Mencari sahabat berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang hubungan dalam kehidupan dan tidak terbatasi oleh agama-agama dan keyaqinan masing-masing .... salam persaudaraan semuanya
TANBIIH
hiasan
Jumat, 13 April 2012
Rahasia Ma’rifat Hamba Allah (Tauhid)
Allah berfirman,
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia (QS 2:163)”
“Tuhan kamu adalah Tuhan yang maha Esa (QS 16:22)”
“Katakanlah: Dialah Yang maha Esa (QS 112:1)”.
Itulah beberapa mutiara tauhid yang disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an
sebagai pentauhidan akan ke-Esa-an Diri-Nya. Maka secara harfiah, tauhid
adalah Mengesakan Tuhan.
Al Ghazali dalam kitab
Raudhah Al-Thalibin Wa Umdah Al-Salikin (16)
mengartikan
tauhid sebagai menyucikan
Al-Qidam
dari sifat
al-huduts
(baru), menjauhkannya
dari segala sesuatu yang baru, sehingga seseorang tidak kuasa melihat dirinya
bernilai lebih terhadap yang lainnya. Artinya, dirinya menjadi tiada atau fana.
Sebab bila dia melihat kepada dirinya sendiri atau orang lain disaat dia berada
dalam kondisi mentauhidkan Al-Haqq
, maka akan terjadi dualisme, dan itu berarti
tidak mengesakan terhadap Dzat-Nya yang
qadim
, yang memiliki sifat Esa dan
Tunggal (disinilah Iblis tertipu sehingga menolak perintah Allah). Keesaan
sebagai Yang Tunggal sebagai makna tauhid pada hakikatnya berkaitan erat
dengan pengenalan yang baru (semua makhluk) terhadap yang
qidam
. Maka
dalam siklus
makrifatullah
tak pernah berhenti, tauhid merupakan ujung dari
makrifat dari yang menyaksikan, ia dikatakan rahasia dan ruh dari makrifat.
Namun, tauhid juga merupakan awal dari
makrifatullah
, karena di ujung
perjalanan makrifat si pencari (salik) akan mengalami penyaksiannya di awal
mula sebelum ia menjadi dirinya (sebelum ruhnya ditiupkan ke dalam jasad) (QS
7:172).
Dengan demikian menjadi jelas bahwa ketika seseorang mencapai suatu
totalitas tauhid yang benar berupa penyaksian akan Allah sebagai Tuhan Yang
Esa, tidak ada pengakuan bahwa dirinya telah sampai, karena pengakuan akan
menyebabkan suatu bencana baik bagi dirinya yang diliputi kesombongan diri,
atau hanya sekedar ilusi yang menipu dirinya sendiri. Dalam banyak aspek,
pengungkapan makrifat dimungkinkan apa adanya, seperti Nabi Muhammad
SAW menceritakan Isra & Mi’rajnya, sebagai suatu
dzauqi
atau citarasa ruhaniah
penyaksian hakiki sehingga darinya akan muncul berbagai pengungkapan
lahiriah berupa puisi, prosa, dan bentuk-bentuk pengungkapan lainnya. Ada yang
boleh disiarkan sebagai suatu berita kenikmatan yang memang harus ditebarkan
sebagai sebuah rahmat, ada juga yang harus disembunyikan karena bisa
menimbulkan fitnah baik bagi dirinya, para munafik dan ateis, maupun orang
yang mengikutinya dengan kebodohan dan tanpa ilmu sehingga yang muncul
dari pengikut yang bodoh adalah pengakuan-pengakuan palsu.
6.10.1 Pengertian Tauhid
Menurut Al-Qusyairy an-Naisabury, “Risalatul Qusyairiyah”
[10]
, Tauhid adalah
suatu hukum bahwa sesungguhnya Allah SWT Maha Esa, dan mengetahui
bahwa sesuatu itu satu bisa dikatakan tauhid juga. Sehingga, menauhidkan
sesuatu yang satu merupakan bagian dari keimanan terhadap yang satu itu.
Makna eksistensi Allah SWT sebagai Yang Esa adalah suatu penyifatan yang
didasarkan ilmu pengetahuan. Dikatakannya bahwa Allah SWT adalah
Ketunggalan Dzat, sehingga “
Dia Adalah Dzat Yang tidak dibenarkan untuk
disifati dengan penempatan dan penghilangan.
” Selanjutnya banyak ahli hakikat
yang mengatakan bahwa Allah SWT itu Esa adalah penafian segala
pembagian terhadap dzat; penafian terhadap penyerupaan tentang Hak dan
Sifat-sifat-Nya, serta penafian adanya teman yang menyertai-Nya dalam Kreasi
dan Cipta-Nya.
Hujwiri dalam “Kasyf al-Mahjub”
dan Al Qusyairy
dalam kitab Risalahnya,
membagi pengertian tauhid menjadi tiga kategori yaitu :
Tauhid Allah SWT oleh Allah SWT, yaitu ilmu dan pengetahuan-Nya
bahwa sesungguhnya Dia adalah Esa.
•
Tauhid Allah SWT oleh makhluk, yaitu ketentuan-Nya bahwa makhluk
adalah yang menauhidkan dan menjadi ciptaan-Nya, atau disebut
tauhidnya hamba dan penegasan tauhid ada dalam hatinya.
•
Tauhid Allah SWT oleh manusia yaitu pengetahuan hamba bahwa Allah
SWT Yang maha Perkasa dan Agung adalah Maha Esa.
Pada tauhid yang pertama, maka ketauhidan-Nya hanya dapat terpahami oleh
ilmu dan pengetahuan-Nya, dimana Yang Memahami ketauhidan Allah oleh Allah
adalah Allah sendiri atau penetapan-Nya pada makhluk pilihan-Nya Sendiri.
Dalam hal ini yang mendapat kemuliaan itu adalah Nabi Muhammad SAW
dimana beliau dapat memperoleh kekuatan dan memperlihatkan eksistensi Allah
dari luar non-eksistensinya pada saat peristiwa Mi’raj. Sehingga, Yang Ada
adalah Allah semata. Dalam pengertian demikian, makhluk yang mengetahui
berdasarkan pengetahuan-Nya hanya mampu sekedar berkata bahwa “
aku
mengenal Allah dengan Allah
” dengan tabir sebagai suatu sifat
ar-Rububiyyah
.
Hakikatnya, seperti yang sering diungkapkan oleh Rasulullah SAW dan para
sahabat tersebut adalah ujung dari
Ma’rifat al-Haqq
, dalam batas-batas yang
sangat dekat (
Qabaa Qausaini
atau lebih dekat lagi), tetapi bukan merupakan
Ma’rifat Dzat
Allah karena hanya Dialah yang dapat menauhidkan-Nya.
Meminjam istilah Ibnu Arabi, maka tauhid yang pertama bisa dikatakan sebagai
al-Hirah al-Ilahiyah
atau
Kebingungan Ilahiyah
yang dialami makhluk setelah
mencapai maqam tertinggi yaitu Mi’raj Nabi SAW. Dan hanya Nabi Muhammad
SAW lah yang berhak mengatakan dengan penyaksian utuh “
aku mengenal
Allah dengan Allah
”. Para sahabat, wali, dan kaum arifin sesudahnya berada di
bawah maqam nabi SAW tersebut, sehingga dalam sabdanya Nabi Muhammad
SAW berkata “
Saya bersama Allah dimana tidak seorangpun dari malaikat atau
nabi bisa berada bersama saya.
