Latar Belakang Masalah Al Qur`an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Setidaknya itulah yang diindikasikan oleh surat al Baqarah ayat 185. Di samping itu, dalam ayat dan surat yang sama, diinformasikan juga bahwa al Qur`an sekaligus menjadi penjelasan (bayyinaat) dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda (furqaan)-antara yang baik dan yang buruk. Di sinilah manusia mendapatkan petunjuk dari al Qur`an. Manusia akan mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk atas dasar pertimbangannya terhadap petunjuk al Qur`an tersebut. Al Qur`an adalah kalaamullaah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. dengan media malaikat Jibril as.
Dalam fungsinya sebagai petunjuk, al Qur`an dijaga keasliannya oleh Allah swt. Salah satu hikmah dari penjagaan keaslian dan kesucian al Qur`an tersebut adalah agar manusia mampu menjalani kehidupan di dunia ini dengan benar-menurut Sang Pencipta Allah ‘azza wa jalla sehingga kemudian selamat, baik di sini, di dunia ini dan di sana , di akhirat sana . Bagaimana mungkin manusia dapat menjelajahi sebuah hutan belantara dengan selamat dan tanpa tersesat apabila peta yang diberikan tidak digunakan, didustakan, ataupun menggunakan peta yang jelas-jelas salah atau berasal dari pihak yang tidak dapat dipercaya?
Oleh karena itu, keaslian dan kebenaran al Qur`an terdeterminasi dengan pertimbangan di atas agar manusia tidak tersesat dalam mengarungi kehidupannya ini dan selamat dunia-akhirat. Kemampuan setiap orang dalam memahami lafald dan ungkapan Al Qur’an tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikian gemilang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna yang dzahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global, sedangkan kalangan cendekiawan dan terpelajar akan dapat mengumpulkan pula dari pandangan makna-makna yang menarik. Dan diantara cendikiawan kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman maka tidaklah mengherangkan jika Al-Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata garib (aneh-ganjil) atau mentakwil tarkib (susunan kalimat) dan menterjemahkannya kedalam bahasa yang mudah dipahami.
B. Rumusan Masalah
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas maka kami akan menjelaskan tentang definisi tafsir ta’wil dan terjemah Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut: a. Apa definisi dari tafsir, ta’wil dan terjemah? b. Bagaimana pendapat sebagian ulama tentang tafsir dan ta’wil ? c. Apakah penting bagi kita untuk mempelajari Tafsir, ta’wil dan terjemah ? C. Tujuan Penulisan Tujuan dari pembahasan yang berjudul tentang tafsir ta’wil dan terjemah yaitu: 1. Untuk mengetahui tentang definisi tafsir ta’wil dan terjemah. 2. Untuk mengetahui pendapat ulama’ tentang hal ini untuk memberi penjelasan tentang pentingnya pemahaman tafsir, ta’wil dan terjemah. . D. Sistematika Penulisan Makalah ini terdiri dari tiga bab, yaitu: Bab I pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisannya. Bab II pembahasan, yang terdiri dari Penjelasan tafsir, ta’wil dan terjemah. Bab III penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran
BAB II PEMBAHASAN
A. Tafsir :
BAB II PEMBAHASAN
A. Tafsir :
Pengertian Tafsir Kata tafsir diambil dari bahasa arab yaitu fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian. Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang musykil. Pengertian tafsir dengan makna di atas, sesuai dengan firman Allah dalam surah Al Furqan :
وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (sesuatu) yang ganjil melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”. (QS. 25 : 33)
Maksudnya ialah: penjelasan yang lengkap dan terperinci sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abas. Menurut Abu Hayyan, tafsir, secara terminologis merupakan ilmu yang membahas tentang metode mengucapkan lafazh-lafazh al Qur`an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dari makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun dari hal-hal yang melengkapinya. Kata As Zarkasyy dalam Al Burhan “Tafsir itu, ialah menerangkan makna-makna Al Qur-an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya”
Kedudukan Tafsir :
Tafsir ialah dari ilmu-ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi. Ia adalah ilmu yang paling mulia, sebagai judul, tujuan, dan kebutuhan, karena judul pembicaraan ialah kalaam atau wahyu Allah SWT yang jadi sumber segala hikmah dan sumber segala keutamaan. Selanjutnya, bahwa jadi tujuannya ialah berpegang pada tali Allah yang kuat dan menyampaikan kepada kebahagiaan yang hakikat atau sebenamya. Sesungguhnya makin terasa kebutuhan padanya ialah, karena setiap kesempurnaan agama dan dunia, haruslah sesuai dengan ketentuan syara’. Ia sesuai bila ia sesuai dengan ilmu yang terdapat dalam Kitab Allah SWT.
