“Ini disebabkan karena apa yang dilakukan oleh
tangan-tanganmu lebih dahulu. Allah tiada pernah menganiaya hamba-hamba-Nya.”
(QS. Ali-Imran: 182)
Masalah takdir ini
tidaklah sesederhana seperti yang diperkirakan. Ini tidak hanya menyangkut
ketetapan aspek fisika saja seperti rotasi atau evolusi bumi saja, tetapi
menyangkut tentang ketetapan-ketetapan aspek berpikir dan aspek sosial yang
tampaknya sedemikian abstrak.
Kata-kata yang
menyatakan itu adalah “abstrak”, banyak factor “X” nya, adalah suatu pemikiran
yang tidak tuntas, atau suatu ‘jalan pintas’ untuk menutupi ketidak mampuan, di
dalam membaca persoalan manusia. Mereka telah terpengaruh dengan
literatur-literatur yang tidak berorentasi pada kebenaran Al-Qur’an yang telah
membuat hal-hal yang mencakup factor “X” tersebut secara jelas dan konkrit
bahkan, berikut contoh-contohnya.
Sebagai contoh, para
orientalis barat sedang sibuk-sibuknya menggali konsep EQ. Kita seperti
‘membeo’ dan ‘mengekor’ para orientalis tersebut, sibuk mencari hakikat dari EQ
yang diributkan itu. Padahal, EQ iut sebenarnya adalah akhlak, dan hal itu
sebenarnya telah ada dalam diri Rasulullah. Inilah yang menyebabkan terjadinya
suatu pemikiran bahwa ilmu sosial adalah ilmu yang tidak pasti. Saya tidak
sependapat apabila ilmu sosial tidak disebut sebagai ilmu pasti. Takdir akan
ketetapan Ilmu sosial pun sebenarnya ilmu pasti, hukum-hukumnya, seperti
sebab-sebab yang ditimbulkan dari suatu pemikiran atau tindakkan pun bersifat
pasti. Sekali lagi, yang tidak pasti itu adalah pilihan manusianya, bukan
hukum-hukum sosialnya. Sebagai contoh, teori “aksi min reaksi” atau hukum sebab
akibat dari fisika, juga bisa dirasakan secara psikologis atau pada lingkungan
sosial. Contohnya, apabila anda menyakiti orang lain maka orang lain pun akan
bisa berbuat yang sama kepada anda. Apabila dia tidak membalas, entah mungkin
bapaknya yang akan menegur atau membalaskan pada anda. Seandainya belum ada
yang membalas, niscaya pada “hari pembalasan” hal itu akan di urus oleh Tuhan.
Tak perlu terlalu jauh, orang yang disakiti pasti akan kecewa, dan biasanya hal
itu akan di ingat. Reaksinya adalah tabungan kepercayaan anda akan terkuras
habis akibat perbuatan itu. Niscaya ia tidak akan mempercayai anda lagi.
“Air mengalir dari
tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.” Begitu juga belas kasih yang tulus
selalu mengalir kepada orang yang rendah hati. Sangat jarang belas kasih
diberikan kepada orang yang sombong dan kuat, kecuali tentu saja ada
maksud-maksud “tertentu” yang tersembunyi di belakangnya. Contoh lain, cobalah
anda berdiri tegak, sementara semua orang jongkok atau merunduk, maka anda akan
merasa lebih nyaman untuk berada pada posisi yang sama atau sejajar. Begitu
pula sebaliknya, anda sedang jongkok atau merunduk, di hadapan anda ada orang
lain yang berdiri tegak, apa yang anda rasakan? Tentunya anda akan segera
berdiri tegak untuk menyamakan posisi. Kecuali ada hal-hal lain yang mempengaruhinya,
seperti kaki sedang sakit, dan lain-lain. Sunnatullah (ketetapan Allah) inilah
yang kadang lepas dari perhatian kita. Dan hal-hal tertentu itu jumlahnya
banyak sekali, namun tetap masih bisa di prediksi, dengan ilmu pengatahuan
dalam Al-Qur’an.
Sunnatullah
(ketetapan Allah) itu adalah suara-suara hati, dorongan-dorongan mendasar yang
berasal dari sifat-sifat Allah (Asmaul Husna). Namun harus di ingat bahwa
setiap orang memiliki prioritas-prioritas yang berbeda untuk menetukan tindakan
dan pemikiran seperti apa yang akan dilakukan. Setiap dorongan fitrah itu,
pastilah bersumber dari salah satu sifat Allah atau lebih, yang dipilih secara
bebas oleh setiap manusia. Di sanalah letak perbedaan-perbedaan manusia yang
sesungguhnya, yaitu sebuah kepentingan. Disanalah sering terjadi perbedaan
pendapat, bahkan bisa menimbulkan suatu peperangan antar bangsa yang dapat
menelan jutaan nyawa manusia.
