TANBIIH

الحَمـْدُ للهِ المُــوَفَّـقِ للِعُـلاَ حَمـْدً يُوَافـــِي بِرَّهُ المُتَـــكَامِــلا وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَي النَّبِيِّ المُصْطَفَىَ وَالآلِ مَــــعْ صَـــحْــبٍ وَتُبَّـاعٍ وِل إنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا تَقْوَى الإلهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ وَتِبَاعُ أَهْوَى رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلاَ إن أخوف ما أخاف على أمتي اتباع الهوى وطول الأمل إنَّ الطَّرِيقَ شَرِيعَةٌُ وَطَرِيقَةٌ وَحَقِيقَةُ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلا فَشَرِيعَةٌ كَسَفِينَة وَطَرِيقَةٌ كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيقَةٌ دُرٌّ غَلاَ فَشَرِيعَةٌ أَخْذٌ بِدِينِ الخَالِقِ وَقِيَامُهُ بَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ انْجَلاَ وَطَرِِيقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطَ كَالوَرَع وَعَزِيمَةُ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاَ وَحَقِيقَةُ لَوُصُولُهِ لِلمَقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُورُ التّجَلِّي بِانجَلاَ مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق

hiasan

BELAJAR MENGKAJI HAKIKAT DIRI UNTUK MENGENAL ILAHI

Senin, 09 April 2012

SEJARAH SINGKAT PEJUANG SUFI SYECH ABU YAZID AL-BUSHTHOMI


Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid al-Bustami (w. 261 H/876 H)disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan baqaini. Nama kecilnya adalah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum sufi seluruhnya. Bermacam-macam pula anggapan orang tentang pendiriannya. Iapernah mengatakan: "Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaankeramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara, maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syariat dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari'at."

Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan, padahal yang sesungguhnya ia tetap manusia, yaitu manusia yang mengalami pengalaman batin berTAUHID dengan , pada al-haq Di antara ucapan ganjil yang keluar dari dirinya, misalnya: "Tidak ada Tuhan, melainkan saya.Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besarnya kuasaku."لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنَا فَاعْبُدْنِيْ

"Tidak ada Tuhan selain Aku, makasembahlah Aku."

سُبْحَانِيْ, سُبْحَانِيْ, مَا اَعْظَمُشَأْنِيْ

"Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, MahaBesar Aku."



Selanjutnya diceritakan yang berikut:اَتىَ رَجُلُ اَبَا يَزِيْدَ وَدَقَّعَلَيْهِ الْبَابَ فَقَالَ: مَنْ تَطْلُبُ؟ قَالَ اَبُوْا يَزِيْدَ قَالَ مُرَّفَلَيْسَ فىِ الْبَيْتِ غَيْرُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

"Seorang lewatdi rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya: "Siapa yang engkau cari?" Jawabnya: "Abu Yazid". Lalu Abu Yazid mengatakan: "Pergilah". Di rumahini tidak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi."



Pada lain kali Abu Yazid berkata,لَيْسَ فىِ الْجُبَّةِ اِلاَّ اللهُ

"Yang ada dalam baju ini hanyalah Allah."



Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yaziditu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu di ucapkannya melalui diri Alloh dalam ittihad yang di capainya dengan Alloh. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Alloh
Bagi orang yang bersikap toleran, ittihaddipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yangkeras berpegang pada agama, itu dipandang sebagai kekufuran. Faham ittihad iniselanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Dengan demikian untuk mencapai hulul dan wahdatul wujud pun sama dengan al-ittihad, yaitu melalui fana dan baqa.
Ittihad sebagai salah satu metode tasawuf yang di perkenalkan oleh Abu Yazid al-Busthomi ini dapat di kelompokkan kedalam tasawuf metode irfani (pengetahuan Diri)
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana' dan baqa' yang melahirkan ittihad sebagai tahapan selanjutnya. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan. Apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit di praktekkan merupakan pertanyaan yangsangat baik untuk dianalisis lebih lanjut. Menurut Al-faqir uraiantentang ini banyak terdapat di dalam buku karangan umum
Iaseorang zahid yang terkenal. Zahid itu berarti seseorang yang telah menyediakandirinya untuk hidup zuhud demi kedekatan dengan Allah. Yang ia kerjakan melaluitiga fase:
- zuhud terhadap dunia
- zuhud terhadap akherat
- zuhud terhadap selain Allah.

Dalam fase terakhir ini berada dalam suatu kondisi mental yang menjadikan dirinyatidak mengingat apa-apa lagi selain Allah, atau fana' al-nafs. Fana' berarti hilangnya kesadaran Diri akan eksistensi diri pribadi sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai manusia, kesadarannya menyatu ke dalam qudrah-iradah alloh , bukan menyatu dengan wujud Allah.
Dalam tahapan ittihad ini, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintaidan yang dicintai, baik substansi maupun perbuatannya,sehingga salah satu dari mereka dapatmemanggil yang lain dengan "Hai Aku". Dengan mengutip A.R. al-Baidawi, Alfaqir menjelaskan bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud sungguh pun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang disebut dan dirasakan hanya satu wujud,
شهود الوحدة في الكثرة وشهود الكثرة في الوحدة
menyaksikan satu di dalam yang banyak memandang banyak di dalam satu
maka dalam ittihad dapat terjadi pertukaran antara yang mencintai danyang dicintai, atau tegasnya antara sufi dan Tuhan. Dalam ittihad, "identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu." Sufi yang bersangkutan, karena fana'-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Dengan fana'-nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadlirat Tuhan. Berada dekat dengan Tuhan hingga ittihad. Hingga sehabis shalat shubuh, Abu Yazid berucap, "Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku." Dan suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya,"Siapa yang engkau cari?" Orang itu menjawab, "Abu Yazid". Abu Yazid berkata,"Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah Yang Mahakuasa danMahatinggi". Ucapan ini sepintas memberi kesan syirik. Karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan di penjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.
Kritikdan celaan banyak bermunculan, bertubi-tubi menyerang syeh abu yazid berkaitan dengan ucapan yang di ucapkannya itu, tetapi seluruh kritik dan celaan itu di dasarkan atas riwayat atau pernyataan yang konteks waktunya tidak bisa di ketahui (diakses) atau dipahami. Karena mereka tidak memahami tujuannya serta tidak mengetahui makna yang dimaksudkan; mereka mengungkapkan semua itu tanpa menggunakan perspektif orang yang pertama mengucapkannya dan tanpa melakukan klarifikasi lebih jauh. Pengetahuan yang mendalam hanya bisa dicapai melalui pemahaman yang lebih dalam pula.
Al-fana'secara bahasa sebetulnya berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda denganal-fasad (rusak). Fana artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dalam hubungan ini Ibn Sina ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda-benda yang bersifat alam, mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasarpermulaannya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yanglainnya, hilangnya benda alam itu dengan cara fana, bukan cara rusak.
Sedangkanarti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengandirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurutpendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengansifat-sifat yang tercela.
Al-faqir mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan (sifat kemanusiaan) , yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu karena bersandar pada selain alloh dan di luar alloh Orang yang telah diliputi hakikat Ilahiyah , sehingga tiada lagi melihat dari pada alam semesta,alam rupa dan alam wujud ini,keciuali DIA semata . maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam Angan-angan makhluk (wahmun). Selain itu fana juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.... Akibat dari seseorang yang telah di tempatkan pada maqom fana maka ia akan berada dalam keadaan baqa' dalam murodNYA semata (tawakkal) Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekal-NYA sendiri dan sifat-sifat Ilahiyah dalam diri manusia.Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan,sebagaimana dinyatakan oleh para ahli tasawuf:اِذَا اَشْرَقَ نُوْرُ الْبَقَاءِفَيَفْنَى مَنْ لَمْ يَكُنْ وَيَبْقَى مَنْ لَمْ يَزُلْ

"Apabila NUR kebaqa'an Ilahiyah telah

nampak jelas , maka fana / sirnalah yang alam yang tidak kekal, dan baqalah yang kekal dan tidak akan pernah berubah"التَّصَوُّفُ فَانُوْنُ عَنْ اَنْفُسِهِم فَاقُوْنَ بِرَبِّهِمْ بِحُضُوْرِ قُلُوْبِهِمْ مَعَ اللهِ

"Tasawuf itu ialah mereka yang telah terpanggil dlm kefanaan diri Darinya dan baqa dengan IlahiNYA karena kehadiran ALLOH meliputi hatinya (bathinnya sufi) bersama Allah semata ."



Dengan demikian, dapatlah difahamibahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir, beribadah, dan menghiasidiri dengan akhlak yang terpuji.
Selanjutnya fana yang dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri (al-fana 'an al-nafs), yaituhancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurut , fana yang dimaksud adalah:فَنَاءُهُ عَنْ نَفْسِه وَعَنِ الْخَلْقِ بِزَوَالِ اِحْسَاسِهِ بِنَفْسِهِ وَبِهِمْ فَنَفْسُهُمَ وْجُوْدَةٌ وَالْخَلْقُ مَوْجُوْدٌ وَلَكِنْ لاَ عِلْمَ لَهُ بِهِمْ وَلاَ بِهِ

"Fananya seseorang dari dirinya dan darimakhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentangmakhluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lainada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya."



