TANBIIH

الحَمـْدُ للهِ المُــوَفَّـقِ للِعُـلاَ حَمـْدً يُوَافـــِي بِرَّهُ المُتَـــكَامِــلا وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَي النَّبِيِّ المُصْطَفَىَ وَالآلِ مَــــعْ صَـــحْــبٍ وَتُبَّـاعٍ وِل إنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا تَقْوَى الإلهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ وَتِبَاعُ أَهْوَى رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلاَ إن أخوف ما أخاف على أمتي اتباع الهوى وطول الأمل إنَّ الطَّرِيقَ شَرِيعَةٌُ وَطَرِيقَةٌ وَحَقِيقَةُ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلا فَشَرِيعَةٌ كَسَفِينَة وَطَرِيقَةٌ كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيقَةٌ دُرٌّ غَلاَ فَشَرِيعَةٌ أَخْذٌ بِدِينِ الخَالِقِ وَقِيَامُهُ بَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ انْجَلاَ وَطَرِِيقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطَ كَالوَرَع وَعَزِيمَةُ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاَ وَحَقِيقَةُ لَوُصُولُهِ لِلمَقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُورُ التّجَلِّي بِانجَلاَ مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق

hiasan

BELAJAR MENGKAJI HAKIKAT DIRI UNTUK MENGENAL ILAHI

Senin, 23 April 2012

Pengertian Dan Landasan Tasawwuf fase pengenalan salik

I. Pengertian Dan Landasan Tasawwuf

Akar kata “tasawwuf” memiliki ragam makna. Sebagain pendapat mengatakan bahwa “tasawwuf” diambil dari akar kata bahasa arab (صفا يصفو ) yang artinya “suci murni”. Dalam pengertian ini, imam Bisyr bin al-Harits, salah seorang sufi terkemuka (sebagaimana dikutip syekh Muhammad Mayyarah dalam kitab Syarh al-Mursyid al-Mu'in), berkata:

الصُّوْفِيّ مَنْ صَفَا قَلْبُهُ للهِ تَعَالَى

(Orang sufi ialah orang yang hatinya murni bagi Allah)

Dapat pula “tasawwuf” diambil dari kata ( الصوف ). Artinya “kain wol”. Dalam makna ini imam Abu Ali al-Raudzabari, yang juga seorang sufi besar, berkata:


مَنْ لَبِسَ الصُّوْفَ عَلَى الصّفَا وَكَانَتِ الدُّنْيَا مِنْهُ عَلَى القَفَا وَسَلَكَ مِنْهَاجَ المُصْطَفَى

(seorang sufi adalah orang yang dalam kesuciannya memakai kain wol, menjauhi kenikmatan dunia, dan berpegang teguh pada jalan rasulullah).

Secara definitif sebagai sebuah disiplin ilmu, “tasawwuf” diartikan beragam. Di antaranya perkataan imam al-Junaid al-Baghdadi, seorang pemuka kaum sufi:

الخُرُوْجُ عَنْ كُلِّ خُلُقٍ دَنِيّ، وَالدُّخُوْلُ فِي خُلُقٌ سَنِيّ

(Keluar dari setiap akhlak tercela dan masuk kepada setiap akhlak terpuji)

Syekh Zakariyya al-Anshari, berkata:

التَّصَوُّفُ هُوَ عِلْمٌ تُعْرَفُ بهِ أحْوَالُ تَزْكِيَةِ النّفْس، وَتَصْفِيَةِ الأخلاق، وَتَعْمِيْرِ الظّاهِرِ وَالبَاطِنِ لِنَيْلِ السّعَادَة ِالأبَدِيَّة

(Tasawwuf adalah sebuah ilmu yang dengannya diketahui keadaan-keadaan dalam mensucikan jiwa, membersihkan akhlak, menghiasi zhahir dan batin untuk mencapai kebaagian dunia dan akhirat)

Imam Abu Bakar al-Syibly, ketika ditanya oleh Abu al-Hasan al-Farghani tentang siapakah seorang yang sufi, menjawab:

مَنْ صَفَا قَلْبُهُ فَصَفَى، وَسَلَكَ طَرِيْقَ المُصْطَفَى، وَرَمَى الدُّنْيَا خَلْفَ القَفَا، وَأذَاقَ الهَوَى طَعْمَ الجَفَا

(Sufi adalah seorang yang hatinya bersih, maka ia menjadi suci. Seorang yang menapaki jalan Rasulullah, membuang dunia di belakang punggungnya dan menjadikan hawa nafsu merasakan kepahitan)

Ketika ditanya kembali definisi lain dari seorang sufi, al-Syibli berkata:

مَنْ جَفَا عَنِ الكَدَرِ، وَخلصَ مِنَ العَكر، وَامْتَلأ بالفِكْر، وَتَسَاوَى عِنْدَهُ الذهَبُ وَالمَدَرُ

(Adalah orang yang menjauhi kekeruhan, membersihkan diri dari aib, memenuhi dirinya dengan berfikir dan tidak berbeda baginya antara emas dan debu)

Dan ketika ditanya definisi tasawwuf, imam Syibly berkata:

تَصْفِيَةُ القلُوْبِ لِعَلاَّمِ الغُيُوبِ

(Membersihkan hati hanya bagi Allah; Yang mengetahui segala yang ghaib)

Ketika ditanya kembali definisi lain dari tasawwuf, imam Syibly berkata:

تَعْظِيْمُ أمْرِ اللهِ وَالشّفَقَةُ إِلَى عِبَادِ اللهِ

(Mengagungkan segala perintah Allah dan mencintai para hanba Allah)

Definisi lain mengatakan:

الجِدُّ فِي السُّلُوكِ إلَى مَلِكِ المُلُوْكِ

(Usaha keras dalam suluk menuju Allah).

Tasawwuf sebagai sebuah nama belum dikenal pada masa awal perkembangan Islam. Namun sebagai sebuah ajaran sudah ada. Bahkan apa yang dicontohkan Rasulullah dalam kesehariannya dihadapan para sahabat adalah unsur-unsur tasawwuf yang merupakan landasannya. Firman Allah dalam al-Qur’an:

وَأمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الهَوَى، فَإِنَّ الجَنَّةَ هِيَ المَأوَى (النازعات: 40-41)

(Adapun Orang yang takut akan keagungan Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:

أحَبُّ العِبَادِ إلَى اللهِ تَعَالى الأتقِيَاءُ الأخْفِيَاء، الذيْنَ إذَا غَابُوا لَمْ يُفْتَقَدُوْا، وَإذَا شَهِدُوْا لَمْ يُعْرَفُوا، أولئِكَ هُمْ أئِمَّة الهُدَى وَمَصَابِيْحُ العِلمِ (رواه أبو نعيم)

(Hamba-hamba yang dicintai oleh Allah adalah mereka yang bertaqwa dan yang tersembunyi. Bila tidak hadir, mereka tidak dicari. Dan bila hadir mereka tidak dikenali. Mereka adalah para imam yang membawa petunjuk dan lentera-lentera ilmu).

Sahabat Umar bin al-Khattab berkata:

اخْشَوْشِنُوْا وَتَمَعْدَدُوْا

Maksud perkataannya (اخشوشنوا ) adalah “Biasakanlah oleh kalian untuk menjauhi kenikmatan”. Pengertian (تمعددوا ) “Biasakanlah oleh kalian untuk mencontoh Ma’ad ibn ‘Adnan”. Ma’ad ibn ‘Adnan adalah salah seorang kakek Rasulullah yang beragama Islam, sangat disegani di kaumnya, namun demikian beliau selalu menghindari kenikmatan-kenikmatan duniawi.



Pernyataan Umar ini memberikan keterangan jelas kepada kita bahwa ajaran-ajaran tasawwuf di kalangan sahabat nabi sudah ada.


II. Landasan Tasawwuf; Ilmu dan Amal

Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa tasawwuf adalah usaha untuk mencapai keridlaan Allah dengan meraih derajat tinggi kwalitas taqwa. Titik final ini tidak akan bisa dicapai kecuali dengan mengikuti segala yang telah digariskan syari'at. Dengan demikian tasawwuf sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sebaliknya tasawwuf adalah ajaran Islam itu sendiri. Karena itulah, ajaran yang diemban para imam sufi adalah berpegang teguh dengan apa yang telah digariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Imam Abu Nu’aim, salah seorang ulama terkemuka di sekitar abad 4 hijriah, menulis sebuah kitab berjudul Hilyah al-Auliya Fi Thabaqat al-Ashfiya’. Sebuah kitab yang berisi penyebutan biografi kaum sufi dari masa ke masa hingga masanya sendiri.



Beliau menulis karya tersebut untuk membedakan antara sufi sejati yang benar-benar sufi dengan kaum sufi gadungan (palsu). Dalam penyebutan biografi kaum sufi tersebut, Abu Nu’aim memulai dengan kaum sufi kalangan sahabat nabi (100 tahun pertama hijriah).


Di mulai dengan Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib dan seterusnya. Kemudian dari kalangan tabi’in (100 tahun kedua hijriah) seperti al-Hasan al-Bashri, Sufyan al-Tsauri dan seterusnya.