” Tauhid Allah oleh Allah karena itu dikatakan
“
Yang Ada hanyalah Dia
”. Dan bagi mereka yang mengikuti jejak Nabi
Muhammad SAW maka mereka mentauhidkan melalui dirinya karena tanpa “
Nur
Muhammad dan Muhammad SAW
” semua makhluk akan musnah. Secara
eksak, hal ini berarti bahwa tanpa “
Nur Muhammad dan Muhammad SAW
”
semua makhluk tidak pernah diciptakan oleh Allah SWT. Inilah makna awal dan
akhir dari esensi penciptaan melalui firman “Basmalah” dan “Kun” yang
dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai “Yang Petama Kali”
diciptakan dan yang “Yang Paling Akhir” dimunculkan, yang “Lahir sebagai Nabi
Muhammad SAW hamba Allah” dan “Yang Batin sebagai Nur Muhammad”
(penyisipan kata sambung “dan” harus dipahami dengan logika kuantum yang
tidak terbedakan, Lihat juga QS al-Hadiiid ayat 3).
Pada tauhid yang kedua, maka Tauhid-Nya Allah oleh makhluk adalah suatu
penghambaan mutlak dari semua makhluk yang eksis setelah kehendak “
Kun Fa
Yakuun
”. Maka, pentauhidan yang muncul adalah suatu ketentuan baik yang
berupa penetapan-penetapan, sunnatullah yang pasti dan tidak pasti, puja-puji,
dan tasbih semua makhluk dari maujud yang paling elementer sampai maujud
yang nyata membangun relativitas dari yang baru (dari makhluk), dari
nanokosmos ke makrokosmos, dari
‘alam al-mulk
sampai
‘alam
al-jabarut
.
Penegasan tauhid yang terdapat dalam semua makhluk, karena itu adalah
penegasan dalam hati, sebagai suatu hakikat paling elementer dan halus bahwa
semua makhluk mengada semata-mata karena curahan rahmat dan kasih
sayang-Nya semata. Pada tauhid kedua ini, Abu Bakar As Shiddiq r.a.
mengatakan bahwa tauhid adalah perbuatan Ilahi dalam hati makhluk-Nya. Maka
dikatakan bahwa pentauhidan Allah SWT oleh makhluk adalah pentauhidan dari
ciptaan-Nya, atau yang diciptakan-Nya dengan kehendak firman “
kun fa yakuun
”.
Jadi tauhid kedua adalah tauhid semua alam semesta (al-Aalamin) beserta
semua isinya, yang memuja dan memuji hanya kepada Penciptanya, juga karena
Dialah Allah yang Maha Memelihara (QS 1:2), maka tiada Tuhan selain DiriNya.
Disini semua makhluk harus menauhidkan Allah SWT dengan secara total
menafikan eksistensi dirinya sendiri sebagai maujud, sehingga makhluk harus
mengatakan “
Tidak ada Tuhan Selain Allah (Laa ilaaha illaa Allaah)
Tauhid yang ketiga adalah Tauhid Allah oleh manusia melalui pengetahuan-Nya
yang dianugerahkan kepada manusia berupa akal pikiran dan kehendak bebas
untuk memilah dan memilih. Pentauhidan Allah SWT oleh manusia adalah
pentauhidan untuk makhluk yang menyaksikan pertamakali dan makhluk yang
disempurnakan sebagai Insan kamil. Maka, manusia yang menauhidkan Tuhan
sebagai Yang Esa adalah ia yang melakukan pencarian atau dianugerahi
makrifat pengenalan secara langsung. Pencarian adalah wasiat Allah yang
ditauhidkannya, maka ia yang mencari adalah ia yang akan berjalan dari awal
dan sampai ke awal kembali. Ia yang mampu memecahkan rahasia eksistensi
dirinya melalui dirinya sendiri untuk kemudian mengenal Dia yang
ditauhidkannya. Inilah tauhid yang identik dengan pengertian “
Man arofa
nafsahu, faqod arofa robbahu
”. Tauhid demikian adalah tauhidnya hamba Allah
yang mesti menegaskan ketauhidan Allah SWT melalui profil manusia yang
paling disempurnakan yaitu Nabi Muhammad SAW sebagai hamba Allah dan
Kekasih Allah. Maka tauhid manusia seperti ini adalah “
Tidak ada Tuhan Selain
Allah, dan Muhammad SAW adalah Utusan Allah (Laa ilaaha illaa Allaah,
Muhammadurrasulullah)”
Dan dengan demikian, bagi manusia dan semua
makhluk-Nya maka tauhid ketiga adalah tauhid Yang Awal dan juga tauhid Yang
Akhir (QS 57:3), yang merupakan rahmat bagi seluruh alam. Tanpa melalui
penauhidan ketiga ini, maka tauhid manusia (dan jin) menjadi tidak sempurna.
Kendati seseorang dapat memulai dari ketauhidan kedua, yakni Tauhid Allah
oleh makhluk sebagai makhluk elementer, namun tauhid kedua adalah tauhid
bagi makhluk non sintesis yang berjalan dengan berjalannya sang waktu sebagai
suatu
qadā
. Maka ia yang tidak memulai dari tauhid ketiga hanya mendapat
sekedar pengampunan, karena Tauhid kedua adalah tauhidnya manusia pertama
yaitu Nabi Adam a.s. Dan pengampunan, seperti halnya ampunan yang
dianugerahkan kepada Adam dan Hawa sebagai suatu hidayah untuk mereka
dan anak cucunya, tidak lebih dari awal mula perjalanan makrifat manusia, yaitu
awal mula dari manusia pertama menyadari kesadaran diri yang teosentris
bahwa ada Tuhan Yang Esa. Rasululllah SAW bersabda :
“Ada seseorang dari generasi sebelum zaman kamu sekalian yang sama sekali
tidak pernah beramal baik kecuali bahwa ia bertauhid saja. Orang itu berwasiat
kepada keluarganya,’Bila aku mati, bakarlah aku dan hancurkan diriku,
kemudian taburkan separuh tubuhku di darat dan separuhnya di laut pada saat
angin kencang.’ Keluarganya pun melakukan wasiatnya itu. Kemudian Allah
SWT berfirman kepada angin,’Kemarikan apa yang kamu ambil.’ Tiba-tiba orang
tersebut sudah berada disisi-Nya. Kemudian Allah SWT bertanya kepada orang
tersebut,’Apa yang membebanimu sehingga kamu berbuat begitu?’ Dia
menjawab,’Karena malu pada-Mu.’ Kemudian Allah SWT mengampuninya.” (HR Bukhari)
Tauhid ketiga sebenarnya ekor yang memutar kearah kepala, jadi tauhid ketiga
yaitu Tauhid Allah oleh manusia adalah suatu kewajiban bagi semua manusia
dan jin, suatu lingkaran perjalanan yang menutup dimana awal dan akhir
bertemu, yaitu tauhid Allah oleh Allah dan tauhid Allah oleh manusia yang
menyambung tanpa kelim (tanpa kelihatan sambungannya, tetapi tahu bahwa
disitulah sambungannya, seperti pita mobius yang memelintir saling memunggungi),
atau katakanlah suatu sambungan yang saling memunggungi.
