tauhid adalah kewajiban yang pertama kali dalam islam, dan semua ibadah tidak diterima dan tidak sah kecuali dengannya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan rukun Islam yang lainnya—dalam hadits Mu’adz—setelah melaksanakan tauhid, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Maka hendaklah pertama kali yang kamu serukan kepada mereka adalah, agar mereka mentauhidkan Allah ta’ala. Apabila mereka telah mengetahui hal itu maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat 5 kali sehari semalam, dan apabila mereka telah shalat maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat pada harta mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka dan diberikan kepada orang miskin di antara mereka dan hati-hatilah dengan kemuliaan harta manusia.” (Hadits ini Muttafaqun ‘alaih dengan menggunakan lafal Al-Bukhari no. 7372)
Oleh karena itu, wajib bagi setiap hamba untuk memahami 2 macam tauhid tersebut, dan dia juga harus memahami bahwa imannya tidak sah kecuali dengan memenuhi keduanya dan sesungguhnya ini merupakan kewajiban hamba baik secara ilmu maupun secara amal.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
“Tidak Aku ciptakan jin dan Manusia melainkan hanya untuk beribadah [1] kepada-Ku.” (QS. Adz –Dzariyat : 56)
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (untuk menyerukan) "Beribadalah kepada Allah (saja) dan jauhilah thoghut.” [2] (QS. An – Nahl : 36)
“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan, dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS. Al - Isra' : 23- 24)
“Janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, agar kamu tidak menjadi terhina lagi tercela”. (QS. Al Isra' : 22). Dan diakhiri dengan firmanNya : “Dan janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, sehingga kamu (nantinya) dicampakkan kedalam neraka jahannam dalam keadaan tercela, dijauhkan (dari rahmat Allah)”. (QS. Al Isra' : 39).
Dan Allah mengingatkan kita pula tentang pentingnya masalah ini, dengan firmanNya : “Itulah sebahagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu”. (QS. Al Isra' : 39).
Satu ayat yang terdapat dalam surah An-Nisa', disebutkan didalamnya 10 hak, yang pertama Allah memulainya dengan firmanNya : “Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah (saja), dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (QS. An - Nisa' : 36).
“Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu " Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tuamu, dan janganlah kamu membunuh anak anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan perbuatan yang keji, baik yang nampak diantaranya mahupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun dia adalah kerabat(mu). Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al - An'am : 151- 153)
Ibnu Mas'ud Radhiyallahu ‘anhu berkata : "Barang siapa yang ingin melihat wasiat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tertera di atasnya cincin stempel milik beliau, maka supaya membaca firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : "Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu "Janganlah kamu berbuat syirik sedikitpun kepadaNya”, dan "Sungguh inilah jalan-Ku berada dalam keadaan lurus, maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kalian ikuti jalan-jalan yang lain. [3] "
Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu berkata : "Aku pernah diboncengkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas keledai, kemudian beliau berkata kepadaku : "Wahai Mu’adz, tahukah kamu apakah hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hambaNya, dan apa hak hamba-hambaNya yang pasti dipenuhi oleh Allah?”. Aku menjawab : "Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui". Kemudian beliau bersabda : "Hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hambaNya ialah hendaknya mereka beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah ialah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun”. Lalu aku bertanya : “ya Rasulullah, bolehkah aku menyampaikan berita gembira ini kepada orang-orang?”. Beliau menjawab : "Jangan engkau lakukan itu, kerana khawatir mereka nanti bersikap pasrah". (HR. Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS:Asy Syams ayat 8-9) Ibnu Katsir dalam tafsirnya, mengutip dari pendapat Qotadah. Dan sebuah riwayat dari Mujahid, Ikrimah dan Jubair, menafsirkan ayat yang pertama, bahwa maksud mensucikan (membersihkan) jiwa adalah dari sifat-sifat yang kotor dan akhlak-akhlak yang rendah. (tafsir Ibnu Katsir 8/412)
Berbicara tentang tasawuf alangkah baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu apa itu tasawuf? Tasawuf secara bahasa berasal dari kata, 'shofa' yang berarti bersih/jernih, serta dari kata 'man shofa qolbahu minalqadr' orang yang membersihkan hatinya dari kekeruhan. Secara istilah tasawuf adalah suatu ilmu yang mana dengan ilmu tersebut seseorang dapat mengetahui keadaan hatinya, baik dan jeleknya hati tersebut, cara membersihkan hati yang jelek, dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang terpuji, serta cara mendekatkan diri kepada sang Khalik.