Selanjutnya dari kalangan atba’ at-Tabi’in (100 tahun ketiga hijriah). Hal ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa kaum sufi sejati adalah mereka yang berpegang teguh dengan ajaran nabi.

Dalam Islam kaum sufi bukan sebagai komunitas tersendiri. Tapi sebaliknya kaum sufi terdiri dari berbagai kalangan ulama. Ada yang berasal dari kalangan ahli hadits, ahli tafsir dan lainnya. Dalam aqidah mereka berpegang teguh dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam fiqh, secara umum, mereka berpegang teguh kepada salah satu dari empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

Karena itu, landasan yang paling pertama ditanamkan oleh kaum sufi adalah ilmu. Yaitu mempelajari ajaran-ajaran syari’at Islam. Kemudian dilanjutkan dengan amal, artinya mengerjakan ketentuan-ketentuan syari’at tersebut.



Dari sini derajat takwa sebagai tujuan suluk (perjalanan) akan diraih. Seseorang tidak akan pernah mencapai apa yang telah dicapai kaum sufi sejati bila tidak mengetahui syari’at, karena ia tidak akan pernah mencapai derajat takwa. Dan karenanya Allah tidak menjadikan para wali-Nya mereka yang bodoh dengan syari’at-Nya. Dalam pada ini imam Syafi’i berkata:

مَا اتَّخَذَ اللهُ وَلِيًّا جَاهِلاً

(Allah tidak mengangkat seorang wali yang bodoh)

III. Thariqat

Di antara tanda-tanda kaum sufi gadungan adalah mereka yang memisahkan atau membeda-bedakan antara syari’at dan thariqat, atau membedakan antara syari’at dengan hakekat. Tidak sedikit dari kalangan mereka yang tidak shalat, puasa, atau amal ibadah lainnya dengan alasan bahwa itu semua hanya pekerjaan syari’at atau zhahir saja, bukan hakikat atau batin; yang merupakan intinya.

Kaum sufi sejati tidak membedakan antara syari’at dengan hakekat. Hakekat tidak akan pernah dapat diraih kecuali dengan jalan syari’at. Dan karenanya syari’at disebut sebagai thariq (thariqah), karena ia merupakan jalan menuju hakekat tersebut. Imam al-Junaid al-Baghdadi, pemimpin kaum sufi, berkata:

طَرِيْقُنَا هذَا مَضْبُوطٌ بِالكِتَابِ وَالسُّنَّةِ إذِ الطّرِيْقُ إلَىاللهِ مَسْدُوْدَةٌ إلاّ عَلَى المُقْتَفِيْنَ ءَاثَارَ رَسُوْلِ اللهِ

(Jalan kita ini (tasawwuf) diikat al-Qur'an dan sunnah rasul, karena sesungguhnya setiap jalan menuju Allah itu tertutup kecuali bagi mereka yang berpegang teguh dengan apa yang digariskan Rasulullah)

Dalam kesempatan lain beliau berkata:

مَنْ لَمْ يَحْفَظِ القُرْءَانَ وَلَمْ يَكْتُبِ الحَدِيْثَ لاَ يُقْتَدَى بِهِ فِي هذا الأمْرِ، لأنَّ عِلْمَنَا هذا مُقَيَّدٌ بأصُوْلِ السُّنَّةِ

(Orang yang tidak hafal al-Qur’an dan tidak mau menulis hadis, maka ia tidak diikuti dalam urusan ini (tasawwuf), karena ilmu kita ini terikat dengan pokok-pokok sunnah)

Seorang sufi besar lainnya, imam Sahl al-Tustary berkata:


أصُوْلُ مَذهَبِنَا ثَلاَثَةٌ, الاقتِدَاءُ بِالنَّبِيِّ فِي الأخْلاَقِ وَالأفْعَالِ وَالأكْلِ مِنَ الحَلاَلِ وَإخْلاَصِ النِّيَّةِ فِي جَمِيْعِ الأفْعَالِ

Maknanya: “Landasan kita ini (tasawwuf) tiga perkara: mencontoh akhlak dan perbuatan rasulullah, makan dari makanan halal dan ikhlas dalam setiap perbuatan".

Pengertian thariqat di atas adalah pengertian secara umum. Artinya seluruh apa yang merupakan ajaran dalam syari’at Islam adalah merupakan jalan untuk mencapai hakekat. Hanya saja belakangan, penyebutan thariqat seakan lebih mengacu kepada apa yang telah dirintis oleh para ulama sufi atau para wali Allah dari bacaan-bacaan atau dzikir-dzikir tertentu untuk mendorong dalam meningkatkan kwalitas takwa.

Pada dasarnya apa yang telah dirintis oleh para ulama tersebut adalah sesuatu yang sangat baik. Seorang murid dihadapan mursyid-nya berjanji untuk memegang teguh syari’at hingga mendapatkan citra takwa, inilah sebenarnya tujuan thariqat. Bacaan-bacaan dzikir tersebut hanya sebagai salah satu sarana untuk meraih citra takwa tersebut.



Dalam masalah ini para ulama berkata: 

أخْذُ العَهْدِ عَلَى أيِدِيْ المَشَايِخِ مُسْتَحَبٌّ

(Mengambil janji (dalam menjankan syari'at) diatas tangan para syekh (Mursyid) itu disunnahkan).

Maksudnya bahwa menjalankan thariqat yang isinya syari'at Islam itu sendiri, dengan ditambah berjanji kepada para syekh untuk selalu berusaha menjalankan syari'at, juga berusaha untuk menjauhi hal-hal yang mubah (dengan tidak mengharamkannya), adalah hal yang sangat baik. Inilah pengertian thariqat secara garis besar.

Pemimpin para wali Allah (Suthanul 'Auliya), imam Ahmad ar-Rifa'i, perintis thariqat Rifa'iyyah berkata:


وَاعْلَمْ أنَّ كُلَّ طَرِيْقَةٍ تُخَالِفُ الشَّرِيْعَةَ فَهِيَ زَنْدَقَةٌ

(Ketahuilah sesunggguhnya setiap thariqah (menuju jalan Allah) yang menyalahi syari'at adalah kekufuran)

Kemudian esensi thariqat tidak lebih dari berzikir, tahlil, takbir, tahmid, istigfar dan shalawat atas rasulullah. Maka jelas tidak ada suatu apapun yang menyalahi syari'at, bahkan sebaliknya syari'at menganjurkan kepada setiap muslim untuk selalu berzikir, istigfar, juga shalawat.


Yang perlu digaris bawahi bahwa para wali Allah perintis thariqat di atas adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan aqidah Ahlussunnah, aqidah yang diajarkan rasulullah dan para sahabatnya.



Diantara apa yang diajarkan rasul dalam hal aqidah ialah bahwa Allah ada tanpa tempat, Dia tidak menyerupai apapun dari makhlukNya. Allah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيءٌ (الشورى:11)

(Dia (Allah) tidak menyerupaiNya suatu apapun). (QS As-Syura:11)

ARTI TAUHID DALAM ISLAM


Tauhid adalah sesuatu yang sudah akrab di telinga kita. Namun tidak ada salahnya kita mengingat beberapa keutamaannya. Karena dengan begitu bisa menambah keyakinan kita atau meluruskan tujuan sepak terjang kita yang selama ini mungkin keliru. Karena melalaikan masalah tauhid akan berujung pada kehancuran dunia dan akhirat.


Tujuan Diciptakannya Makhluk Adalah untuk Bertauhid

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat: 56)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yaitu tujuan mereka Kuciptakan adalah untuk Aku perintah agar beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Adzhim, Tafsir surat Adz-Dzariyaat). Makna menyembah-Ku dalam ayat ini adalah mentauhidkan Aku, sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama salaf.

Tujuan Diutusnya Para Rasul Adalah untuk Mendakwahkan Tauhid




Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) sembahlah Allah dan tinggalkanlah thoghut.” (QS. An-Nahl: 36)
Thoghut adalah sesembahan selain Allah. Syaikh As-Sa’di berkata, “Allah Ta’ala memberitakan bahwa hujjah-Nya telah tegak kepada semua umat, dan tidak ada satu umatpun yang dahulu maupun yang belakangan, kecuali Allah telah mengutus dalam umat tersebut seorang Rasul. Dan seluruh Rasul itu sepakat dalam menyerukan dakwah dan agama yang satu yaitu beribadah kepada Allah saja yang tidak boleh ada satupun sekutu bagi-Nya.” (Taisir Karimirrahman, Tafsir surat An-Nahl). Beribadah kepada Allah dan mengingkari thoghut itulah hakekat makna tauhid.

Tauhid Adalah Kewajiban Pertama dan Terakhir

Rasul memerintahkan para utusan dakwahnya agar menyampaikan TAUHID terlebih dulu sebelum yang lainnya. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ta’ala ‘anhu, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhori dan Muslim). Nabi juga bersabda, “Barang siapa yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illAllah niscaya masuk surga.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dihasankan Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil)Tauhid Adalah Kewajiban yang Paling Wajib

Allah berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Allah mengampuni dosa selain itu bagi orang-orang yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisaa’: 116)
Sehingga syirik menjadi larangan yang terbesar. Sebagaimana syirik adalah larangan terbesar maka lawannya yaitu tauhid menjadi kewajiban yang terbesar pula. Allah menyebutkan kewajiban ini sebelum kewajiban lainnya yang harus ditunaikan oleh hamba. Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah pada kedua orang tua.” (QS. An-Nisaa’: 36).

