TANBIIH

الحَمـْدُ للهِ المُــوَفَّـقِ للِعُـلاَ حَمـْدً يُوَافـــِي بِرَّهُ المُتَـــكَامِــلا وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَي النَّبِيِّ المُصْطَفَىَ وَالآلِ مَــــعْ صَـــحْــبٍ وَتُبَّـاعٍ وِل إنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا تَقْوَى الإلهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ وَتِبَاعُ أَهْوَى رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلاَ إن أخوف ما أخاف على أمتي اتباع الهوى وطول الأمل إنَّ الطَّرِيقَ شَرِيعَةٌُ وَطَرِيقَةٌ وَحَقِيقَةُ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلا فَشَرِيعَةٌ كَسَفِينَة وَطَرِيقَةٌ كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيقَةٌ دُرٌّ غَلاَ فَشَرِيعَةٌ أَخْذٌ بِدِينِ الخَالِقِ وَقِيَامُهُ بَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ انْجَلاَ وَطَرِِيقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطَ كَالوَرَع وَعَزِيمَةُ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاَ وَحَقِيقَةُ لَوُصُولُهِ لِلمَقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُورُ التّجَلِّي بِانجَلاَ مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق

hiasan

BELAJAR MENGKAJI HAKIKAT DIRI UNTUK MENGENAL ILAHI

Senin, 16 April 2012

PENGERTIAN TAFSIR FALSAFY ..LANJUTAN


1. Pengertian Tafsir Falsafi
 adalah upaya penafsiran Al Qur’an dikaitkan
dengan persoalan-persoalan filsafat.
[1]
Tafsir falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-
teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai
 penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti
 bahwa ayat-ayat Al Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat. Karena ayat Al
Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsiri dengan menggunakan
teori-teori filsafat.
Tafsîr al-Falâsifah
, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau
 pandangan falsafi, seperti tafsir 
bi al-ra`y
. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai
 justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat
.
[2]
seperti tafsir 
yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini
di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam padahal sebenarnya tidak . seorang MUKMIN harus bisa  menyembunyikan dengan keindahan bahasa karena dalam pengkajian al-qur'an sangatlah tidak mungkin MUKMIN itu mengungkapkan HAQIQAT RASA ..... yang telah di kecapinya 
.[3]
Al Qur’an adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci
ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan keislaman. Pemahaman ayat-ayat Al Qur’an melalui penafsiran
mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya peradaban umat Islam. Di
dalam menafsirkan Al Qur’an terdapat beberapa metode yang dipergunakan sehingga
membawa hasil yang berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang
 penafsir masing-masing. Sehingga timbullah berbagai corak penafsiran seperti tafsir shufi,
ilmi, adabi, fiqhi dan falsafi dan lain-lain yang tentunya juga akan menimbulkan pembahasan
yang luas serta pro-kontra dari zaman ke zaman.
Penafsiran terhadap Al Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam.
Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan Al Qur’an
serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir Al Qur’an pun terus
 berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf bahkan hingga sekarang. Pada
tahapan-tahapan perkembangannya tersebut, muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik 
dalam metode maupun corak penafsirannya.
Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan,
dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir 
yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafi yang cenderung
membangun proposisi universal hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu
mendominasi, maka metode ini kurangmemperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun
 begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi dan proposisi
makna-makna latent (tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan
lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.
[4]
Dari pemahaman tersebut tidak tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan
nantinya terwujudnya tafsir falsafi ideal, sebuah konsep tafir falsafi yang kontemporer yang
tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian
 pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks Al Qur’an tidak lepas
dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan
lahir tarfir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan diberlebih-lebihan.
Dan mungkin harapan tersebut tidak terlalu berlebihan karena di samping memang kita belum
menemukan tafsir yang secara utuh menggunakan pendekatan filosofis, kalaupun ada itu
hanya pemahaman beberapa ayat yang bisa kita temukan dalam buku-buku mereka.
Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman
kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai
aspek, terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal
dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid

walaupun keberannya masih tetap relatif.
 Namun kombinasi hasil penafsiran tersebut dengan aspek sosio-historis tentunya akan
semakin menyempurnakan eksistensinya. Sehingga produk tafsir ini jelas akan lebih memikat
dan kredibel dari pada tafsir lain.

2. Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi
Pada saat ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan, kebudayaan-
kebudayaan Islam berkembang di wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-
 buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, sedangkan di
antara buku-buku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku karangan para Filosof seperti
Aristoteles dan Plato, maka dalam menyikapi hal ini ulama Islam terbagi kepada dua
golongan, sebagai berikut:
1.

Golongan pertama menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof 
tersebut. Mereka tidak mau menerimanya, oleh karena itu mereka memahami ada diantara
yang bertentangan dengan aqidah dan agama. Bangkitlah mereka dengan menolak buku-buku
itu dan menyerang paham-paham yang dikemukakan di dalamnya, membatalkan argumen-
argumennya,mengharamkannya untuk dibaca dan menjauhkannya dari kaum muslimin.
[5]
Di antara yang bersikap keras dalam menyerang para filosof dan filsafat
adalah
 Hujjah al-Islam al-Imam
Abu Hamid Al-Ghazaly. Oleh karena itu ia mengarang
kitab
al-Isyarat 
dan kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka, Ibnu Sina dan Ibn Rusyd.
Demikian pula Imam al-Fakhr Al-Razy di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham
mereka dan kemudian membatalkan teori-teori filsafat mereka, karena bernilai bertentangan
dengan agama dan al-Qur’an.
2.

Sebagian ulam Islam yang lain, justru mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan dapat
menerima sepanjang tidak bertentangan dengan dengan norma-norma (dasar) Islam, berusaha
memadukan antara filsafat dan agama dan menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara
keduanya.
[6]
Golongan ini hendak menafisrkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan teori-teori filsafat
mereka semata, akan tetapi mereka gagal, oleh karena tidaklah mungkin
nash
al-Qur’an
mengandung teori-teori mereka dan sama sekali tidak mendukungnya.
DR. Muhammad Husain Al-Dzahabi, menanggapi sikap golongan ini, berkata “Kami tidak 
 pernah mendengar ada seseorang dari para filosof yang mengagung-agungkan filasafat, yang
mengarang satu kitab tafsir Al-Qur’an yang lengkap. Yang kami temukandari mereka tidak 
lebih hanya sebagian dari pemahaman-pemahaman mereka terhadap al-Qur’an yang
 berpencar-pencar dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan mereka.
[7]
Dari golongan yang pertama lahirlah kitab
Mafatih AL-Ghayb,
karangan Al-Fakhr Al-Razy
(W. 606 H)


NB: kesimpulannya 
sebagai seorang mukmin hendaklah bisa berfikir panjang tentang sebuah kajian yang masih perlu pembuktian jangan asal menerima apa yang cocok dengan aqal semata karena aqal takkan mampu mencapai perasaan (qolb sanubari) sedang al-qur'an & al-hadis itu petunjuk alloh serta rosululloh SAW sebagai bekal kita untuk menkaji setiap rahasia yang termaktub di dalam nya . salam rahayu semuanya ...

2 komentar:

M ALI AL BAIS mengatakan...

Pada saat inilah, para filsofof kemudian mencoba memandang dunia dengan cara yang lain yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah. Dalam mencari keterangan tentang alam semesta, mereka melepaskan diri dari hal-hal mistis yang secara turun-temurun diwariskan oleh tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai berpikir sendiri. Di balik aneka kejadian yang diamati secara umum, mereka mulai mencari suatu keterangan yang memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian-kejadian itu. Dalam artian inilah, mulai ada kesadaran untuk mendekati problem dan kejadian alam semesta secara logis dan rasional.[1]

Pada umumnya pendpat mengatakan bahwa lahirnya perkembangan dalam pikir Yunani kuno dimulai sejak abad 6 sebelum Masehi. Dan sejarah filsafat terbagi menjadi beberpa bagian sebagai berikut :