Berbicara tentang tasawuf alangkah baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu apa itu tasawuf? Tasawuf secara bahasa berasal dari kata, 'shofa' yang berarti bersih/jernih, serta dari kata 'man shofa qolbahu minalqadr' orang yang membersihkan hatinya dari kekeruhan. Secara istilah tasawuf adalah suatu ilmu yang mana dengan ilmu tersebut seseorang dapat mengetahui keadaan hatinya, baik dan jeleknya hati tersebut, cara membersihkan hati yang jelek, dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang terpuji, serta cara mendekatkan diri kepada sang Khalik.
Sedangkan menurut Cendekiawan Islam Mesir syekh DR. Yusuf al-Qardhawi, tasawuf dalam agama ialah memperdalam kearah bagian rohaniah, ubudiyah, dan perhatiannya lebih spesifik seputar masalah itu. Tapi secara sederhana Ketua Umum PBNU Said Aqil siradj mengartikan tasawuf dengan, ilmu yang bicara tentang hati, dan tidak ada kaitannya dengan ilmu duniawi. Para pelaku tasawwuf bisa memiliki profesi apa saja, bisa seorang pedagang, politisi, ilmuwan dan lainnya. Tasawwuf membantu menata hati setiap manusia untuk menuju kepada Allah.
Menurutnya, ilmu tasawwuf pertama kali didefinisikan oleh Ali bin Musa al Kadhim, imam Syiah yang ke delapan. Dimana tasawwuf adalah mencari hakikat dari kepalsuan, dicontohkannya, belum tentu wanita yang memakai jilbab itu lebih baik dari yang tidak memakai, jika hatinya ternyata lebih baik dari yang memai jilbab.
Dari beberapa pengertian ini dapat kita pahami bahwa topik-topik yang jadi bahasan ilmu tasawuf adalah urusan hati. Hati menurut Al-Ghozali adalah sumber dari segala apa yang kita lakukan, anggota tubuh jika kita ibaratkan hanyalah anak buah, dan hati adalah rajanya. Manakala hati itu baik maka baiklah semua anggota tubuh, dan jika hati itu buruk maka buruklah apa yang dikerjakan anggota tubuh.
Disisi yang lain, yang menjadi sorotan ilmu tasawuf adalah permasalahan ahlak/tatakrama, baik akhlak kita dengan Allah SWT, atau kepada sesama. Urusan hati dan akhlak ini sangat penting, karena jika apa yang kita lakukan dalam permasalahan ibadah tanpa didasari oleh manajemen hati yang baik, maka ada kemungkinan ibadah yang kita lakukan itu tidak bernilai. Seperti contoh sedekah atau sholat yang didasari oleh riya (pamer) secara syariat (fiqih) sholat dan sedekah tersebut sah-sah saja. Tapi dalam pandangan tasawuf, sedekah atau sholat yang didasari oleh riya adalah kurang bernilai. Ada banyak ayat Alqur’an yang mengecam akan ibadah yang dilakukan tidak semata-mata karena Allah ini.
Menurutnya, ilmu tasawwuf pertama kali didefinisikan oleh Ali bin Musa al Kadhim, imam Syiah yang ke delapan. Dimana tasawwuf adalah mencari hakikat dari kepalsuan, dicontohkannya, belum tentu wanita yang memakai jilbab itu lebih baik dari yang tidak memakai, jika hatinya ternyata lebih baik dari yang memai jilbab.
Dari beberapa pengertian ini dapat kita pahami bahwa topik-topik yang jadi bahasan ilmu tasawuf adalah urusan hati. Hati menurut Al-Ghozali adalah sumber dari segala apa yang kita lakukan, anggota tubuh jika kita ibaratkan hanyalah anak buah, dan hati adalah rajanya. Manakala hati itu baik maka baiklah semua anggota tubuh, dan jika hati itu buruk maka buruklah apa yang dikerjakan anggota tubuh.