Kewajiban ini lebih wajib daripada semua kewajiban, bahkan lebih wajib daripada berbakti kepada orang tua. Sehingga seandainya orang tua memaksa anaknya untuk berbuat syirik maka tidak boleh ditaati. Allah berfirman,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا

“Dan jika keduanya (orang tua) memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…” (QS. Luqman: 15)

Hati yang Saliim Adalah Hati yang Bertauhid

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah di dalam tubuh itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Allah Ta’ala berfirman,

يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ (٨٨)إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“Hari dimana harta dan keturunan tidak bermanfaat lagi, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang saliim (selamat).” (QS. Asy Syu’araa’: 88-89)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yaitu hati yang selamat dari dosa dan kesyirikan.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Adzhim, Tafsir surat Asy Syu’araa’). Maka orang yang ingin hatinya bening hendaklah ia memahami tauhid dengan benar.

Tauhid Adalah Hak Allah yang Harus Ditunaikan Hamba

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah yang harus ditunaikan hamba yaitu mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun…” (HR. Bukhori dan Muslim)

Menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya artinya mentauhidkan Allah dalam beribadah. Tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dalam beribadah, sehingga wajib membersihkan diri dari syirik dalam ibadah. Orang yang tidak membersihkan diri dari syirik maka belumlah dia dikatakan sebagai orang yang beribadah kepada Allah saja (diringkas dari Fathul Majid).
Ibadah adalah hak Allah semata, maka barangsiapa menyerahkan ibadah kepada selain Allah maka dia telah berbuat syirik. Maka orang yang ingin menegakkan keadilan dengan menunaikan hak kepada pemiliknya sudah semestinya menjadikan tauhid sebagai ruh perjuangan mereka.

Tauhid Adalah Sebab Kemenangan di Dunia dan di Akhirat

Para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshor radhiyallahu ta’ala ‘anhum adalah bukti sejarah atas hal ini. Keteguhan para sahabat dalam mewujudkan tauhid sebagai ruh kehidupan mereka adalah contoh sebuah generasi yang telah mendapatkan jaminan surga dari Allah serta telah meraih kemenangan dalam berbagai medan pertempuran, sehingga banyak negeri takluk dan ingin hidup di bawah naungan Islam. Inilah generasi teladan yang dianugerahi kemenangan oleh Allah di dunia dan di akhirat.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridho kepada mereka dan merekapun telah ridho kepada Allah. Allah telah menyiapkan bagi mereka surga-surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)

Namun sangat disayangkan, kenyataan umat Islam di zaman ini yang diliputi kebodohan bahkan dalam masalah tauhid! Maka pantaslah kalau kekalahan demi kekalahan menimpa pasukan Islam di masa ini. Ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam akidah mereka. Wallahu a’lam bish showaab.

PENTINGNYA TAUHID DALAM ISLAM

tauhid adalah kewajiban yang pertama kali dalam islam, dan semua ibadah tidak diterima dan tidak sah kecuali dengannya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan rukun Islam yang lainnya—dalam hadits Mu’adz—setelah melaksanakan tauhid, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“Maka hendaklah pertama kali yang kamu serukan kepada mereka adalah, agar mereka mentauhidkan Allah ta’ala. Apabila mereka telah mengetahui hal itu maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat 5 kali sehari semalam, dan apabila mereka telah shalat maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat pada harta mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka dan diberikan kepada orang miskin di antara mereka dan hati-hatilah dengan kemuliaan harta manusia.” (Hadits ini Muttafaqun ‘alaih dengan menggunakan lafal Al-Bukhari no. 7372)

Oleh karena itu, wajib bagi setiap hamba untuk memahami 2 macam tauhid tersebut, dan dia juga harus memahami bahwa imannya tidak sah kecuali dengan memenuhi keduanya dan sesungguhnya ini merupakan kewajiban hamba baik secara ilmu maupun secara amal.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
“Tidak Aku ciptakan jin dan Manusia melainkan hanya untuk beribadah [1] kepada-Ku.” (QS. Adz –Dzariyat : 56)

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (untuk menyerukan) "Beribadalah kepada Allah (saja) dan jauhilah thoghut.” [2] (QS. An – Nahl : 36)

“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan, dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS. Al - Isra' : 23- 24)


“Janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, agar kamu tidak menjadi terhina lagi tercela”. (QS. Al Isra' : 22). Dan diakhiri dengan firmanNya : “Dan janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, sehingga kamu (nantinya) dicampakkan kedalam neraka jahannam dalam keadaan tercela, dijauhkan (dari rahmat Allah)”. (QS. Al Isra' : 39).

Dan Allah mengingatkan kita pula tentang pentingnya masalah ini, dengan firmanNya : “Itulah sebahagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu”. (QS. Al Isra' : 39).

Satu ayat yang terdapat dalam surah An-Nisa', disebutkan didalamnya 10 hak, yang pertama Allah memulainya dengan firmanNya : “Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah (saja), dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (QS. An - Nisa' : 36).

“Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu " Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tuamu, dan janganlah kamu membunuh anak anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan perbuatan yang keji, baik yang nampak diantaranya mahupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun dia adalah kerabat(mu). Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al - An'am : 151- 153)

Ibnu Mas'ud Radhiyallahu ‘anhu berkata : "Barang siapa yang ingin melihat wasiat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tertera di atasnya cincin stempel milik beliau, maka supaya membaca firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : "Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu "Janganlah kamu berbuat syirik sedikitpun kepadaNya”, dan "Sungguh inilah jalan-Ku berada dalam keadaan lurus, maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kalian ikuti jalan-jalan yang lain. [3] "

Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu berkata : "Aku pernah diboncengkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas keledai, kemudian beliau berkata kepadaku : "Wahai Mu’adz, tahukah kamu apakah hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hambaNya, dan apa hak hamba-hambaNya yang pasti dipenuhi oleh Allah?”. Aku menjawab : "Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui". Kemudian beliau bersabda : "Hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hambaNya ialah hendaknya mereka beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah ialah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun”. Lalu aku bertanya : “ya Rasulullah, bolehkah aku menyampaikan berita gembira ini kepada orang-orang?”. Beliau menjawab : "Jangan engkau lakukan itu, kerana khawatir mereka nanti bersikap pasrah". (HR. Bukhari dan Muslim)

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS:Asy Syams ayat 8-9) Ibnu Katsir dalam tafsirnya, mengutip dari pendapat Qotadah. Dan sebuah riwayat dari Mujahid, Ikrimah dan Jubair, menafsirkan ayat yang pertama, bahwa maksud mensucikan (membersihkan) jiwa adalah dari sifat-sifat yang kotor dan akhlak-akhlak yang rendah. (tafsir Ibnu Katsir 8/412)

Berbicara tentang tasawuf alangkah baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu apa itu tasawuf? Tasawuf secara bahasa berasal dari kata, 'shofa' yang berarti bersih/jernih, serta dari kata 'man shofa qolbahu minalqadr' orang yang membersihkan hatinya dari kekeruhan. Secara istilah tasawuf adalah suatu ilmu yang mana dengan ilmu tersebut seseorang dapat mengetahui keadaan hatinya, baik dan jeleknya hati tersebut, cara membersihkan hati yang jelek, dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang terpuji, serta cara mendekatkan diri kepada sang Khalik.
Sedangkan menurut Cendekiawan Islam Mesir syekh DR. Yusuf al-Qardhawi, tasawuf dalam agama ialah memperdalam kearah bagian rohaniah, ubudiyah, dan perhatiannya lebih spesifik seputar masalah itu. Tapi secara sederhana Ketua Umum PBNU Said Aqil siradj mengartikan tasawuf dengan, ilmu yang bicara tentang hati, dan tidak ada kaitannya dengan ilmu duniawi. Para pelaku tasawwuf bisa memiliki profesi apa saja, bisa seorang pedagang, politisi, ilmuwan dan lainnya. Tasawwuf membantu menata hati setiap manusia untuk menuju kepada Allah.

Menurutnya, ilmu tasawwuf pertama kali didefinisikan oleh Ali bin Musa al Kadhim, imam Syiah yang ke delapan. Dimana tasawwuf adalah mencari hakikat dari kepalsuan, dicontohkannya, belum tentu wanita yang memakai jilbab itu lebih baik dari yang tidak memakai, jika hatinya ternyata lebih baik dari yang memai jilbab.

Dari beberapa pengertian ini dapat kita pahami bahwa topik-topik yang jadi bahasan ilmu tasawuf adalah urusan hati. Hati menurut Al-Ghozali adalah sumber dari segala apa yang kita lakukan, anggota tubuh jika kita ibaratkan hanyalah anak buah, dan hati adalah rajanya. Manakala hati itu baik maka baiklah semua anggota tubuh, dan jika hati itu buruk maka buruklah apa yang dikerjakan anggota tubuh.

