مما قاله إبراهيم ، عليه الصلاة والسلام ،
لقومه {قال أتعبدون ما تنحتون . والله خلقكم وما تعملون}
أي ما تعملون من هذه الأصنام ليقيم عليهم الحجة بأنها لا تصلح آلهة ،
لأنها إذا كانت مخلوقة لله - تعالى - فمن الذي يستحق العبادة المخلوق أم الخالق؟
الجواب الخالق. وهل يستحق المخلوق أن يكون شريكاً في هذه العبادة ؟ لا . فإبراهيم ، عليه الصلاة والسلام ، أراد أن يقيم الحجة على قومه بأن ما عملوه من هذه الأصنام التي نحتوها مخلوق الله -عز وجل -فكيف يليق بهم أن يشركوا مع الله -تعالى - هذا المخلوق
وليس فيها أنه يبرر شركهم بالله ويقول : إن عملكم مخلوق لله فأنتم بريئون من اللوم عليه ،
==============================================================================
Semoga keterangan di atas bisa mencerahkan kita dalam jalan yang di ridloi alloh serta selalu dalam bimbingan rolulloh ....
Maka fungsi pengaturan
berada dalam tahap wahidiyyah ini, yakni tahap Haqiqat Al-Muhammadiyyah.
Rububiyyah (penguasaan, pemeliharaan) menimbulkan kebutuhan adanya hamba dan
sesuatu yang dipelihara (kosmos, alam), dan karenanya dibutuhkan penghambaan (ubudiyyah).
Haqiqat Al-Muhammadiyyah mengalir dari nabi ke nabi sejak Adam sampai pada
gilirannya akan terwujud dalam pribadi Muhammad yang disebut rosul dan hamba
(abd)—Muhammad abduhu wa Rosullulloh.
Ketika Muhammad, setelah bertafakur
sekian lama di gua, ia mencapai tahap keheningan di mana gelombang dirinya
bertemu dengan gelombang Nur Muhammad, maka layar kesadarannya terbuka terang
melebihi terangnya seribu bulan.
مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ
Perumpamaan cahaya-Nya, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar....
Maka jadilah ia Rosul. Maka Rosul Muhammad
adalah cahaya yang menerangi alam secara lembut dan bisa disaksikan, sebab
terang cahaya itu dibandingkan dengan seribu bulan, bukan seribu
matahari.
Dalam konteks ini secara simbolik “Rosul” adalah manifestasi yang lengkap dari tahapan manifestasi, yakni dari martabat wahdah ke martabat alam ajsaam (alam dunia, materi, sebab-akibat). Dilihat dari sudut pandang lain, rasul adalah “utusan” Tuhan yang menunjukkan jalan menuju cahaya atau kepada Tuhan. Karena merupakan manifestasi “lengkap dan sempurna” maka tidak dibutuhkan lagi sesuatu yang lain sesudahnya, dan jadilah dia disebut khotam (penutup)—”tak ada lagi nabi dan rosul setelah aku (Muhammad).”
Dalam konteks ini secara simbolik “Rosul” adalah manifestasi yang lengkap dari tahapan manifestasi, yakni dari martabat wahdah ke martabat alam ajsaam (alam dunia, materi, sebab-akibat). Dilihat dari sudut pandang lain, rasul adalah “utusan” Tuhan yang menunjukkan jalan menuju cahaya atau kepada Tuhan. Karena merupakan manifestasi “lengkap dan sempurna” maka tidak dibutuhkan lagi sesuatu yang lain sesudahnya, dan jadilah dia disebut khotam (penutup)—”tak ada lagi nabi dan rosul setelah aku (Muhammad).”
الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.
Bagian kedua kalimat syahadat, Muhammad rosullulloh, adalah deskripsi dari ciptaan. Muhammad adalah “barzakh” yang memperantarai manusia dengan AL-ILAH . Berbeda dengan bagian pertama syahadat, Laa ilaha illa Allah, yang menegaskan KeESAan dan karenanya eksklusivitas mutlak (tanzih), bagian kedua syahadat ini menunjukkan inklusivitas (tasybih), karena merupakan manifestasi dari Alloh.