Disisi yang lain, yang menjadi sorotan ilmu tasawuf adalah permasalahan ahlak/tatakrama, baik akhlak kita dengan Allah SWT, atau kepada sesama. Urusan hati dan akhlak ini sangat penting, karena jika apa yang kita lakukan dalam permasalahan ibadah tanpa didasari oleh manajemen hati yang baik, maka ada kemungkinan ibadah yang kita lakukan itu tidak bernilai. Seperti contoh sedekah atau sholat yang didasari oleh riya (pamer) secara syariat (fiqih) sholat dan sedekah tersebut sah-sah saja. Tapi dalam pandangan tasawuf, sedekah atau sholat yang didasari oleh riya adalah kurang bernilai. Ada banyak ayat Alqur’an yang mengecam akan ibadah yang dilakukan tidak semata-mata karena Allah ini.
Syariat, thoriqot dan hakekat, masih sering diartikan salah oleh banyak orang. Perlu dipahami bahwa syariat (syari’ah), tarekat (thoriqoh) dan hakekat (haqiqoh), hanyalah istilah metodelogi yang dirumuskan oleh para sufi dalam cara pencapaian manusia menuju Rabb-nya. Menurut Syekh Nawawi Albantani, ada tiga jalan yang harus dilalui oleh seseorang yang ingin sampai dekat dengan Allah SWT.
Pertama: Syari'ah. Kata syariat pada asalnya digunakan untuk arti 'tempat sampainya manusia dalam mencari minum', namun berdasarkan istilah dalam tasawuf mengandung arti 'mengerjakan apa-apa yang diperintahkan, dan meninggalkan apa-apa yang dilarang'. Atau hukum-hukum yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dipahami oleh para ulama dari Alqur’an dan Hadits, baik secara nash atau istinbath (penggalian hukum dari Alqur’an atau Hadits).
Kedua: Thoriqoh, yaitu meneliti betul tingkah laku yang pernah dikerjakan Nabi, dan berusaha untuk mengamalkannya.
Ketiga: Haqiqoh, adalah hasil/buah daripada Thoriqoh.
Syekh Jainuddin al-Malaybari merefleksikan akan tiga hal ini dalam sebuah syair. ”Fasyriatun kasafinatin wa thoriqotuun kalbahri tsumma haqiqotun dzurrun gholaa” (Syariat adalah laksana perahu, sedangkan thoriqot adalah lautan, kemudian hakikat itu adalah mutiara yang sangat mahal). Dari syair yang pendek ini bisa kita fahami bahwa, kenapa syariat diumpamakan perahu, karena perahu adalah sesuatu yang dapat mengantarkan pada tempat tujuan, dan selamat dari segala kerusakan. Thoriqot diumpamakan lautan yang didalamnya terdapat mutiara dan menggambarkan bahwa lautan ini adalah tempat apa yang kita maksud dan hakikat diumpamakan mutiara yang agung dan sangat mahal harganya. Ini mengisyaratkan kepada kita bahwa mutiara itu tidak bisa kita temukan kecuali dalam lautan. Dan kita tidak akan sampai pada lautan itu kecuali dengan menggunakan perahu.
Jadi tiga komponen ini harus harus dimiliki oleh seseorang yang menghendaki dirinya dekat dengan Allah SWT. Jika kita hanya mengambil salah satunya saja, sudah barang tentu apa yang kita kehendaki tidak akan berhasil. Syariat tanpa hakikat adalah kehampaan, hakikat tanpa syariat adalah bathil. Para ulama tasawuf sepakat jika ada seseorang mengaku wali dan mengatakan, bahwa dirinya telah terbebas dari hukum-hukum Allah (syariat) maka sungguh orang tersebut adalah telah gila.
Nah dibalik itu semua ada Kasyf (terbukanya mata batin). Ada sebagian orang yang tidak mempercayai akan hal ini, dan kiranya perlu suatu bukti, dan bukti itu tidak harus dari Alqur’an dan Hadits. Dari sebuah sejarah saja cukup, mungkin jika kita membaca sejarah Islam pastilah kita akan ingat kisah ini, yaitu tentang kejadian sahabat Umar RA yang berteriak ditengah-tengah khutbahnya: “Awas, berlindunglah kalian dibalik bukit itu!” sahabat Umar saat itu mengalami kasyf, mengetahui bahwa diatas bukit, musuh sedang mengawasi pasukan Islam. Atas situasi tersebut, Umar memperingatkan pasukan Islam yang saat itu sedang berperang disuatu tempat, padahal beliau sedang berada diatas mimbar masjid, tetapi suara beliau terdengar sampai ketengah-tengah pasukan Islam. Hal ini tentu merupakan salah satu bukti karamah beliau.