Disisi yang lain, yang menjadi sorotan ilmu tasawuf adalah permasalahan ahlak/tatakrama, baik akhlak kita dengan Allah SWT, atau kepada sesama. Urusan hati dan akhlak ini sangat penting, karena jika apa yang kita lakukan dalam permasalahan ibadah tanpa didasari oleh manajemen hati yang baik, maka ada kemungkinan ibadah yang kita lakukan itu tidak bernilai. Seperti contoh sedekah atau sholat yang didasari oleh riya (pamer) secara syariat (fiqih) sholat dan sedekah tersebut sah-sah saja. Tapi dalam pandangan tasawuf, sedekah atau sholat yang didasari oleh riya adalah kurang bernilai. Ada banyak ayat Alqur’an yang mengecam akan ibadah yang dilakukan tidak semata-mata karena Allah ini.

Syariat, thoriqot dan hakekat, masih sering diartikan salah oleh banyak orang. Perlu dipahami bahwa syariat (syari’ah), tarekat (thoriqoh) dan hakekat (haqiqoh), hanyalah istilah metodelogi yang dirumuskan oleh para sufi dalam cara pencapaian manusia menuju Rabb-nya. Menurut Syekh Nawawi Albantani, ada tiga jalan yang harus dilalui oleh seseorang yang ingin sampai dekat dengan Allah SWT. 

Pertama: Syari'ah. Kata syariat pada asalnya digunakan untuk arti 'tempat sampainya manusia dalam mencari minum', namun berdasarkan istilah dalam tasawuf mengandung arti 'mengerjakan apa-apa yang diperintahkan, dan meninggalkan apa-apa yang dilarang'. Atau hukum-hukum yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dipahami oleh para ulama dari Alqur’an dan Hadits, baik secara nash atau istinbath (penggalian hukum dari Alqur’an atau Hadits).

Kedua: Thoriqoh, yaitu meneliti betul tingkah laku yang pernah dikerjakan Nabi, dan berusaha untuk mengamalkannya.
Ketiga: Haqiqoh, adalah hasil/buah daripada Thoriqoh.

Syekh Jainuddin al-Malaybari merefleksikan akan tiga hal ini dalam sebuah syair. ”Fasyriatun kasafinatin wa thoriqotuun kalbahri tsumma haqiqotun dzurrun gholaa” (Syariat adalah laksana perahu, sedangkan thoriqot adalah lautan, kemudian hakikat itu adalah mutiara yang sangat mahal). Dari syair yang pendek ini bisa kita fahami bahwa, kenapa syariat diumpamakan perahu, karena perahu adalah sesuatu yang dapat mengantarkan pada tempat tujuan, dan selamat dari segala kerusakan. Thoriqot diumpamakan lautan yang didalamnya terdapat mutiara dan menggambarkan bahwa lautan ini adalah tempat apa yang kita maksud dan hakikat diumpamakan mutiara yang agung dan sangat mahal harganya. Ini mengisyaratkan kepada kita bahwa mutiara itu tidak bisa kita temukan kecuali dalam lautan. Dan kita tidak akan sampai pada lautan itu kecuali dengan menggunakan perahu.

Jadi tiga komponen ini harus harus dimiliki oleh seseorang yang menghendaki dirinya dekat dengan Allah SWT. Jika kita hanya mengambil salah satunya saja, sudah barang tentu apa yang kita kehendaki tidak akan berhasil. Syariat tanpa hakikat adalah kehampaan, hakikat tanpa syariat adalah bathil. Para ulama tasawuf sepakat jika ada seseorang mengaku wali dan mengatakan, bahwa dirinya telah terbebas dari hukum-hukum Allah (syariat) maka sungguh orang tersebut adalah telah gila.

Nah dibalik itu semua ada Kasyf (terbukanya mata batin). Ada sebagian orang yang tidak mempercayai akan hal ini, dan kiranya perlu suatu bukti, dan bukti itu tidak harus dari Alqur’an dan Hadits. Dari sebuah sejarah saja cukup, mungkin jika kita membaca sejarah Islam pastilah kita akan ingat kisah ini, yaitu tentang kejadian sahabat Umar RA yang berteriak ditengah-tengah khutbahnya: “Awas, berlindunglah kalian dibalik bukit itu!” sahabat Umar saat itu mengalami kasyf, mengetahui bahwa diatas bukit, musuh sedang mengawasi pasukan Islam. Atas situasi tersebut, Umar memperingatkan pasukan Islam yang saat itu sedang berperang disuatu tempat, padahal beliau sedang berada diatas mimbar masjid, tetapi suara beliau terdengar sampai ketengah-tengah pasukan Islam. Hal ini tentu merupakan salah satu bukti karamah beliau.

Anas bin Malik menceritakan pengalamannya: saya bertamu ke rumah Usman bin Affan. Sebelumnya, ditengah jalan, saya bertemu dengan seorang wanita. Saya sempat meliriknya dan membayangkan kecantikannya. Ketika saya masuk ke rumah Usman, beliau berkata: “Ada salah seorang dari kalian yang masuk kerumahku dan ada sisa-sisa zina nampak dimatanya! Tidakkah kamu tahu bahwa zina mata adalah memandang (pada sesuatu yang dilarang)? kamu mau bertaubat, atau saya hukum kamu?” saya bertanya kepadanya: adakah wahyu setelah Nabi? Jawab beliau: “Tidak, tetapi saya tahu (kejadian tentangmu) berdasarkan firasat yang benar. Dalam sebuah hadits Nabi bersabda: “Berhati-hatilah dengan firasat orang yang beriman, karena ia melihat dengan 'nur' Allah SWT”.

Sementara itu bagaimana tasawuf dalam kontek bernegara? Tasawuf, atau boleh kita katakan ilmu hati, sangatlah penting untuk dimiliki oleh setiap individu, apalagi para pejabat negara, karena tasawuf yang lebih mengedepankan esensi kehidupan, kesederhanaan, kejernihan hati, peduli terhadap sesama, lebih mementingkan rohani, dan menghilang sifat-sifat jelek, seperti sombong, rakus akan dunia dan memproporsionalkan nafsu. 

"Jalan seperti itu merupakan pilihan paling tepat dan mampu meningkatkan pembangunan bangsa menuju indonesia yang makin maju, adil, dan sejahtera,” 

Seperti diriwayatkan Imam Ahmad bin Hambal RA. berkata kepada anaknya yang bernama Abdullah: “Wahai anakku tetaplah dengan ilmu hadits, dan jauhilah mereka-mereka yang mengatasnamakan dirinya dengan sufiyah (pengamal ilmu tasawuf) karena terkadang sebagian mereka bodoh akan hukum-hukum agama. Tetapi semenjak Imam Ahmad bin Hambal berkawan akrab dengan Aba Hamzah al-Baghdadi (seorang ulama sufi) dan setelah Imam Ahmad bin Hambal mengetahui langsung akan keadaan dan tingkah para sufi, Imam Ahmad bin Hambal berkata kepada anaknya: “Wahai anakku, kau harus selalu dekat dengan para sufiyah (pengamal ilmu tasawuf) karena mereka telah menambahkan banyaknya ilmu kepada kami, dan muroqobah ( selalu dalam penglihatan Allah) dan rasa takut kepada Allah, zuhud, dan tingginya cita-cita.

Imam Assyafii dan Imam Ahmad, keduanya sering menghadiri mejlis sufiyah (pengamal ilmu tasawuf) lalu ada yang bertanya kepada beliau, "Kenapa kalian berdua sering menghadiri majelis orang-orang bodoh itu? Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menjawab; “Sesungguh ada pada mereka pokok segala perkara, yaitu taqwa, cinta kepada Allah, dan ma’rifat kepada-Nya".


Minggu, 22 April 2012

HAKIKAT MINNAH 'ALA AL-WAHDAH .......



Orang yang menguasai semua ilmu syari'at
namun tidak merasakan manisnya makrifat
maka dia lalai dan lelap dalam tidurnya

Takutlah kepadaNYA seperti takutnya orang
yang kebingungan di saat bertemu pandang
dengan sang kekasihNYA
ketika menghadapi ancaman maut dan segala
yang menakutkan ....


ketika menghadapi kenyataan pahitnya TAQDIR
& KEHENDAK AL-ILAHI

Makrifat diraih berkat curahan karunia Ilahi
semata & hanya Ilahi yang mampu membuka
atau fath,menjemput sang kekasihNYA
Ma'rifat tidak dapat di raih
setelah usaha sungguh-sungguhnya abdu serta
bukan karena dari riwayat yang disampaikan makhluk
dan buku / kitab yang tertulis,
juga bukan dari tutur kata manusia.


karena KALAM-NYA ... hanyalah titik diantara
Ada & ketiadaan ...... bukan berupa suara
ataulah huruf ... atau juz juz ....

Sungguh beruntung orang yang TERPILIH masuk
di dalam kubah AL-ILAH tanpa persiapannya
dan hatinya bebas dari perbudakan makhluk-Nya
(ibadah basyariyah) & bukan karena penilaian
aqal (wahmun) abdu semata
Petunjuk akan menetap di benakNYA
Ia pun merasakan sepercik makrifat di hatiNYA
denganNYA ...

