Thoriqoh al Mu’tabaroh di indonesia Dalam tasawwuf seringkali dikenal istilah Thoriqoh, yang berarti jalan menuju alloh , yakni jalan untuk mencapai Ridlo Alloh. Dengan pengertian ini bisa digambarkan, adanya kemungkinan banyak jalan, sehingga sebagian sufi menyatakan, Atthuruq biadadi anfasil mahluk, yang artinya jalan menuju Alloh itu sebanyak nafasnya mahluk, aneka ragam dan bermacam macam.
Kendati demikian orang yang hendak menempuh jalan itu haruslah berhati hati, karena dinyatakan pula, Faminha Mardudah waminha maqbulloh, yang artinya dari sekian banyak jalan itu, ada yang sah dan ada yang tidak sah, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima. Yang dalam istilah ahli Thoriqoh lazim dikenal dengan ungkapan,Muâ’tabaroh. Wa ghoiru Muâ’tabaroh. KH.Ahmad zainal jinan wahhab menjelaskan, awalnya Thoriqoh itu dari Nabi yang menerima wahyu dari Alloh, melalui malaikat Jibril.
Jadi, semua Thoriqoh yang Muâ’tabaroh itu, sanad(silsilah)-nya muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi. Kalau suatu Thoriqoh sanadnya tidak muttashil sampai kepada Nabi bisa disebut Thoriqoh tidak (ghoiru) Muâ’tabaroh. Barometer lain untuk menentukan ke-muâ’tabaroh-an suatu Thoriqoh adalah pelaksanaan syariâ’at. Dalam semua Thoriqoh Muâ’tabaroh syariat dilaksanakan secara benar dan ketat. Diantara Thoriqoh Muktabaroh itu adalah : Thoriqoh Syathoriyah pertama kali dirintis oleh syekh Abdulloh As Syathor (w.1429 M). Thoriqoh Syathoriyah berkembang luaske Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan SyekhIbrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Hamzah al-fansuri
Sufi, cendekiawan, budayawan dan sastrawan terkemuka pada pertengahan abad 16 dan awal abad 17 di kawasan Melayu-Aceh. Beliau juga dikenal sebagai sosok pelopor dan pembaharu, intelektual yang berani mengkritik para penguasa. Beliau juga memelopori penulisan risalah tasawuf secara sistematis dan ilmiah. Di bidang kesusastraan,
Jadi, semua Thoriqoh yang Muâ’tabaroh itu, sanad(silsilah)-nya muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi. Kalau suatu Thoriqoh sanadnya tidak muttashil sampai kepada Nabi bisa disebut Thoriqoh tidak (ghoiru) Muâ’tabaroh. Barometer lain untuk menentukan ke-muâ’tabaroh-an suatu Thoriqoh adalah pelaksanaan syariâ’at. Dalam semua Thoriqoh Muâ’tabaroh syariat dilaksanakan secara benar dan ketat. Diantara Thoriqoh Muktabaroh itu adalah : Thoriqoh Syathoriyah pertama kali dirintis oleh syekh Abdulloh As Syathor (w.1429 M). Thoriqoh Syathoriyah berkembang luaske Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan SyekhIbrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Hamzah al-fansuri
Sufi, cendekiawan, budayawan dan sastrawan terkemuka pada pertengahan abad 16 dan awal abad 17 di kawasan Melayu-Aceh. Beliau juga dikenal sebagai sosok pelopor dan pembaharu, intelektual yang berani mengkritik para penguasa. Beliau juga memelopori penulisan risalah tasawuf secara sistematis dan ilmiah. Di bidang kesusastraan,
Syekh adalah orang pertama yang memperkenalkan syair puisi empat baris dengan skema akhiran sajak a-a-a-a. Beliau meletakkan dasar puisi dan estetika Melayu yang kokoh. Pengaruhnya sebagai penyair sufimasih kelihatan jelas hingga abad 20, terutama dalam karya sastrawan Pujangga Baru seperti Sanusi Pane dan Amir Hamzah. Dalam bidang tasawuf, Syekh Hamzah Fansuri adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah. Ajarannya tentang wahdat al-wujud kelak ditentang keras oleh Syekh Nuruddin al-Raniri, yang menuduhnya sebagai ulama zindik.
