TANBIIH

الحَمـْدُ للهِ المُــوَفَّـقِ للِعُـلاَ حَمـْدً يُوَافـــِي بِرَّهُ المُتَـــكَامِــلا وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَي النَّبِيِّ المُصْطَفَىَ وَالآلِ مَــــعْ صَـــحْــبٍ وَتُبَّـاعٍ وِل إنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا تَقْوَى الإلهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ وَتِبَاعُ أَهْوَى رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلاَ إن أخوف ما أخاف على أمتي اتباع الهوى وطول الأمل إنَّ الطَّرِيقَ شَرِيعَةٌُ وَطَرِيقَةٌ وَحَقِيقَةُ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلا فَشَرِيعَةٌ كَسَفِينَة وَطَرِيقَةٌ كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيقَةٌ دُرٌّ غَلاَ فَشَرِيعَةٌ أَخْذٌ بِدِينِ الخَالِقِ وَقِيَامُهُ بَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ انْجَلاَ وَطَرِِيقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطَ كَالوَرَع وَعَزِيمَةُ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاَ وَحَقِيقَةُ لَوُصُولُهِ لِلمَقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُورُ التّجَلِّي بِانجَلاَ مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق

hiasan

BELAJAR MENGKAJI HAKIKAT DIRI UNTUK MENGENAL ILAHI

Rabu, 20 Juni 2012

Quran, Sunnah, Ijma, Qiyas III

4. Qiyas

 QIYAS (ANALOGI) Secara bahasa, qiyas berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya”. Secara istilah, al-faqir mendefinisikan:

إلحاق أمر غير منصوص على حكمه الشرعي بأمر منصوص على حكمه لاشتراكهما فى علة الحكم 

Qiyas adalah: Menghubungkan (menyamakan hukum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya, dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya, karena ada persamaan ‘illat antara keduanya.

Qiyas adalah menyamakan (menganalogikan) suatu perkara dengan perkara (yang sudah ada ketetapan hukumnya) dalam hukum syariat kedua kedua perkara ini ada kesamaan illat (pemicu hukum). Menurut ulama ushul qiyas adalah, “Memberlakukan suatu hukum yang sudah ada nashnya kepada hukum yang tidak ada nashnya berdasarkan kesamaan 'illat."

Dalil Keabsahan Qiyas QS. Al-Nisa`: 59

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

Ayat ini menunjukkan bahwa jika ada perselisihan pendapat tentang hukum suatu masalah, maka jalan keluarnya dengan mengembalikan kepada Allah (Al-Quran) dan Sunnah Rasulullah Saw. Nah, cara mengembalikannya antara lain dengan metode qiyas. Hadis yang berisi dialog antara Rasulullah Saw dan Mu’az bin Jabal ketika ia akan dikirim menjadi hakim di Yaman, dan merupakan pengakuan Rasul terhadap praktik qiyas.

كيف تقضي فقال أقضي بما في كتاب الله قال فإن لم يكن في كتاب الله قال فبسنة رسول الله ص م قال فإن لم يكن في سنة رسول الله ص م قال أجتهد برأيي قال الحمد لله الذي وفّق رسولَ رسولِ الله ص م ( رواه الترمذي


Sebagai contoh, yang Allah haramkan hanya khamer saja di dalam Al-Quran. Khamar adalah perasan buah anggur yang sudah sampai pada kondisi tertentu sehingga peminumnya bisa mabuk. Terus terang tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang mengharamkan bir dan beragam minuman keras lainnya. Apakah hukumnya menjadi tidak haram? Tentu saja semua jenis minuman keras haram hukumnya dengan diqiyaskan kepada khamar. 'Illatnya adalah karena memabukkan, maka segala makanan dan minuman yang memabukkan hukumnya sama dengan khamar dengan jalan diqiyaskan. Sehingga hukumnya haram

Dibanding dengan Ijma’, Qiyas lebih banyak memberikan pengaruh dalam pengambilan hukum yang dilakukan oleh para ulama fiqh. Ijma’ disyarakan harus disepakai semua ulama di suatu waktu dan tempat tertenu. Sementara Qiyas tidak disyaratkan kesepakatan ulama fiqh. Masing-masing ulama memiliki kebebasan untuk melakukan Qiyas dengan syarat-syarat yang sudah disepakati oleh para ulama.