Pembagian Tafsir :
Secara umum para ulama telah membagi tafsir menjadi dua bagian yaitu: Tafsir bi al-riwayah, atau disebut juga dengan tafsir bi al-ma’tsur, dan tafsir bi al-dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ra’y. 1. Tafsir bi al-ma’tsur Tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw, pendapat (aqwal) sahabat, ataupun perkataan (aqwal) tabi’in. Dengan kata lain yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat Al Qur’an dengan sunnah, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Semua ayat-ayat al Qur`an telah dijelaskan oleh nabi Muhammad saw., sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam menafsirkan al Qur`an setelah al Qur`an itu sendiri, kepada para sahabat. Oleh karena itu, untuk menafsirkan al Qur`an maka metode yang tepat adalah mencari hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut setelah tidak didapatkan ayat al Qur`an yang lain yang menjelaskan ayat tersebut. Apabila memang tidak ada ayat dan atau hadis nabi Muhammad saw. yang dapat menafsirkan sebuah ayat al Qur`an maka yang digunakan adalah pendapat-pendapat para sahabat karena mereka lebih tahu tentang asbaabun nuzuul dan tingkat keimanan juga intelektualitasnya adalah yang tertinggi di kalangan pengikut Rasulullah saw. Dalam pertumbuhannya, tafsir bil ma’tsur menempuh tiga periode, yaitu: .
1. Periode masa Nabi, Sahabat, dan permulaan masa tabi’in ketika belum tertulis dan secara umum periwayatannya masih secara lisan (musyafahah).
2. Periode II, bermula dengan pengodifikasian hadits secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abd Al-Aziz (95-101). Tafsir bil Ma’tsur ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadits dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadits.
3. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab Tafsir bil Ma’tsur yang secara khusus dan berdiri sendiri.
Tafsir bil ma’tsur inilah yang wajib diikuti, diambil dan dipegangi, karena tafsir inilah jalan ma’rifah yang sahih dan metode yang dikenal. Inilah tafsir yang tidak mungkin menyelewengkan dalam kitabullah. Beberapa kitab tafsir bil ma`tsuur yang terkenal diantaranya tafsir Ibnu Abbas dengan judul Tanwiirul Miqbas min Tafsiiri Ibn Abbas, tafsir at Thabari dengan judul Jamii’ul Bayaan fii Tafsiiril Qur`an, tafsir Ibnu ‘Atiyyah dengan judul Muharrarul Wajiiz fi Tafsiiril Kitaabil ‘Aziz, dan tafsir Ibnu Katsir dengan judul Tafsiirul Qur`aanul ‘Azhiim. 2. tafsir bi al-dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ra’y
Tafsir bil ma’tsur inilah yang wajib diikuti, diambil dan dipegangi, karena tafsir inilah jalan ma’rifah yang sahih dan metode yang dikenal. Inilah tafsir yang tidak mungkin menyelewengkan dalam kitabullah. Beberapa kitab tafsir bil ma`tsuur yang terkenal diantaranya tafsir Ibnu Abbas dengan judul Tanwiirul Miqbas min Tafsiiri Ibn Abbas, tafsir at Thabari dengan judul Jamii’ul Bayaan fii Tafsiiril Qur`an, tafsir Ibnu ‘Atiyyah dengan judul Muharrarul Wajiiz fi Tafsiiril Kitaabil ‘Aziz, dan tafsir Ibnu Katsir dengan judul Tafsiirul Qur`aanul ‘Azhiim. 2. tafsir bi al-dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ra’y
Cara penafsiran bil ma’qul atau lebih populer lagi bir ra`yi menambahkan fungsi ijtihad dalam proses penafsirannya, di samping menggunakan apa yang digunakan oleh tafsir bil ma`tsuur.