Hamzah Fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Bayt al-Ka’bah
Di Barus ke Qudus terlalu payah
Hamzah Fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Bayt al-Ka’bah
Di Barus ke Qudus terlalu payah
Akhirnya didapat di dalam rumah
Tidak diketahui dengan pasti kapan dan di mana Syekh Hamzah Fansuri ini dilahirkan.
Namun dengan melihat pada nama gelaran di belakangnya diduga kuat beliau berasal dari Fansur, atau Barus, yang saat itu merupakan kotapelabuhan penting yang kerap dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh. Juga tidak diketahui dengan pasti kapan beliau meninggal. Sebagian sarjana berspekulasi beliau masih hidup hingga zaman Sultan Iskandar Muda. Semasa hidupnya, Syekh Fansuri menyaksikan pergolakan dan pertikaian politik istana, hedonisme dan penyimpangan-penyimpangan dalam pengamalan ajaran Islam.
Pada masa Iskandar Muda, masa keemasan Aceh, tasawuf memang berkembang, tetapi kebanyakan hanya sekedar kegemaran dan “gaya hidup” tanpa penghayatan dan pengamalan yang mendalam dan benar. Pada masa Iskandar Muda, hedonisme dan kemewahan jauh lebih leluasa dibanding masa sebelumnya. Bahkan Sultan melakukan praktik meditasi menyambut datangnya bulan purnama, sebuah praktik dari tradisi Yoga pranayama.
Hamzah Fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Bayt al-Ka’bah
Di Barus ke Qudus terlalu payah
Hamzah Fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Bayt al-Ka’bah
Di Barus ke Qudus terlalu payah
Akhirnya didapat di dalam rumah
Tidak diketahui dengan pasti kapan dan di mana Syekh Hamzah Fansuri ini dilahirkan.
Namun dengan melihat pada nama gelaran di belakangnya diduga kuat beliau berasal dari Fansur, atau Barus, yang saat itu merupakan kotapelabuhan penting yang kerap dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh. Juga tidak diketahui dengan pasti kapan beliau meninggal. Sebagian sarjana berspekulasi beliau masih hidup hingga zaman Sultan Iskandar Muda. Semasa hidupnya, Syekh Fansuri menyaksikan pergolakan dan pertikaian politik istana, hedonisme dan penyimpangan-penyimpangan dalam pengamalan ajaran Islam.
Pada masa Iskandar Muda, masa keemasan Aceh, tasawuf memang berkembang, tetapi kebanyakan hanya sekedar kegemaran dan “gaya hidup” tanpa penghayatan dan pengamalan yang mendalam dan benar. Pada masa Iskandar Muda, hedonisme dan kemewahan jauh lebih leluasa dibanding masa sebelumnya. Bahkan Sultan melakukan praktik meditasi menyambut datangnya bulan purnama, sebuah praktik dari tradisi Yoga pranayama.