Bagian kedua kalimat syahadat, Muhammad rosullulloh, adalah deskripsi dari ciptaan. Muhammad adalah “barzakh” yang memperantarai manusia dengan AL-ILAH . Berbeda dengan bagian pertama syahadat, Laa ilaha illa Allah, yang menegaskan KeESAan dan karenanya eksklusivitas mutlak (tanzih), bagian kedua syahadat ini menunjukkan inklusivitas (tasybih), karena merupakan manifestasi dari Alloh.
Sebagai sebuah deskripsi dari manifestasi, syahadat kedua ini menggambarkan
tiga hal sekaligus, yakni Prinsip Asal yang dimanifestasikan (Muhammad) manifestasi Prinsip (Rasul) dan Prinsip Asal itu sendiri (Alloh). Dengan
demikian, “Rasul” adalah penghubung “Dzat yang dimanifestasikan” dengan Dzat
itu sendiri.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَة
"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu, yang telah menciptakan kamu dari yang satu"
Rosul menjadi perantara antara alam yang fana' dengan Dzat Yang
Kekal. Tanpa “Muhammad Rosulluloh” dunia tidak akan eksis, sebab ketika dunia
yang fana' dihadapkan pada Yang Kekal, maka lenyaplah dunia itu. Menurut Al-faqir,
jika Rosul diletakkan di antara keduanya, maka dunia bisa terwujud, sebab Rasul
secara internal adalah tajalli sempurna dari Alloh, dan secara eksternal
tercipta dari tanah liat yang berarti termasuk bagian dari alam.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ
"Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani, (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim)." – (QS.23:13)
ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
"Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik." – (QS.23:14)
خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ
"Dia menciptakan manusia dari tanah kering, seperti tembikar," – (QS.55:14)
Jadinya, Rosul
adalah “Utusan” manifestasi, yang mengisyaratkan “perwujudan” atau “turunnya”
Tuhan dalam “bentuk manifestasi atau ayat-ayat” ke dunia, yang dengannya Dia
dikenal. Kerasulan adalah alam kekuasaan (alam jabarut). Dengan demikian
Muhammad Rosululloh adalah penegasan perpaduan KeESAan Dzat (Wujud), Sifat
(shifaat) dan Tindakan (af’al). Karenanya,menurut pandangan al-faqir—dalam kerosulan, Rasul tidak hanya berhadapan dengan Alloh
saja, tetapi juga berhadapan dengan manusia (alam) pada saat ia berhadapan
dengan AL-ILAH
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ
"Sesungguhnya telah datang kepadamu, seorang rasul dari dalam diri kamu sendiri (NUR MUHAMMAD) sebagai penerang dan awal sebuah syafa'at nabi MUHAMMAD SAW .. berupa pengertian haqiqat keIMANAN & TAUHID pada diri tiap'' muslim ....
Pengangkatan Rasul, yang berarti “turunnya” AL-ILAH ke dunia, yakni “bersatunya” kesadaran Muhammad dengan Nur Muhammad, terjadi pada laylat Al-Qadr (Malam Kekuasaan), yang terang cahayanya melebihi seribu bulan. Allah dan Nabi Muhammad bertemu dalam “Rasul” yang dijabarkan dalam Risalah, atau Wahyu, yakni Al-Quran. Inilah cahaya petunjuk (Al-Huda) yang menerangi kegelapan alam, yang memisahkan (Al-Furqan) kebatilan atau kegelapan dengan kebenaran atau cahaya. Karena itu Al-Quran sesungguhnya adalah manifestasi “kehadiran penampakan” Alloh di dunia ini.
Sayyidina Ali karromallohu wajhah dalam Nahj Al-Balaghoh
mengatakan “Alloh Yang Maha suci menampakkan Diri kepada tiap-tiap hamba-hamba-Nya dalam
firman-Nya, hanya saja mereka tidak melihatNya.”