Anas bin Malik menceritakan pengalamannya: saya bertamu ke rumah Usman bin Affan. Sebelumnya, ditengah jalan, saya bertemu dengan seorang wanita. Saya sempat meliriknya dan membayangkan kecantikannya. Ketika saya masuk ke rumah Usman, beliau berkata: “Ada salah seorang dari kalian yang masuk kerumahku dan ada sisa-sisa zina nampak dimatanya! Tidakkah kamu tahu bahwa zina mata adalah memandang (pada sesuatu yang dilarang)? kamu mau bertaubat, atau saya hukum kamu?” saya bertanya kepadanya: adakah wahyu setelah Nabi? Jawab beliau: “Tidak, tetapi saya tahu (kejadian tentangmu) berdasarkan firasat yang benar. Dalam sebuah hadits Nabi bersabda: “Berhati-hatilah dengan firasat orang yang beriman, karena ia melihat dengan 'nur' Allah SWT”.
Sementara itu bagaimana tasawuf dalam kontek bernegara? Tasawuf, atau boleh kita katakan ilmu hati, sangatlah penting untuk dimiliki oleh setiap individu, apalagi para pejabat negara, karena tasawuf yang lebih mengedepankan esensi kehidupan, kesederhanaan, kejernihan hati, peduli terhadap sesama, lebih mementingkan rohani, dan menghilang sifat-sifat jelek, seperti sombong, rakus akan dunia dan memproporsionalkan nafsu.
"Jalan seperti itu merupakan pilihan paling tepat dan mampu meningkatkan pembangunan bangsa menuju indonesia yang makin maju, adil, dan sejahtera,”
Pertama: Syari'ah. Kata syariat pada asalnya digunakan untuk arti 'tempat sampainya manusia dalam mencari minum', namun berdasarkan istilah dalam tasawuf mengandung arti 'mengerjakan apa-apa yang diperintahkan, dan meninggalkan apa-apa yang dilarang'. Atau hukum-hukum yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dipahami oleh para ulama dari Alqur’an dan Hadits, baik secara nash atau istinbath (penggalian hukum dari Alqur’an atau Hadits).
Kedua: Thoriqoh, yaitu meneliti betul tingkah laku yang pernah dikerjakan Nabi, dan berusaha untuk mengamalkannya.
Ketiga: Haqiqoh, adalah hasil/buah daripada Thoriqoh.
Syekh Jainuddin al-Malaybari merefleksikan akan tiga hal ini dalam sebuah syair. ”Fasyriatun kasafinatin wa thoriqotuun kalbahri tsumma haqiqotun dzurrun gholaa” (Syariat adalah laksana perahu, sedangkan thoriqot adalah lautan, kemudian hakikat itu adalah mutiara yang sangat mahal). Dari syair yang pendek ini bisa kita fahami bahwa, kenapa syariat diumpamakan perahu, karena perahu adalah sesuatu yang dapat mengantarkan pada tempat tujuan, dan selamat dari segala kerusakan. Thoriqot diumpamakan lautan yang didalamnya terdapat mutiara dan menggambarkan bahwa lautan ini adalah tempat apa yang kita maksud dan hakikat diumpamakan mutiara yang agung dan sangat mahal harganya. Ini mengisyaratkan kepada kita bahwa mutiara itu tidak bisa kita temukan kecuali dalam lautan. Dan kita tidak akan sampai pada lautan itu kecuali dengan menggunakan perahu.
Jadi tiga komponen ini harus harus dimiliki oleh seseorang yang menghendaki dirinya dekat dengan Allah SWT. Jika kita hanya mengambil salah satunya saja, sudah barang tentu apa yang kita kehendaki tidak akan berhasil. Syariat tanpa hakikat adalah kehampaan, hakikat tanpa syariat adalah bathil. Para ulama tasawuf sepakat jika ada seseorang mengaku wali dan mengatakan, bahwa dirinya telah terbebas dari hukum-hukum Allah (syariat) maka sungguh orang tersebut adalah telah gila.