Maka menjadi jelas bahwa dalam tauhid ketiga, antara manusia yang
menauhidkan dan Allah yang ditauhidkan saling memunggungi, dan diantara
keduanya adalah alam semesta sebagai wadah pembelajaran bagi makhluk
yang disempurnakan yaitu manusia sebagai hamba Allah
”
"Kesejatian Diri" dua kata yang seringkali membuat orang kurang paham dengan kata-kata itu, siapa, mengapa dan bagaimana sesungguhnya dirinya. Dalam Proses pencarian siapa diri kita ini meski terlihat sederhana, ternya dibutuhkan bermacam perjuangan dan ujian sampai kita benar-benar tahu dan mengerti apa dan bagaimana diri kita sesungguhnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang kita dihadapkan pada sesuatu yang kurang nyaman menurut kita, oleh karena keterbatasan kuasa serta keterbatasan posisi kita, akhirnya kita menuruti apa yang sebenarnya ada penolakan pada diri kita. Mengikuti atau menuruti sesuatu hal yang bertentangan pada diri kita adalah suatu ujian yang berat, karena disini kita akan menjadi sosok yang bermuka dua.
Dari kejadian diatas, satu bisa kita tarik hikmahnya dan bisa sbagai perbendaharaan dalam tahap mencari Kesejatian diri, bahwa sebenarnya diri kita tidak seperti yang kita lakukan tadi. Dari berbagai macam aktivitas yang ada penolakan pada diri kita, itulah yang sesungguhnya dapat membangun dan menemukan siapa dan bagaimana diri kita. Berjalannya waktu, lambat laun proses pencarian "Kesejatian Diri" akan kita temukan...
API DALAM DIRI AKAN MENGANTARKANMU PADA PENYAKSIAN-MU
Lentera itu meredup sinarnya. Api yang menjadi sumber cahaya di padang gulita yang pekat kian lama kian mengecil. Hingga akhirnya mati tak lagi berseri. Kini tak ada lagi cahaya kecuali kerlip gemintang di kejauhan yang memberikan tanda batas ruang. Batas antara bilik dan alam luas yang bebas tak terjelajah.
Api mati karena tak ada lagi bahan untuk dibakar. Ketika hidup api berwarna sesuai materi yang dibakarnya. Menjilat-jilat menujut ke atas, berlenggak lenggok menuruti hembusan angin. Selalu bergerak ke atas seolah ingin menggapai sesuatu dengan tariannya. Wujudnya tampak memerah kadang membiru atau menguning. Bersifat membakar dan terasa sangat panas. Meskipun kecil, sifatnya tak hilang. Terkadang dengan materi terentu, proses pembakaran menimbulkan suara-suara yang menakutkan. Jika api-api kecil itu bersatu padu pada materi bahan bakar yang besar dan luas, maka dia akan menjadi sebuah wujud api yang menggila, yang akan meluluh lantakan apapun yang ada dalam jangkauannya. Tandanya akan terlihat hingga mata jauh memandang.
Demikianlah api itu berada pada diri manusia. Perumpamaan akan sebuah sifat yang membakar. Amarah. Ketika amarah mendapatkan bahan bakar yang baik dan pada ruang yang mendukung, maka amarah akan menuntun sang diri untuk melampiaskannya pada prilaku-prilaku yang menjauhkan dirinya dari kesejatiannya. Amarah lalu membakar pikiran dan perasaannya. Dan amarah pula yang menjerumuskan sang diri menjadi lemah, lunglai dan tak berdaya. Karena saat marah, energi yang dibutuhkan dan dikeluarkan begitu besarnya, apalagi ketika melampiaskannya dalam bentuk pelampiasan fisik yang tak terkendali. Dia akan memperdaya diri menjadi sangat memalukan bahkan hancur. Dari umpatan, kata-kata makian, hingga prilaku destruktif yang melekat pada kebiasaan dan sifat-sifat hawaniyah yang memang dilekatkan pada manusia untuk ditaklukan. Demikianlah Allah menciptakan manusia dalam paket yang super lengkap.
Bayangkan jika amarah-amarah itu bersatu dengan menggunakan pakaian para raga. Dia akan berkomunal lalu melampiaskan amarahnya pada apa saja yang menjadi sasaran amarahnya. Lihatlah bagaimana sebagian kecil masyarakat kita ketika terbakar amarah melampiaskan kemarahannya, dan menjadikan mereka menjauh dari kesejatian sifat-sifat rububiyah yang melekat padanya.
Tapi api juga mengajarkan tentang wujud. Wujud yang nampak ketika bahan bakar tersedia, dan berwarna berbagai rupa. Tetapi sifat dasarnya tetap, yaitu panas. Dia bercahaya, memberikan terang pada ruang di sekitarnya. Tandanya dapat dilihat dari kejauhan. Semakin dekat dengan api, maka semakin terang cahayanya serta semakin panas hawanya. Semakin jauh, maka semakin redup pula sinarnya serta semakin tak terasa panasnya. Pada api kecil, kita bisa mencoba-coba untuk meraba atau memegang api itu. Lihatlah pada lilin. Ketika kecil, seringkali kita mencoba untuk memegang dzat dan wujud api itu. Tapi apa lacur? Kita tidak pernah bisa memindahkan dzatnya atau memegangnya kecuali tangan atau jemari kita yang kepanasan/ terbakar. Jika ingin melihat wujud dan dzatnya api, maka kita harus masuk ke dalam api itu sendiri. Dan itu artinya kita membiarkan diri untuk terbakar. Produk akhir dari benda yang terbakar ada beberapa jenis. Bisa menjadi arang atau menguap tanpa bekas bersama asap.
Kini aku bersaksi pada api lalu belajar tentang sesuatu yang terlindung dalam misykat. Cahayanya menyinari segala kepekatan dan gulita. Kehangatan dan panasnya menyelimuti segala kebekuan dan kedinginan hati.
Dentang waktu berjalan begitu perlahan. Menembus dinding keangkuhan keinginan yang kian lama kian menjerumuskan. Sekian lama arah tak bertuntun semenjak dirimu tak lagi berdiri menunjukkan arah pada kami. Tak ada kata mujarab peminta yang penuh tuah terijabahkan. Kini kami meraba arah itu hanya dengan apa yang telah kau tuahkan pada aksara-aksara tak bertanda baca ini.
Lamunku lalu beranjak menuntunku pada rentang kala saat kehidupan menempa dirimu. Membentuk kesejatian dan kehakikian hidup. Menuntun pada arah nikmat dan rahmat yang terestui. Berjalan membelah bukit diantara rimbunnya pepohonan. Mendaki dan menuruni ngarai kekhalifahan ditengah kesunyian hiruk pikuk dunia. Tapal kakimu menebal karena berjalan tanpa alas kecuali alas keikhlasan. Rejeki itu kau kais lewat bulir keringat yang membasahi bajumu.
Di tengah kesendirianmu, dan diantara kesenyapan yang lamat-lamat memanggilmu, kau belajar tentang alif yang mengghaib pada hamba yang tak tampak kesejatiannya. Berdiri tegak dan memandang pada yang tak mampu di pandang. Merukuk pada apa yang segala sesuatunya menunduk. Hingga kau patuh dan taat. Hingga kau rengkuh nikmat itu menjadi sebuah warid dan kebutuhan. Dan kau ajarkan tentang hati yang putih bersih itu pada warismu.
Lalu lamunku beranjak pergi menuntunku pada rentang kala yang lain. Ketika lirih nadamu memanggilku di kejauhan, ada sesuatu yang menuntunku bersama alam. Keluasan alam seakan menyambutmu lewat dentuman dan gelegar halilintar. Curahan tirta langit mengiringi kunjungku padamu, hingga bumi tak mampu menopangnya. Kau tetap lirih di tengah ketakberdayaanmu. Di setiap sengal hembusan yang tak lagi mampu kau tahan, tak pernah lepas sedikitpun pujimu dan rindumu untuk menjenguk wajahNya. Hingga kedatangannya memperangahkanmu tatkala pintu-pintu rahasia itu terbuka luas.