 Rukun Qiyas Qiyas dianggap sah jika lengkap rukun-rukunnya. Ada 4 rukun qiyas: الأصل (pokok tempat meng-qiyaskan sesuatu), yaitu masalah yang telah ditetapkan hukumnya, baik dalam al-Quran atau dalam sunnah. الأصل disebut juga المقيس عليه (yang menjadi ukuran) . Misalnya khamer ditegaskan dalam QS. Al-Maidah: 90

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ

Adanya حكم الأصل yaitu hukum syara’ yang terdapat pada الأصل yang hendak ditetapkan pada الفرع (cabang) dengan jalan qiyas. Misalnya hukum haramnya khamer. Adanya cabang ( الفرع ) yaitu sesutau yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Quran, sunnah atau ijma’, yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas. Misalnya hukum wisky, bir. ‘ illat ( علة ) yang merupakan inti bagi praktik qiyas, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.

Contoh Qiyas Menurut surat al-Isra' 23;

وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا

"Dan Rabb-mu telah memerintahkan, supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya, sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan: 'ah', dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." – (QS.17:23)

seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada orang tua. Maka hukum memukul, membentak, meneror dsb terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum cis tadi. Karena ‘illatnya sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman Rasulullah saw pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut, yaitu ketika Umar bin Khathab berkata kepada Rasulullah saw :

Hari ini saya telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa ? Jawab Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah puasamu

Kenapa harus ada Qiyas?

 Sebab teks-teks Al-Quran dan Sunnah sangat PADAT ISI DAN MAKNANYA , artinya tidak keseluruhan masalah disebutkan hukumnya satu-satu persatu. Sementara kejadian-kejadian yang membutuhkan kepastian hukum syariat dalam kehidupan manusia sangat banyak dan setiap hari muncul kejadian-kejadian baru. Untuk memecahkan masalah itu diperlukan ijtihad , ijma' & qiyash  dari para ulama fiqh. Salah satu methode ijtihad tersebut di sebut dengan Qiyas. 

Hukum-hukum jual beli misalnya, Al-Quran dan Sunnah menyebutkan lebih banyak dibanding dengan soal sewa menyewa. Maka para ahli fiqh kemudian melakukan Qiyas pada hukum-hukum sewa-menyewa dengan hukum-hukum dalam masalah jual beli karena kedua masalah ini memiliki kesamaan; dari sisi keduanya adalah transaksi jual beli barang dan jasa.




 . SUMBER-SUMBER  TABI'IYAH (turunan) 

Di sebut turunan karena sumber-sumber sesungguhnya diambil dan bermuara dari pemahaman baik langsung atau tidak terhadap Al Quran dan Sunnah.

1. Masalih mursalah

Atau dikenal juga Istislah. Yang artinya; mengambil hukum suatu masalah berdasarkan kemasalahatan (kebaikan) umum. Yaitu kemasalahatan yang oleh syariat tidak ditetapkan atau ditiadakan. Masuk dalam masalah adalah menghindarkan kerusakan baik terhadap indifidu atau masyarakat dalam banyak bidang.

Contoh maslahah mursalah adalah Umar bin Khatab dimasa kekhilafahannya membuat sebuah instansi untuk menangani gaji para pasukan kaum muslimin. Kemudian muncul instansi lainnya untuk menangani masalah-masalah lainnya.

Menurut sebagian ulama Mashlahatul Mursalah adalah, memelihara maksud Syara’ dengan jalan menolak segala yang merusakan makhluk. Contohnya, menaiki bis atau pesawat ketika melaksanakan ibadah haji walau itu tidak ada di zaman Rasulallah SAW tetapi boleh dilakkukan demi kemashlahatan ummat.