Nah dibalik itu semua ada Kasyf (terbukanya mata batin). Ada sebagian orang yang tidak mempercayai akan hal ini, dan kiranya perlu suatu bukti, dan bukti itu tidak harus dari Alqur’an dan Hadits. Dari sebuah sejarah saja cukup, mungkin jika kita membaca sejarah Islam pastilah kita akan ingat kisah ini, yaitu tentang kejadian sahabat Umar RA yang berteriak ditengah-tengah khutbahnya: “Awas, berlindunglah kalian dibalik bukit itu!” sahabat Umar saat itu mengalami kasyf, mengetahui bahwa diatas bukit, musuh sedang mengawasi pasukan Islam. Atas situasi tersebut, Umar memperingatkan pasukan Islam yang saat itu sedang berperang disuatu tempat, padahal beliau sedang berada diatas mimbar masjid, tetapi suara beliau terdengar sampai ketengah-tengah pasukan Islam. Hal ini tentu merupakan salah satu bukti karamah beliau.
Anas bin Malik menceritakan pengalamannya: saya bertamu ke rumah Usman bin Affan. Sebelumnya, ditengah jalan, saya bertemu dengan seorang wanita. Saya sempat meliriknya dan membayangkan kecantikannya. Ketika saya masuk ke rumah Usman, beliau berkata: “Ada salah seorang dari kalian yang masuk kerumahku dan ada sisa-sisa zina nampak dimatanya! Tidakkah kamu tahu bahwa zina mata adalah memandang (pada sesuatu yang dilarang)? kamu mau bertaubat, atau saya hukum kamu?” saya bertanya kepadanya: adakah wahyu setelah Nabi? Jawab beliau: “Tidak, tetapi saya tahu (kejadian tentangmu) berdasarkan firasat yang benar. Dalam sebuah hadits Nabi bersabda: “Berhati-hatilah dengan firasat orang yang beriman, karena ia melihat dengan 'nur' Allah SWT”.
Sementara itu bagaimana tasawuf dalam kontek bernegara? Tasawuf, atau boleh kita katakan ilmu hati, sangatlah penting untuk dimiliki oleh setiap individu, apalagi para pejabat negara, karena tasawuf yang lebih mengedepankan esensi kehidupan, kesederhanaan, kejernihan hati, peduli terhadap sesama, lebih mementingkan rohani, dan menghilang sifat-sifat jelek, seperti sombong, rakus akan dunia dan memproporsionalkan nafsu.
"Jalan seperti itu merupakan pilihan paling tepat dan mampu meningkatkan pembangunan bangsa menuju indonesia yang makin maju, adil, dan sejahtera,”
Seperti diriwayatkan Imam Ahmad bin Hambal RA. berkata kepada anaknya yang bernama Abdullah: “Wahai anakku tetaplah dengan ilmu hadits, dan jauhilah mereka-mereka yang mengatasnamakan dirinya dengan sufiyah (pengamal ilmu tasawuf) karena terkadang sebagian mereka bodoh akan hukum-hukum agama. Tetapi semenjak Imam Ahmad bin Hambal berkawan akrab dengan Aba Hamzah al-Baghdadi (seorang ulama sufi) dan setelah Imam Ahmad bin Hambal mengetahui langsung akan keadaan dan tingkah para sufi, Imam Ahmad bin Hambal berkata kepada anaknya: “Wahai anakku, kau harus selalu dekat dengan para sufiyah (pengamal ilmu tasawuf) karena mereka telah menambahkan banyaknya ilmu kepada kami, dan muroqobah ( selalu dalam penglihatan Allah) dan rasa takut kepada Allah, zuhud, dan tingginya cita-cita.
Imam Assyafii dan Imam Ahmad, keduanya sering menghadiri mejlis sufiyah (pengamal ilmu tasawuf) lalu ada yang bertanya kepada beliau, "Kenapa kalian berdua sering menghadiri majelis orang-orang bodoh itu? Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menjawab; “Sesungguh ada pada mereka pokok segala perkara, yaitu taqwa, cinta kepada Allah, dan ma’rifat kepada-Nya".