Imam Ja’far shodiq, cucu Rosululloh
saw, juga mengatakan, “Sesungguhnya Alloh menampakkan Diri-Nya kepada
hamba-hamba-Nya dalam Kitab -Nya (kitab hidup / alam semesta), tetapi mereka tidak melihat.”
Di sisi lain, sebagai manusia yang mengandung unsur tanah dan air, Muhammad memperoleh sisi kemanusiaannya. Dia makan, minum dan menikah. Faktor ini amat penting karena menunjukkan bahwa walau Muhammad adalah manifestasi
Di sisi lain, sebagai manusia yang mengandung unsur tanah dan air, Muhammad memperoleh sisi kemanusiaannya. Dia makan, minum dan menikah. Faktor ini amat penting karena menunjukkan bahwa walau Muhammad adalah manifestasi
وجودك عين وجود ربه
"keadaanmu (mahluk) menjadi kenyataan dari keADAannya tuhanmu"
atau dengan kata lain
tajalli sempurna, insan kamil, dari Alloh, tetap saja Muhammad bukanlah Alloh.
Atau, dengan kata lain, yang dimanifestasikan bukanlah Prinsip yang
bermanifestasi, dan karenanya tidak ada persatuan antara manusia dan AL-ILAH dalam pengertian panteisme. Kedudukan manusia paling tinggi justru dalam
realisasi penghambaannya yang paling sempurna, abd, “abdi”—gelar yang hanya
disebut oleh Alloh bagi Muhammad Saw.
Al-’abd adalah “Hamba” atau abdi yang sepenuhnya pasrah kepada Alloh. Seorang abd hidup dalam kesadaran sebagai seorang abdi Alloh. Abd dicirikan oleh keikhlasan. Karenanya, penghambaan sejati bukan lantaran kewajiban atau keterpaksaan. Dalam pengertian umum, kegembiraan seorang hamba adalah ketika dia dimerdekakan oleh tuannya. Tetapi ‘abd merasakan kegembiraan tatkala ia menjadi hamba (Alloh).
Derajat ‘abd adalah derajat tertinggi yang bisa dicapai manusia, dan karena itu Alloh menyandingkan kerosulan Nabi Muhammad Saw dengan ‘abd—”Tiada tuhan selain Alloh dan Muhammad adalah ‘hamba’ dan Rosul-Nya.” Ketika mengundang Rosululloh saw di malam mi’roj, Alloh menyebutnya dengan gelar “hamba”—Mahasuci Alloh yang memperjalankan hamba-Nya di kala malam (QS. 17:1)—dan ini sekaligus menunjukkan kebesaran kualitas ‘abd, sebab hanya ‘abd-Nya-lah yang berhak mendapat undangan langsung menemui-Nya di tempat di mana bahkan Malaikat Jibril pun terbakar sayap-sayapnya.
Al-’abd adalah “Hamba” atau abdi yang sepenuhnya pasrah kepada Alloh. Seorang abd hidup dalam kesadaran sebagai seorang abdi Alloh. Abd dicirikan oleh keikhlasan. Karenanya, penghambaan sejati bukan lantaran kewajiban atau keterpaksaan. Dalam pengertian umum, kegembiraan seorang hamba adalah ketika dia dimerdekakan oleh tuannya. Tetapi ‘abd merasakan kegembiraan tatkala ia menjadi hamba (Alloh).
Derajat ‘abd adalah derajat tertinggi yang bisa dicapai manusia, dan karena itu Alloh menyandingkan kerosulan Nabi Muhammad Saw dengan ‘abd—”Tiada tuhan selain Alloh dan Muhammad adalah ‘hamba’ dan Rosul-Nya.” Ketika mengundang Rosululloh saw di malam mi’roj, Alloh menyebutnya dengan gelar “hamba”—Mahasuci Alloh yang memperjalankan hamba-Nya di kala malam (QS. 17:1)—dan ini sekaligus menunjukkan kebesaran kualitas ‘abd, sebab hanya ‘abd-Nya-lah yang berhak mendapat undangan langsung menemui-Nya di tempat di mana bahkan Malaikat Jibril pun terbakar sayap-sayapnya.
Dalam tingkatan yang paripurna, hamba yang ingat akan menjadi
yang diingat, yang mengetahui akan menjadi yang diketahui, dan yang melihat
akan menjadi yang dilihat, yang menghendaki menjadi yang dikehendaki, dan yang
mencintai menjadi yang dicintai, karena ia sudah fana pada Allah dan baqa
dengan baqa-Nya, dan ia menghabiskan waktunya untuk memandang kebesaran dan
keindahan-Nya terus-menerus, seakan-akan dirinya pupus, seakan dia adalah Dia
(Allah).
Ini adalah maqom seperti yang disebutkan dalam hadis Qudsi: … “(Aku)
menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, penglihatannya yang
dengannya dia melihat, menjadi tangannya yang dengannya dia memegang, menjadi
kakinya yang dengannya dia berjalan, dan menjadi lidahnya yang dengannya dia
bicara.” Jadi jelas bahwa derajat tertinggi adalah pada kehambaan, sebab hanya
hamba yang telah menemui kesejatianlah yang akan “naik / asro ” menuju AL-ILAH . Dan pada sang hamba sejatilah
Alloh “turun” untuk menemuinya. Ini adalah misteri mi’roj.
Penurunan dan kenaikan, laylatul al-qodr dan laylatu al-mi’roj, mempertemukan hamba dengan Tuhannya, melalui kewajiban yang ditetapkan pada saat pertemuan Nabi dengan Alloh, yakni shalat. Setiap mukmin harus mengikuti jejak Rosululloh agar bisa mi’roj, sebab sekali lagi, hanya melalui Rosullulloh sajalah, yakni prinsip “barzakh,” manusia bisa menemukan AL-ILAHnya. Rosul pernah mengatakan bahwa mi’roj-nya umat Muslim adalah sholat. Tanpa sholat, tidak ada mi’roj. Karenanya, sholat adalah wajib. Sholat pula yang membedakan Muhammad (dan umatnya) dengan kaum kafir.
Sholat adalah langkah pertama dan terakhir dalam perjalanan menuju Tuhan, sebagaimana Nabi Muhammad adalah Nabi paling awal dan paling akhir dari mata rantai kenabian.
Penurunan dan kenaikan, laylatul al-qodr dan laylatu al-mi’roj, mempertemukan hamba dengan Tuhannya, melalui kewajiban yang ditetapkan pada saat pertemuan Nabi dengan Alloh, yakni shalat. Setiap mukmin harus mengikuti jejak Rosululloh agar bisa mi’roj, sebab sekali lagi, hanya melalui Rosullulloh sajalah, yakni prinsip “barzakh,” manusia bisa menemukan AL-ILAHnya. Rosul pernah mengatakan bahwa mi’roj-nya umat Muslim adalah sholat. Tanpa sholat, tidak ada mi’roj. Karenanya, sholat adalah wajib. Sholat pula yang membedakan Muhammad (dan umatnya) dengan kaum kafir.
Sholat adalah langkah pertama dan terakhir dalam perjalanan menuju Tuhan, sebagaimana Nabi Muhammad adalah Nabi paling awal dan paling akhir dari mata rantai kenabian.
Rosululloh saw pernah mengatakan bahwa sholat akan mengangkat
hijab, membuka pintu kasyaf, sehingga hamba-Nya berdiri di hadapan-Nya (IKHROM) .