Sungguh sepercik (makrifat) dari gelas yang disegel
dengan NAFI serta ISTBAT-NYA
telah memenuhi hati dengan berbagai ilmu,
melindungi pemahaman dari keraguan
dan membebaskan akal dari segala belenggu
penilaian hukum & terbebas dari tiraiNYA
dunia serta akhirat ,,,,,,,,,



SALAM MINNAH
'ALAA HAI ATIL WAHDAH ,,,,,,,,,,

Sabtu, 21 April 2012

انا الحق انا الحق

هرجا كه هست پرتو روى حبيب هست


انا الحق ... انا الحق ... دا ئې هغه غږ ؤ. دا ئې هغه نعره وه. خلقو به وېل که دې لېونې شوې دې. چا به وېل چې کفر وائي. چا پکښې اويل چې پانسي ئې کړئ ځکه چې دا کلمه، انا الحق، يواځې د الله زات له پاره دې. خبره خليفه مقتدر بالله (295-320هجري) ته اورسېده. خليفه د خلقو په وېنا عمل وکړو و دې ئې زندان کښ بندي کړو چې په خپل عمل باندې سوچ وکړي و په نېغه لاره راشي. د هغوئ مريدانو و نورو مشائخو هم ورته خواست وکړو چې دې کلمې نه منې شه خو هغه قرار نه شو. آخر هغه ته د مرګ سزا واوروله شوه.

د ذی القعده اتلسمې (18) نېتې، د 309 هجري کال کښ د منصور سزا باندې عمل وشو. ټول ښار د هغه سزا کتلو ته را غونډ شو. جلاد ته حکم وشو چې مخکښې به زر (1000) زله کوړې ور خلاسېدې شي و هغه نه روسته به سر ترې نه قلم کېږي. د خدائ قدرت ته ګوره چې تر آخري کوړې پورې منصور په سترګو کښ نه اوښکښې راغلې و نه خولې نه اوف قدرې اوتو. چې کله د سر قلم کېدو وار راغلې، نو جلاد ته بل حکم راغلې چې د سر نه مخکښې ئې ښپې و لاس پرې کړې شي.

خلقو کښې بې صبري راغله. يو تن منصور نه تپوس وکړو چې عشق څه ته وائي؟ منصور ورته وېل چې لږ وار پس به ئې په خپله ووينې. يو بل ترې نه تپوس وکړو چې ته دومره خوشحاله ولې ئې؟ دې ورته وائي زه خپل جانان ته روان ېم.

جلاد مخکښې ترې نه لاس پرې کړل. بيا ئې ښپې جلا کړې. چې کله ئې سر ته توره جږه کړه، منصور ناره کړه چې يه خدايه، چې څرنګه دې زه برکتي کړې يم، داسې دا خلق هم برکتي کړه. و دې سره هغه کار تمام کړې شو.

چې سر ئې زمکه ته پرېوتو، هغه ټول بې سا وجود نه انا الحق ... انا الحق ورد شروع شو. منصور خو لاړو، خو ناره ئې لا نړه. خلقو فيصله وکړه چې مړ وجود ته دې اور ورته کړې شي. شيخ فريد الدين اټار په خپل کتاب تزکره اولياء کښ وائي چې هغه بدن ته اور ورکړې شو و ايرې ئې د دجله درياب ته واچولې شوې. خدائ قدرت ته ګوره چې دې درياب کښې د اوبو سطح دومره اوچته شوه چې خلقو زړونو کښ ډار پېدا شو چې بغداد به اوبو کښې ډوب شي. او دا خبره وه چې يو کس راغلو و اعلان ئې وکړو چې زما شيخ مرګ بدله کښې به ستاسو بغداد ښار اوبو کښې ډوب شي.

حماد بن عباس هم په زړه کښ ډار جوړ شو. حماد د خليفه تر ټولو کښ اوچت وزير ؤ و هغه د منصور سزا تېرولو د پاره په خپله موجود و. د هغه کس ځان ته را نزدې کړو و تپوس ئې وکړو چې ته داسې ولې وائې؟ هغه اويل چې زمونږ شيخ فرمان دې چې يو داسې وخت به راشي چې زه به مړ کړې شم، بيا به زما وجود وسېزېدل شي، او بيا به ئې درياب ته لړه کړې شي ... درياب کښې به بيا سيلاب راشي و بغداد به پکښې ډوب شي. او که چرې ځما دستار اوبو ته لړه کړې شي نو سيلاب زور به تم شي. حماد هغه کس ته اوېل چې په منډه دې منصور دستار راوړي. چې کله اوبو ته ئې لړه کړه، په هغه سات اوبه کمې شوې. ټول خلق ئې په شش کښ واچول.

حسين منصور حلاج په بېضع کښ په 244 هجري کال پيدا شوې و. بيضع د ايران يو وړوکې غوندې ښاريه ده. دې په خپل پلار نوم باندې مشهور و ځکه چې هغه پلار اسلام قبول کړې وو و بيا ئې ايراق ته هجرت کړې و. په عربي ژبه کښې حلاج د ګډ وړۍ سکولوونکښي ته وائي. دا ئې دوئي ابائي روزګار و. د هغوئي سرچينې تعليم چا ته علم نيشته خو دومره پته ده چې منصور په شپاړس کاله عمر کښې له کور نه حق وصول د پاره اؤتو. دې ډير وليانو باندې وګرځيدو خو تسله ورته ملاؤه نشوه.

خدائ منصور ته ډير کرامات هم ورکړي ول. او دې کراماتو له وجه د ته مشکلات هم جوړ شوي ول. د به خلقو ته د زړونو حال وېل و په دې باندې خلقو دا وهم وکړو چې منصور خليفه مقتدر بالله پسې شوې دې چې هغه حکومت ړنګ کړي و په خپله خليفه جوړ شي. چې حماد بن عباس ته دا خبرې اورسېدې نو هغه د منصور ډير سخت دښمن شو ځکه چې هغه په خپله د خليفه توب عهدې ته پام و. هغه سازشونو شروع کړل چې په څه طريقه منصور نه ځان خلاص کړي.

شيخ منصور په 310 هجري کښې ونيول شو. شرعي عدالت هغه ته د مرګ سزا ورکړه خو خليفه وخت دا نه غوښتل چې دئ دې مړ کړې شي. په دې دوران کښې دوه قيصې وشوې چې زکر ئې ضروري دي.

يو ځل په زندان کښ منصور په زنځيرونو يو بند کمره کښې تړلې شوې و چې نا څاپه هغه نورو بنديانو مخته راغلو. ټول حيران شول چې دې خو بند و زمونږ مخته څرنګه راغلې. منصور ترې نه تپوس وکړو چې تاسو آزادېدل غواړې؟ بنديانو ورته وېل چې ته به مونږ څرنګه خلاص کړې چې ته په خپله باندې بند ئې. منصور ورته وېل چې دا کار ما له پرېږدې.... زه خو نه شم خلاصېدې ځکه چې زه د الله قېدي يم.

دې نه پس منصور د بنديانو ښپو ته اشاره کړه او دوئ ښپو زنځيران خپله مخه مات شول. بيا ئې ديوال ته اشاره کړه او ديوال کښې يو سورې جوړ شو. قيديانو منصور ته خواست وکړو چې دۍ دې هم دوئي سره ځان آزاد کړي خو منصور ورته وېل چې زما ازادي زما مرګ دې.

د حلاج مرګ

چې کله ټول بنديان وتښتېدل نو منصور خپل کمره ته راغلو. صبا ته چې سنتريان راغلل نو څه ګوري چې د قيد نه 300 بنديان تښتېدلي دي او د دوئ زنځيرونه او ديوالونه هر څه په خپل ځائ پراته دي. دوئي منصور نه تپوس وکړو چې دا 300 خلق چرته ورک شول؟ منصور ورته حق وېل چې دا ټول د په خپله آزاد کړي دي. چې حماد بن عباس ته پته ولږېده نو هغه د دې واقعه نه فائده واخسته و د قاضي نه ئې منصور خلاف د مرګ سزا واخستو.

دغه شان يو ځل حضرت عبد الله بن حفيف چې خپل زمانې ډير ستر شيخ و ولي پاتې شوې دې، هغه منصور ته په زندان کښې ملاويدو د پاره راغلو. حضرت صېب وائي چې کله به د لمانځه وخت راغلو نو منصور زنځيرونه به خپله مخه خلاص شول و منصور به اؤدس چاردام کولو نه پس په آرامه لمنځ وکړو. دوئي ترې نه تپوس وکړو چې ستا زنځيرونه خپله مخه خلاص شي نو ته خپل ځان ولې نه شې آزادولې؟ منصور ورته وېله چې ځه په زندان کښې بند نه يم و نه خپل تقدير نه يره کوم.

بيا هغه ورته وېل چې خپلې سترګې پټې کړه و د څه خواهش وکړه. حضرت وائي چې ما سترګې پټې کړې او چې بيا مې خلاصولې نو زه منصور سره په نشاپور (ايران) کښې ولاړ وم. وائي چې ما وړوکوالي نه ارمان ؤ چې زه نشاپور ته لاړ شم. منصور ترې نه تپوس وکړو چې نور څه غواړې؟ دوئي ورته وېل چې بس اوس مې بېرته واپس بوځه نو چې سترګې ئې بند و خلاصې کړې نو په زندان کښ بيا ناست وو.

چې سنتريانو نه حضرت تپوس وکړو نو دوئي ورته وېل چې په دغه سات کښ تاسو دواړه په کمره کښې نه وې بلکه ورک شوي وې.