Api mati karena tak ada lagi bahan untuk dibakar. Ketika hidup api berwarna sesuai materi yang dibakarnya. Menjilat-jilat menujut ke atas, berlenggak lenggok menuruti hembusan angin. Selalu bergerak ke atas seolah ingin menggapai sesuatu dengan tariannya. Wujudnya tampak memerah kadang membiru atau menguning. Bersifat membakar dan terasa sangat panas. Meskipun kecil, sifatnya tak hilang. Terkadang dengan materi terentu, proses pembakaran menimbulkan suara-suara yang menakutkan. Jika api-api kecil itu bersatu padu pada materi bahan bakar yang besar dan luas, maka dia akan menjadi sebuah wujud api yang menggila, yang akan meluluh lantakan apapun yang ada dalam jangkauannya. Tandanya akan terlihat hingga mata jauh memandang.
Demikianlah api itu berada pada diri manusia. Perumpamaan akan sebuah sifat yang membakar. Amarah. Ketika amarah mendapatkan bahan bakar yang baik dan pada ruang yang mendukung, maka amarah akan menuntun sang diri untuk melampiaskannya pada prilaku-prilaku yang menjauhkan dirinya dari kesejatiannya. Amarah lalu membakar pikiran dan perasaannya. Dan amarah pula yang menjerumuskan sang diri menjadi lemah, lunglai dan tak berdaya. Karena saat marah, energi yang dibutuhkan dan dikeluarkan begitu besarnya, apalagi ketika melampiaskannya dalam bentuk pelampiasan fisik yang tak terkendali. Dia akan memperdaya diri menjadi sangat memalukan bahkan hancur. Dari umpatan, kata-kata makian, hingga prilaku destruktif yang melekat pada kebiasaan dan sifat-sifat hawaniyah yang memang dilekatkan pada manusia untuk ditaklukan. Demikianlah Allah menciptakan manusia dalam paket yang super lengkap.
Bayangkan jika amarah-amarah itu bersatu dengan menggunakan pakaian para raga. Dia akan berkomunal lalu melampiaskan amarahnya pada apa saja yang menjadi sasaran amarahnya. Lihatlah bagaimana sebagian kecil masyarakat kita ketika terbakar amarah melampiaskan kemarahannya, dan menjadikan mereka menjauh dari kesejatian sifat-sifat rububiyah yang melekat padanya.
Tapi api juga mengajarkan tentang wujud. Wujud yang nampak ketika bahan bakar tersedia, dan berwarna berbagai rupa. Tetapi sifat dasarnya tetap, yaitu panas. Dia bercahaya, memberikan terang pada ruang di sekitarnya. Tandanya dapat dilihat dari kejauhan. Semakin dekat dengan api, maka semakin terang cahayanya serta semakin panas hawanya. Semakin jauh, maka semakin redup pula sinarnya serta semakin tak terasa panasnya. Pada api kecil, kita bisa mencoba-coba untuk meraba atau memegang api itu. Lihatlah pada lilin. Ketika kecil, seringkali kita mencoba untuk memegang dzat dan wujud api itu. Tapi apa lacur? Kita tidak pernah bisa memindahkan dzatnya atau memegangnya kecuali tangan atau jemari kita yang kepanasan/ terbakar. Jika ingin melihat wujud dan dzatnya api, maka kita harus masuk ke dalam api itu sendiri. Dan itu artinya kita membiarkan diri untuk terbakar. Produk akhir dari benda yang terbakar ada beberapa jenis. Bisa menjadi arang atau menguap tanpa bekas bersama asap.
Kini aku bersaksi pada api lalu belajar tentang sesuatu yang terlindung dalam misykat. Cahayanya menyinari segala kepekatan dan gulita. Kehangatan dan panasnya menyelimuti segala kebekuan dan kedinginan hati.
Dentang waktu berjalan begitu perlahan. Menembus dinding keangkuhan keinginan yang kian lama kian menjerumuskan. Sekian lama arah tak bertuntun semenjak dirimu tak lagi berdiri menunjukkan arah pada kami. Tak ada kata mujarab peminta yang penuh tuah terijabahkan. Kini kami meraba arah itu hanya dengan apa yang telah kau tuahkan pada aksara-aksara tak bertanda baca ini.
Lamunku lalu beranjak menuntunku pada rentang kala saat kehidupan menempa dirimu. Membentuk kesejatian dan kehakikian hidup. Menuntun pada arah nikmat dan rahmat yang terestui. Berjalan membelah bukit diantara rimbunnya pepohonan. Mendaki dan menuruni ngarai kekhalifahan ditengah kesunyian hiruk pikuk dunia. Tapal kakimu menebal karena berjalan tanpa alas kecuali alas keikhlasan. Rejeki itu kau kais lewat bulir keringat yang membasahi bajumu.
Di tengah kesendirianmu, dan diantara kesenyapan yang lamat-lamat memanggilmu, kau belajar tentang alif yang mengghaib pada hamba yang tak tampak kesejatiannya. Berdiri tegak dan memandang pada yang tak mampu di pandang. Merukuk pada apa yang segala sesuatunya menunduk. Hingga kau patuh dan taat. Hingga kau rengkuh nikmat itu menjadi sebuah warid dan kebutuhan. Dan kau ajarkan tentang hati yang putih bersih itu pada warismu.
Lalu lamunku beranjak pergi menuntunku pada rentang kala yang lain. Ketika lirih nadamu memanggilku di kejauhan, ada sesuatu yang menuntunku bersama alam. Keluasan alam seakan menyambutmu lewat dentuman dan gelegar halilintar. Curahan tirta langit mengiringi kunjungku padamu, hingga bumi tak mampu menopangnya. Kau tetap lirih di tengah ketakberdayaanmu. Di setiap sengal hembusan yang tak lagi mampu kau tahan, tak pernah lepas sedikitpun pujimu dan rindumu untuk menjenguk wajahNya. Hingga kedatangannya memperangahkanmu tatkala pintu-pintu rahasia itu terbuka luas.
RAWATLAH DUHAI DZAT WAJIBUL-WUJUD DENGAN CINTA-MU
Debu berkejar-kejaran dibawa bayu. Tak terkecuali di malam hari. Malam-malam terasa gerah. Meskipun di penghujung pagi, halimun dingin turun menyerang lalu menjari pada daun dan rerumputan serta ilalang. Mengartikulasikan tanda bumi bahwa panas terik kan datang.
Duniaku telah berganti. Dunia sejuk dan dingin yang dulu menghuni kini telah berganti menjadi dunia yang panas, gerah dan pengap
Udara panas itu telah mempengaruhi suasana hati yang tak tertaut pada sang wajibul wujud. Gelisah, sedih, amarah, ria, dengki dan berbagai penyakit hati telah menghinggapi sebagian umat bumi. Agama tak lagi dipandang sebagai sesuatu yang menyejukkan. Agama tak lagi dipegang sebagai tautan sublimasi pemecah depresi. Kita terjebak pada tradisi yang me-rukun dan lupa bahwa hati adalah sumber dari segala sumber kesejukan. Kita lalai menekuni hakikat dibalik syariat, makna dibalik rupa, mengangkat gada tapi tak tahu musuh siapa.
kembalilah pada hati dimana segala arah terarah. Melunakkannya dengan mengembalikannya pada ‘mata’ yang pandangannya hanya tertuju padanya. Bukan dzahir yang berhias emas permata, berbalut sutra, dan berjabat tahta serta terlulur indahnya wanita. Dzahir itu akan lusuh, menua lalu terbujur kaku menjadi seonggok mayat dan akhirnya terurai bersisa tulang belulangng. Mari.. mari lunakkan hati. Hati yang lunak sesungguhnya adalah hati yang mudah merintih dalam luatan kecintaannya pada sang khalik, bukan pada sang diri ataupun makhluk. Dalam tasawuf, menangis termasuk salah satu hal yang harus dilatih. Ali bin Abi Thalib berkata, “Salah satu ciri orang yang celaka adalah ia yang memiliki hati yang keras. Dan ciri hati yang keras adalah hati yang sukar menangis.”