Contoh lain, mendirikan sekolah, madrasah untuk thalabul ilmi, tegasnya melakukan hal-hal yang berhubungan dengan agama walau tidak ada di zaman Nabi boleh kita lakukan demi kemashlahatan ummat yang merupakan tujuan di syaria’atkanya agama. 

2. Istidlal

Menurut Ibnu Hazm istidlal adalah, “Mencari dalil dari ketetapan-ketetapan akal dan natijah-natijah (kesimpulan) atau dari seorang yang lain yang mengetahuinya.”

Menurut ulama lain, Istidlal adalah, “Pertalian antara dua hukum tanpa menentukan illat (sebab)nya. Misalnya, menentukan batalnya shalat kalau tidak menutup aurat, karena menutup aurat merupakan syarat shahnya shalat.

Contoh lain, haramnya menjual daging babi karena termasuk membantu dalam kedurhakaan.

3. Istishhab

Istishhab adalah, menetapkan hukum yang berlaku sekarang atau yang akan datang berdasarkan ketetapan hukum sebelumnya karena tidak ada yang merubahnya.

Misalnya, seseorang telah berwudlu, setelah beberapa saat ia ragu-ragu apakah ia sudah batal atau belum, maka ketetapan hukum seblumnya yaitu sudah berwudlu bisa dijadikan dalil bahwa ia masih punya wudlu. Sebagian ulama menamakan istishhab dengan “Baraatu Al-Dzimmah”

4. Saddu Dzari’ah

Saddu Dzari’ah adalah, mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kerusakan atau menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan. Contoh, diharamkan menanam ganja atau opium untuk menutup kerusakan yang akan ditimbulkannya, yaitu orang-orang menggunakannya untuk memabukkan. Contoh lain, membuat diskotik karena biasanya sebagai tempat maksiat dan dosa.

5. Istihsan

Istihsan adalah berpindah dari suatu hukum dalam pandangannya kepada hukum yang berlawanan karena ada suatu yang dianggap lebih kuat, dengan pertimbangan hukum yang baru lebih baik karena kondisi dengan tanpa mengubah hukum asalnya, jika kondisi normal. Contohnya, orang yang mencuri di musim paceklik atau musim kelaparan tidak dipotong tangannya karena dimungkinkan ia mencurinya karena terpaksa.

6. 'Urf

Urf atau kebiasaan adalah sesuatu yang biasa terjadi di kalangan kaum muslimin, misalnya jual beli yang harusnya pakai ijab qobul, pada suatu kondisi tidak apa-apa jika kebiasaan masyarakat disana tidak melakukannya. Contoh lain, batasan safar yang membolehkan di qoshor shalat, tergantung kepada kebiasan masyarakat menamakan istilah safar tersebut.

7. Syaru man qoblana

Maksudnya adalah syariat umat sebelum nabi Muhammad diutus. Para ulama berbeda pendapat tentang keberlakuan syariat untuk nabi-nabi sebelum Rasulullah SAW. Apakah bila tidak ada penghapusan dari syariat Islam, lantas secara otomatis berlaku ataukah harus ada ketetapan terlebih dahulu dari Rasulullah SAW tentang masih berlakunya hal tersebut.

 Sebab pada kenyataannya, masih ada perbedaan dalam detail syariat yang berlaku untuk nabi terdahulu. Misalnya, nabi Daud as. berpuasa bukan hanya di bulan Ramadhan, melainkan sepanjang tahun dengan berselang-seling sehari berbuka dan sehari puasa. Ini tentu berbeda dengan syariat puasa untuk nabi Muhammad SAW dan ummatnya yang hanya pada bulan Ramadhan ....

BERLANJUT DI EDISI SELANJUTNYA TENTANG ATURAN ATURAN SYARAT MENGKAJI AL-QUR'AN DAN AL-HADIST

PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI

JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...

KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN











AlkisAnnabila