Sekarang, apapun kehendak-Mu pada diriku akan aku ikuti saja tanpa protes, tanpa bertanya-tanya. Apakah karena kehendak-Mu itu hatiku menjadi senang atau sedih, susah atau gembira, derita atau bahagia, terserah. Bencana dan keberuntungan bagiku sama saja asalkan itu semua adalah demi untuk melayani-MU.
Hati yang peka, mampu menangkap getaran keberadaan serta petunjuk Tuhan. Sebaliknya, hati yang keras membatu, tidak akan mampu merasakan keberadaan dan petunjuk Tuhan. Itu sebabnya di dalam agama, kita diminta untuk melembutkan hati. Hati yang lembut adalah modal dasar agar seseorang itu mampu untuk merasakan berbagai sifat-sifat-Nya dan membuat seseorang itu mengalami KESAKSIAN.
Sebenarnya, Tuhan sudah menganugerahi setiap manusia yang hidup di dunia hati yang peka. Cobalah amati anak-anak, bagaimana dia rebutan mainan dengan temannya. Bagaimana dia sedih dan menangis bila tiba-tiba ditinggal ibunya pergi ke pasar. Itu karena, anak-anak memiliki hati yang peka.
Seiring berjalannya waktu, anak-anak akan tumbuh remaja dan menjadi dewasa. Kepekaan hati anak-anak itu semakin berkurang sedikit demi sedikit. Akibat dominannya otak untuk merasionalisasikan kejadian-kejadian. Misalnya, buat apa menangisi ibu yang pergi ke pasar? Toh, dia nanti akan pulang ke rumah juga. Buat apa sedih ditinggal pacar? Toh kita bisa cari lagi yang lebih cantik dan sebagainya.
Otak pada orang dewasa kemudian berkuasa di atas hati. Hati tersisihkan dan terpinggirkan bahkan kemudian bisa jadi kalau bisa ditekan dan dihilangkan. Hanya pada saat-saat tertentu saja, orang dewasa merasa butuh untuk menggunakan hatinya. Namun secara umum, mereka adalah makhluk rasional (animal rationale) yang suka bermain-main dengan otaknya.
Kecerdasan intelektual lebih dominan dibandingkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Di dunia kerja, orang dewasa dituntut untuk pintar dan cerdas dibanding tuntutan untuk mampu menguasai emosi dan tuntutan untuk mampu mengerti hakikat-hakikat (kecerdasan spiritual).
Celakanya, bila manusia dewasa tidak mampu untuk menggerakkan otaknya, rasionya, nalarnya untuk menghayati betapa perlunya kita kembali mengolah kepekaan hati dan rasa maka lambat laun hatinya akan menjadi mati. Penderitaan orang lain dipahami sebagai hubungan sebab akibat dari sebuah hukum alam semata, ketimbang sebagai fenomena yang harus dibantu dan ditolong untuk dientaskan dari penderitaan.
Manusia itu seperti daun. Lambat laun daun yang hijau bugar akan menguning, tua dan gugur ke tanah. Di tanah, daun yang gugur akan diurai lagi oleh cacing dan bakteri-bakteri mikroba untuk menjadi tanah lagi. Persis manusia.
Sangat celaka bila pada masa senja dan mati, manusia tidak pernah mampu mengenal siapa Tuhan. Tidak memiliki referensi dan wacana yang holistik tentang hakikat perjalanan hidupnya di dunia yang hanya sesaat ini. Tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran bahwa tujuan hidupnya adalah untuk mengabdi pada kehendak Tuhan.
Untunglah Tuhan Maha Welas Asih, sehingga Tuhan memberi manusia petunjuk-petunjuk yang nyata. Bisa berupa kegelisahan, penderitaan, sakit, bencana alam dan sebagainya sehingga manusia pada akhirnya mampu menalar secara logis: ada faktor X yang berada di luar logika sebab dan akibat. Tidak semua mampu diprediksi oleh manusia meskipun dia sudah mengarahkan semua potensi kecerdasannya.
Namun bagi si manusia, bencana dan derita jelas merupakan pukulan berat, bagaimana bisa terjadi bencana alam yang datangnya tiba-tiba tanpa mampu untuk bersiap-siap. Pikiran yang deterministik yang melihat segala sesuatu dalam hubungan sebab akibat, ternyata tidak mampu memprediksi apa yang akan terjadi. Pola pikir seperti ini yang kemudian dibuat secara kuantitatif dengan data-data matematis kemudian melahirkan ilmu statistik.
Ilmu statistik itu sangat arogan dan congkak. Seolah-olah semua persoalan manusia dan alam itu mampu diolah menjadi data-data matematis. Prediksi letusan gunung berapi, misalnya ditulis dalam garis-garis melalui sebuah pencatat pergerakan gunung yang kemudian dikenal engan nama seimograf. Di rumah sakit dan balai-balai pengobatan, perkembangan kesehatan pasien dicatat dalam rekam medis, hingga sedikit banyak diketahui kapan nyawa si pasien akan meninggalkan badan. Padahal, kadang-kadang prediksi itu salah. Banyak orang sakit kanker stadium empat yang telah divonis mati dalam jangka waktu tertentu ternyata bisa sehat kembali!
Ilmuwan yang dibangun dengan basis ilmu positivistik semacam ini menggejala di dunia yang serba modern. Orang modern lupa bahwa ternyata pendekatan deterministik berdasarkan hukum sebab akibat saja tidaklah cukup. Ada faktor-faktor penentu sebuah kejadian yang sering dikenal dengan invisible hand, alias tangan-tangan yang tidak terlihat.