Hati manusia dapat merasa jemu dan lesu sebagaimana badan juga merasa jemu dan lesu. Karena itu carilah ilmu dan hikmah sebagai obatnya.
Mari terangi gelapnya dan dinginnya penghujung malam. Mari basahi kelopak, bulu mata dan pipi kita dengan air suci kedua mata kita. Mari melirih, berserah diri dan mengetuk mahligai besar pintu rumah Ilahi. Mengharap iba dan ridhoNya untuk diperkenankan mencicipi nikmatnya hidangan cinta.
Inilah hamba sahaya-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu.
Inilah si malang-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu.
Inilah si fakir-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu.
Tuhanku, demi kebesaran-Mu, keagungan-Mu, dan kemuliaan-Mu,
sekiranya sejak Engkau menciptakan aku,
sejak masa permulaan aku menyembah-Mu sekekal badai rububiyah-Mu,
dengan setiap lembar rambutku,
setiap pejam mataku sepanjang masa,
dengan pujian dan syukur segenap makhluk-Mu,
maka aku takkan mampu mensyukuri nikmat-nikmat-Mu yang paling tersembunyi padaku. Sekiranya aku menggali tambang besi dunia dengan gigiku,
dan menanami buminya dengan lembar-lembar alis mataku,
dan menangis takut kepada-Mu dengan air mata dan darah sebanyak samudera langit dan bumi, maka semua itu kecil dibandingkan dengan banyaknya kewajibanku atas-Mu.
Sekiranya setelah itu,
Engkau menyiksaku dengan azab seluruh makhluk,
Engkau besarkan tubuh dan ragaku,
Engkau penuhi Jahanam pada seluruh sudutnya dengan tubuhku sehingga di sana tidak ada lagi yang disiksa selainku,
tidak ada lagi kayu bakar selain diriku,
maka semua itu kecil dibandingkan dengan keadilan-Mu dan besarnya hukuman-Mu yang harus kuterima mengingat dosa-dosa yang kulakukan.”
Semoga cinta itu tumbuh berkembang menyejukkan gerahnya hari. Bagaikan puisi Rumi:
Sekarang kulihat kekasih jiwaku,
mutiara segala ciptaan,
terbang ke langit bagaikan Nur Mustafa AhMad bila Mim
Matahari malu melihat wajahnya,
di angkasa cuaca kelam kabut bagaikan hati
Cahayanya membuat air dan lumpur lebih terang daripada api.
Kataku,
“Mana tangganya untuk tempat naik, tunjukkan! Aku ingin juga terbang ke langit!”
Ia menjawab,
“Tangga tempatmu naik ialah kepalamu, sujudkan kepalamu di bawah telapak kakimu!”
Apabila kau jejakkan kakimu di atas kepalamu, maka kakimu akan mengendarari bintang-gemintang!
Apabila kau ingin mengarung angkasa luas, angkatlah kakimu ke langit, mari naik!
Di hadapanmu terbentang seratus jalan menuju langit, setiap subuh kau terbang tinggi ke langit seperti seuntai doa.
Duhai cintaku, Allah telah ajarkan dalam renungan malam ini begitu dalam cintamu. Begitu besar pengorbananmu. Biarkan cinta ini begitu subur tumbuh dalam taman hati kita. Mari kita pupuk dengan pupuk kasih. Tak lekang dan tak pudar terkikis waktu hingga bunga-bunga di taman cinta kita tumbuh begitu indah. Serahkan pada Allah Al Bathinu semoga Dia merahmati dan memelihara taman cinta kita.
Demikian ghaibnya cinta itu. Tidak ada satu manusiapun yang mampu mengetahui seberapa dalam dan kuatnya cinta yang dia miliki terhadap pasangannya, kecuali sang Maha Ghaib Al Bathin. Cinta dibangun bukan saja karena ketertarikan, tetapi juga karena komitmen. Komitmen untuk mempertahankan dan menyuburkan bunga-bunga cinta itu sendiri. Ketertarikan untuk selalu melihat sisi lain yang selalu penuh hakikat atas cinta yang berkembang. Atas dasar cinta itu pulalah, mahligai pernikahan dibangun. Pernikahan tanpa cinta tentu akan menjadi sangat timpang. Ibarat bangunan tak berpondasi. Rapuh dan mudah roboh. Bukankah hakikat pernikahan itu adalah penyatuan dan penciptaan? Kaum pencari cinta Ilahi menyebutnya sebagai Ittihad.
Cinta itu pula yang kemudian menjadi media pembelajaran Ilahi tentang rasa dan hati. Bahwa mencintai pasangannya adalah cerminan ajaran tentang bagaimana sesungguhnya mencintai Ilahi Rabbi. Karena sejatinya, cinta itulah yang benar-benar fitri bagi seorang manusia terhadap penghambaannya kepada dzat Al Haq. Demikianlah kita sepatutnya menumbuhkan cinta pada Ilahi dengan kuadratisasi dan refleksi dari mencintai pasangan maupun buah hati kita.
Salam pengembaraan mencari cinta kelana Jiwa
By : Alkis Annabila
Duniaku telah berganti. Dunia sejuk dan dingin yang dulu menghuni kini telah berganti menjadi dunia yang panas, gerah dan pengap
Udara panas itu telah mempengaruhi suasana hati yang tak tertaut pada sang wajibul wujud. Gelisah, sedih, amarah, ria, dengki dan berbagai penyakit hati telah menghinggapi sebagian umat bumi. Agama tak lagi dipandang sebagai sesuatu yang menyejukkan. Agama tak lagi dipegang sebagai tautan sublimasi pemecah depresi. Kita terjebak pada tradisi yang me-rukun dan lupa bahwa hati adalah sumber dari segala sumber kesejukan. Kita lalai menekuni hakikat dibalik syariat, makna dibalik rupa, mengangkat gada tapi tak tahu musuh siapa.
kembalilah pada hati dimana segala arah terarah. Melunakkannya dengan mengembalikannya pada ‘mata’ yang pandangannya hanya tertuju padanya. Bukan dzahir yang berhias emas permata, berbalut sutra, dan berjabat tahta serta terlulur indahnya wanita. Dzahir itu akan lusuh, menua lalu terbujur kaku menjadi seonggok mayat dan akhirnya terurai bersisa tulang belulangng. Mari.. mari lunakkan hati. Hati yang lunak sesungguhnya adalah hati yang mudah merintih dalam luatan kecintaannya pada sang khalik, bukan pada sang diri ataupun makhluk. Dalam tasawuf, menangis termasuk salah satu hal yang harus dilatih. Ali bin Abi Thalib berkata, “Salah satu ciri orang yang celaka adalah ia yang memiliki hati yang keras. Dan ciri hati yang keras adalah hati yang sukar menangis.”
Hati manusia dapat merasa jemu dan lesu sebagaimana badan juga merasa jemu dan lesu. Karena itu carilah ilmu dan hikmah sebagai obatnya.