Selain itu banyak penempuh jalan sufi yang bertindak keterlaluan, bertapa di hutan-hutan. Seperti dalam sebuah syairnya, beliau mengecam:Segala muda dan sopanSegala tua berhubanUzlatnya berbulan-bulanMencari Tuhan ke dalam hutan….Sidan thalib ke dalam hutanPergi uzlat berbulan-bulanDari muda datang berhubanTiada bertemu dengan TuhanBahkan tak lupa Syekh Fansuri juga mengecam dirinya sendiri,
yang barangkali pernah mengerjakan amalan serupa di masa mudanya:Hamzah sesat di dalam hutanPergi uzlat berbulan-bulanAkan kiblatnya picik dan jawadanItulah lambat mendapat TuhanHamzah sesat di dalam hutanPergi uzlat berbulan-bulanAkan kiblatnya picik dan jawadanItulah lambat mendapat TuhanPergi uzlat berbulan-bulanDari muda datang berhubanTiada bertemu dengan Tuhan KARYA AJARANNYA
Prosa dan puisi karya Syekh Fansuri yang masih tersisa tidak banyak. Adabeberapa karya diduga karya Syekh Fansuri tetapi diragukan keotentikannya Tetapi setidaknya ada tiga risalah yang dipandang asli karyanya, yakni Syarab al-Asyiqin, Asrar al-Arifin dan al-Muntahi.Syarah al-Asyiqin (Minuman Orang Berahi) berisi ringkasan ajaran wahdat al-wujud Syekh al-Akbar IBN AL-‘ARABI,
yang barangkali pernah mengerjakan amalan serupa di masa mudanya:Hamzah sesat di dalam hutanPergi uzlat berbulan-bulanAkan kiblatnya picik dan jawadanItulah lambat mendapat TuhanHamzah sesat di dalam hutanPergi uzlat berbulan-bulanAkan kiblatnya picik dan jawadanItulah lambat mendapat TuhanPergi uzlat berbulan-bulanDari muda datang berhubanTiada bertemu dengan Tuhan KARYA AJARANNYA
Prosa dan puisi karya Syekh Fansuri yang masih tersisa tidak banyak. Adabeberapa karya diduga karya Syekh Fansuri tetapi diragukan keotentikannya Tetapi setidaknya ada tiga risalah yang dipandang asli karyanya, yakni Syarab al-Asyiqin, Asrar al-Arifin dan al-Muntahi.Syarah al-Asyiqin (Minuman Orang Berahi) berisi ringkasan ajaran wahdat al-wujud Syekh al-Akbar IBN AL-‘ARABI,
Shadr al-Din al-Qunawi dan Abd al-Karim al-Jilli, dan cara mencapai makrifat. Kitab ini terdiri dari tujuh bab – bab
1 sampai 4 menguraikan tahapan ilmu suluk (syari’at, tarekat, hakekat dan makrifat),
bab 5 tentang tajalli dzat Tuhan Yang Maha Tinggi (asas ontologi ajaran wujudiyyah),
bab 6 tentang sifat-sifat Allah, dan bab
7 tentang isyq dan sukr (kemabukan mistik). Kitab ini ditulis sebagai panduan untuk pemula dalam ilmu suluk.
Bab 5, yang berisi keterangan prinsip wujudiyyah, adalah bab terpenting dalam kitab ini yang menunjukkan pemikiran wujudiyyah Fansuri – kelak ajaran wahdat al-wujud ini, yang diteruskan oleh Syekh SYAMSUDDIN SUMATRANI - Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili menjadi kontroversi sengit dan bahkan dikecam habis-habisan oleh Syekh Nuruddin (lihat NURUDDIN RANIRI).
Bab ini adalah ajaran tentang tajalli Tuhan, tentang martabat atau urutan tajalli Tuhan:Martabat la ta’ayyun, yakni keadaan di mana Dzat-Nya tak bisa dikenali oleh siapapun, ghaib mutlak, belum bertajalli. Akal, pembicaraan ilmu dan bahkan makrifat tidak akan menjangkau-Nya.
Bab ini adalah ajaran tentang tajalli Tuhan, tentang martabat atau urutan tajalli Tuhan:Martabat la ta’ayyun, yakni keadaan di mana Dzat-Nya tak bisa dikenali oleh siapapun, ghaib mutlak, belum bertajalli. Akal, pembicaraan ilmu dan bahkan makrifat tidak akan menjangkau-Nya.
Bahkan para nabi dan wali pun tidak tahu (hairan). Maka Nabi berkata: Subhanaka ma’arofnaaka haqqon ma’rifataka (Maha Suci Engkau, tiada kukenal Engkau sebagaimana mestinya Engkau dikenal) dan tafakkaru fi khalqillahi wa la tafakkaru fi dzatillah (Renungkanlah ciptaan-Nya; jangan kau pikirkan Dzat-Nya).Martabat ta’ayyun awal (kenyataan pertama), yang berupa tajalliIlm (Pengetahuan), Wujud (Eksistensi), Syuhud (Menyaksikan), danNur (Cahaya).