Penjelasan-penjelasannya bersendikan kepada ijtihad dan akal dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip bahasa Arab dan adat-istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya. Husayn al Dhahaby menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bir ra`yi adalah penafsiran al Qur`an atas dasar ijtihadnya yang berlandaskan pengetahuannya tentang penuturan bangsa Arab dan arah pembicaraan mereka serta pengetahuannya tentang lafal bahas Arab dan makna yang ditunjukkannya dengan menjadikan syair jahily sebagai acuan dan panduannya.
Meskipun demikian, lanjut al Dhahaby, asbaabun nuzuul, naasikh wa mansuukh, dan alat bantu lainnya merupakan pengetahuan-pengetahuan yang tetap harus dikuasai dan digunakan dalam penafsiran ini. Ulama’ berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya metode tafsir bi Al – Ro’yi. Sebagian ulama’ melarang penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan metode ini, sebagian yang lain memperbolehkannya.
Rincian dari perbedaan ini hanyalah sebatas pada lafadz bukan hakikatnya. Dan golongan pertama tidak sampai melewati batas-batas ketentuan penafsiran. Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa tiap-tiap golongan telah melewati batas, dengan alasan bahwa meniadakan ma’na dalam lafadz yang manqul adalah suatu hal yang berlebihan dan membahas penafsiran bagi semua orang adalah suatu perbuatan yang tercela. Akan tetapi kalau kita kaji lebih dalam perbedaan-perbedaan mereka kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa semuanya sepakat tidak di perbolehkannya menafsiri Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan pendapat pribadi.
Menurut Manna’ Khalil Qaththan menafsirkan al qur`an dengan akal dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Menurutnya, cara penafsiran seperti ini dilakukan oleh mayoritas ahli bid’ah dan madzhab batil dalam rangka melegitimasi golongannya dengan memelintir ayat-ayat al Qur`an agar sesuai dengan kehendak hawa nafsunya.
Corak Tafsir dengan ra’yi (pikiran) dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Tafsir dengan pikiran yang tercela (madzum / mardud). Ialah bila mufassir dalam memahami pengertian kalimat yang khas dan ministimbatkan hukum hanya dengan menggunakan pikirannya saja dan tidak sesuai dengan ruh syari’at. Yang banyak menggunakan penafsiran bentuk ini ialah tokoh-tokoh bid’ah yang menurut pikiran mereka saja. Umpamanya tafsir Jabba’i, Rummani, Qadhi Abdul Jabbar, Zamakh Syari, dan Abdul Rahman bin Kisan Ashmi.
2. Tafsir dengan menggunakan pikiran yang terpuji (mahmudah / maqbul) a) Ialah bila tidak bertentangan dengan tafsir maktsuur b) Ia berbentuk ijtihad muqayyad atau yang dikaitkan dengan satu kait berpikir mengenai kitab Allah menurut hidayah sunnah Rasul yang mulia.
Sedangkan menurut Imam Al-Dzahabi dalam menanggapi permasalahan ini beliau berkata: Tafsir bi Al-Ro’yi ada dua:
1. Dengan menggunakan kaidah bahasa arab, akan tetapi tetap mengikuti Al-Kitab dan sunnah serta tetap mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini diperbolehkan.
2. Tidak memakai kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah ilmu syari’at serta tidak mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini sangat dibenci dan tidak di terima oleh para ulama’, seperti yang di sampaikan oleh Ibnu Mas’ud: “akan ada suatu kaum yang mengajak untuk memahami Al-Qur’an, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Maka wajib bagi kalian untuk mendalami Al-Qur’an, dan menjauhi segala bentuk bid’ah”. Kitab-kitab tafsir bir ra`yi diantaranya tafsir ar Razi yang berjudul Mafaatihul Ghaib, tafsir Ibnu Hayyan yang berjudul Al Bahrul Muhiit, dan tafsir az Zamakhsyari yang berjudul Al Kasysyaf ‘an Haqaa`iqit Tanziil wa ‘Uyuunil Aqaawiil fii Wujuuhit Tanwiil.
B. Ta’wil :
B. Ta’wil :
Pengertian Ta’wil Ta’wil secara bahasa berasal dari kata “aul”, yang berarti kembali ke asal.
Adapun mengenai arti takwil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh itu. Dengan kata lain, takwil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan merupakan makna lahirnya.
Kata sebahagian ulama : “Ta‘wil ialah mengembalikan sesuatu kepada ghayahnya, yakni menerangkan apa yang dimaksud daripadanya.” Sebagian yang lain berkata : “Ta‘wil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat diterima oleh lafadz.”
Perbedaan Tafsir dan Ta’wil Para mufassirin telah berselisihan pendapat dalam memberikan makna Tafsir dan Ta’wil. Kata Ar Raghib Al Asfahany : “Tafsir lebih umum dari ta’ wil. Dia lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal. Sedang ta’wil lebih banyak dipakai mengenai makna dan susunan kalimat.” Kata Abu Thalib Ats Tsa’laby : “Tafsir ialah, menerangkan makna lafadh, baik makna hakikatnya maupun makna majaznya, seperti mentafsirkan makna Ash Shirath dengan jalan dan Ash Shaiyib dengan hujan. Ta’wil ialah, mentafsirkan bathin lafadh. Jadi tafsir bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedang ta’wil menerangkan hakikat yang dikehendaki.
Umpamanya firman Allah s.w.t.:
•إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
“Bahwasanya Tuhanmu itu sungguh selalu memperhatikan kamu.” (Q.S. 14. 89 . AlFajr).
Tafsirnya ialah, bahwasanya Allah senantiasa dalam mengintai-intai memperhatikan keadaan hamba-Nya. Adapun ta’wilnya, ialah menakutkan manusia dari berlalai-lalai, dari lengah mempersiapkan persiapan yang perlu. Kata segolongan pula : “Tafsir berpaut dengan Riwayat. sedang ta’wil berpaut dengan Dirayat. Hal ini mengingat, bahwa tafsir dilakukan dengan apa yang dinukilkan dari Sahabat, sedang ta’wil difahamkan dari ayat dengan mempergunakan undang-undang bahasa ‘Arab.
Umpamanya firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ فَالِقُ الْحَبِّ وَالنَّوَى يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَمُخْرِجُ الْمَيِّتِ مِنَ الْحَيِّ ذَلِكُمُ اللَّهُ فَأَنَّى تُؤْفَكُون
"Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan (menjadikan) yang hidup dari yang mati (ditiupkan-Nya ruh) dan yang mengeluarkan (menjadikan) yang mati dari yang hidup (diangkat-Nya ruh). Demikian ialah (sifat) Allah, maka mengapa kamu masih berpaling." – (QS.6:95)
“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati.”
Maka jika kita katakan bahwa yang di kehendaki oleh ayat ini, mengeluarkan burung dari telur, dinamakanlah ia tafsir. Dan jika di katakan bahwa yang di kehendaki, mengeluarkan yang ‘alim dari yang bodoh, atau yang beriman dari yang kafir, itulah yang dinamakan ta’wil.
Perbedaan antara keduanya dapat di paparkan di bawah ini. TAFSIR Pemakaiannya banyak dalam lafazh-lafazh dan mufradat Jelas diterangkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih Banyak berhubungan dengan riwayat Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas) Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki. TAKWIL Pemakaiannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat Kebanyakan di istinbath oleh para ulama Banyak berhubungan dengan dirayat Digunakan dalam ayat-ayat mutasyabihat (tidak jelas) Menerangkan hakikat yang dikehendaki
C. Terjemah
Perbedaan antara keduanya dapat di paparkan di bawah ini. TAFSIR Pemakaiannya banyak dalam lafazh-lafazh dan mufradat Jelas diterangkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih Banyak berhubungan dengan riwayat Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas) Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki. TAKWIL Pemakaiannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat Kebanyakan di istinbath oleh para ulama Banyak berhubungan dengan dirayat Digunakan dalam ayat-ayat mutasyabihat (tidak jelas) Menerangkan hakikat yang dikehendaki
C. Terjemah
Pengertian Terjemah Secara lafazh tarjamah dalam bahasa Arab memiliki arti mengalihkan pembicaraan (kalam) dari satu bahasa ke bahasa lain.
Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam kitab Lisan al-’Arab:
Yang dimaksud dengan turjuman (dengan menggunakan dhammah) atau tarjuman (dengan fathah)
adalah yang menterjemahkan kalam (pembicaraan), yaitu memindahkannya dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
Sedangkan pengertian tarjamah secara terminologis, sebagaimana di definisikan oleh Muhammad ‘Abd al-’Azhim al Zarqani sebagai berikut:
Tarjamah ialah mengungkapkan makna kalam (pembicaraan) yang terkandung dalam suatu bahasa dengan kalam yang lain dan dengan menggunakan bahasa yang lain (bukan bahasa pertama),
lengkap dengan semua makna-maknanya dan maksud-maksudnya. Kata “terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti:
1). Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
2). Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu mengetahui bahwa terjemah harfiyah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak mungkin dapat dicapai dengan baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semua maknanya tetap di pertahankan. Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lain dalam hal tertib bagian-bagian kalimatnya.
D.Syarat-syarat terjemah
Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah, baik tarjamah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah:
1. Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa terjemahnya;
2. Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa tersebut;
3. Hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama;
4. Hendaknya bentuk (sighat) terjemahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa terjemah tersebut.
BAB PENUTUP
A. Kesimpulan Al-Qur`an sebagai ”hudan-linnas” (petunjuk buat manusia )dan “hudan-lilmuttaqin (petunjuk untuk orang yang bertaqwa), maka untuk memahami kandungan al-Qur`an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup sehari-hari memerlukan pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya,
BAB PENUTUP
A. Kesimpulan Al-Qur`an sebagai ”hudan-linnas” (petunjuk buat manusia )dan “hudan-lilmuttaqin (petunjuk untuk orang yang bertaqwa), maka untuk memahami kandungan al-Qur`an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup sehari-hari memerlukan pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya,
ta`wil, dan tafsirnya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Sehingga kehendak tujuan ayat al-Qur`an tersebut tepat sasarannya.
Terjemah, tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-ayat al-Qur`an yang mulia. Pengertian terjemah lebih simple dan ringkas karena hanya merubah arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya.
Sedangkan istilah tafsir lebih luas dari kata terjemah dan ta’wil , dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan ayat, surat, asbaabun nuzul, dan lain sebagainya dibahas dalam tafsir yang bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau surat tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah SWT tersebut.
B. Saran Demikianlah makalah yang kami berisikan tentang tafsir, ta’wil dan terjemah. Makalah inipun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada makalah ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih jika ingin lebih jelas lagi silahkan di buka di http://hakikatcintahamba.blogspot.com semoga bisa melengkapi kajian yang di tulis di sini ... mohon masukannya dari saudaraku semuanya ....agar bisa menambah kelengkapan sedikit uraian dari al-faqir ...