1. Abad Yunani kuno ( 6 abad sebelum masehi sampai 4 abadsebelum masehi).
2. Abad pertengahan ( abad 4 sampai abad 12).
3. Abad kebangkitan(abad ke 12 sampai akhir abad 15).
4. Abad baru ( abad ke 16 sampai abad ke 19).
5. Abad terakhir ( abad akhir 19sampai sekarang).[2]


Dan seperti diketahui bahwa pelaku Filsafat adalah akal, dan musuh (patner)-nya adalah hati, rasa.pertengtangan atau kerja sama antara akal dan hatiitulah pada dasarnya isi sejarah Filsafat. memang pusat kendali manusia terletak di tiga tempat, yaitu indra, akal, dan hati. Namun akal dan hatilah yang menentukan.

Didalam sejarah filsafat akal pernah menang, pernah kalah, hati pernah berjaya, jug pernah kalah, pernah juga kedua-duanya sama menang. Diantara keduanya, dalam sejarah, telah terjadi pergumulan tersebut dominasi dalam mengendalikan manusia.

Yang dimaksud akal disini ialah akal logis yang bertempat dikepala, sedangkan hati kira-kira bertempat di dalam dada.akal itulah yang mengjasilkan pengetahuan logis yang disebut Filsafat. Sedangkan hati menghasilkan pengetahuan supralogis yang disebut pengetahuan mistik, iman termasuk disini.

Ciri umum Filsafat Yunani adalah rasionalisme. Rasionalisme Yunani itu mencapai puncaknya pada orang-orang sofis.[3]

M ALI AL BAIS mengatakan...

2. Filsafat islam

Pemikiran filsafat masuk ke dalam Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai kaum Muslimin pada abad ke-8 Masehi atau abad ke-2 Hijriah di Suriah, Mesopotamia, Persia, dan Mesir.

Dalam Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve dijelaskan bahwa kebudayaan dan filsafat Yunani masuk ke daerah-daerah itu melalui ekspansi Alexander Agung, penguasa Macedonia (336-323 SM), setelah mengalahkan Darius pada abad ke-4 SM di kawasan Arbela (sebelah timur Tigris).

Alexander Agung datang dengan tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, bahkan sebaliknya, ia berusaha menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Hal ini telah memunculkan pusat-pusat kebudayaan Yunani di wilayah Timur, seperti Alexandria di Mesir, Antiokia di Suriah, Jundisyapur di Mesopotamia, dan Bactra di Persia.

Pada masa Dinasti Umayyah, pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu nampak karena ketika itu perhatian penguasa Umayyah lebih banyak tertuju kepada kebudayaan Arab. Pengaruh kebudayaan Yunani baru nampak pada masa Dinasti Abbasiyah karena orang-orang Persia pada masa itu memiliki peranan penting dalam struktur pemerintahan pusat.

Para Khalifah Abbasiyah pada mulanya hanya tertarik pada ilmu kedokteran Yunani berikut dengan sistem pengobatannya. Tetapi kemudian mereka juga tertarik pada filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Perhatian pada filsafat meningkat pada zaman Khalifah Al-Makmun (198-218 H/813-833 M). memang pemasukan Filsafat Yunani ke dalam islam lebih banyak terjadi melalui kota irak apda umumnya. Disinilah timbul gerakan penerjemahan buku-buku Yunani kedalam bahasa Arab atas dorongan khalifah Al-Mansur dan kemudlam bahasaian kahalifah Harun Ar-Rasyid. Kegiatan ini meningkat pada masaKhalifah Al-Makmun, putra Haru Ar-Rasyidyang dikenal dengan zaman penerjemahan.
Sebenarnya penerjemahan buku-buku kedalam bahasa Arab sudah mulai sejak pemerintahan dinasti Umayyah. Kegiatan ini diseponsori oleh Khalid ibnu yazidketika itu buku-buku dan kedokteran.[4]

PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI

JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...

KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN











AlkisAnnabila