Seperti dikatakan Syekh, karena Ilmu maka Tuhan adalah Alim dan Ma’lum (Mengetahui dan Diketahui); karena Wujud maka Dia adalah Yang Mengadakan dan Yang ada; karena Syuhud maka Dia adalah Yang Melihat dan Yang Dilihat; karena Nur maka Dia adalah Yang Menerangkan (dengan Cahaya-Nya) dan Yang Diterangkan (oleh Cahaya-Nya).
Martabat ta’ayyun tsani (atau ta’ayyun ma’lum), kenyataan kedua, di mana Tuhan menjadi dikenal. Yang dimaksud dikenal (ma’lum) di sini adalah a’yan tsabithah (entitas permanen), kenyataan dari segala sesuatu; juga dinamakan suwar al-‘ilmiyyah (bentuk yang diketahui) atau al-haqiqah al-asyya’ atau hakekat segala sesuatu di alam semesta, atau ruh idhafi (ruh yang terpaut)
Martabat ta’ayun tsalis (kenyataan ketiga) yakni ruh insan dan makhluk.Martabat ta’ayyun rabi’ dan khamis, kenyataan keempat dan kelima, yakni penciptaan alam semesta beserta seluruh makhluk.
Kitab Asrar al-‘Arifin adalah karya prosa Syekh Fansuri yang terpanjang, dan tidak ada duanya dalam khazanah sastra Melayu. Penulisannya diilhami oleh kitab Sawanah karya Syekh Ahmad al-Ghazali, Tarjuman al-Asywaq karya Syekh Ibn ‘Arabi, Lam’at karya al-Iraqi, dan Lawa’ih karya Jami. Isinya adalah telaah Syekh atas puisi ciptaannya sendiri.
Dalam kitab ini tampak keluasan ilmunya, seperti diindikasikan dalam perujukan-perujukannya pada sajak-sajak Syekh Ibn al-‘Arabi, Farid al-Din Athtar, Jalal al-Din Rumi, Ahmad al-Ghazali, Ayn al-Qudhat al-Hamadani, ‘Iraqi, Mahmud al-Syabistari, Junaid al-Bahgdadi dan Jami’ dan juga Mansur Al-Hallaj.
Kitab al-Muntahi merupakan karya paling ringkas tetapi mendalam. Kitab ini secara garis besar membicarakan tiga persoalan:
Martabat ta’ayyun tsani (atau ta’ayyun ma’lum), kenyataan kedua, di mana Tuhan menjadi dikenal. Yang dimaksud dikenal (ma’lum) di sini adalah a’yan tsabithah (entitas permanen), kenyataan dari segala sesuatu; juga dinamakan suwar al-‘ilmiyyah (bentuk yang diketahui) atau al-haqiqah al-asyya’ atau hakekat segala sesuatu di alam semesta, atau ruh idhafi (ruh yang terpaut)
Martabat ta’ayun tsalis (kenyataan ketiga) yakni ruh insan dan makhluk.Martabat ta’ayyun rabi’ dan khamis, kenyataan keempat dan kelima, yakni penciptaan alam semesta beserta seluruh makhluk.
Kitab Asrar al-‘Arifin adalah karya prosa Syekh Fansuri yang terpanjang, dan tidak ada duanya dalam khazanah sastra Melayu. Penulisannya diilhami oleh kitab Sawanah karya Syekh Ahmad al-Ghazali, Tarjuman al-Asywaq karya Syekh Ibn ‘Arabi, Lam’at karya al-Iraqi, dan Lawa’ih karya Jami. Isinya adalah telaah Syekh atas puisi ciptaannya sendiri.
Dalam kitab ini tampak keluasan ilmunya, seperti diindikasikan dalam perujukan-perujukannya pada sajak-sajak Syekh Ibn al-‘Arabi, Farid al-Din Athtar, Jalal al-Din Rumi, Ahmad al-Ghazali, Ayn al-Qudhat al-Hamadani, ‘Iraqi, Mahmud al-Syabistari, Junaid al-Bahgdadi dan Jami’ dan juga Mansur Al-Hallaj.
Kitab al-Muntahi merupakan karya paling ringkas tetapi mendalam. Kitab ini secara garis besar membicarakan tiga persoalan:
(1) kejadian alam semesta sebagai panggung tajalli Tuhan dan Kemahakuasaan-Nya.