دې دوه واقعاتو نه د شيخ منصور کراماتو اندازه لږېدلې شي. شيخ منصور عمر ډير خوار تېر شوې و. خلقو ډير تنګ کړې و. چا به ورته جادوګر، چا به کافر طعنه ورکوله. خو يو څو داسې کسان به هم ول چې دې به د الله په عشق کښ يو سرګردان کس ګڼلو و منله به ئې چې دې ډير اچت مقام ته رسيدلې کس دې. خو عام خلق به دې مقام په سر و لم نه پوهېدل. د انا الحق کلمه باندې خو به څوک پوهېدل نه، او که څوک په پوه شوي هم ول، دوئي به په لاس کښ د دوئي شخصيت لوبوله چې خلقو کښې انتشار خور شي. حضرت علي هجوېري رح په خپل کتاب کشف المعجوب کښ د شيخ منصور حلاج لورې کړې دې او دا زکر ئې کړې دې چې د صوفياؤ ډير داسې قيصې دي چې عام خلقو فهم و سخن باندې پوره نه پرېوځي.

Kamis, 19 April 2012

TAUHID DAN MA'RIFATULLOH

Menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari
, siapapun yang merenung secara (tafakkur)
mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan
Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan
mendapat siksa. Pada setiap zarrah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum)
sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama
Allah. Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan
Allah. Allah SWT telah berfirman,
Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik
dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari (QS 13:15).
Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai
dengan
rububiyah
Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk
ubudiyah
yang
telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Syeikh
mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang
bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian
pikirannya dalam wilayah keajaiban alam
malakut
dan kelembutan alam
jabarut
.
Sementara sang
salik
, bertasbih dengan
dzikirnya dalam lautan qolbu
. Sang
murid
bertasbih dengan
qolbunya dalam lautan pikiran
. Sang Pecinta bertasbih
dengan ruhnya dalam lautan kerinduan. Sang Arif bertasbih dengan
sirr
-nya
dalam lautan alam gaib. Dan orang
shiddiq
bertasbih dengan kedalaman
sirr
-nya

dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asma-
asma dan Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya
waktu. Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan
kerahasian
sirr-al-Asrar
dengan memandang-Nya, dalam kebaqaan-Nya.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari

membagi tauhid dalam konteks
makrifatullah menjadi empat samudera makrifat, berikut ini uraian untuk setiap
tahapan ma’rifat tauhid dengan intepretasi pribadi, yaitu :

Tauhid Af’al
sebagai pengesaan terhadap Allah SWT dari segala macam
perbuatan. Maka hanya dengan keyakinan dan penyaksian saja segala
sesuatu yang terjadi di alam adalah berasal dari Allah SWT.

Tauhid al-Asma
adalah pengesaan Allah SWT atas segala nama. Ketika
yang mewujud dinamai, maka semua penamaan pada dasarnya
dikembalikan kepada Allah SWT. Allah sebagai
Isim A’dham yang
Mahaagung
adalah asal dari semua nama-nama baik yang khayal
maupun bukan. Karena dengan nama yang Maha Agung “Allah” inilah,
Allah memperkenalkan dirinya 
Tauhid As Sifat
, adalah pengesaan Allah dari segala sifat. Dalam
pengertian ini maka manusia dapat berada dalam maqam
Tauhid as-Sifat
dengan memandang dan memusyadahkan dengan mata hati dan dengan
keyakinan bahwa segala sifat yang dapat melekat pada Dzat Allah, seperti
Qudrah
(Kuasa),
Iradah
(Kehendak), ‘
Ilm
(Mengetahui),
Hayah
(Hidup),
Sama
(mendengar),
Basar
(Melihat), dan
Kalam
(Berkata-kata) adalah
benar sifat-sifat Allah. Sebab, hanya Allah lah yang mempunyai sifat-sifat
tersebut. Segala sifat yang dilekatkan kepada makhluk harus dipahami
secara metaforis, dan bukan dalam konteks sesungguhnya sebagai suatu
pinjaman.

Tauhid az-Dzat
berarti mengesakan Allah pada Dzat. Maqam Tauhid Az-
Dzat menurut Syekh al-Banjari adalah maqam tertinggi yang, karenanya,
menjadi terminal terakhir dari pemandangan dan musyahadah kaum arifin.
Dalam konteks demikian, maka cara mengesakan Allah pada Dzat adalah
dengan memandang dengan matakepala dan matahati bahwasanya tiada
yang maujud di alam wujud ini melainkan Allah SWT Semata.
Tauhid Af’al
pada pengertian Syeikh al-Banjari akan banyak berbicara tentang
kehendak Allah SWT yang maujud sebagai ikhtiar dan sunnatullah manusia yaitu
takdir. Apakah kemudian takdir yang dialami seseorang disebut baik atau buruk,
maka itulah kehendak Allah sesungguhnya yang terealisasikan kepada semua
makhluk yang memiliki kehendak bebas untuk memilah dan memilih, dengan
pengetahuan terhadap aturan dan ketentuan yang sudah melekat padanya
sebagai makhluk sintesis yang ditempatkan dalam suatu kontinuum ruang-waktu
relatif. Tauhid Af’al adalah
Samudera Pengenalan
, di samudera inilah salik
sebagai pencari wasiat Allah harus mendekat ke pintu ampunan Allah untuk
bertobat dan menyucikan dirinya, menyibakkan pagar-pagar awal dirinya dengan
ketaatan kepada-Nya dan meninggalkan kemaksiatan pada-Nya, mendekat
kepada-Nya untuk menauhidkan-Nya, beramal untuk-Nya agar memperoleh
ridha-Nya. Kalau saya proyeksikan ke dalam sistem qolbu yang diulas
sebelumnya mempunyai tujuh karakteristik dominan, maka di Samudera
 Af’al inilah seorang salik harus berjuang untuk me-metamorfosis-kan qolbunya dari
dominasi
nafs ammarah
, menuju
lawammah
, menuju
mulhammah
, dan
mencapai ketenangan dengan
nafs muthmainnah.
Dalam Samudera Asma-asma, maka hijab-hijab tersingkap dengan masing-
masing derajat dan keadaannya. Ia yang menyingkapkan, sedikit demi sedikit
akan semakin melathifahkan dirinya ke dalam kelathifahan Yang Maha Qudus
memasuki medan
ruh ilahiah
-nya (dominasi qolbu oleh ruh yang mengenal
Tuhan). Samudera Asma-asma adalah
Samudera Munajat dan Permohonan
,
difirmankan oleh Allah SWT bahwa “
Dan bagi Allah itu beberapa Nama yang
baik (al-Asma al-Husna) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
nama-nama itu (QS 7:180).
” Di samudera inilah salik akan diuji dengan khauf
dan raja, keikhlasan, keridhaan, kefakiran, kezuhudan, dan keadaan-keadaan
ruhaniah lainnya. Di tepian Samudera Asma-asma adalah lautan kerinduan yang
berkilauan karena pendar-pendar cahaya rahmat dan kasih sayang Allah. Di
Lautan Kerinduan atau Lautan Kasih Sayang atau Lautan Cinta Ilahi, sinar
kemilau cahaya Sang Kekasih menciptakan riak-riak gelombang yang
menghalus dengan cepat, menciptakan kerinduan-kerinduan ke dalam rahasia
terdalam. Lautan Kerinduan adalah pintu memasuki hamparan
Samudera
Kerahasiaan
.
Tauhid as-Sifat
adalah
Samudera Kerahasiaan
atau
Samudera Peniadaan
karena di samudera inilah semua makhluk diharuskan untuk menafikan semua
atribut kediriannya sebagai makhluk, semua hasrat dan keinginan, kerinduan
yang tersisa dan apa pun yang melekat pada makhluk tak lebih dari suatu
anugerah dan hidayah kasih sayang-Nya semata, maka apa yang tersisa dari
Lautan Kerinduan atau Lautan
Cinta Ilahi
adalah penafian diri.
Apa yang melekat pada semua makhluk adalah
manifestasi dari rahmat dan kasih sayang-Nya yang dilimpahkan, sebagai piranti
ilahiah yang dipinjamkan dan akan dikembalikan kepada-Nya. Siapa yang
kemudian menyalahgunakan semua pinjaman Allah ini, maka ia harusmempertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Qolbu yang didominasi kerahasiaan
ilahiah didominasi kerahasiaan sirr 
dengan suluh cahaya kemurnian yang
menyemburat dari kemilau yang membutakan dari samudera yang paling rahasia
sirr al–asrar yakni
Samudera Pemurnian dari Tauhid Az-Dzat
.
Di tingkatan
Tauhid az-Dzat
segala sesuatu tiada selain Dia, inilah
Samudera
Penghambaan atau Samudera Pemurnian/Tanpa Warna
sebagai tingkatan
ruhaniah tertinggi dengan totalitas tanpa sambungan. Suatu tingkatan tanpa
nama, karena semua sifat, semua nama, dan semua af’al sudah tidak ada.
Bahkan dalam tingkat kehambaan ini, semua deskripsi tentang ketauhidan hanya
dapat dilakukan oleh Allah Yang Mandiri, “
Mengenal Allah dengan Allah
”. Inilah
maqam Nabi Muhammad SAW, maqam tanpa tapal batas, maqam Kebingungan-
kebingunan Ilahiah. Maqam dimana semua yang baru termusnahkan dalam
kedekatan yang hakiki sebagai kedekatan bukan dalam pengertian ruang dan
waktu, tempat dan posisi. Di maqam ini pula semua kebingungan, semua
peniadaan, termurnikan kembali sebagai yang menyaksikan dengan pra
eksistensinya. Ketika salik termurnikan di Samudera Penghambaan, maka ia
terbaqakan didalam-Nya. Eksistensinya adalah eksistensi sebagai hamba Allah
semata. Maka, di
Samudera Penghambaan
ini menangislah semua hati yang
terdominasi rahasia yang paling rahasia
(sirr al-asrar ),
Aku menangis bukan karena cintaku pada-Mu dan cinta-Mu padaku,
atau kerinduan yang menggelegak dan bergejolak yang tak mampu
kutanggung dan ungkapkan.
Tapi, aku menangis karena aku tak akan pernah mampu merengkuh-Mu.
Engkau sudah nyatakan Diri-Mu Sendiri bahwa “semua makhluk akan
musnah kalau Engkau tampakkan wajah-Mu.”
Engkau katakan juga,
“Tidak ada yang serupa dengan-Mu.Lantas,
bagaimanakah aku tanpa-Mu,
Padahal sudah kuhancurleburkan diriku karena-Mu.
 Aku menangis karena aku tak kan pernah bisa menyatu dengan-Mu.Sebab,
Diri-Mu hanya tersingkap oleh diriMu Sendiri
Dia-Mu hanya tersingkap oleh DiaMu Sendiri
Engkau-Mu hanya tersingkap oleh EngkauMu Sendiri,
Sebab,Engkau Yang Mandiri adalah Engkau Yang Sendiri 
Engkau Yang Sendiri adalah Engkau Yang Tak Perlu Kekasih
Engkau Yang Esa adalah Engkau Yang Esa
Engkau Yang Satu adalah Engkau Yang Satu.
Maka dalam ketenangan kemilau membutakan Samudera PemurnianMu,biarkan aku memandangMu dengan cintaMu,
menjadi sekedar hambaMu dengan ridhaMu,
seperti Muhammad yang menjadi Abdullah KekasihMu.
Penguraian tauhid yang dilakukan oleh Syekh al-Banjari memang didasarkan
pada langkah-langkah penempuhan suluk yang lebih sistematis. Oleh karena,
pentauhidan sebenarnya adalah rahasia dan ruh dari makrifat, maka dalam
setiap tingkatan yang diuraikan menjadi Tauhid Af’al, Asma-asma, Sifat-sifat dan
Dzat, sang salik diharapkan dapat merasakan dan menyaksikan tauhid yang
lebih formal maupun khusus, yang diperoleh dari melayari keempat
Samudera
Tauhid
tersebut. Hasil akhirnya , kalau tidak ada penyimpangan yang sangat
mendasar, sebenarnya serupa dengan pengalaman makrifat para sufi lainnya
yakni pengertian bahwa ujung dari makrifat semata-mata adalah mentauhidkan
Allah sebagai Yang Maha Esa dengan penyaksian dan keimanan yang lebih mantap sebagai hamba Allah.


