2. As Sunnah
Menurut ulama hadits Sunnah adalah, “Apa-apa yang datang dari Nabi saw. berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat-sifat beliau baik sifat jasmani ataupun sifat akhlaq."
Menurut ulama hadits Sunnah adalah, “Apa-apa yang datang dari Nabi saw. berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat-sifat beliau baik sifat jasmani ataupun sifat akhlaq."
SUNNAH Sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, termasuk perilaku yang baik atau perilaku yang buruk”. Secara istilah, sunnah adalah “segala perilaku Rasulullah Saw yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah qawliyyah), perbuatan (sunnah fi’liyyah), atau pengakuan (sunnah taqririyyah). Contoh sunnah qawliyyah, sabda Rasul Saw
لاضرر ولا ضرار .
Contoh sunnah fi’liyyah seperti hadis tentang rincian tatacara shalat, haji, dsb. Contoh sunnah taqririyyah ialah pengakuan Rasul Saw atas perilaku dua sahabat ketika dalam perjalanan mereka tidak menemukan air, lalu mereka bertayamum dan mengerjakan shalat. Kemudian mereka mendapatkan air, sedang waktu shalat masih berlanjut. Lalu salah satunya berwudhu’ dan mengulangi shalat, satunya lagi tidak. Keduanya diakui oleh Rasul Saw. Dalil keabsahan sunnah, QS. Al-Nisa`: 59, Al-Ahzab: 21, Al-Nisa`: 80
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Sunnah merupakan sumber syariat Islam setelah Al-Quran. Sunnah berfungsi merinci garis besar Al-Quran, menjelaskan yang musykil, membatasi yang muthlak, dan memberikan penjelasan hukum. Sunnah juga merupakan sumber hukum independent (mustakhil) yang tidak ada hukumnya dalam Al-Quran seperti warisan untuk nenek yang dalam sunnah disebutkan mendapatkan warisan 1/6 dari harta warisan. Namun demikian Sunnah mengikut Al-Quran sebagai penjelas sehingga sunnah tidak akan keluar dari kaidah-kaidah umum dalam Al-Quran. Maka memahami Sunnah secara umum merupakan susuatu yang pasti dalam memahami Al-Quran karena jika tidak kitab suci ini tidak mungkin bisa dipahami dan dipraktikkan dengan benar.
Sunnah merupakan sumber syariat Islam setelah Al-Quran. Sunnah berfungsi merinci garis besar Al-Quran, menjelaskan yang musykil, membatasi yang muthlak, dan memberikan penjelasan hukum. Sunnah juga merupakan sumber hukum independent (mustakhil) yang tidak ada hukumnya dalam Al-Quran seperti warisan untuk nenek yang dalam sunnah disebutkan mendapatkan warisan 1/6 dari harta warisan. Namun demikian Sunnah mengikut Al-Quran sebagai penjelas sehingga sunnah tidak akan keluar dari kaidah-kaidah umum dalam Al-Quran. Maka memahami Sunnah secara umum merupakan susuatu yang pasti dalam memahami Al-Quran karena jika tidak kitab suci ini tidak mungkin bisa dipahami dan dipraktikkan dengan benar.
FUNGSI SUNNAH TERHADAP AYAT HUKUM Secara umum fungsi sunnah sebagai bay ā n (penjelasan) atau taby ī n (menjelaskan ayat-ayat hukum dalam al-Quran). Secara khusus fungsi sunnah: Menjelaskan isi al-Quran, antara lain dengan merinci ayat-ayat global.
Disamping itu berfungsi mentakhshish ayat-ayat yang sifatnya umum. Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya dalam al-Quran. Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Al-Quran. Misalnya hadist
كل ذي ناب من السباع فأكله حرام
artinya semua jenis binatang buruan yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar, maka hukum memakannya adalah haram. (HR. Nasa`i)
FUNGSI SUNNAH TERHADAP AL-QURAN Bayan Tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ). Bayan Taqrir , yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الأحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
yang artinya sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
PEMBAGIAN SUNNAH Sunnah atau hadis dari segi sanadnya
atau periwayatannya dalam kajian Ushul Fiqh dibagi kepada 2 macam: hadis mutawatir dan hadis ahad .