(2) bagaimana Tuhan memanifestasikan Diri-Nya dan bagaimana ahli makrifat memandang alam semesta, serta bab tentang sebab pertama segala kejadian.
(3) bagaimana seseorang dapat kembali ke asalnya, yakni keadaan kanzu makhfi (perbendaharaan tersembunyi). Dalam risalah ini pula Syekh Hamzah Fansuri menunjukkan kepiawaiannya sebagai penerjemah yang mumpuni. Tetapi kitab ini pula yang menjadi salah satu rujukan Syekh Nuruddin Raniri untuk mengkafirkan Syekh Hamzah Fansuri.
Menurut seorang peneliti, syair-syair Hamzah Fansuri yang penuh ajaran tasawuf itu memiliki sejumlah ciri menonjol, yakni:
(1) sajak empat baris dengan skema akhiran AAAA, atau disebut syair dalam kesusastaran Melayu
(2) dari struktur batinnya menunjukkan ungkapan perasaan fana, cinta Tuhan, kemabukan mistik,
pengalaman batin dan pengetahuan tasawuf yang diperoleh melalui ilham an kasyaf;
(3) terdapat banyak kutipan ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an untuk fungsi religius dan estetis;
(4) terdapat isyarat atau perlambang kesufian seperti anak dagang, anak jamu, anak datu, anak ratu, orang uryani, faqir, thalib, asyiq dan lain-lain;
(5) ada ungkapan-ungkapan dan citra yang paradoks, hal yang lazim dalam sastra sufi
(6) ada syair yang memiliki kesamaan dengan baris-baris puisis sufi Parsi, semisal Iraqi. Hafiz, Rumi, Syabistari, al-Magribi dan Jami dan Athtar
(7) ada kata atau serapan kata dari Arab dan Jawa, kutipan Qur’an dan Hadits serta ucapan syathahat dari Sayyidina Ali, Bayazid al-Bisthami dan al-Hallaj.
Dari sudut pandang estetika, Syekh Hamzah Fansuri telah melaksanakan tuntutan licentia poetica (kebebasan penyair) secara utuh. Sajak-sajak Syekh Fansuri mencerminkan proses islamisasi kebudayaan Melayu pada abad 16.
Melalui Syekh Hamzah Fansuri bahasa Melayu naik kedudukannya menjadi bahasa paling penting di kepulauan Nusantara.
Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili aceh ke Nusantara,pamijahan tasik malaya ,papua, NTB,Tulungagung,jogja,dan jawa tengah lainnya kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanu al-Din & syeckh ke Minangkabau. Thoriqoh Syathoriyah sesudah Syekh Burhan al-Din & syamsu al-din assumathroni , berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu;
1. Pertama silsilah yang diterima dari Imam Maulana.
2. Kedua, silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan.
3. Ketiga, silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan.
4. Keempat; silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ al-Qulub.
Thoriqoh ini berkembang di Minangkabau dan sekitarnya.Untuk mendukung ke1embagaan Thoriqoh, kaum Syathoriyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial keagamaan Jamâ’ah Syathoriyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting- ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi-tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan Thoriqoh Syathoriyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan ziarah bersama ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan. Sementara Thoriqoh Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau pada tahun 1850. Thoriqoh Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad ke 17, pintu masuknya melalui daerah Pesisir Pariaman, kemudian terus ke Agam dan Limapuluh kota.