Tahap ini memperlihatkan perbandingan
beberapa konsep sufistik yang disusun secara hirarkis,
masing-masing dengan tingkatan-tingkatan yang
sepadan sebagai suatu keserbasusunan
vertikal dan horisontal. Tahap ini tidak baku
menunjukkan hirarki sistematika kaum sufi.
Beberapa perbendaan mendasar akan
ditemui terutama karena pendekatan
dan konsep yang berbeda-beda. Informasi
yang tercantum dalam tahap adalah konsep sistematika
kesatupaduan sufistik-sains modern yang AL-FAQIR gunakan dalam risalah “KUN" perpaduan konsep dari al
dan di padu dari konsep-konsep sufistik al-Hallaj,abdul karim al-jilly ,Ibnu Arabi, Qusyairy,Hujwiri, al-Banjari,
Al-Gazhali, filsafat Integralisme, dan beberapa sumber 
lainnya ..............

PRINGSIP DAN SIFAT TAUHID

Prinsip tauhid sebenarnya berkaitan dengan totalitas tanpa sambungan.
Sehingga tidak ada pemilahan maupun parsialisasi, maupun penyatuan dan
integrasi, karena kalau itu terjadi maka prinsip tersebut tidak menunjukkan
prinsip tauhid yang hakiki. Sebagai totalitas, maka pengertian-pengertian
temporal, keruangan, dan kesadaran tidak ada. Sehingga penauhidan makhluk
kepada Yang Esa adalah penafian segala sesuatu yang baru. “
Tidak ada Tuhan
selain Allah
”, adalah penafian atas segala makna-makna yang terpahami oleh
sesuatu yang baru itu yakni semua makhluk. Maka, makhluk sebenarnya hanya
dapat memahami tauhid sebagai Allah SWT Yang Esa dari sisi ilmu dan
pengetahuan-Nya saja. Diluar itu adalah
Kebingungan Ilahiah
. Ketika sesuatu
yang baru berjalan menyingkap dan menyaksikan sesuatu yang baru lainnya,
maka pada posisi paling akhirnya, yang baru akan tenggelam di dalam hakikat
totalitas. Ketika seseorang sebagai yang baru tenggelam dalam kesaksian akan
Yang Maha Esa, maka yang akan nampak sebagai hakikat segala yang ada
apakah itu kelembutan, kemesraan, keindahan, keagungan, atau pun yang
lainnya, tidak lebih dari Af’al, Asma,Sifat dan Dzat Yang Esa itu sendiri. Maka
Samudera Tauhid adalah samudera yang menenggelamkan samudera lainnya.
Dalam pengertian yang lebih modern, Samudera Tauhid adalah medan didalam
medan, didalam medan, didalam medan, dan seterusnya yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Kalau saya kaitkan pengertian ini dengan pendekatkan Teori
Kuantum Qolbu yang telah diuraikan dalam Bab 5, maka menjadi jelas bahwa
Qolbu Mukminin adalah qolbu yang mampu menampung ketauhidan Allah SWT
Yang Esa, yang pengertiannya selaras seperti dikatakan oleh sabda Rasulullah
SWT “
Qolbu Mukminin adalah Singgasana Allah.
Dalam pengertian yang lebih khusus maka seorang Mukminin adalah hamba
Allah, adalah dia yang menafikan dirinya sendiri sebagai dirinya yang mampu
menampung segala sesuatu yang baru
(Laa illaaha), 
yang ada hanya “Allah
SWT”
(illaa Allaah). 
Sehingga prinsip tauhid sebagai suatu totalitas adalah yang

mampu meluruhkan segala sesuatu (ilmu pengetahuan). Maka prinsip tauhid
adalah “
Yang Ada
” hanyalah “
Dia
” -
Allah SWT Yang Maha Esa
”.
Sifat paling mendasar dalam tauhid karena itu adalah “
La ilaaha illaa Allah
”.
Didalam pernyataan yang meniadakan Yang lain Selain Allah ini maka terdapat
lima aspek penetapan paling mendasar yang harus diyakini. Kelima aspek ini
menurut Al-Ghazali adalah :

Adanya
Al-Bari SWT(Pencipta)
, untuk menolak peniadaannya (
ta’thil ).

Keesaan Allah SWT, untuk meniadakan selainnya atau
syirik
.

Penyucian Dzat Allah dari segala bentuk
al-aradh
atau
al-jauhar
(substansi), atau Penyucian dari segala yang baru, sehingga dengan
keduanya tidak terjadi penyerupaan (at-tasybih). “
Laisya Kamitslihi Syai-un 
(Tak ada yang serupa dengan-Nya)
”.

Segala ciptaan-Nya didasarkan pada keinginan dan kehendak-Nya
(yangeksis dengan kemandirian-Nya), 
agar ia suci dari persoalan sebab akibat.
Maka yang baru selain-Nya eksis dengan limpahan “
Basmalah
” dan
kehendak “
kun fa yakuun
”.