Mari terangi gelapnya dan dinginnya penghujung malam. Mari basahi kelopak, bulu mata dan pipi kita dengan air suci kedua mata kita. Mari melirih, berserah diri dan mengetuk mahligai besar pintu rumah Ilahi. Mengharap iba dan ridhoNya untuk diperkenankan mencicipi nikmatnya hidangan cinta.
Inilah hamba sahaya-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu.
Inilah si malang-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu.
Inilah si fakir-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu.
Tuhanku, demi kebesaran-Mu, keagungan-Mu, dan kemuliaan-Mu,
sekiranya sejak Engkau menciptakan aku,
sejak masa permulaan aku menyembah-Mu sekekal badai rububiyah-Mu,
dengan setiap lembar rambutku,
setiap pejam mataku sepanjang masa,
dengan pujian dan syukur segenap makhluk-Mu,
maka aku takkan mampu mensyukuri nikmat-nikmat-Mu yang paling tersembunyi padaku. Sekiranya aku menggali tambang besi dunia dengan gigiku,
dan menanami buminya dengan lembar-lembar alis mataku,
dan menangis takut kepada-Mu dengan air mata dan darah sebanyak samudera langit dan bumi, maka semua itu kecil dibandingkan dengan banyaknya kewajibanku atas-Mu.
Sekiranya setelah itu,
Engkau menyiksaku dengan azab seluruh makhluk,
Engkau besarkan tubuh dan ragaku,
Engkau penuhi Jahanam pada seluruh sudutnya dengan tubuhku sehingga di sana tidak ada lagi yang disiksa selainku,
tidak ada lagi kayu bakar selain diriku,
maka semua itu kecil dibandingkan dengan keadilan-Mu dan besarnya hukuman-Mu yang harus kuterima mengingat dosa-dosa yang kulakukan.”
Semoga cinta itu tumbuh berkembang menyejukkan gerahnya hari. Bagaikan puisi Rumi:
Sekarang kulihat kekasih jiwaku,
mutiara segala ciptaan,
terbang ke langit bagaikan Nur Mustafa AhMad bila Mim
Matahari malu melihat wajahnya,
di angkasa cuaca kelam kabut bagaikan hati
Cahayanya membuat air dan lumpur lebih terang daripada api.
Kataku,
“Mana tangganya untuk tempat naik, tunjukkan! Aku ingin juga terbang ke langit!”
Ia menjawab,
“Tangga tempatmu naik ialah kepalamu, sujudkan kepalamu di bawah telapak kakimu!”
Apabila kau jejakkan kakimu di atas kepalamu, maka kakimu akan mengendarari bintang-gemintang!
Apabila kau ingin mengarung angkasa luas, angkatlah kakimu ke langit, mari naik!
Di hadapanmu terbentang seratus jalan menuju langit, setiap subuh kau terbang tinggi ke langit seperti seuntai doa.
Duhai cintaku, Allah telah ajarkan dalam renungan malam ini begitu dalam cintamu. Begitu besar pengorbananmu. Biarkan cinta ini begitu subur tumbuh dalam taman hati kita. Mari kita pupuk dengan pupuk kasih. Tak lekang dan tak pudar terkikis waktu hingga bunga-bunga di taman cinta kita tumbuh begitu indah. Serahkan pada Allah Al Bathinu semoga Dia merahmati dan memelihara taman cinta kita.
Demikian ghaibnya cinta itu. Tidak ada satu manusiapun yang mampu mengetahui seberapa dalam dan kuatnya cinta yang dia miliki terhadap pasangannya, kecuali sang Maha Ghaib Al Bathin. Cinta dibangun bukan saja karena ketertarikan, tetapi juga karena komitmen. Komitmen untuk mempertahankan dan menyuburkan bunga-bunga cinta itu sendiri. Ketertarikan untuk selalu melihat sisi lain yang selalu penuh hakikat atas cinta yang berkembang. Atas dasar cinta itu pulalah, mahligai pernikahan dibangun. Pernikahan tanpa cinta tentu akan menjadi sangat timpang. Ibarat bangunan tak berpondasi. Rapuh dan mudah roboh. Bukankah hakikat pernikahan itu adalah penyatuan dan penciptaan? Kaum pencari cinta Ilahi menyebutnya sebagai Ittihad.
Cinta itu pula yang kemudian menjadi media pembelajaran Ilahi tentang rasa dan hati. Bahwa mencintai pasangannya adalah cerminan ajaran tentang bagaimana sesungguhnya mencintai Ilahi Rabbi. Karena sejatinya, cinta itulah yang benar-benar fitri bagi seorang manusia terhadap penghambaannya kepada dzat Al Haq. Demikianlah kita sepatutnya menumbuhkan cinta pada Ilahi dengan kuadratisasi dan refleksi dari mencintai pasangan maupun buah hati kita.
Salam pengembaraan mencari cinta kelana Jiwa
By : Alkis Annabila
Rabu, 11 April 2012
PERAHUKU TERJEBAK DI HAMPARAN GELOMBANG SAMUDRA MALAM
“Buat gadis pemasang malam”
Kau yang tak begitu sunyi
Meretakkan laut panjang dalam hati
Seperti kutuk hujan menggali leherku
Dan melubangi sekujur tubuh
Hingga gelombang diam mendekap pantai
Angin berCANDA dengan badai
Melahirkan tangis kerinduan aku padamu kekasih!
Biru pantai, dan hutan-hutan kebakaran dalam dekapan
Maka jangan turunkan hujan airmata
Karena aku takut gerimis melanjangi lubang dada
Hingga segalanya berubah Srigala tanpa mata
Kau yang tak begitu sunyi
Menenggelamkan cahaya rinduku
Kedalam langit biru; bisu
Dalam Ruang Dan Waktu
Tiap kali pagi
Aku menangkap sunyi dari suluk matamu
Untuk jadi sahabat karibku
Tiap malam embun datang
Sunyi itu selalu kusebut sebagai rindu
Tiap detik dalam ruang dan waktu
Aku selalu bertemu
Malam yang sarat kebersamaan
Benar-benar merontokkan airmata
Mengirimkan isyarat luka sekeping tubuhku
Begitu membumi
Dan belum genap untuk kau tafsiri
Kelip lampu kota malam
Merajamku dalam tidur subuh
Gelap sekali mie,!