Apabila seorang sufi telah mencapaial-fana al-nafs, yaitu apabila wujud jasmaniah tak ada lagi (dalam arti takdisadarinya lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika ituia bersatu dengan Tuhan secara rohaniah. Menurut Allloh, kelihatannya persatuan dengan Alloh ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fanaal-nafs. Tak ubahnya dengan fana yang terjadiketika hilangnya kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk di atas. Denganhancurnya hal-hal ini yang langsung tinggal (baqa) ialah pengetahuan, takwa dankelakuan baik.
Berdasarkan uraian tersebut dapat di ketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini adalah mencapai persatuansecara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanyaTuhan dalam dirinya. Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yangdemikian tidak terjadi terus menerus dan juga karena dilimpahkan oleh Alloh.Fana merupakan keadaan di mana seseorang hanya menyadari kehadiran Alloh dalam dirinya, dan kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan rohani dengan alloh).
Membicarakan fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Alloh, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad itu. Hal yang demikian sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa fana dan baqa tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagaimana yang dikatakan oleh al-faqir,yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya yang ada dua wujud yang berpisah dari yang lain. Karena yang di lihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (alloh) atau tegasnya antara sufi dan Alloh

Dalam situasi ittihad yang demikian itu, seorang sufi telah tertarik (murod/dikehendaki) dirinya bertauhid dengan Alloh suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah satu, dalam tingkatan ini telah di tempatkan pada alam lahut (tanpa batas) antara dunia & akhirat surga dan neraka dalam istilah lain menempati haqqul yaqin sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata: "Hai Aku". Dalam teks Arabnya kata-kata tersebut berbunyi:فَيَقُوْلُ الْوَاحِدُ لِلاَخَرِ يَا اَنَا

"Maka yang satu kepada yang lainnyamengatakan "aku".



Dengan demikian jika seorang sufi mengatakan misalnya, "mahasuci aku", maka yang dimaksud aku di situ bukan sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya dengan alloh, melalui fana dan baqa.
Fahamfana dan baqa yang di tujukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh sufi sebagai sejalan dengan konsep liqo' al-rabbi, menemui Alloh. Fana dan baqa merupakan jalan menuju berjumpa dengan Alloh. Hal ini sejalan dengan firmanAllah yang berbunyi:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاءَ رَبِّه فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ اَحَدًا

"Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaandengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan (syirik) seorangpun dalam berubudiyah kepadanya."

Paham ittihad ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata: " YaTuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu?" Tuhan berfirman: اترك نفسك تصل الي " Tinggalkanlah dirimu (lenyapkanlah dirimu) maka kau sampai padaku (bertauhid)." dalam pemahaman aqal tidaklah mungkin mahluk itu ada di karnakan keadaan itu hanyalah untukNYA sendiri ketidah fahaman akan syirik khofi yang selalu kita lalaikan untuk selalu memahami keADAanNYA semata ... diri mahluk telah menjadi TAJALLINYA alloh tanpa adanya yang lain ,,,,, karena sesuatu yang bersifat hudus itu tidaklah kekal & murni tidak ada .... ADA NYA jasad ini tanpa adanya roh idlofi (nur muhammad) mungkinkah bisa dinamakan kehidupan
Dari ayat dan riwayat tersebut diatas memberikan petunjuk bahwa Allah Swt telah memberi peluang kepada manusia untuk memahami & mengenali kefanaan diri agar tidak menempati kesyirikan kata SYIRIK yang berasal dari kata syaroka (persekutuan) antara 2 wujud (kholiq & mahluk) dengan secara rohaniah atau batiniah menyadari ketiadaan diri selalu dalam setiap detik gerakknya diri adalah geraknya alloh sendiri , yang selalu menempati berubudiyah semata-mata karena Allah ,menghilangkan sifat-sifat dan akhlak yang buruk, menghilangkan kesadaran sebagai manusia (MENGENAL DIRI), meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, apa yang dipandang di dunia dan akhirat haram menutupi wujud alhaq karena mustahil keadaan mahluk (bayang'') menutupi yg empunya bayang (kholiq) yang kesemuanya ini tercakup dalam konsep fanaul fana dan baqa'ul baqo'. Adanya konsep fana dan baqa ini dapat dipahami dari isyarat yang terdapatdalam ayat sebagaimana berikut ini:كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَالاِكْرَامِ

"Semua yang ada di dunia ini akan binasa.Yang tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan."

COBA KITA KOREKSI DIRI .. SUDAHKAH KITA TIDAK MERASA WUJUD,AMAL,LAHIR,BATHIN KITA KECUALI WUJUD ,AMAL,LAHIR & BATHIN ALLOH SEMATA .... PADAHAL ALLOH MELARANG SYIRIK (PERSEKUATUAN) DALAM ISTHILAH SYIRIK DI SINI ADANYA WUJUD DUA / LEBIH ... JADI TIDAK TAUHID ... SALAM MAYAT LAKNAT LIANG LAHAT ......


BY : alkis annabila al-faqir

Minggu, 08 April 2012

KEBUTA'AN DALAM BERTAQLID BUTA DALAM MASALAH KE IMANAN SERTA HADIST & AL-FURQON

Menceritakan betapa seorang ulama yang terjerumus dalam taqlid buta akan selalu mencari cara untuk membela pendapat madzhab-nya. Beliau berkata:

ترى بعض الناس اذا وجد حديثا يوافق مذهبه فرح به وانقاد له و سلم

“Engkau lihat sendiri, sebagian orang ketika mendapatkan hadits yang sesuai dengan pendapat madzhab-nya pemahamannya, ia gembira. Ia pun patuh pada hadits tersebut dan menerima dengan senang hati”.

و ان وجد حديثا صحيحا سالما من معارضة والنسخ مؤيدا لمذهب غير امامه فتح له باب الاحتمالات البعيدة وضرب عنه الصفح و العارض و يلتمس لمذهب إمامه أوجها من الترجيح مع مخالفته للصحابة و التابعين والنص الصريح

“Namun ketika ia menemukan hadits shahih, tidak bertentangan dengan dalil lain, tidak mansukh, dan cocok dengan pendapat imam madzhab yang lain, ia pun mencari kemungkinan-kemungkinan lain yang jauh. Lalu membuat seolah hadits tersebut bertentangan dengan dalil lain. Kemudian merumuskan poin-poin tarjih yang menguatkan pendapat madzhab-nya walaupun bertolak belakang dengan pendapat sahabat Nabi, pendapat para tabi’in serta nash yang sharih (tegas)”

و ان شرح كتابا من كتب الحديث حرف كل حديث خالف مذهبه وإن عجز عن ذلك ادعى النسخ بلا دليل أو الخصوصية أو عدم العمل به أو غير ذلك مما يحضر ذهنه العليل

“Jika ia men-syarah (menjelaskan) sebuah kitab hadits, ia pun menyimpangkan makna setiap hadits yang bertentangan dengan madzhab-nya. Jika maknanya sulit untuk disimpangkan, ia pun mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh, dengan klaim yang tanpa dalil. Atau ia mengklaim bahwa hadits tersebut ada takhshish-nya, atau mengklaim bahwa hadits tersebut tidak perlu diamalkan, atau klaim-klaim yang lain yang muncul dari akalnya yang tidak beres”

وإن عجز عن ذلك ادعى أن إمامه اطلع كل مروي أو جله فما ترك هذا الحديث الشريف إلا وقد اطلع على طعن فيه برأيه المنيف فيتخذ علماء مذهبه أربابا و يفتح لمناقبهم و كراماتهم أبوابا ويعتقد أن من خالف ذلك لم يوفق صوابا

“Jika ia tidak mampu melakukan hal itu, ia pun beralasan bahwa imamnya telah menelaah semua atau sebagian besar riwayatnya. Maka bagaimana mungkin imamnya tidak memakai hadits tersebut, menurutnya ini bukti bahwa imamnya mengkritik hadits tersebut dan ia menggaris-bawahi kehandalan imamnya dalam mengkritik hadits. Kemudian ia seakan menjadikan imamnya sebagai ALLOH. Ia menggembar-gemborkan kisah-kisah serta karomah-karomah imamnya dan berkeyakinan bahwa orang yang berbeda pendapat dengan pendapat imamnya adalah orang yang salah.”

وإن نصح أحد العلماء السنة اتخذه عدوا ولو كانوا قبل ذالك أحبابا

“Jika ada salah seorang ulama sunnah menasehatinya, ia pun seketika itu menganggap ulama tersebut sebagai musuh, walau sebelumnya mereka adalah teman yang saling mencintai”

وإن وجد كتابا من كتب مذهبه المشهورة يتضمن نصحه و ذم الرأي والتقليد والحث على اتباع الأحاديث نبذه وراء ظهره وأعرض عن امره ونهيه واتخذه حجرا محجورا

“Jika ia menemukan sebuah kitab terkenal dari madzhab-nya, yang berisi nasehat sang ulama sunnah, yaitu mencela berpendapat dengan mengedepankan akal, mencela taqlid, mengajak untuk mengikuti hadits-hadits, ia meletakkan kitab tersebut di belakang punggungnya, berpaling dari perintah dan larangan yang ada di dalamnya, lalu membuat dinding penghalang”



Jika demikian yang terjadi di zaman beliau, sungguh di zaman ini perkaranya sudah lebih parah lagi. Semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua…

TAUHID ASMA DAN SIFAT

                                                                      


Kata “asma” adalah bentuk jama dari kata “ismun”, yang artinya ‘nama’. “Asma Allah” berarti ‘nama-nama Allah’. Asma’ul husna berarti nama-nama yang baik dan terpuji. Sehingga istilah “asma’ul husna” bagi Allah maksudnya adalah nama-nama yang indah, baik dan terpuji yang menjadi milik Allah. Misalnya: Ar Rahman, Ar Rahim, Al Malik, Al Ghafur, dan lain-lain.

Sedangkan kata “sifat” dalam bahasa Arab berbeda dengan “sifat” dalam bahasa indonesia. Kata “sifat” dalam bahasa arab mencakup segala informasi yang melekat pada suatu yang wujud. Sehingga “sifat bagi benda” dalam bahasa arab mencakup sifat benda itu sendiri, seperti besar kecilnya, tinggi rendahnya, warnanya, keelokannya, dan lain-lain. Juga mencakup apa yang dilakukannya, apa saja yang dimilikinya, keadaan, gerakan, dan informasi lainnya yang ada pada benda tersebut.

Dengan demikian, kata “sifat Allah” mencakup perbuatannya, kekuasaannya, apa saja yang ada pada Dzat Allah, dan segala informasi tentang Allah.



Karena itu, sering kita dengar ungkapan ulama, bahwa diantara sifat Allah adalah Allah memiliki tangan yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, Allah memiliki kaki yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, Allah turun ke langit dunia, Allah bersemayam di Arsy, Allah tertawa, Allah murka, Allah berbicara, dan lain-lain. Dan sekali lagi, sifat Allah tidak hanya berhubungan dengan kemurahan-Nya, keindahan-Nya, keagungan-Nya, dan lain-lain.

Secara istilah syariat, tauhid asma dan sifat adalah pengakuan seorang hamba tentang nama dan sifat Allah, yang telah Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya ataupun dalam sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa melakukan empat hal berikut:

1. Tahrif (menyimpangkan makna)
yaitu mengubah atau mengganti makna yang ada pada nama dan sifat Allah, tanpa dalil.
Misalnya: Sifat Allah marah, diganti maknanya menjadi keinginan untuk menghukum, sifat Allah istiwa (bersemayam), diselewengkan menjadi istaula (menguasai), Tangan Allah, disimpangkan maknanya menjadi kekuasaan dan nikmat Allah.

2. Ta’thil (menolak)
Yaitu menolak penetapan nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam dalil. Baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian.

Contoh menolak secara keseluruhan adalah sikap sekte Jahmiyah, yang tidak mau menetapkan nama maupun sifat untuk Allah. Mereka menganggap bahwa siapa yang menetapkan nama dan sifat untuk Allah berarti dia musyrik.

Contok menolak sebagian adalah sikap yang dilakukan sekte Asy’ariyah atau Asya’irah, yang membatasi sifat Allah hanya bebeberapa sifat saja dan menolak sifat lainnya. Atau menetapkan sebagian nama Allah dan menolak nama lainnya.

3. Takyif (membahas bagaimana bentuk dan hakikat nama dan sifat Allah)
yaitu menggambarkan bagaimanakah hakikat sifat dan nama yang dimiliki oleh Allah. Misalnya, Tangan Allah, digambarkan bentuknya bulat, panjangnya sekian, ada ruasnnya, dan lain-lain. Kita hanya wajib mengimani, namun dilarang untuk menggambarkannya.

Karena hal ini tidak mungkin dilakukan makhluk. Untuk mengetahui bentuk dan hakikat sebuah sifat, hanya bisa diketahui dengan tiga hal:


 a) Melihat dzat tersebut secara langsung.

Dan ini tidak mungkin kita lakukan, karena manusia di dunia tidak ada yang pernah melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

b) Ada sesuatu yang semisal zat tersebut, sehingga bisa dibandingkan.

Dan ini juga tidak mungkin dilakukan untuk Dzat Allah, karena tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah. Maha Suci Allah dari hal ini.

c) Ada berita yang akurat (khabar shadiq) dan informasi tentang Dzat dan sifat Allah.

Baik dari Al Qur’an maupun hadis.
Karena itu, manusia yang paling tahu tentang Allah adalah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun demikian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menggambarkan bentuk dan hakikat sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4. Tamtsil (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya)
Misalnya, berkeyakinan bahwa tangan Allah sama dengan tangan budi, Allah bersemayam di ‘arsy seperti joki naik kuda. Mahasuci Allah dari adanya makhluk yang serupa dengan-Nya.
Allah berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (Qs. Asy-Syuura: 11)

Kaidah Penting Terkait Nama dan Sifat Allah

Berikut beberapa kaidah penting yang ditetapkan oleh para ulama, terkait nama dan sifat Allah:

1. Mengimani segala nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Alquran dan sunnah (hadits-hadits sahih).

Artinya, kita tidak membedakan dalam mengimani segala ayat yang ada dalam Alquran, baik itu mengenai hukum, sifat-sifat Allah, berita, ancaman dan lain sebagainya. Sehingga tidaklah tepat jika seseorang kemudian hanya mengimani ayat-ayat hukum karena dapat dicerna oleh akal sedangkan mengenai nama dan sifat Allah, harus diselewengkan maknanya karena tidak sesuai dengan jangkauan akal mereka.

“… Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (Qs. Al-Baqarah: 85)

Begitu pula dalam mengimani hadits-hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaknya kita tidak membedakan apakah itu hadits mutawatir ataupun hadits ahad, karena jika itu sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia wajib diimani walaupun akal kita tidak dapat memahaminya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Segera saja ada seorang yang duduk di atas sofanya lalu disampaikan kepadanya sebuah hadits dariku baik sesuatu yang aku perintahkan atau sesuatu yang aku larang maka ia berkata, ‘Kami tidak tahu, kami hanya mengikuti apa yang kami dapatkan dalam kitab Allah.’” (HR. Abu Dawud dan At Turmudzi, dinilai sahih oleh oleh Al Albani)

2. Menyucikan Allah dari menyerupai makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya.

Ketika kita mengakui segala nama dan sifat yang Allah tetapkan, seperti Allah maha melihat, Allah tertawa, betis Allah, tangan Allah, maka kita tidak diperbolehkan menerupakan sifat-sifat tersebut dengan sifat makhluk.

Sayangnya, hal inilah yang sering terjadi pada sekelompok orang, dan hal ini pulalah yang memicu penyimpangan yang terjadi pada tauhid asma wa shifat. Kesalahan yang berbuah kesalahan. Contohnya sebagai berikut:

Seseorang tidak ingin menyerupakan sifat Allah dengan makhluk sehingga ia menyimpangkan (tahrif) sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya karena menganggap jika ia menetapkan sifat tersebut maka ia akan menyerupakan Allah dengan makhluk. Padahal tidak demikian. Allah sendiri menyatakan dalam firman-Nya, yang artinya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Hal ini disebabkan kesamaan dalam nama tidak berarti kesamaan dalam bentuk dan sifat. Contohnya adalah kaki gajah dan semut. Mereka sama-sama memiliki kaki, namun bentuk dan hakikat kaki tersebut tetaplah berbeda.

Atau seseorang tidak ingin menyerupakan Allah dengan makhluk karena khawatir akan menghinakan Allah sehingga ia menolak segala nama dan sifat yang Allah tetapkan baik sebagian atau seluruhnya. Contohnya adalah orang-orang yang menyatakan nama-nama Allah hanya ada



13. Padahal apa yang mereka lakukan justru menghinakan Allah karena penetapan mereka memiliki konsekuensi Allah memiliki sifat-sifat yang terbatas.

3. Menutup keinginan untuk mengetahui bentuk hakikat sifat-sifat Allah tersebut.

 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu bentuk penyimpangan dalam tauhid asma wa shifat adalah menanyakan bagaimana bentuk dan hakikat sifat-sifat Allah. Dan hal ini tidak mungkin dapat kita ketahui karena Allah dan Rasul-Nya tidak menjelaskan hal tersebut. Sebagai contoh, seseorang tidak dapat menanyakan kaifiyah (bagaimananya) sifat tertawa Allah, atau bentuk tangan Allah, atau bagaimanakah wajah Allah.

 Yang perlu kita imani adalah Allah memiliki sifat yang bermacam-macam dan Allah maha sempurna dengan segala sifat yang dimiliki-Nya.Dan untuk mengimani sesuatu tidaklah mengharuskan kita harus mengetahui hakikat Dzat tersebut. 



Sebagai contoh, kita meyakini adanya roh (nyawa) walaupun kita tidak pernah mengetahi bentuk dan hakikat dari roh tersebut. Padahal roh adalah sesuatu yang sangat dekat dengan manusia namun akal kita tidak pernah mampu mengetahui bentuk dan hakikatnya.

Termasuk larangan dalam hal ini adalah membayangkan bagaimana bentuk dan hakikat sifat Allah, karena akan membuka pada penyimpangan lainnya, yaitu penyerupaan dengan makhluk. Yang perlu diluruskan adalah, larangan untuk mengetahui bentuk dan hakikat dari sifat-sifat Allah bukan berarti meniadakan adanya bentuk dan hakikat dari sifat-sifat Allah. hakikat sifat Allah tetaplah ada dan hanya Allah-lah yang mengetahuinya.

Sekarang kita praktikkan ilmu yang kita telah pelajari dalam memahami salah satu hadits tentang salah satu sifat Allah, yaitu Allah turun ke langit dunia setiap malam, sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,


“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkannya, siapa yang memohon kepada-Ku, niscaya Aku memberinya, siapa yang meminta ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sesuai kaidah, maka kita tetapkan sifat turun pada Allah Ta’ala.



Kita tidak menyerupakan sifat turun ini dengan makhluk (dimana sifat turun pada makhluk adalah dari atas ke bawah dan memiliki sifat kurang (naqish)) dan juga kita tidak menanyakan atau membayangkan bagaimana Allah turun ke langit dunia setiap malam (seperti banyak orang menakwilkan (tepatnya menyelewengkan) hadits ini karena menganggap tidak mungkin bagi Allah turun ke langit dunia setiap malam karena dunia ada yang malam dan ada yang siang, lalu bagaimana Allah turun atau pertanyaan-pertanyaan lainnya yang memustahilkan sesuatu bagi Allah karena berpikir dengan logika makhluk). 


Allah sempurna dengan segala sifatnya dan tidak memiliki sifat kurang dalam seluruh sifat tersebut. Jika kita tidak mampu memahami ini, maka cukuplah bagi kita mengimaninya bahwa sifat turun ini ada pada Allah.

Contoh lainnya adalah mengimani sifat al-wajhu (wajah), al-yadain (dua tangan) dan al-’ainain (dua mata), sebagaimana Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam Alquran.

Allah berfirman, yang artinya, “Dan tetap kekal wajah Rabb-Mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Qs. Ar-Rahman: 27)

Allah juga berfirman, yang artinya, “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabb-mu, sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan mata Kami.” (Qs. Ath-Thur: 48)

Allah juga berfirman, yang artinya, “Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada (Adam) yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (Qs. Shad: 75)

Dari apa yang telah Allah kabarkan untuk diri-Nya ini, maka sesuai kaidah, kita mengimani (menetapkan) sifat tersebut bagi Allah, dan tidak menyerupakan sifat-sifat tersebut dengan makhluk, serta tidak menanyakan bagaimana bentuk atau penggunaan dari sifat-sifat Allah tersebut, misalnya mempertanyakan bagaimana wajah Allah, atau membayangkan mata Allah seperti manusia atau membayangkan bagaimana Allah menggunakan kedua tangan-Nya.



















1 ar-Rahmaan ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pemurah ===> Al-Faatihah: 3
2 ar-Rahiim ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pengasih ===> Al-Faatihah: 3
3 al-Malik ===> Dzat Yang menciptakan Raja ===> Al-Mu'minuun: 11
4 al-Qudduus ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Suci ===> Al-Jumu'ah: 1
5 as-Salaam ===> Dzat Yang menciptakani Sifat Sejahtera ===> Al-Hasyr: 23
6 al-Mu'min ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Terpercaya ===> Al-Hasyr: 23
7 al-Muhaimin ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Memelihara ===> Al-Hasyr: 23
8 al-'Aziiz ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Perkasa ===> Ali 'Imran: 62
9 al-Jabbaar ===> Dzat Yang menciptakani Sifat Kehendak Tidak Dapat Diingkari ===>Al-Hasyr: 23
10 al-Mutakabbir ===> Dzat Yang menciptakan Kebesaran ===> Al-Hasyr: 23
11 al-Khaaliq ===> Dzat pencipta ===> Ar-Ra'd: 16
12 al-Baari' ===> Dzat Yang menciptakan dari Tiada ===> Al-Hasyr: 24
13 al-Mushawwir ===> Dzat Yang menciptakan Bentuk ===> Al-Hasyr: 24
14 al-Ghaffaar ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pengampun ===> Al-Baqarah: 235
15 al-Qahhaar ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Perkasa ===> Ar-Ra'd: 16
16 al-Wahhaab ===>Dzat Yang Mempunyai Sifat Pemberi ===> Ali 'Imran: 8
17 ar-Razzaq ===>Dzat Yang menciptakan Rezki ===> Adz-Dzaariyaat: 58
18 al-Fattaah ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Membuka (Hati) ===> Sabaa': 26
19 al-'Aliim ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Mengetahui ===> Al-Baqarah: 29
20 al-Qaabidh ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Pengendali ===> Al-Baqarah: 245
21 al-Baasith ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Melapangkan ===> Ar-Ra'd: 26
22 al-Khaafidh ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Merendahkan ===> Hadits at-Tirmizi
23 ar-Raafi' ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Meninggikan ===> Al-An'aam: 83
24 al-Mu'izz ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Terhormat ===> Ali 'Imran: 26
25 al-Mudzdzill ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mendengar ===> Al-Israa': 1
27 al-Bashiir ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Melihat ===> Al-Hadiid: 4
28 al-Hakam ===>Dzat Yang menciptakan Hukum ===> Al-Mu'min: 48
29 al-'Adl ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Adil ===> Al-An'aam: 115
30 al-Lathiif ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Lembut ===> Al-Mulk: 14
31 al-Khabiir ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Mengetahui Al-An'aam: 18
32 al-Haliim ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Penyantun ===> Al-Baqarah: 235
33 al-'Azhiim ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Agung ===> Asy-Syuura: 4
34 al-Ghafuur ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pengampun ===> Ali 'Imran: 89
35 asy-Syakuur ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Syukur ===> Faathir: 30
36 al-'Aliyy ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Tinggi ===> An-Nisaa': 34
37 al-Kabiir ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Besar ===> Ar-Ra'd: 9
38 al-Hafiizh ===> Dzat Yang menciptakan Penjaga ===> Huud: 57
39 al-Muqiit ===>Dzat Yang menciptakan Pemelihara ===> An-Nisaa': 85
40 al-Hasiib ===>Dzat Yang menciptakan Perhitungan ===> An-Nisaa': 6
41 al-Jaliil ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Luhur ===> Ar-Rahmaan: 27
42 al-Kariim ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mulia ===> An-Naml: 40
43 ar-Raqiib ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Mengawasi ===> Al-Ahzaab: 52
44 al-Mujiib ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mengabulkan ===> Huud: 61
45 al-Waasi' ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Luas ===> Al-Baqarah: 268
46 al-Hakiim ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Bijaksana ===> Al-An'aam: 18
47 al-Waduud ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mengasihi ===> Al-Buruuj: 14
48 al-Majiid ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Mulia ===> Al-Buruuj: 15
49 al-Baa'its ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Membangkitkan ===> Yaasiin: 52
50 asy-Syahiid ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Menyaksikan ===> Al-Maaidah: 117
51 al-Haqq ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Benar ===> Thaahaa: 114
52 al-Wakiil ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Pemelihara ===> Al-An'aam: 102
53 al-Qawiyy ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Kuat ===> Al-Anfaal: 52
54 al-Matiin ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Kokoh ===> Adz-Dzaariyaat: 58
55 al-Waliyy ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Melindungi ===> An-Nisaa': 45
56 al-Hamiid ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Terpuji ===> An-Nisaa': 131
57 al-Muhshi ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Menghitung ===> Maryam: 94
58 al-Mubdi' ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Memulai ===> Al-Buruuj: 13
59 al-Mu'id ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mengembalikan ===> Ar-Ruum: 27
60 al-Muhyi ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Menghidupkan ===> Ar-Ruum: 50
61 al-Mumiit ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mematikan ===> Al-Mu'min: 68
62 al-Hayy ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Hidup ===>Thaahaa: 111
63 al-Qayyuum ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mandiri ===> Thaahaa: 11
64 al-Waajid ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Menemukan ===> Adh-Dhuhaa: 6-8
65 al-Maajid ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Mulia ===> Huud: 73
66 al-Waahid ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Tunggal ===> Al-Baqarah: 133
67 al-Ahad ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Esa ===> Al-Ikhlaas: 1
68 ash-Shamad ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Dibutuhkan ===> Al-Ikhlaas: 2
69 al-Qaadir ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Kuat ===> Al-Baqarah: 20
70 al-Muqtadir ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Berkuasa ===> Al-Qamar: 42
71 al-Muqqadim ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mendahulukan ===> Qaaf: 28
72 al-Mu'akhkhir ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mengakhirkan ===> Ibraahiim: 42
73 al-Awwal ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Permulaan ===> Al-Hadiid: 3
74 al-Aakhir ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Akhir ===> Al-Hadiid: 3
75 azh-Zhaahir ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Nyata ===> Al-Hadiid: 3
76 al-Baathin ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Gaib ===> Al-Hadiid: 3
77 al-Waalii ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Memerintah ===> Ar-Ra'd: 11
78 al-Muta'aalii ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Tinggi ===> Ar-Ra'd: 9
79 al-Barr ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Dermawan ===> Ath-Thuur: 28
80 at-Tawwaab ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Penerima Taubat ===> An-Nisaa': 16
81 al-Muntaqim ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Penyiksa ===> As-Sajdah: 22
82 al-'Afuww ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pemaaf ===> An-Nisaa': 99
83 ar-Ra'uuf ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pengasih ===> Al-Baqarah: 207
84 Maalik al-Mulk ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Kerajaan ===> Ali 'Imran: 26
85 Zuljalaal wa al-'Ikraam ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Kebesaran serta Kemuliaan ===> Ar-Rahmaan: 27
86 al-Muqsith ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Adil ===> An-Nuur: 47
87 al-Jaami' ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pengumpul ===> Sabaa': 26
88 al-Ghaniyy ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Kaya ===> Al-Baqarah: 267
89 al-Mughnii ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mencukupi ===> An-Najm: 48
90 al-Maani' ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mencegah ===> Hadits at-Tirmizi
91 adh-Dhaarr ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pemberi Derita ===> Al-An'aam: 17
92 an-Naafi' ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pemberi Manfaat ===> Al-Fath: 11
93 an-Nuur ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Bercahaya ===> An-Nuur: 35
94 al-Haadii ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pemberi Petunjuk ===> Al-Hajj: 54
95 al-Badii' ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pencipta ===> Al-Baqarah: 117
96 al-Baaqii ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Kekal ===> Thaahaa: 73
97 al-Waarits ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mewarisi ===> Al-Hijr: 23
98 ar-Rasyiid ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pandai ===> Al-Jin: 10
99 ash-Shabuur ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Sabar ===> Hadits at-Tirmizi



HATI-HATI DALAM MEMAHAMI TAUHID ASMA' ITU HANYA SEBATAS NAMA/SEBUTAN BELAKA  JANGAN TERJEBAK KEMBALI KE PENGAKUAN SEMU .... 

Jumat, 06 April 2012

HAKIKAT IKHLAS DENGAN KESABARAN

“Ikhlas itu adalah rahasia dari semua rahasia dan AKU menempatkannya dihati hamba yang menjadi kekasih-Ku.”                                            



WAMAN 'AMILA LITHOLABIL JAZA' FAHUWA NISYAANUN MINAL FADLI WARROHMAH 


Barang siapa yang beramal karena mengharapkan balasan (pahala) maka sesungguhnya dia itu lupa akan keutama'an ALLOH dan RAHMAD ALLOH 


Demikian firman Alloh SWT sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad SAW.memberi penjelasan bunyi surat Al Mulk ayat 2 ;


الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ


Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji siapa diantara kamu yang paling baik amalnya. Dan DIA Maha Perkasa, Maha Pengampun.


Menurut al-faqir yang dimaksud surat dan ayat tersebut bukanlah siapa yang paling ‘banyak’ amalnya, melainkan siapa yang paling bermutu (Ahsan) dalam tindakannya. Ahsan merupakan kedekatan kepada Alloh SWT dan niat, jelas ahsan adalah kualitas bukan kuantitas. al-faqir  menambahkan lebih sulit bertahan dalam keadaan selalu ikhlas dan sabar dalam bertindak daripada melakukan tindakan itu sendiri. Keikhlasan bergantung apakah anda menginginkan seseorang memuji atau hanya bertindak Alloh SWT semata sedang kesabaran itu menerima baik dan buruk dari apa yang telah di terimanya . Begitu pentingnya niat, sehingga rosululloh bersabda '' INNAMAL A'MAALU BI AL-NIAT "

 sesungguhnya setiap perkara amal itu di awali dengan niat ,,,

bagaimana kita bisa memahami niat kita kalo kita sendiri lalai dalam muhasabah (mengoreksi diri) serta bagaimana kita bisa menempati kata lillah tanpa adanya ketawakkalan diri akan setiap amalnya diri ...


“Sesungguhnya niat itu lebih penting daripada tindakan itu sendiri.”


Ia kemudian membacakan ayat ini ;


قُلْ كُلٌّ يَّعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ , فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْد’ى سَبِيْلاً


Katakanlah (Muhammad), Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing, maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (QS. Al Isroo : 84.)


 kita rupanya harus berhati-hati sebab adakalanya yang sudah beramal secara sempurna tanpa riya’ atau ujub pada awalnya, setelah beberapa lama, terperosok sehingga amalnya dicemari riya’ yang nyata & riya' yang samar .


al-faqir berpesan buat saudaraku sekalian

“Bertahan dalam niat baik untuk sebuah amal lebih baik daripada amal itu sendiri.” jangan kau tunjukkan amalmu pada orang lain biarkan alloh yang akan menilai

 serta tahu akan semua nilai manfaat dan madlorotnya amalmu   


Ketika ditanya apa maksudnya bertahan dalam niat baik, beliau menjawab ; Seseorang melakukan amal baik kepada familynya atau member demi mencari ridho Alloh SWT, ia mendapatkan ganjaran yang dicatat baginya. Belakangan ia menceritakan hal itu kepada orang lain, maka apa yang sudah dicatat itu dihapuskan sehingga ia tidak punya lagi catatan ganjaran amal itu. Kemudian, ia kembali menyebutkan soal amal itu lagi (untuk kedua kalinya), ia dicatat sebagai melakukan riya’, sementara catatan amal baiknya malah sudah tidak ada sama sekali.”


Dengan demikian, ikhlas merupakan tahapan tertinggi cinta dan pengabdian kepada Alloh SWT.


Menurut Abdulloh Al Anshowi, ikhlas berarti menggugurkan semua ketidak murnian, dan ketidak murnian itu adalah keinginan menyenangkan diri sendiri atau orang (makhluk) lain.


“Jika orang masih berada dihabitat rasa suka diri, ia belumlah masuk golongan ‘yang menuju kepada Alloh SWT’ (Musafir ilalloh), dan termasuk golongan yang masih ingin langgeng di bumi (Mukholladun fil ardhi).”


Dan yang dikhawatirkan Nabi Muhammad SAW dan para salafush sholihin adalah munculnya syirik dalam ibadah pada berbagai tingkatannya. Jika seseorang melakukan suatu amal demi kepuasan diri sendiri, ia itu termasuk ujub, kalau itu demi kepuasan orang lain, ia adalah riya’.


BERSIHKAN 'AMAL-mu dengan ikhlas dan bersihkan ikhlasmu dengan tawakkal (melepaskan semuanya kepada ALLOH) 


Didalam pandangan orang-orang arif, hal ini dianggap telah membatalkan ibadah dan menjadikannya tidak diterima oleh Alloh SWT. Misalnya Tahajud ‘demi’ memperbaiki kualitas hidup atau memberi Zakat ‘demi’ meningkatkan kekayaan, meski semua ibadah itu “SAH” dan orang yang melaksanakannya berarti telah melaksanakan kewajiban syari’at, ia dianggap belum melakukan penyembahan kepada Alloh SWT secara ikhlas dan tidak pula memiliki kemurnian tujuan.


Bagi arifin, semuanya itu merupakan ibadah yang sekedar untuk mencapai maksud-maksud melepas kewajiban saja.


WAMAN YATAWAKKAL 'ALALLOOHI FAHUWA KHASBUH ,,,,,,,,   
                                    






SABAR 





Maksud " SABAR " di dalam konteks amalan hati ialah menahan nafsu daripada dipengaruhi oleh sembarang gelora atau kegemparan hati atau perasaan atau rangsangan yang menimbulkan rasa marah atau memberontak, resah gelisah, tidak rela, kecewa atau putus asa, akibat daripada pengalaman kesusahan, ketidak nyamanan atau sesuatu keadaan yang tidak disukai atau diingini.

Kesabaran itu harus meliputi empat tindakan yaitu :

1. Tabah dan tekun di dalam melakukan taat

2. Menahan diri daripada melakukan maksiat atau kemungkaran

3. Memelihara diri dari godaan dunia, nafsu dan syaitan.

4. Tenang atau teguh hati menghadapi cobaan musibah

Sabar adalah satu tuntutan agama dan satu perisai untuk menahan diri daripada fitnah nafsu yang bergelora. Orang yang gagal bersabar akan gagal di dalam hidup dan akan rugi di dunia dan akhirat.

Antara tujuan kita di suruh bersabar itu ialah:

1) Supaya dapat mengerjakan ibadah dengan tenteram dan dapat kesempurnaan dan seterusnya mencapai matlamatnya.

2) Untuk kita berfikir dengan lebih matang.

Apabila nafsu telah menguasai akal, akal tidak dapat berfikir secara rasional di dalam menghadapi tindakan yang akan dilakukan. Segala yang dilakukan itu hanya betul mengikut ukuran nafsu. Akibatnya apabila terjadi kerusakan atau kecelakaan disebabkan tindakan itu, diri manusia sudah tidak dapat mengelak, jadilah manusia itu terbelenggu disebabkan perbuatannya sendiri. Karena itu di dalam menangani nafsu yang bergelora, sabar itu sangat perlu. Di samping kita disuruh untuk bermujahadah (berperang) dengan nafsu yang jahat.

Sabda Rosululloh SAW:

"Sejahat-jahat musuh kamu yaitu nafsu yang di antara dua lambungmu." - (HR Tarmidzi)

Selain daripada itu, sifat taqwa perlu diusahakan dengan menanamkan iman di dalam diri. Untuk mendapatkan sifat taqwa, kelemahan diri perlu diperbaiki. Bagi mereka yang berusaha memperbaiki dirinya, hati mereka akan senantiasa tenang dan bahagia. Bukan karena kaya atau berada, tetapi karena puas kepada apa yang ada.

Sabda Rosululloh SAW:

"Kamu tidak akan merasakan kemanisan iman sehingga kamu menyintai Alloh dan Rosullebih dari segalanya, Tidak menyintai seseorang melainkan karena Alloh. Dan benci kembali kepada kekufuran seperti benci berpaling pada neraka."

Di samping itu apabila orang yang memiliki iman, sholatnya akan kusyu', mereka menyempurnakan puasa dan menunaikan pembayaran zakat dengan segala adab dan tuntutannya, menunaikan Haji dengan memahami segala tujuan dan tuntutannya, menjauhkan diri dari maksiat dan dosa, menjauhi perbuatan zina dan perkara yang menghampirinya, tidak mengumpat, mengadu domba, menfitnah, tidak hasad sesama sendiri, tidak sombong, tidak ujub dan sum'ah (mencari nama dan pangkat), tidak pendendam dan lain-lain.

Bila dapat kemanisan iman, penderitaan menjadi kecil dan dunia tiada ruang di dalam hatinya. Hatinya akan asyik dengan Alloh, ini berlaku pada sahabat- sahabat Rosululloh SAW . Bilal apabila dijemur di tengah panas serta diazab untuk dipaksa kembali kepada kekufuran, dengan tenang dia menjawab, "Ahad, Ahad." Azab sengsara, tidak terasa, ini juga berlaku kepada seorang sahabat Nabi SAW yang dicuri untanya ketika sedang sholat, dia tidak menghentikan sholatnya itu, karena terasa kemanisan sholat dan tidak sadar apa yang berlaku di sekelilingnya. Banyak lagi hal-hal yang demikian kita baca di dalam sejarah kehidupan para sahabat Rosululloh SAW.

Karena itu kita perlu melakukan Mujahadatun Nafs (melawan hawa nafsu) dan membersihkan diri kita daripada sifat-sifat mazmumah ( yang tercela ) seperti iri dengki, dendam, buruk sangka, mementingkan diri, gila pangkat, gila puji, gila dunia, bakhil, sombong dan sebagainya.

Langkah pertama untuk mendapatkan iman ini, maka seseorang itu perlu mempunyai :

a) Ilmu yang Islam yang sempurna dan tepat agar segala tindakan dapat diselaraskan dengan syariat dan kehendak Alloh melalui hukum-hukum yang telah ditetapkannya.


b) Yakin. Keyakinan adalah perlu dan penting.

Oleh karena itu wajiblah kita belajar dan berusaha menyuburkan keyakinan kita. Jangan biarkan keyakinan dicelahi oleh keraguan walaupun sedikit. Keraguan mesti dilawan dengan ilmu pengetahuan, bukan dengan akal semata-mata. Syaitan dan nafsu senantiasa menyuruh dan mempengaruhi akal untuk ragu-ragu dan mewas-waskan kita. Tanpa ilmu yang benar dan menyeluruh, kita akan terperangkap di dalam perangkap syaitan. Jikalau kita terperangkap di dalam jerat syaitan bagi keyakinan, maka hapuslah segala pahala amal dan hapuslah iman. Jikalau terjadi demikian, maka matilah kita sebagai orang yang tidak beriman dan kekal di dalam neraka.

c) Beramal dengan ilmu yang telah difahami dan diyakini.

d) Bermujahadah, yaitu melawan nafsu yang mendorong ke arah kejahatan dan menghalang diri dari melakukan maksiat lahir dan batin.

e) Istiqomah beramal, yaitu melakukan amalan ketaatan dan ibadah serta menjauhi kemunkaran secara terus menerus.

f) Mempunyai guru yang Mursyid yang dapat memimpin dan mendidik diri agar senantiasa taat kepada Alloh.

g) Selalu berdoa kepada Alloh, karena jikalau hanya usaha lahir saja dilakukan tanpa mengharapkan bantuan dari Alloh, maka ia amat mustahil untuk membuang nafsu yang jahat di dalam jiwa manusia.

3) Kita disuruh bersabar adalah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Firman Alloh SWT :

" Dan Alloh amat menyukai orang yang sabar." - (Ali Imron: 146)

" Sesungguhnya orang yang beriman itu dicukupkan ganjaran mereka tanpa batas " (Az Zumar: 10)

" Hai orang yang beriman, bersabarlah kamu (melakukan taat dalam menghadapi musibah), teguhkanlah kesabaran kamu, tetapkanlah kewaspadaan serta siap siaga dan bertawakkallah

kepada Alloh agar kamu beruntung (merebut syurga dan bebas dari neraka)." (Al Baqoroh: 200)

Demikianlah kesabaran itu merupakan obat yang pahit tetapi mujarab di dalam menahan diri daripada nafsu dan godaan dunia. Yakinlah, keberkahan daripada kesabaran itu membawa manfaat kepada kita, sekaligus menolak kemudhorotan kepada kita. Sebagai obat 'kepahitan' hanya sesaat, akan tetapi 'kemanisannya' akan berpanjangan.



                                         

Wallohu A'lam.


السلام عليكم ورحمة الله و بركاته 。☆。★。☆。SEDIKIT NASEHAT BUAT SAUDARA FILLAH 。☆。★。☆。

Wahai orang-orang yang senang menuntut ilmu dan berusaha memperbanyak jumlah ahli ilmu, ketahuilah sesungguhnya ilmu memiliki keagungan dan keindahan, bila syarat-syaratnya dipenuhi. Jika tidak maka keindahan dan kilaunya akan sirna, kemudian kewibawaan pemiliknya akan lenyap dari hati. Diantara manusia ada orang yang hanya pandai berbicara (‘Alimul Lisan) tetapi hatinya bodoh (Jahilul Qolb). 

                                                       


Jadilah penuntut ilmu yang baik, penuhilah syarat dan adab-adabnya, maka engkau akan memperoleh kenikmatan , bersinar dengan cahayanya dan memetik buahnya di dunia ini sebelum diakhirat nanti. Jangan menuntut ilmu sekedar untuk membahas pendapat para ulama, mencari kesalahan, dan mengalahkan lawan debat, inilah sikap orang yang hina dan tak memiliki semangat. Ketahuilah, ilmu akan membawa rahmat dan kebahagiaan, tetapi jika ditujukan untuk bermusuhan dan saling mengalahkan, maka ilmu menjadi siksa dan melelahkan. Dalam menuntut ilmu contohlah para salaf terdahulu yang telah berkata : “Jika berbicara membuatmu merasa bangga, maka diamlah, dan jika diam membuatmu merasa bangga, maka berbicaralah.” Hidarilah ‘ujub’ ketika berbicara, hal tersebut sangat buruk dan akan membuatmu dibenci oleh orang-orang yang berakal. Capailah semua tujuan dengan berwibawa, tenang dan cara yang baik. Ketahuilah, ilmu akan membuat orang yang mulia hancur hatinya (Inkisar) dan orang yang hina menjadi sombong, berapa banyak orang bodoh yang mengalahkan dan menundukkan orang berilmu dengan menipunya tanpa rasa malu. Orang berilmu kalah karena ia menjaga wibawa dan rasa malunya, sedangkan orang bodoh menang karena kebodohan dan kerendahan ucapannya.






。☆。★。☆。


★。\|/。★


☆≡..2012 ..≡☆


★。/|\。★


。☆。★。☆。







Umar bin Khothob RA berkata : Pelajarilah ilmu dan pelajarilah kewibawaan dan kesantunan dalam menyandang ilmu, tawadhu’lah kepada gurumu agar kelak muridmu tawadhu’ kepadamu. Jangan menjadi ulama yang suka menindas, tindakan yang bodoh ini membuat ilmumu tidak bermanfaat.






Ali bin Abi Tholib Kwh berkata : Pelajarilah ilmu dengannya engkau akan dikenal, kemudian amalkanlah, engkau akan menjadi ahli ilmu, setelah kalian akan tiba suatu zaman dimana 90% penduduknya menyebut Al Haq.






Sesungguhnya tidak akan selamat orang yang hidup dizaman itu kecuali seorang mukmin yang tidak tenar, yang jika hadir tidak dikenal dan jika pergi tidak dicari. Mereka adalah lentera-lentera yang memberikan hidayah dan petunjuk bagi musafir yang berjalan dimalam hari, mereka tidak suka mengadu domba dan menebarkan ucapan-ucapan yang buruk, kepada mereka Alloh bukakan pintu-pintu rahmat-Nya, dan menghapus kesengsaraan yang timbul akibat amarah-Nya.





HANYA DENGAN PANGGILAN ILAHI KITA BISA MEMAHAMI SEMUANYA

Senin, 26 Maret 2012

MELIHAT KEBAIKAN DALAM SEGALA PERISTIWA


Sebenarnya, melihat kebaikan dalam segala hal merupakan ungkapan yang biasa. Dalam kehidupan kita sehari-hari, orang sering mengatakan, "Pasti ada kebaikan (hikmah) di balik kejadian ini," atau, "Ini merupakan berkah dari Allah."

                                                               

Biasanya, banyak orang mengucapkan ungkapan-ungkapan tersebut tanpa memahami arti sebenarnya atau semata-mata hanya mengikuti kebiasaan masyarakat yang tidak ada maknanya. Kebanyakan mereka gagal memahami arti yang sebenarnya dari ungkapan-ungkapan tersebut atau bagaimana pemahaman itu dipraktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Pada dasarnya, kebanyakan manusia tidak sadar bahwa ungkapan-ungkapan tersebut tidak sekadar untuk diucapkan, tetapi mengandung pengertian yang penting dalam kejadian sehari-hari.

Kenyataannya, kemampuan melihat kebaikan dalam setiap kejadian, apa pun kondisinya-baik yang menyenangkan maupun tidak-merupakan kualitas moral yang penting, yang timbul dari keyakinan yang tulus akan Allah, dan pendekatan tentang kehidupan yang disebabkan oleh keimanan. Pada akhirnya, pemahaman akan kebenaran ini menjadi sangat penting dalam menuntun seseorang tidak hanya untuk mencapai keberkahan hidup di dunia dan akhirat, tetapi juga juga untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang tak akan berakhir.

Tanda pemahaman yang benar akan arti iman adalah tidak adanya kekecewaan akan apa pun yang terjadi dalam kehidupan ini. Sebaliknya, jika seseorang gagal melihat kebaikan dalam setiap peristiwa yang terjadi dan terperangkap dalam ketakutan, kekhawatiran, keputusasaan, kesedihan, dan sentimentalisme, ini menunjukkan kurangnya kemurnian iman. Kebingungan ini harus segera dienyahkan dan kesenangan yang berasal dari keyakinan yang teguh harus diterima sebagai bagian hidup yang penting. Orang yang beriman mengetahui bahwa peristiwa yang pada awalnya terlihat tidak menyenangkan, termasuk hal-hal yang disebabkan oleh tindakannya yang salah, pada akhirnya akan bermanfaat baginya. Jika ia menyebutnya sebagai "kemalangan", "kesialan", atau "seandainya", ini hanyalah untuk menarik pelajaran dari sebuah pengalaman. Dengan kata lain, orang yang beriman mengetahui bahwa ada kebaikan dalam apa pun yang terjadi. Ia belajar dari kesalahannya dan mencari cara untuk memperbaikinya. Bagaimanapun juga, jika ia jatuh dalam kesalahan yang sama, ia ingat bahwa semuanya memiliki maksud tertentu dan mudah saja memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam kesempatan mendatang. Bahkan jika hal yang sama terjadi puluhan kali lagi, seorang muslim harus ingat bahwa pada akhirnya peristiwa tersebut adalah untuk kebaikan dan menjadi hak Allah yang kekal. Kebenaran ini juga dinyatakan secara panjang lebar oleh Nabi saw.,

"Aku mengagumi seorang mukmin karena selalu ada kebaikan dalam setiap urusannya. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur (kepada Allah) sehingga di dalamnya ada kebaikan. Jika ditimpa musibah, ia berserah diri (dan menjalankannya dengan sabar) bahwa di dalamnya ada kebaikan pula." (HR Muslim)

Hanya dalam kesadaran bahwa Allah menciptakan segalanya untuk tujuan yang baik sajalah hati seseorang akan menemukan kedamaian. Adalah sebuah keberkahan yang besar bagi orang-orang beriman bila ia memiliki pemahaman akan kenyataan ini. Seseorang yang jauh dari Islam akan menderita dalam kesengsaraan yang berkelanjutan. Ia terus-menerus hidup dalam ketakutan dan kekhawatiran. Di sisi lain, orang beriman menyadari dan menghargai kenyataan bahwa ada tujuan-tujuan Ilahiah di balik ciptaan dan kehendak Allah.


Karena itu, adalah memalukan bagi orang beriman bila ia ragu-ragu dan ketakutan terus-menerus karena selalu mengharapkan kebaikan dan kejahatan. Ketidaktahuan terhadap kebenaran yang jelas dan sederhana, kekurangtelitian, dan kemalasan hanya akan mengakibatkan kesengsaraan di dunia dan di akhirat. Kita harus ingat bahwa takdir yang ditentukan Allah adalah benar-benar sempurna. Jika seseorang menyadari adanya kebaikan dalam setiap hal, dia hanya akan menemukan karunia dan maksud Ilahiah yang tersembunyi di dalam semua kejadian rumit yang saling berhubungan. Walau ia mungkin memiliki banyak hal yang mesti diperhatikannya setiap hari, seseorang yang memiliki iman yang kuat-yang dituntun oleh kearifan dan hati nurani-tidak akan membiarkan dirinya dihasut oleh tipu muslihat setan. Tak peduli bagaimanapun, kapan pun, atau di mana pun peristiwa itu terjadi, ia tidak akan pernah lupa bahwa pasti ada kebaikan di baliknya. Walaupun ia mungkin tidak segera menemukan kebaikan tersebut, apa yang benar-benar penting baginya adalah agar ia menyadari adanya tujuan akhir dari Allah.

Berkaitan dengan sifat terburu-buru manusia, mereka kadang-kadang tidak cukup sabar untuk melihat kebaikan yang ada di dalam peristiwa yang menimpa mereka. Sebaliknya, mereka menjadi lebih agresif dan nekat dalam mengejar sesuatu walaupun hal tersebut sangat bertentangan dengan kepentingan yang lebih baik. Di dalam Al-Qur`an, hal ini disebutkan,

"Dan manusia mendo'a untuk kejahatan sebagaimana ia mendo'a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa." (al-Israa`: 11)

Meski demikian, seorang hamba harus berusaha melihat kebaikan dan maksud Ilahiah dalam setiap kejadian yang disodorkan Allah di depan mereka, bukannya memaksa untuk diperbudak oleh apa yang menurutnya menyenangkan dan tidak sabar untuk mendapatkan hal itu.

Walau seseorang berusaha untuk mendapatkan status finansial yang lebih baik, perubahan itu mungkin tidak pernah terwujud. Tidaklah benar jika seseorang menganggap suatu kondisi itu merugikan. Tentu saja seseorang boleh berdo'a kepada Allah untuk mendapatkan kekayaan jika kekayaan itu digunakan di jalan Allah. Bagaimanapun juga, ia harus mengetahui bahwa jika keinginannya itu tidak dikabulkan Allah, itu disebabkan alasan tertentu. Mungkin saja bertambahnya kekayaan sebelum matangnya kualitas spiritual seseorang dapat mengubahnya menjadi orang yang gampang diperdaya oleh setan. Banyak alasan Ilahiah lainnya-di antaranya tidak langsung disadari atau hanya akan terlihat di akhirat-dapat mendasari terjadinya sebuah peristiwa. Seorang usahawan, misalnya, bisa saja tertinggal sebuah pertemuan yang akan menjadi pijakan penting dalam kariernya. Akan tetapi, jika saja pergi ke pertemuan itu, ia bisa tertimpa kecelakaan lalu lintas, atau jika pertemuannya diadakan di kota lain, pesawat yang ditumpanginya bisa saja jatuh.            


Tak ada seorang pun yang kebal terhadap segala peristiwa. Biasakanlah untuk melihat bahwa pada akhirnya ada suatu kebaikan dalam sebuah peristiwa yang pada awalnya terlihat merugikan. Meski demikian, seseorang perlu ingat bahwa ia tidak akan selalu dapat mengetahui maksud sebuah peristiwa adalah sesuatu yang merugikan. Ini karena, sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, kita tidak selalu beruntung dapat melihat sisi positif yang muncul. Mungkin juga Allah hanya akan menunjukkan maksud keilahian-Nya di akhirat nanti. Karena alasan itulah, yang harus dilakukan oleh orang yang ingin menyerahkannya pada takdir Allah dan memberikan kepercayaannya kepada Allah adalah menerima setiap kejadian itu-apa pun namanya-dengan keinginan untuk mencari tahu bahwa pastilah ada kebaikan di dalamnya dan kemudian menerimanya dengan senang hati.

Harus disebutkan juga bahwa melihat kebaikan dalam segala hal bukan berarti mengabaikan kenyataan dari peristiwa-peristiwa tersebut dan berpura-pura bahwa hal itu tidak pernah terjadi, atau mungkin menjadi sangat idealis. Sebaliknya, orang beriman bertanggung jawab untuk mengambil tidakan yang tepat dan mencoba semua cara yang dianggap perlu untuk memecahkan masalah. Kepasrahan orang yang beriman tidak boleh dicampuradukkan dengan cara orang lain, yang karena pemahaman yang tidak sempurna tentang hal ini, mereka tetap saja tidak acuh terhadap apa pun yang terjadi di sekitar mereka dan optimis tetapi tidak realistis. Mereka tidak bisa membuat keputusan yang rasional ataupun menjalankan keputusan tersebut. Ini dikarenakan yang ada pada mereka adalah optimistis yang melenakan dan kekanak-kanakan, bukan mencari pemecahan masalah. Sebagai contoh, ketika seseorang didiagnosis menderita penyakit yang serius, keadaannya saat itu mungkin paling parah sampai pada titik fatal yang diabaikannya selama masa pengobatan. Contoh lainnya, jika seseorang tidak menyadari pentingnya mengamankan harta bendanya, walau ia pernah mengalami pencurian, besar kemungkinan akan menjadi korban lagi dari kejadian serupa itu.

Pastilah cara-cara tersebut jauh dari sikap menaruh kepercayaan kepada Allah dan dari "melihat kebaikan dalam segala hal". Pada hakikatnya, sikap tersebut berarti ceroboh. Kebalikannya, orang yang beriman harus berusaha mengendalikan situasi sepenuhnya. Pada dasarnya, sikap yang menuntun diri mereka ini adalah suatu bentuk "penghambaan", karena ketika mereka terlibat dalam situasi tersebut, pikiran mereka dikuasai oleh ingatan akan kenyataan bahwa Allahlah yang membuat peristiwa itu terjadi.

Di dalam Al-Qur`an, Allah menghubungkan kisah para nabi dan orang beriman sebagai contoh bagi mereka yang sadar akan hal ini. Inilah yang harus diteladani oleh seorang mukmin. Sebagai contoh, sikap yang merupakan respons Nabi Huud terhadap kaumnya menunjukkan penyerahan total dan rasa percayanya yang kokoh kepada Allah, walaupun ia mendapatkan perlakuan yang buruk.

"Kaum 'Aad berkata, 'Wahai Huud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan memercayai kamu. Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.' Huud menjawab, 'Sesungguhnya, aku menjadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya, aku bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya, Tuhanku di atas jalan yang lurus.' Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya kepadamu. Dan Tuhanku akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain (dari) kamu; dan kamu tidak dapat membuat mudharat kepada-Nya sedikit pun. Sesungguhnya, Tuhanku adalah Maha Pemelihara segala sesuatu." (Huud: 53-57)

Kepastian Hukum Alam (TAQDIR)



“Ini disebabkan karena apa yang dilakukan oleh tangan-tanganmu lebih dahulu. Allah tiada pernah menganiaya hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali-Imran: 182)

                                                                

 Masalah takdir ini tidaklah sesederhana seperti yang diperkirakan. Ini tidak hanya menyangkut ketetapan aspek fisika saja seperti rotasi atau evolusi bumi saja, tetapi menyangkut tentang ketetapan-ketetapan aspek berpikir dan aspek sosial yang tampaknya sedemikian abstrak.



 Kata-kata yang menyatakan itu adalah “abstrak”, banyak factor “X” nya, adalah suatu pemikiran yang tidak tuntas, atau suatu ‘jalan pintas’ untuk menutupi ketidak mampuan, di dalam membaca persoalan manusia. Mereka telah terpengaruh dengan literatur-literatur yang tidak berorentasi pada kebenaran Al-Qur’an yang telah membuat hal-hal yang mencakup factor “X” tersebut secara jelas dan konkrit bahkan, berikut contoh-contohnya.



 Sebagai contoh, para orientalis barat sedang sibuk-sibuknya menggali konsep EQ. Kita seperti ‘membeo’ dan ‘mengekor’ para orientalis tersebut, sibuk mencari hakikat dari EQ yang diributkan itu. Padahal, EQ iut sebenarnya adalah akhlak, dan hal itu sebenarnya telah ada dalam diri Rasulullah. Inilah yang menyebabkan terjadinya suatu pemikiran bahwa ilmu sosial adalah ilmu yang tidak pasti. Saya tidak sependapat apabila ilmu sosial tidak disebut sebagai ilmu pasti. Takdir akan ketetapan Ilmu sosial pun sebenarnya ilmu pasti, hukum-hukumnya, seperti sebab-sebab yang ditimbulkan dari suatu pemikiran atau tindakkan pun bersifat pasti. Sekali lagi, yang tidak pasti itu adalah pilihan manusianya, bukan hukum-hukum sosialnya. Sebagai contoh, teori “aksi min reaksi” atau hukum sebab akibat dari fisika, juga bisa dirasakan secara psikologis atau pada lingkungan sosial. Contohnya, apabila anda menyakiti orang lain maka orang lain pun akan bisa berbuat yang sama kepada anda. Apabila dia tidak membalas, entah mungkin bapaknya yang akan menegur atau membalaskan pada anda. Seandainya belum ada yang membalas, niscaya pada “hari pembalasan” hal itu akan di urus oleh Tuhan. Tak perlu terlalu jauh, orang yang disakiti pasti akan kecewa, dan biasanya hal itu akan di ingat. Reaksinya adalah tabungan kepercayaan anda akan terkuras habis akibat perbuatan itu. Niscaya ia tidak akan mempercayai anda lagi.



 “Air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.” Begitu juga belas kasih yang tulus selalu mengalir kepada orang yang rendah hati. Sangat jarang belas kasih diberikan kepada orang yang sombong dan kuat, kecuali tentu saja ada maksud-maksud “tertentu” yang tersembunyi di belakangnya. Contoh lain, cobalah anda berdiri tegak, sementara semua orang jongkok atau merunduk, maka anda akan merasa lebih nyaman untuk berada pada posisi yang sama atau sejajar. Begitu pula sebaliknya, anda sedang jongkok atau merunduk, di hadapan anda ada orang lain yang berdiri tegak, apa yang anda rasakan? Tentunya anda akan segera berdiri tegak untuk menyamakan posisi. Kecuali ada hal-hal lain yang mempengaruhinya, seperti kaki sedang sakit, dan lain-lain. Sunnatullah (ketetapan Allah) inilah yang kadang lepas dari perhatian kita. Dan hal-hal tertentu itu jumlahnya banyak sekali, namun tetap masih bisa di prediksi, dengan ilmu pengatahuan dalam Al-Qur’an.



 Sunnatullah (ketetapan Allah) itu adalah suara-suara hati, dorongan-dorongan mendasar yang berasal dari sifat-sifat Allah (Asmaul Husna). Namun harus di ingat bahwa setiap orang memiliki prioritas-prioritas yang berbeda untuk menetukan tindakan dan pemikiran seperti apa yang akan dilakukan. Setiap dorongan fitrah itu, pastilah bersumber dari salah satu sifat Allah atau lebih, yang dipilih secara bebas oleh setiap manusia. Di sanalah letak perbedaan-perbedaan manusia yang sesungguhnya, yaitu sebuah kepentingan. Disanalah sering terjadi perbedaan pendapat, bahkan bisa menimbulkan suatu peperangan antar bangsa yang dapat menelan jutaan nyawa manusia.



 Itulah sebabnya Al-Qur’an diturunkan, yang merupakan pengejawantahan dari sifat-sifat Ilahiyah yang di aplikasikan dalam stu Ke-Esa-an Tuhan dan dalam satu kesatuan Tauhid-Nya. Alasan itulah yang membuat saya beranimenarik sebuah kesimpulan bahwa ilmu sosial harus didekati dengan pendekatan ilmu pasti. Ilmu sosial merupakan ilmu yang lebih kompleks dibandingkan dengan gejala-gejala alamiah yang menjadi obyek ilmu pasti. Ilmu sosial mempelajari tingkah laku manusia beserta gejala-gejala sosial yang ditimbulkannya. Dengan tidak mengesampingkan penelitian dahulu, saya berasumsi bahwa sebenarnya dalam Al-Qur’an telah terdapat formula yang dapat menjelaskan dan menjadi solusi bagi gejala sosial, dalam hal ini obyek pengamatan sosial.

 Sekarang tentu anda bertanya kepada saya, apabila ilmu sosial itu diidentikkan sebagai ilmu pasti, lantas apa yang menjadi dasar teori-teori ilmu sosial tersebut? Saya akan menjawab bahwa Al-Qur’an lah dasar teori (basic principles) dari ilmu sosial yang sangat rumit dan abstrak itu. Sebagai contoh sederhana, kalimat-kalimat bijaksana (wise words) atau kata-kata mutiara yang dirasa sesuai dengan suara hati, pun bisa menjadi suatu teori, dan teori dalam ilmu sosial banyak disebut orang sebagai filsafat, tetapi juga isyarat (tirgger) berbagai keilmuan yang dilengkapi dengan contoh-contoh kongkrit dan petunjuk pelaksanaan yang sangat membumi (workable)                         



 Permasalahannya sekarang adalah para cendikiawan dan ahli-ahli ilmu sosial tidak mau atau ‘kurang’ keinginannya untuk membahas Al-Qur’an secara mendalam, karena mereka mengalami ‘distorsi’ dan menganggap Al-Qur’an hanya mengajarkan ilmu gama saja (sekularistik). Bahkan yang menyedihkan, seolah-olah Al-Qur’an dianggap seperti mantera-mantera saja. Padahal disanalah pusat dari kecerdasan emosi dan spiritual atau ESQ (Emotional and Spiritual Quotient), bahkan lebih hebat lagi dari itu semua. Masih dibutuhkan suatu upaya besar untuk menggeser paradigma (paradigm shift) yang keliru ini, demi kemakmuran dan kesejahteraan bumi, yang berazaskan pada keteraturan seperti yang ada dalam Al-Qur’an Al-Karim.



 Seandainya Ilmu sosial itu tidak didekati dengan pendekatan ilmu pasti, bagaimana mungkin manusia akan bisa memprediksi masa depan yang sangat tergantung pada lingkungan sosialnya itu. Bukankah Allah itu Maha Adil? Dan pada kenyataannya, banyak orang yang berhasil dalam membangun lingkungan sosialnya? Membangun perusahaan raksasa dengan penuh perhitungan dari segala aspek sosialnya? Dan itu artinya, manusia memiliki kepastian masa depan dengan ketetapan-ketetapan sosial yang telah dirancang oleh Allah Swt. melalui Al-Qur’an. Kebebasan Manusia untuk memilih jawabannya. disitulah letak kuncinya. Kemampuan anda untuk “membaca” berbagai alternatiftindakkan manusia yang didasari oleh dorongan sifat-sifat Ilahiah, dan Al-Qur’anlah petunjuknya. semua seba terukur. Apabila ada sebuah kegagalan, pastilah ada factor “X” yang belum dicermati dan semua factor “X” itu akan anda temukan di dalam Al-Qur’an, buku manual buatan Tuhan itu.



Hai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah, dan taatlah kerpada Rasul, dan orang-orang yang berkuasa diantara kamu. Dan bila kamu berselisih tentang sesuatu dikalangan kamu sendiri, hendaknya kamu mengembalikannya kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul (Sunnah). Jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, itu lebih baik dan penyelesaian yang paling indah. (QS. An-Nissa’ : 59)

*********************************************************************************

Hasrat untuk melangkah mendekati takdir rasanya sudah diujung kaki, jika takdir adalah apa yang selalu ingin dicapai. Saya berkejaran dengan suatu titik dimana kita kehilangan kendali atas apa yang terjadi, dan hidup jadi dikendalikan oleh nasib. Itulah ketidak mampuan orang memilih takdir mereka sendiri, dusta terbesar di dunia.
                             
                                 “Menyantuni orang miskin tidak berarti harus ikut miskin, atau mengikuti cara hidup kaum miskin. Mereka tahu bahwa kita tidak semiskin mereka. Mereka juga tidak ingin agar kita menjadi semiskin mereka. Yang penting, menghormati mereka sebagai manusia, solider dengan mereka, bersimpati kepada mereka, dan jangan lupa, apapun kedudukan kita di masyarakat, mengarahkan kegiatan kita kepada pemberantasan kemiskinan, menuju tata masyarakat yang lebih adil.”



Pada detik saya berdiri sekarang, saya tidak takut bermimpi, sangat mendambakan segalanya terwujud. Saya menjadikannya jelas terlihat dengan menulisnya, segalanya pasti mungkin. Satu-satunya kewajiban sejati manusia adalah mewujudkan takdirnya.

“Ada satu kebenaran mahabesar di planet ini siapapun dirimu, apapun yang kaulakukan, kalau engkau sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, itu karena hasrat tersebut bersumber dari jiwa jagat raya. Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya

PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI

JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...

KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN











AlkisAnnabila