Dialah yang mengatur segala yang diciptakan-Nya, tidak diatur oleh alam,
bintang, dan tidak juga oleh malaikat. Karena Dialah yang Maha Mendidik
dan Memelihara
(Rabb al Aalamin) 
dan juga dialah yang memberikan
limpahan rahmat dan kasih sayang
(ar-Rahmaan ar-Rahiim).
Akan tetapi, sifat mendasar tauhid ini “
La ilaaha ilallaah
” berlaku pada semua
makhluk yang berada dalam karakteristiknya yang paling mendasar atau
elementer. Kendati sifat mendasar ini menjadi jembatan antara pentauhidan
Allah oleh manusia dan pentauhidan Allah oleh Allah, maka sifat mendasar ini hanya berlaku dalam tingkatan hakikat. Secara eksoteris atau fisikal, yang paling
elementer adalah hakikat tetapi bukan
al-Haqq
sebagai Hakikat Hakiki. Maka,
makhluk sintesis seperti manusia dan jin yang dinisbahkan sebagai yang
diciptakan untuk menyembah Allah harus memulai pentauhidan dari tauhid yang
lebih formal bagi dirinya (sebagai makhluk sintesis bukan makhluk elementer).
Maka ia harus mengikuti tauhid yang dinisbahkan kepada hamba dan kekasih
Allah yang membawa rahmat yaitu Nabi Muhammad SAW. Sifat tauhid bagi
manusia dan jin karena itu adalah kalimah syahadat, “
La ilaaha illaa Allah SWT,
Muhammadurrasulullah
”. Maka, bisa disimpulkan bahwa syahadat adalah
hakikat Rahmat dan Kasih Sayang Allah yang Maha Memelihara karena Dia
Maha Tahu kapabilitas semua makhluk-Nya karena Dialah yang menentukan
masing-masing potensi dan kadarnya sejak awal mula makhluk diciptakan.
Secara langsung pengertian ini merujuk pada pengertian yang umum dari surat
al-Fatihah sebagai Pembuka, sebagai surat wajib yang harus dibaca Muslim
dalam setiap rakaat shalat, maka tanpa al-Fatihah shalat tidak sah. Dengan
demikian, maka syariat sebagai penghambaan kepada sifat
Uluhiyah
-Nya
terkonfirmasikan sebagai
ubudiyah
manusia dan jin dengan perintah-perintah
Allah dan larangan-laranganNya, yaitu
shalat lima waktu
sebagai hukum yang
harus dipatuhi atau
wajib
. Jadi, pengertian merobohkan tiang-tiang agama Islam
kalau seseorang ber-KTP Islam tidak melaksanakan shalat lima waktu menjadi
jelas. Sehingga manusia yang menolak syariat dikatakan akan menjadi zindiq
dan bagi yang menolak sifat mendasar tauhid berupa dzikir sebagai hakikat
dikatakan menjadi fasik. Dengan demikian, secara utuh dikatakan bahwa tidak
ada makrifat tanpa akidah(tauhid)-syariat-hakikat maka senyatanya
kesatupaduan aqidah – syariat – tarekat – hakikat yang mengendap dalam
setiap Muslim lahir dan batin adalah kesatupaduan makrifat itu sendiri.
Dengan pengertian tauhid yang demikian, maka prosesi penauhidan adalah
prosesi yang dibarengi dengan suatu keadaan penghambaan dan pengetahuan,
bukan penentangan dan kebodohan. Penentangan dan kebodohan inilah yang dimaujudkan oleh Iblis sebagai hasil dari kebodohan yang menimbulkan
kesombongan karena kadarnya tidak mempunyai kapasitas untuk menampung
aspek keilmuan dari peribadahannya yang telah ia lakukan menurut sementara
tafsir ribuan tahun, ia taklid buta sehingga sifat-sifat Tuhannya tak dipahami, dan
akibat dari Iblis sendiri tidak memahami konsep rahmat dan kasih sayang karena
ia tidak mengetahui hakikat penciptaan. Akhirnya yang muncul adalah kebencian
yang menjadi iri dan dengki kepada Adam yang diciptakan untuk memiliki potensi
ilmu pengetahuan dengan akal pikirannya dan potensi untuk penyingkapan untuk
mengenal Af’al, Asma-asma dan Sifat-sifat Tuhannya. Tipu muslihat Iblis untuk
menjadikan dirinya Tuhan kedua digagalkan oleh Allah SWT dengan telak,
karena Allah Maha Mengetahui, sedangkan Iblis tidak memahami sifat-sifat
Tuhan seperti apa (dalam arti Tuhan itu memiliki sifat seperti apa? Baik ilustratif
maupun berupa realitas penciptaan - Iblis benar-benar tidak tahu. Maka
muncullah keakuannya bahwa diapun pantas menjadi tuhan), sehingga iapun
dikutuk dan terputus dari rahmat Tuhan. Inilah esensi pembangkangan Iblis. Jadi,
menurut saya banyak sebenarnya sufi generasi terdahulu yang keliru ketika
menafsirkan dialog Tuhan dan Iblis di dalam Al Qur’an sehingga kemudian muncul kesimpulan “Iblis Pecinta Ilahi”, “Iblis
memahami Tauhid”, dan kesimpulan lain yang menyesatkan... SEMOGA SELALU DALAM BIMBINGANNYA AMIIIN 

PENGERTIAN TAJALLI II

kemudian
Anta
(Engkau), lantas
Hu
, akhir segala sesuatu adalah membisu.
Kusyairkan saja tauhid seperti berikut,
Dalam gelombang samudera Asma dan SifatNya,
si hamba melihat hakikat dari yang dilihat,
“Tidak ada sesuatu seperti Dia (Laisa kamitslihi Syai-un)”,
karena sesuatu itu adalah Huwa (Dia).
Dalam gelombang samudera Asma dan SifatNya,
pijakan dan rahasia yang mantap mengakhiri kemabukan,
medan Sirr Al Asrar membuka,
di atas Air Samudera Kemahakuasaan (‘Arsy)-Nya,
kuncup bunga mulai mekar membuka,
tampilkan kelopak aneka warna dan rupa,
wangi semerbak menyelimutinya dalam kelembutan kasih sayang yang
tercurah sebagai rahmat-Nya,
lantas si hamba yang mandiri berkata “Huwa (Dia)”.
Dalam gelombang yang semakin menenang,
dalam keheningan malam tak berbintang,
dia berada dibatas-batas antara tanpa tapal batas,
antara nafs dan ruh,
jaraknya cuma sedekat “Qabaa Qausaini (sedekat dua ujung busur
panah)”, bahkan lebih dekat lagi.
Ketika batas-batas ketetapan telah terlampaui,
si hamba akan berkata “Anta (Engkau)”.
Si hamba pun bisu.
Tanpa kabar. Tanpa berita.
Lantas “Hu”,
menyeruak mandiri dengan kemurnian Nur awal mula
yang menyaksikan Allah Yang Esa,
Iapun menjadi hamba Allah semata.
Ketika si hamba mengatakan “
Huwa
” maka dimulailah tahap awal kefanaan
dirinya, sedangkan tahap akhir dimana si hamba mengatakan “
Anta
”, itulah fana
yang sebenarnya. Pada kondisi fana sebenarnya inilah dikatakan oleh Abu Yazid
Al-Busthami
[16]
bahwa “
segala bentuk rumus dan/atau bahasa tidak mampu
mengutarakannya
”. Kemudian, dalam kesunyian fana dirinya didalam-Nya,
pemurnian dalam kebaqaan-Nya menyeruakkan “
Hu
” sebagai ingatan yang
kembali muncul tiba-tiba karena semua aspek
lathifah (halus)
dirinya termunikan
sejak penyaksian pra-eksistensi dirinya (QS 7:172), sebagai tapal batas terakhir
kemakhlukannya. Pada akhirnya yang menjadi awalnya, totalitas dirinya yang
termurnikan dalam kebaqaanNya adalah hakikat
ubudiyah
nya sebagai hamba
Allah yang menjalani ketaatan dengan ilmu-Nya, yang mematuhi semua
perintah-Nya dan larangan-Nya, yang menyelaraskan diri dengan sunnatullah
dan kehendak Allah (yakni ridha atas semua takdir Allah), dan yang mengikuti
sunnatulrosul.
Hakikat-hakikat sufistik yang menyingkapkan hubungan manusia dengan
Tuhannya pada akhirnya memang seringkali membingungkan kalangan yang
awam dan tidak teliti. Kendati seringkali disalahpahami sebagai
HULLUL (penyuntikan) atau inkarnasi dalam ungkapan-ungkapan verbal al-Hallaj (ana al-
Haqq, Akulah Kebenaran) maupun Abu Yazid (Subhanii, Mahasuci Aku), maka
sebenarnya tidak perlu terjadi kesalahpahaman dari apa yang diungkapkan oleh
kedua sufi tersebut. Pengertian hulul atau inkarnasi sendiri jelas-jelas
sebenarnya tidak memadai, atau bahkan sebenarnya salah sama sekali, untuk
menjelaskan ungkapan-ungkapan dzauqi sufistik dalam tingkatan fana dan baqa.
Karena sejatinya, apa yang dimaksud oleh al-Hallaj maupun Abu Yazid memang
bukan hulul atau inkarnasi, tetapi suatu pemurnian (ISYQ) dimana akhlak
manusia yang fana dan terbaqakan didalam-Nya termurnikan adalah dia yang
kembali menyadari kehambaan dirinya dihadapan Allah SWT Yang maha Esa.
Dan dalam hal ini totalitas tauhid sebagai suatu pengakuan atau ikrar bagi
semua Umat Islam dimana-mana sama yaitu dengan mengikuti apa yang
disebutkan oleh Nabi SAW yaitu kalimat syahadat. Namun yang menjadi
pedoman adalah yang ada di dalam qolbu atau hati, dan bukan yang keluar dari
lisan.
DEMIKIANLAH SEDIKIT URAIAN AL-FAQIR TENTANG TAJALLI (KELIHATAN / NAMPAK ) SEMOGA MENJADI JALAN BUAT SAUDARAKU FILLAH SEMUANYA AGAR MENCAPAI TITIK TEMU DALAM WASHILAH RUBUBIYAH 

PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI

JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...

KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN











AlkisAnnabila