Menjadikanku mati dalam mimpiku sendiri
Kau tahu
Raut Malang tak setampan kemarin
Saat kau menyimpan wajahku di Batang-Batang
Pun pula kecantikanmu yang tersembunyi
Di balik pintu lapuk itu
Telah rapat kuikat dalam tatap
Malam yang sarat kebersamaan
Menyisakan butir luka dalam batang tubuhku
Menyimpan wajahmu dalam sekejap, liku-luka
Maka aku mengungsi dihatiku sendiri, jadi api
Selasa, 10 April 2012
''Anak MENJADI tumpuan Antara Harapan dan Impian'' SECARA sufi
Sebagai insan beriman, selaiknya untuk tiada henti-henti menabur rasa syukur dalam hidupnya. Syukur, atas beragam nikmat dan karunia yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepadanya. Betapa banyak curahan nikmat dan karunia yang direguk, tiadalah diri mampu untuk membilangnya. Ini telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tegaskan dalam firman-Nya:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nahl: 18)
Bagi insan beriman yang pandai mensyukuri nikmat, tentulah Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak menambah kenikmatan itu. Ini sebagaimana telah Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (Ibrahim: 7)
Juga, bagi insan beriman yang secara cerdas menyikapi kucuran beragam nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dirinya kelak memperoleh keberuntungan, kesuksesan, dan kemenangan. Firman-Nya:
فَاذْكُرُوا ءَالاَءَ اللهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Al-A’raf: 69)
Satu dari beragam nikmat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada hamba-hamba-Nya adalah anak. Firman-Nya:
وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (An-Nahl: 72)
Firman-Nya:
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ. أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Asy-Syura: 49-50)
Demikianlah, Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan segala sesuatu atas manusia. Termasuk dalam pemberian anak. Maka, segala nikmat yang ada pada manusia, semuanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (An-Nahl: 53)
Pertama, an-ni’mah al-muthlaqah. Yaitu kenikmatan yang bisa mengantarkan kepada kebahagiaan abadi. Seperti nikmat dalam berislam dan mengikuti As-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk memohon meraup nikmat ini. Memohon agar mendapat hidayah untuk menempuh jalan orang-orang yang meraih nikmat ini:
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa`: 69)
Kedua, an-ni’mah al-muqayyadah. Yaitu kenikmatan yang digambarkan seperti nikmat memperoleh kesehatan, kekayaan, kekuatan jasad, kedudukan, banyak anak dan memiliki para istri yang baik, serta nikmat-nikmat yang sejenis. Kenikmatan semacam ini diberikan kepada orang yang berbuat kebaikan, juga kepada orang yang berbuat kemaksiatan, mukmin maupun kafir. Kenikmatan seperti di atas, bila diberikan kepada orang kafir, merupakan bentuk istidraj (dalam bahasa Jawa: dilulu) dengan kenikmatan itu, mengarahkan dirinya kepada azab, petaka. Hakikatnya dia tidak memperoleh nikmat, tapi sesungguhnya dirinya memperoleh bala (sesuatu yang bisa menyusahkan). Firman-Nya:
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku’. Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku’.” (Al-Fajr: 15-16)
bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (dalam ayat di atas) sebagai bentuk pengingkaran terhadap orang yang berkeyakinan apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala meluaskan rizkinya berarti dirinya mendapat kemuliaan. Padahal tidak demikian. Bahkan hal itu merupakan bentuk bala dan ujian. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ(55)نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لَا يَشْعُرُونَ
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (Al-Mu`minun: 55-56)
Demikian pula sebaliknya, apabila mengalami bala, ujian dan kesempitan rizki, dirinya berkeyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menghinakannya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: كَلاَّ (Sekali-kali tidak demikian).
Permasalahannya tidaklah seperti yang dia yakini. Tidak seperti ini dan tidak seperti yang ini pula. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan harta kepada siapa yang Dia suka dan yang tidak Dia suka. Menyempitkan harta kepada yang Dia suka dan yang tidak Dia suka. Sesungguhnya titik pijak dari itu semua adalah ketaatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam (menyikapi) dua keadaan: apabila dia sebagai orang yang berkecukupan (kaya), hendaknya dia bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas yang demikian ini. Apabila dia fakir, hendaknya menyikapinya dengan sabar dan semata'' lillah”
Karenanya, seseorang yang telah dikaruniai anak hendaknya menjaga anak tersebut agar tidak menghadirkan bala dan malapetaka. Kehadirannya tidak menjadi fitnah (ujian) yang menyeret orangtuanya kepada sesuatu yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan bahwa harta dan anak adalah fitnah (ujian).
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15)
Maksud ayat ini, harta dan anak adalah bala (sesuatu yang bisa menyusahkan), ujian dan cobaan yang membawamu ke arah perbuatan yang haram dan menghalangi dari hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, janganlah menaati mereka dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga diri, istri dan anak-anaknya dari api neraka. Membimbing dan mengarahkan mereka untuk menetapi apa yang telah disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan bagian dari kewajiban memberikan pendidikan terhadap anak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلىَ مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap diri kamu adalah pemimpin, maka dia bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang amir (penguasa) yang membawahi rakyatnya adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang suami adalah pemimpin atas penghuni rumahnya (keluarga) dan dia bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang istri adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang budak adalah pemimpin atas harta majikannya dan dia bertanggung jawab terhadapnya. Ingatlah, tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Islam mendorong setiap pemeluknya, dalam hal ini para orangtua, untuk memenuhi kewajibannya dalam mendidik anak. Islam tak menghendaki kehidupan generasi ke depan diliputi keterpurukan akidah, melemahnya iman, dan ketiadaan paham terhadap syariat. Sesungguhnya seorang yang beriman yang memiliki kekokohan iman tentu lebih baik dan lebih dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada yang lemah. Abu Hurairah mengungkapkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim no. 2664)
yang dimaksud ‘mukmin yang kuat’ yakni (kuat) dalam keimanannya. Bukan kuat dari aspek fisik (tubuh). Karena, kekuatan tubuh seseorang bisa mendukung pada sesuatu yang berbahaya bila kekuatan itu digunakan untuk maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kekuatan tubuh sendiri, secara dzat, tidaklah dikategorikan sebagai satu hal yang terpuji atau tercela. Bila seseorang menggunakannya untuk sesuatu yang bermanfaat di dunia dan akhirat, maka jadilah kekuatan tubuh itu sebagai suatu yang terpuji. Adapun bila difungsikan guna membantu dalam kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
maka kekuatan tubuh itu menjadi satu hal tercela. Maka, kekuatan yang dimaksud dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di muka:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ bermakna قَوِيُّ الْإِيْمَانِ (kuat iman).
Sebab kata الْقَوِيُّ kembali kepada sifat yang mendahuluinya yaitu kata al-iman. Seperti perkataan الرَّجُلُ الْقَوِيُّ (laki-laki yang kuat), artinya laki-laki itu perkasa (jantan).
Begitu juga dengan kalimat الْمَؤْمِنُ الْقَوِيُّ yaitu kuat dalam masalah keimanannya. Sesungguhnya seorang mukmin yang kuat, kokoh, tangguh keimanannya akan mengarahkannya untuk menegakkan kewajiban yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala embankan pada dirinya.
dirinya akan menambah dengan amalan-amalan nawafil (sunnah), dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala tentunya karena hanya dengan begitu ungkapan rasa syukurnya .
Sedangkan bila diliputi dengan lemah iman, kelemahan imannya tak akan menghasung dirinya untuk mengerjakan hal-hal yang wajib serta meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan.