Rosululloh juga berkata, “Di dalam sholatlah terletak kesenanganku.” Sebab,
sholat adalah bentuk percakapan rahasia antara Alloh dengan hamba. “Percakapan / Munajah ”
ini terutama melalui bacaan Induk Kitab Suci, Surah Al-Fatihah. Surah ini
terdiri dari dua bagian: yang pertama dikhususkan bagi Alloh dan yang kedua
dikhususkan bagi hamba-Nya. Dua bagian percakapan ini disebutkan dalam hadis
yang masyhur di kalangan Sufi:
Aku membagi sholat menjadi dua bagian di antara Aku dan hamba-Ku, setengahnya untuk-Ku dan setengahnya untuk hamba-Ku. (Rasulullah bersabda}”Ketika hamba berucap alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Alloh berkata ‘Hamba-Ku memuji-Ku. Ketika hamba berucap Ar-Rohman Ar-Rohim, Alloh berkata ‘Hamba-Ku memuja-Ku.’ Ketika hamba berucap maliki yaumiddin, Alloh berkata ‘Hamba-Ku mengagungkan Aku.’ Ketika hamba berucap Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, Alloh berkata ‘Ini antara Aku dan hamba-Ku.’ Ketika hamba berkata ihdinash shirothol mustaqim—sampai akhir ayat, Alloh berkata ‘Ini bagi hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.’
Sholat bisa dilihat dari dua sisi (IBDAL / pengganti). Sebagai gerak perlambang dan doa/dzikir. Gerakan sholat bukan sekadar gerak tanpa makna, tetapi sebuah tindak “menulis” ayat Alloh dan merealisasikannya. Muslim “membaca” Al-Quran untuk mendapatkan petunjuk tentang hakikat dirinya guna mengenal Alloh, dan Muslim melakukan sholat untuk “menulis” hakikat diri.
Aku membagi sholat menjadi dua bagian di antara Aku dan hamba-Ku, setengahnya untuk-Ku dan setengahnya untuk hamba-Ku. (Rasulullah bersabda}”Ketika hamba berucap alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Alloh berkata ‘Hamba-Ku memuji-Ku. Ketika hamba berucap Ar-Rohman Ar-Rohim, Alloh berkata ‘Hamba-Ku memuja-Ku.’ Ketika hamba berucap maliki yaumiddin, Alloh berkata ‘Hamba-Ku mengagungkan Aku.’ Ketika hamba berucap Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, Alloh berkata ‘Ini antara Aku dan hamba-Ku.’ Ketika hamba berkata ihdinash shirothol mustaqim—sampai akhir ayat, Alloh berkata ‘Ini bagi hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.’
Sholat bisa dilihat dari dua sisi (IBDAL / pengganti). Sebagai gerak perlambang dan doa/dzikir. Gerakan sholat bukan sekadar gerak tanpa makna, tetapi sebuah tindak “menulis” ayat Alloh dan merealisasikannya. Muslim “membaca” Al-Quran untuk mendapatkan petunjuk tentang hakikat dirinya guna mengenal Alloh, dan Muslim melakukan sholat untuk “menulis” hakikat diri.
Ini berarti pula bahwa dengan shalat
seorang Mukmin melahirkan kandungan hakikat kediriannya, seperti sebuah pena yang
mengalirkan tinta saat dipakai untuk menulis. Apa yang “ditulis” dalam sholat
adalah hakikat kemanusiaan, adam, yakni bahwa manusia sesungguhnya adalah
“adam” atau tiada, dan eksistensinya muncul adalah lantaran eksistensi Alloh
yang dipancarkan melalui Nur Muhammad.
Dalam salah satu tafsir Sufi, posisi
berdiri tegak lurus melambangkan huruf "ALIF" posisi rukuk melambangkan huruf
"DAL" dan sujud melambangkan huruf "MIM". Ketiga huruf ini membentuk kata “ADAM”.
Huruf alif bernilai numerik satu yang melambangkan keESAan AL-ILAH. Karenanya
begitu seseorang mengangkat tangannya dan berseru “Allohu Akbar,” ia sama
artinya dengan “mengorbankan” diri dalam kesatuanNya .
Jika kesadaran tertentu
telah dicapai dalam tingkatan keESAan, maka ia akan menunduk, yang mencapai puncaknya
dalam sujud. Dalam posisi sujud, otak (rasio) diletakkan lebih rendah daripada
hati. Bisa dikatakan rasio haruslah menjadi aspek sekunder dalam mendekati
AL-ILAH, sebab “alam semesta tak bisa menampung Alloh, hanya hati yang bisa
menampung Alloh” (hadis qudsi).
BERSAMBUNG KE EDISI III