MUTAWATIR adalah hadis yang diriwayatkan dari Rasul oleh sekelompok perawi yang menurut kebiasaan individu-individunya jauh dari kemungkinan berbuat bohong, karena banyak jumlah mereka dan diketahui sifat masing-masing mereka yang jujur serta berjauhan tempat antara satu dengan yang lain.
Dari kelompok ini diriwayatkan pula selanjutnya oleh kelompok berikutnya yang jumlahnya juga banyak, begitulah seterusnya hingga sampai kepada pentadwin (orang yang membukukan).
Hadis mutawatir terbagi dua: mutawatir lafzi (diriwayatkan oleh orang banyak yang bersamaan arti dan lafaznya), dan mutawatir ma’nawi (hadis yang beragam redaksinya tapi maknanya sama). Hadis AHAD, diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak sampai ke batas hadis mutawatir. Hadis Ahad terbagi 3: Masyhur (hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh 3 perawi tetapi kemudian pada masa tabi’in dan seterusnya hadis itu menjadi mutawatir di lihat dari segi jumlah perawinya), ‘ aziz (hadis yang pada satu periode diriwayatkan oleh dua perawi meskipun pada periode yang lain diriwayatkan olwh banyak orang), gharib (hadis yang diriwayatkan orang perorangan pada setiap periode).
Sunnah sampai ke kita dengan melalui jalan periwayatan secara berantai hingga ke Rasulullah saw. Sebab masa kenabian sudah usai. Namun krediblititas agama dan moral para perawi (pembawa hadis) itu sudah melalaui seleksi ketat oleh para ahli hadis. Sehingga keotentikan hadis dan kebenarannya sudah melalui pembuktian yang ketat. Hadis shahih dan hasan saja yang bisa dijadikan sumber hukum. Sementara hadis hadis yang berstatus lemah (dlaif), atau bahkan palsu (maudlu') yang tidak bisa dijadikan referensi dan sumber hukum syariat.
Kitab-kitab hadits yang dijadikan sumber utama adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Kemudian kitab-kitab Sunan Abu Dawud, Sunan An Nasai, Sunan At Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah. Disamping kitab Al Muwatta' karangan Imam Malik dan Musnad Ahmad karangan Imam Ahmad memiliki kedudukan penting bagi para ulama fiqh.
Jadi seorang ahli fiqh akan mencari dalil terlebih dahulu dari Al-Quran kemudian dari Sunnah. Diriwayatkan dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bertanya kepada Muadz bin Jabal: "Bagaimana kamu memutuskan masalah yang kamu hadapi?" Muadz: "Saya memutuskan dengan kitab Allah." Rasulullah: "Bagaimana jika kamu tidak menemukan di dalamnya?" Muadz: "Dengan Sunnah Rasulullah,"
Kepada hakim Syuraih, Umar bin Khottob mengirim surat kepadanya yang berisi, "Hendaklah kamu memutuskan dengan kitab Alloh, jika tidak menemukan maka dengan Sunnah Rasulullah saw."
3. Ijma'
IJMA’ Secara etimologi, ijma’ berarti “kebulatan tekad terhadap suatu persoalan”, atau “kesepakatan tentang suatu masalah”. menurut al-faqir , ijma’ adalah “kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukum syara’ pada satu masa setelah Rasulullah Saw wafat”.
Para ulama sepakat bahwa ijma’ sah dijadikan sebagai dalil hukum.
Ada ikhtilaf mengenai jumlah pelaku kesepakatan sehingga dapat dianggap ijma’. Menurut mazhab Maliki, kesepakatan sudah dianggap ijma’ meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk Madinah (ijma’ ahl al-madinah). Menurut Syi’ah, ijma’ adalah kesepakatan para imam di kalangan mereka. Menurut jumhur, ijma’ sudah dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid.
18. Dalil Keabsahan Ijma’ QS. Al-Nisa`: 115
18. Dalil Keabsahan Ijma’ QS. Al-Nisa`: 115
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى و َيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin , Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Ayat tsb mengancam golongan yang menentang Rasul Saw dan mengikuti jalan orang2 non-mukmin. Artinya, wajib hukumnya mengikuti jalan orang2 mukmin, yaitu mengikuti kesepakatan (ijma’) mereka. Hadis Rasulullah Saw riwayat Abu Daud dan Tirmizi:
عن ابن عمر أن رسول الله ص م قال إن الله لايجمع أمتي اَو قالَ أمةَ محمدٍ ص م على ضلالة
Rasul Saw bersabda: Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku, atau beliau berkata umat Muhammad Saw, atas kesesatan.
Landasan (Sanad) Ijma’ dan Contoh Ijma’ Ijma’ baru dapat diakui sebagai dalil jika dalam pembentukannya mempunyai landasan, yaitu Quran dan Sunnah. Contoh ijma’ yang dilandaskan atas Quran adalah kesepakatan para ulama atas keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan , walau tidak disebut tegas dalam QS. Al-Nisa`: 23.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ ...
Para ulama sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) mencakup ibu kandung dan nenek, dan kata banat (anak-anak perempuan) mencakup anak dan juga cucu perempuan.
Contoh ijma’ yang disanadkan atas sunnah, kesepakatan para ulama bahwa nenek menggantikan hak ibu, jika ibu kandung si mayit sudah wafat, dalam hal mendapat harta warisan . Dalam hadis disebutkan, ketika ada nenek datang bertanya kepada Abu Bakar, lalu Abu Bakar bertanya kepada khalayak, dan Mughirah lah yang bisa memberitahu bahwa Rasul pernah memberi nenek 1/6 dari harta warisan cucunya.
عن ابن عمر قال جاءت الجدة أمُّ الأمْ وأمّ الأب الى ابي بكر فسأل الناسَ فشهدَ المغيرةُ بن شعبةَ أنّ رسول الله ص م أعطاها ( رواه الترمذي )
. Macam-macam Ijma’ Ijma’ sharih adalah kesepakatan tegas dari para ulama mujtahid dimana masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya secara tegas terhadap kesimpulan hukum. Ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar. Menurut Imam Syafi’i dan kalangan
Mailikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum. Karena diamnya sebagian ulama belum tentu menandakan setuju, bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana pendapat itu telah didukung penguasa, atau boleh jadi disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid karena dianggap lebih senior.
Menurut Hanafiyah dan Hanabilah, ijma’ sukuti sah dijadikan sumber hukum, karena diamnya sebagian ulam dipahami sebagai persetujuan. Jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru, pasti secara tegas menentangnya. IJMA ’ IJMA’ SHARIH (TEGAS) IJMA’ SUKUTI (DIAM)
Ijma' adalah kesepakatan para ahli fiqh dalam sebuah periode tentang suatu masalah setelah wafatnya Rasulullah saw tentang suatu urusan agama. Baik kesepakatan itu dilakukan oleh para ahli fiqh dari sahabat setelah Rasulullah saw wafat atau oleh para ahli fiqh dari generasi sesudah mereka. Contohnya ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua rukun Islam. Ijma' merupakan sumber hukum dalam syariat setelah Sunnah.
Menurut Al faqir adalah, “Kesepakatan seluruh ulama Islam terhadap suatu masalah dalam satu waktu. Apabila telah terjadi ijma’ seluruh mujtahidin terhadap suatu hukum, maka tidak boleh bagi seseorang menyelisihi ijma' tersebut, karena ummat (para mujtahidin) tidak mungkin bersepakat terhadap kesesatan.
Sejumlah ayat dan sunnah menjelaskan bahwa Ijma' adalah sumber dan hujjah dalam menetapkan hukum. Allah berfirman:
“Barangsiapa yang durhaka kepada Rasul setelah petunjuk datang dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman,” (An Nisa: 115)
Rasulullah saw. Bersabda, ”Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan,” dalam riwayat lain “…dalam kesalahan,”
Dalam hadis lain, ”Apa yang menurut orang-orang Islam baik maka ia baik di sisi Allah dan apa yang menurut mereka buruk maka buruk di sisi Allah.”
Di hadis lain disebutkan, ”Barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja maka ia telah melepaskan ikatannya dari Islam.”
Di samping itu Ijma' dilakukan berdasarkan dalil di dalamnya sebab tidak mungkin ulama dalam masa tertentu melakukan kesepakatan tanpa dalil syariat. Karenanya, para ulama mutaakhir (generasi belakangan) ingin mengetahui Ijma' maka yang dicari bukan dalil Ijma' namun kebenaran adanya Ijma' itu sendiri, apakah benar periwayatannya atau tidak.
BERSAMBUNG KE .... QIYAS ...............