Tak bisa diabaikan peran strategis orangtua dalam mencelup sosok anak menjadi insan beriman. Memiliki fitrah bertauhid yang tetap terjaga. Tidak terjerembab, jatuh dalam beragam penyimpangan. Sebagaimana dimaklumi, anak yang lahir ke alam fana ini telah memiliki fitrah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia diciptakan dalam keadaan di atas tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan (ganti) pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum: 30)
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)’.” (Al-A’raf: 172)
AL-faqir mengungkapkan bahwa penetapan tentang ubudiyah arrububiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengarahkan anak kepadanya merupakan perkara yang bersifat fitrah. Adapun kesyirikan merupakan sesuatu yang baru (ada setelah anak berinteraksi dengan lingkungan atau terpengaruh pendidikan, pengalaman serta panggilan alloh /hidayah/.). Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan di atas fitrah (kesucian masing'') . Maka, kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari no. 1384, dan Muslim no. 2658, dari hadits Abu Hurairah )
Lebih lanjut, AL-faqir menyatakan bahwa lantaran pendidikan yang menyimpang dan lingkungan yang menyeleweng, terjadilah perubahan arah (dalam penetapan tauhid) pada diri anak. Dari sanalah anak melakukan bentuk taklid (melakukan proses imitasi/ meniru) pada orangtua mereka dalam kesesatan dan penyelewengan. risalah At-Tauhid,
Faktor lingkungan, termasuk di antaranya lingkungan keluarga yang selalu menetapkan doktrin & penetapan hukum syar'i namun tidak menetapkan hukum al-ilah memiliki pengaruh yang besar terhadap tumbuh kembang anak dari segi psikologis ... orang tua tidaklah sadar jika di dalam diri anak itu ada taqdir & irodah alloh namun orang tua slalu mengharap anak itu harus seperti apa yang orang tua harapkan ,,,
Keluarga yang harmonis, sehat dan senantiasa mendapat siraman nilai-nilai syariat, akan memberi pengaruh positif yang luar biasa terhadap pendidikan anak. Sebaliknya, keluarga yang buruk umumnya memberi pengaruh yang buruk pula pada pendidikan anak. Maka, peran orang tua memberikan kontribusi yang besar bagi pendidikan anak. Sebab, bila sebuah keluarga baik, maka kebaikan itu akan memberi pengaruh kepada anak. Biidznillah, dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Karenanya, keshalihan dan amal shalih orangtua sangat besar pengaruhnya dalam membentuk sosok kepribadian anak yang shalih.
Sebaliknya, kehampaan dari amal shalih dan perilaku buruk dari orangtua justru bisa menghancurkan pendidikan anak. Bahkan tak hanya itu. Keadaan orangtua yang semacam ini bisa mendatangkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala karena tidak memahami syirik yang nyata (jaliy) dan syirik yang samar (khofi) dan semua itu Menjauhkan berkah dari-NYA.
Memupus sakinah (ketenangan) di dalam rumah. Maka, sikap shalih dan giat beramal shalih dari orangtua merupakan lampu yang memercikkan seberkas cahaya bagi pendidikan anak.
Betapa tidak. Bukankah orangtua yang senantiasa membaca Al-Qur`an, membaca surat Al-Baqarah, al-mu’awwidzat dan lainnya, bisa mendatangkan sakinah, rahmah dan menjadikan para setan lari?
Dari Abu Hurairah , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“Dan tidaklah berkumpul satu kaum di salah satu dari rumah-rumah Allah, mereka membaca Kitabullah (Al-Qur`an) dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali akan turun atas mereka sakinah, tercurah atas mereka rahmah, para malaikat pun mengelilingi mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka pada siapa yang di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2699)
Juga berdasar hadits dari Abu Hurairah , sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيْهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 780)
Sungguh, tiada mampu terperikan bila Al-Qur`an ditinggalkan. Orangtua pun lalai dari dzikir (ingat) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rumah dipenuhi dengan suara hiruk pikuk tetabuhan musik, dendang nasyid nan memabukkan jiwa, dan tembang lagu yang membangkitkan syahwat. Apatah lagi yang bisa diharapkan dari rumah yang sarat racun yang mematikan qalbu. Dahsyat! Ini merupakan upaya sistematis dari kalangan setan (nafsu) nya diri untuk memalingkan anak sehingga ternodai fitrahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al-An’am: 112)
Maka, tatkala rumah hampa dari dzikir, di situlah syetan bercokol. Setan mengembuskan pertikaian, permusuhan, dendam kesumat, ketidakharmonisan, kegalauan, dan sekian banyak keburukan lainnya. Tak ada berkah dan sakinah. Bagaimanakah anak akan bisa tumbuh manis dalam suasana rumah seperti ini? Nas`alullah wal-’afiyah.
Sekali lagi, keshalihan dan amal shalih orangtua sangat memberi pengaruh bagi anak. Telisiklah, bagaimana kisah Musa dan Khidhir ‘alaihissalam kala tiba di tengah penduduk suatu negeri. Mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tak mau menjamu keduanya. Lantas, keduanya mendapati dinding rumah yang nyaris roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa pun berkata kepada Khidhir:
قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
“Musa berkata: ‘Kalau engkau mau, niscaya engkau mengambil upah untuk itu’.” (Al-Kahfi: 77)
Perihal peristiwa ini, Khidhir pun memberitahu kepada Musa:
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayah keduanya adalah seorang yang shalih. Maka Rabbmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (Al-Kahfi: 82) bunyi ayat:
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
“Ayah keduanya adalah seorang shalih.”
merupakan dalil bahwa seorang yang shalih akan dijaga keturunan-keturunannya, termasuk keberkahan ibadahnya bagi anak-anaknya di dunia dan akhirat dengan syafaatnya kepada mereka.
Hal yang sama diungkapkan pula oleh al-faqir bahwa sungguh (bagi) hamba yang shalih, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjaganya dan menjaga anak-anaknya.
Ini merupakan berkah dari keshalihan orangtua, hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memelihara dan merahmati anak-anaknya.
فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
“Maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu.” (Al-Kahfi: 82)
Sebagai orangtua atau pendidik dituntut untuk senantiasa mengarahkan dan membimbing anak. Segenap upaya dikerahkan agar memperoleh hasil pendidikan yang optimal. Tak semata kemampuan intelektual yang ingin dicapai, seperti banyaknya menyerap hafalan, ilmu dan lain-lain. Namun, ingin dicapai pula pembentukan kepribadian yang tersinari nilai-nilai akhlak Islami, akidah yang murni dan ibadah yang baik. Keadaan semacam ini adalah sesuatu yang idealis dan menjadi harapan semua pihak. Tapi pada kenyataannya, sebagai orangtua atau pendidik dihadapkan pada satu kasus yang di luar keinginan dan harapannya. Anak yang dicitakan mampu menyerap dan mengamalkan nilai-nilai Islam ternyata memendam sejumput masalah. Perilakunya senantiasa mengundang masalah. Ada saja ulahnya yang tiada terpuji.
Bagi orangtua atau pendidik, selain harus tetap berupaya membimbing, mengarahkan dengan berbagai nasihat, juga tidak lupa untuk selalu memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagai orangtua atau pendidik harus meyakini sepenuhnya bahwa yang memberi hidayah adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ يَهْدِ اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf: 178)
فَإِنَّ اللهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Fathir: 8)
Hadits dari Sa’id bin Al-Musayyab, dari ayahnya, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, mengungkapkan betapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak memiliki daya untuk memberikan hidayah taufiq kepada paman beliau, Abu Thalib. Sehingga pamannya mati dalam kekafiran. Maka turunlah ayat:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56)
Kisah ini bisa dilihat dalam Shahih Al-Bukhari, hadits no. 4772.
Al-faqir memerinci masalah hidayah menjadi dua macam. Pertama, al-huda (petunjuk) dengan makna ad-dalalah (tuntunan) dan al-bayan (penjelasan). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى
“Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) dari petunjuk itu.” (Fushshilat: 17)
Kedua, al-huda (petunjuk) dengan makna at-taufiq dan al-ilham. Inilah yang tidak ada pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada kekuasaan pada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk memberi hidayah) kecuali (hidayah ini dari) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Al-Qashash: 56)
Dengan memahami dan meyakini masalah hidayah ini, setidaknya bisa melecut diri untuk senantiasa bersabar dalam menunaikan kewajiban mendidik anak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ
“Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49)
Pendidik (orangtua) harus tetap gigih mengarahkan, membimbing, menuntun dan memberi keteladanan pada anak. Mudah-mudahan dengan segenap upaya ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah dan taufiknya kepada anak kita AMIIN
Wallahu a’lam.
by: alkis
Langganan:
Postingan (Atom)
PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI
JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...
KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN