Prinsip Dan Sifat Tauhid
Prinsip tauhid sebenarnya berkaitan dengan totalitas tanpa sambungan.
Sehingga tidak ada pemilahan maupun parsialisasi, maupun penyatuan dan
integrasi, karena kalau itu terjadi maka prinsip tersebut tidak menunjukkan
prinsip tauhid yang hakiki. Sebagai totalitas, maka pengertian-pengertian
temporal, keruangan, dan kesadaran tidak ada. Sehingga penauhidan makhluk
kepada Yang Esa adalah penafian segala sesuatu yang baru. “
Tidak ada Tuhan
selain Allah
”, adalah penafian atas segala makna-makna yang terpahami oleh
sesuatu yang baru itu yakni semua makhluk. Maka, makhluk sebenarnya hanya
dapat memahami tauhid sebagai Allah SWT Yang Esa dari sisi ilmu dan
pengetahuan-Nya saja.
Diluar itu adalah Kebingungan Ilahiah
. Ketika sesuatu
. Ketika sesuatu
yang baru berjalan menyingkap dan menyaksikan sesuatu yang baru lainnya,
maka pada posisi paling akhirnya, yang baru akan tenggelam di dalam hakikat
totalitas. Ketika seseorang sebagai yang baru tenggelam dalam kesaksian akan
Yang Maha Esa, maka yang akan nampak sebagai hakikat segala yang ada
apakah itu kelembutan, kemesraan, keindahan, keagungan, atau pun yang
lainnya, tidak lebih dari Af’al, Asma,Sifat dan Dzat Yang Esa itu sendiri. Maka
Samudera Tauhid adalah samudera yang menenggelamkan samudera lainnya.
Dalam pengertian yang lebih modern, Samudera Tauhid adalah medan didalam
medan, didalam medan, didalam medan, dan seterusnya yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Kalau saya kaitkan pengertian ini dengan pendekatkan Teori
Kuantum Qolbu yang telah diuraikan , maka menjadi jelas bahwa
Qolbu Mukminin adalah qolbu yang mampu menampung ketauhidan Allah SWT
Yang Esa, yang pengertiannya selaras seperti dikatakan oleh sabda Rasulullah
SWT “
Qolbu Mukminin adalah Singhasana Allah.
Dalam pengertian yang lebih khusus maka seorang Mukminin adalah hamba
Allah, adalah dia yang menafikan dirinya sendiri sebagai dirinya yang mampu
menampung segala sesuatu yang baru (Laa illaaha),
Allah, adalah dia yang menafikan dirinya sendiri sebagai dirinya yang mampu
menampung segala sesuatu yang baru (Laa illaaha),
yang ada hanya “Allah
SWT”
SWT”
(illaa Allaah).
Sehingga prinsip tauhid sebagai suatu totalitas adalah yang
mampu meluruhkan segala sesuatu (ilmu pengetahuan). Maka prinsip tauhid adalah “Yang AdA” hanyalah “
DIA''
” -
Allah SWT Yang Maha Esa
”.
Sifat paling mendasar dalam tauhid karena itu adalah
mampu meluruhkan segala sesuatu (ilmu pengetahuan). Maka prinsip tauhid adalah “Yang AdA” hanyalah “
DIA''
” -
Allah SWT Yang Maha Esa
”.
Sifat paling mendasar dalam tauhid karena itu adalah
“
La ilaaha illaa Allah
”.
Didalam pernyataan yang meniadakan Yang lain Selain Allah ini maka terdapat
lima aspek penetapan paling mendasar yang harus diyakini. Kelima aspek ini
menurut Al-Ghazali adalah :
•
Adanya
Al-Bari SWT(Pencipta)
, untuk menolak peniadaannya (ta’thil /cela).
La ilaaha illaa Allah
”.
Didalam pernyataan yang meniadakan Yang lain Selain Allah ini maka terdapat
lima aspek penetapan paling mendasar yang harus diyakini. Kelima aspek ini
menurut Al-Ghazali adalah :
•
Adanya
Al-Bari SWT(Pencipta)
, untuk menolak peniadaannya (ta’thil /cela).
•Keesaan Allah SWT, untuk meniadakan selainnya atau
syirik
.
•Penyucian Dzat Allah dari segala bentuk al-aradh
atau al-jauhar
(substansi),
atau Penyucian dari segala yang baru, sehingga dengan
keduanya tidak terjadi penyerupaan (at-tasybih). “
Laisya Kamitslihi Syai-un (Tak ada yang serupa dengan-Nya)
”.
• Segala ciptaan-Nya didasarkan pada keinginan dan kehendak-Nya (yang eksis dengan kemandirian-Nya),
keduanya tidak terjadi penyerupaan (at-tasybih). “
Laisya Kamitslihi Syai-un (Tak ada yang serupa dengan-Nya)
”.
• Segala ciptaan-Nya didasarkan pada keinginan dan kehendak-Nya (yang eksis dengan kemandirian-Nya),
agar ia suci dari persoalan sebab akibat.
Maka yang baru selain-Nya eksis dengan limpahan
Maka yang baru selain-Nya eksis dengan limpahan
“Basmalah”
dan kehendak “
kun fa yakuun”.
kun fa yakuun”.
•Dialah yang mengatur segala yang diciptakan-Nya, tidak diatur oleh alam,
bintang, dan tidak juga oleh malaikat. Karena Dialah yang Maha Mendidik
dan Memelihara (Rabb al Aalamin) dan juga dialah yang memberikan
limpahan rahmat dan kasih sayang (ar-Rahmaan ar-Rahiim)
Akan tetapi, sifat mendasar tauhid ini “
La ilaaha ilallaah
” berlaku pada semua makhluk yang berada dalam karakteristiknya yang paling mendasar atau
elementer. Kendati sifat mendasar ini menjadi jembatan antara pentauhidan
Allah oleh manusia dan pentauhidan Allah oleh Allah, maka sifat mendasar ini
hanya berlaku dalam tingkatan hakikat. Secara eksoteris atau fisikal, yang paling elementer adalah hakikat tetapi bukan
al-Haqq
sebagai Hakikat Hakiki. Maka,
makhluk sintesis seperti manusia dan jin yang dinisbahkan sebagai yang
diciptakan untuk menyembah Allah harus memulai pentauhidan dari tauhid yang
lebih formal bagi dirinya (sebagai makhluk sintesis bukan makhluk elementer).
Maka ia harus mengikuti tauhid yang dinisbahkan kepada hamba dan kekasih
Allah yang membawa rahmat yaitu Nabi Muhammad SAW. Sifat tauhid bagi
manusia dan jin karena itu adalah kalimah syahadat, “
La ilaaha illaa Allah SWT,
Muhammadurrasulullah
”. Maka, bisa disimpulkan bahwa syahadat adalah
hakikat Rahmat dan Kasih Sayang Allah yang Maha Memelihara karena Dia
Maha Tahu kapasitas semua makhluk-Nya karena Dialah yang menentukan
masing-masing potensi dan kadarnya sejak awal mula makhluk diciptakan.
Secara langsung pengertian ini merujuk pada pengertian yang umum dari surat
al-Fatihah sebagai Pembuka, sebagai surat wajib yang harus dibaca Muslim
dalam setiap rakaat shalat, maka tanpa al-Fatihah shalat tidak sah. Dengan
demikian, maka syariat sebagai penghambaan kepada sifat Uluhiyah-Nya
terkonfirmasikan sebagai ubudiyah
manusia dan jin dengan perintah-perintah
Allah dan larangan-laranganNya, yaitu
shalat lima waktu sebagai hukum yang harus dipatuhi atau
wajib
. Jadi, pengertian merobohkan tiang-tiang agama Islam
kalau seseorang ber-KTP Islam tidak melaksanakan shalat lima waktu menjadi jelas. Sehingga manusia yang menolak syariat dikatakan akan menjadi zindiq
dan bagi yang menolak sifat mendasar tauhid berupa dzikir sebagai hakikat
dikatakan menjadi fasik. Dengan demikian, secara utuh dikatakan bahwa tidak
ada makrifat tanpa akidah(tauhid)-syariat-hakikat maka senyatanya
kesatupaduan aqidah – syariat – thoriqot–Ma'rifat - hakikat yang mengendap dalam
setiap Muslim lahir dan batin adalah kesatupaduan makrifat itu sendiri.
Dengan pengertian tauhid yang demikian, maka prosesi pentauhidan adalah
prosesi yang dibarengi dengan suatu keadaan penghambaan dan pengetahuan,
bukan penentangan dan kebodohan. Penentangan dan kebodohan inilah yang
diwujudkan oleh Iblis dalam diri sebagai hasil dari kebodohan yang menimbulkan
kesombongan karena kadarnya tidak mempunyai kapasitas untuk menampung
aspek keilmuan dari peribadahannya yang telah ia lakukan menurut sementara
tafsir ribuan tahun, ia taklid buta sehingga sifat-sifat Tuhannya tak dipahami, dan
akibat dari Iblis sendiri tidak memahami konsep rahmat dan kasih sayang karena
ia tidak mengetahui hakikat penciptaan. Akhirnya yang muncul adalah kebencian
yang menjadi iri dan dengki kepada Adam yang diciptakan untuk memiliki potensi
ilmu pengetahuan dengan akal pikirannya dan potensi untuk penyingkapan untuk
mengenal Af’al, Asma-asma dan Sifat-sifat Tuhannya. Tipu muslihat Iblis untuk
menjadikan dirinya Tuhan kedua digagalkan oleh Allah SWT dengan telak,
karena Allah Maha Mengetahui, sedangkan Iblis tidak memahami sifat-sifat
Tuhan seperti apa (dalam arti Tuhan itu memiliki sifat seperti apa? Baik ilustratif maupun berupa realitas penciptaan - Iblis benar-benar tidak tahu............
....... MARI MENGKAJI BERSAMA MENUJU PANGGILANNYA
SALAM RAHAYUU SEMUANYA ,,,,,,,,,,,,,,, SILAHKAN BERGABUNG DISINI
ALKIS ANNABILA ISYQ