Thoriqoh Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama abad ketujuh belas oleh syekh Jamalu al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia melanjutkan ke Bay'at al-Faqih, Aden, Haromain, Mesir dan India. Naqsyabandiyah merupakan salah satu Thoriqoh sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki, Bosnia- Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14,
Menurut seorang peneliti, syair-syair Hamzah Fansuri yang penuh ajaran tasawuf itu memiliki sejumlah ciri menonjol, yakni:
(1) sajak empat baris dengan skema akhiran AAAA, atau disebut syair dalam kesusastaran Melayu
(2) dari struktur batinnya menunjukkan ungkapan perasaan fana, cinta Tuhan, kemabukan mistik,
pengalaman batin dan pengetahuan tasawuf yang diperoleh melalui ilham an kasyaf;
(3) terdapat banyak kutipan ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an untuk fungsi religius dan estetis;
(4) terdapat isyarat atau perlambang kesufian seperti anak dagang, anak jamu, anak datu, anak ratu, orang uryani, faqir, thalib, asyiq dan lain-lain;
(5) ada ungkapan-ungkapan dan citra yang paradoks, hal yang lazim dalam sastra sufi
(6) ada syair yang memiliki kesamaan dengan baris-baris puisis sufi Parsi, semisal Iraqi. Hafiz, Rumi, Syabistari, al-Magribi dan Jami dan Athtar
(7) ada kata atau serapan kata dari Arab dan Jawa, kutipan Qur’an dan Hadits serta ucapan syathahat dari Sayyidina Ali, Bayazid al-Bisthami dan al-Hallaj.
Dari sudut pandang estetika, Syekh Hamzah Fansuri telah melaksanakan tuntutan licentia poetica (kebebasan penyair) secara utuh. Sajak-sajak Syekh Fansuri mencerminkan proses islamisasi kebudayaan Melayu pada abad 16.
Melalui Syekh Hamzah Fansuri bahasa Melayu naik kedudukannya menjadi bahasa paling penting di kepulauan Nusantara.
Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili aceh ke Nusantara,pamijahan tasik malaya ,papua, NTB,Tulungagung,jogja,dan jawa tengah lainnya kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanu al-Din & syeckh ke Minangkabau. Thoriqoh Syathoriyah sesudah Syekh Burhan al-Din & syamsu al-din assumathroni , berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu;
1. Pertama silsilah yang diterima dari Imam Maulana.
2. Kedua, silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan.
3. Ketiga, silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan.
4. Keempat; silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ al-Qulub.
Thoriqoh ini berkembang di Minangkabau dan sekitarnya.Untuk mendukung ke1embagaan Thoriqoh, kaum Syathoriyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial keagamaan Jamâ’ah Syathoriyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting- ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi-tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan Thoriqoh Syathoriyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan ziarah bersama ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan. Sementara Thoriqoh Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau pada tahun 1850. Thoriqoh Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad ke 17, pintu masuknya melalui daerah Pesisir Pariaman, kemudian terus ke Agam dan Limapuluh kota.
Thoriqoh Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama abad ketujuh belas oleh syekh Jamalu al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia melanjutkan ke Bay'at al-Faqih, Aden, Haromain, Mesir dan India. Naqsyabandiyah merupakan salah satu Thoriqoh sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki, Bosnia- Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14,
Thoriqoh Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alfi Tsani (Pembaru Milenium kedua, w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan Thoriqoh tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah.
Ciri yang menonjol dari Thoriqoh Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati (Sirri). Penyebaran Thoriqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah ditunjang oleh ulama ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekah dan Medinah, mereka mendapat bai’ah dari Syekh Jabal Qubays di Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di Medinah.
Misalnya, Syekh Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899 M), Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh Khatib Ali Padang (w. 1936),
dan Syekh Muhammad Sai’d Bonjol. Mereka adalah ulama besar dan berpengaruh pada zamannya serta mempunyai anak murid mencapai ratusan ribu, yang kemudian turut menyebarkan Thoriqoh ini ke daerah asal masing masing Di indonesia ,,,, mengenang perkembangan thoriqoh dari andalas
Ciri yang menonjol dari Thoriqoh Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati (Sirri). Penyebaran Thoriqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah ditunjang oleh ulama ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekah dan Medinah, mereka mendapat bai’ah dari Syekh Jabal Qubays di Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di Medinah.
Misalnya, Syekh Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899 M), Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh Khatib Ali Padang (w. 1936),
dan Syekh Muhammad Sai’d Bonjol. Mereka adalah ulama besar dan berpengaruh pada zamannya serta mempunyai anak murid mencapai ratusan ribu, yang kemudian turut menyebarkan Thoriqoh ini ke daerah asal masing masing Di indonesia ,,,, mengenang perkembangan thoriqoh dari andalas