Tangan-tangan yang tidak terlihat (bagi kacamata ilmuwan) itulah sesungguhnya takdir Gusti Allah. Hanya manusia yang peka hati, batin dan rasanya, mampu meraba apa yang akan terjadi berdasarkan atas fakta-fakta batiniah juga. Bukan berdasarkan atas fakta-fakta yang bisa dirasionalisasikan.
Persoalannya sekarang, bagaimana sebenarnya melatih agar kita memiliki kepekaan hati yang sudah luntur saat kita beranjak dewasa?
Ada banyak cara untuk latihan. Salah satunya yang sedang kita jalankan saat ini yaitu puasa. Namun kesemuanya haruslah dilakukan dengan niat yang sungguh-sungguh, bahwa latihan itu bukan tujuan melainkan hanya sarana untuk mencapai tujuan. Tujuan dari latihan adalah mencapai derajat manunggaling kawulo lan gusti. Artinya bersatunya kehendak manusia dengan kehendak Tuhan yang dalam agama dikatakan manusia yang bertakwa.
Selain latihan-latihan “resmi” sebagaimana yang dituntunkan dalam agama, kita juga mengenal berbagai latihan “tidak resmi” yang diajarkan oleh para leluhur pendahulu kita. Apalagi di Jawa yang konon gudangnya aliran kebatinan. Para sesepuh paguron ngelmu batin itu memiliki cara-cara tertentu untuk mengasah kepekaan batin dan hati.
Sebenarnya bila dipahami dalam kerangka yang lebih luas, dalam semua kegiatan hidup manusia itu sesungguhnya merupakan latihan kejiwaan dan latihan ruhani agar kita memiliki rasa yang landep/tajam.
Contohnya, dulu kita saat remaja asyik memadu kasih atau berpacaran. Pacaran itu juga bisa merupakan latihan olah rasa bila di dalamnya kita menghayati persinggungan rasa antara “aku” dengan “engkau”, bagaimana “aku” tidak ingin menyakiti “hatimu”, bagaimana “aku” ingin toleran, tidak memaksakan kehendak, dan ingin membahagiakan”mu”, dan bagaimana “aku” tidak egois dan meleburkan “aku” dan “engkau” dalam “kita”.
Bila kita sudah mampu untuk menggali hakikat hubungan asmara dengan kekasih hati, maka seiring dengan berjalannya waktu maka “pacaran” kita juga hendaknya meningkat kualitasnya. Yaitu tidak mencintai karena alasan-alasan yang hanya melulu karena dia cantik/ganteng, kaya, terpandang, berstatus dan sebagainya. Sebab alasan-alasan yang seperti itu masih berada di taraf benda. Padahal, bukankah di atas wujud jasad manusia ada yang namanya dimensi batiniah? Apalagi ruhaniah? Apalagi… apalagi … dan seterusnya.
Itu sebabnya, di dalam agama kita diperintahkan untuk memilih calon suami atau calon iseri bukan karena dia cantik/ganteng, kaya, terpandang, berstatus. Namun karena AGAMA. Sebab agama adalah keyakinan yang paling luhur yang dipegang oleh seseorang. Keyakinan wujudnya abstrak, tidak bisa dipegang dan dilihat. Namun kita yakin ada.
Bila diteruskan lagi, maka kisah kasih asmara kita hendaknya berlanjut. Berlanjut tidak hanya berada di taraf wujud fisik, jasad dan benda-benda. Naik meninggi ke taraf yang lebih substantif: abstrak, umum, universal. Meninggalkan asmara kongkret, individual, khusus.
Bila dulu “aku” mencintai “kamu” karena wajahmu yang cantik maka sekarang “aku” mencintai “kamu” karena kehalusan budi pekertimu. Selanjutnya, bila budi pekertimu sudah bagus, maka sekarang “aku” mencintaimu karena “kau” adalah memancarkan kecantikan-Nya. Bila “kau” adalah pancaran kecantikan-Nya maka sekarang “aku” mencintaimu karena “kau” adalah “Kau Gusti Allah, yang Maha Segala-Galanya”, bila “Kau Gusti Allah, yang Maha Segala-Galanya”, maka sekarang “aku” mencintaimu karena cintaku sumbernya dari Cinta-Mu. Bila “aku” mencintaimu karena cintaku sumbernya dari Cinta-Mu maka tidak bisa tidak selain “aku harus pasrah kepada kehendak-Mu….
Sekarang, apapun kehendakMu pada diriku akan aku ikuti saja tanpa protes, tanpa bertanya-tanya. Apakah karena kehendak-Mu itu hatiku menjadi senang atau sedih, susah atau gembira, derita atau bahagia, terserah. Bencana dan keberuntungan bagiku sama saja asalkan itu semua adalah demi untuk melayani-MU.
Kepada saudara-saudaraku yang kini sedang dirundung kesedihan, derita dan bencana… yakinlah bahwa itu adalah ujian bagaimana kita akhirnya harus yakin bahwa apa yang kita miliki itu sesungguhnya hanyalah milik-Nya. Apa yang selama ini kia anggap “milik” kita apakah itu anak, isteri, keluarga, rumah, kendaraan, status, pangkat, diri, pacar, kekasih gelap atau terang, hewan ternak, tanah kaplingan, sawah maupun kerbau itu sesungguhnya hanyalah “perhiasan”-Nya semata-mata.
Ya, saudaraku, bencana alam yang sedang kau alami saat ini di belahan bumi selatan, dan kegembiraan di belahan bumi utara semuanya adalah perhiasan. Keduanya tetap sebagai bukti cintaNya kepada kita. Itu sebenarnya hakekat cinta…Bahwa sejatinya yang harus kita cintai adalah pemilik perhiasan, bukan perhiasannya itu sendiri