Itulah sebabnya
Al-Qur’an diturunkan, yang merupakan pengejawantahan dari sifat-sifat Ilahiyah
yang di aplikasikan dalam stu Ke-Esa-an Tuhan dan dalam satu kesatuan
Tauhid-Nya. Alasan itulah yang membuat saya beranimenarik sebuah kesimpulan
bahwa ilmu sosial harus didekati dengan pendekatan ilmu pasti. Ilmu sosial
merupakan ilmu yang lebih kompleks dibandingkan dengan gejala-gejala alamiah
yang menjadi obyek ilmu pasti. Ilmu sosial mempelajari tingkah laku manusia
beserta gejala-gejala sosial yang ditimbulkannya. Dengan tidak mengesampingkan
penelitian dahulu, saya berasumsi bahwa sebenarnya dalam Al-Qur’an telah terdapat
formula yang dapat menjelaskan dan menjadi solusi bagi gejala sosial, dalam hal
ini obyek pengamatan sosial.
Sekarang tentu anda
bertanya kepada saya, apabila ilmu sosial itu diidentikkan sebagai ilmu pasti,
lantas apa yang menjadi dasar teori-teori ilmu sosial tersebut? Saya akan
menjawab bahwa Al-Qur’an lah dasar teori (basic principles) dari ilmu sosial
yang sangat rumit dan abstrak itu. Sebagai contoh sederhana, kalimat-kalimat
bijaksana (wise words) atau kata-kata mutiara yang dirasa sesuai dengan suara
hati, pun bisa menjadi suatu teori, dan teori dalam ilmu sosial banyak disebut
orang sebagai filsafat, tetapi juga isyarat (tirgger) berbagai keilmuan yang
dilengkapi dengan contoh-contoh kongkrit dan petunjuk pelaksanaan yang sangat
membumi (workable)
Permasalahannya
sekarang adalah para cendikiawan dan ahli-ahli ilmu sosial tidak mau atau
‘kurang’ keinginannya untuk membahas Al-Qur’an secara mendalam, karena mereka
mengalami ‘distorsi’ dan menganggap Al-Qur’an hanya mengajarkan ilmu gama saja
(sekularistik). Bahkan yang menyedihkan, seolah-olah Al-Qur’an dianggap seperti
mantera-mantera saja. Padahal disanalah pusat dari kecerdasan emosi dan
spiritual atau ESQ (Emotional and Spiritual Quotient), bahkan lebih hebat lagi
dari itu semua. Masih dibutuhkan suatu upaya besar untuk menggeser paradigma
(paradigm shift) yang keliru ini, demi kemakmuran dan kesejahteraan bumi, yang
berazaskan pada keteraturan seperti yang ada dalam Al-Qur’an Al-Karim.
Seandainya Ilmu
sosial itu tidak didekati dengan pendekatan ilmu pasti, bagaimana mungkin
manusia akan bisa memprediksi masa depan yang sangat tergantung pada lingkungan
sosialnya itu. Bukankah Allah itu Maha Adil? Dan pada kenyataannya, banyak
orang yang berhasil dalam membangun lingkungan sosialnya? Membangun perusahaan
raksasa dengan penuh perhitungan dari segala aspek sosialnya? Dan itu artinya,
manusia memiliki kepastian masa depan dengan ketetapan-ketetapan sosial yang
telah dirancang oleh Allah Swt. melalui Al-Qur’an. Kebebasan Manusia untuk
memilih jawabannya. disitulah letak kuncinya. Kemampuan anda untuk “membaca”
berbagai alternatiftindakkan manusia yang didasari oleh dorongan sifat-sifat
Ilahiah, dan Al-Qur’anlah petunjuknya. semua seba terukur. Apabila ada sebuah
kegagalan, pastilah ada factor “X” yang belum dicermati dan semua factor “X”
itu akan anda temukan di dalam Al-Qur’an, buku manual buatan Tuhan itu.
Hai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah, dan
taatlah kerpada Rasul, dan orang-orang yang berkuasa diantara kamu. Dan bila
kamu berselisih tentang sesuatu dikalangan kamu sendiri, hendaknya kamu
mengembalikannya kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul (Sunnah). Jika kamu beriman
kepada Allah dan hari kemudian, itu lebih baik dan penyelesaian yang paling
indah. (QS. An-Nissa’ : 59)
*********************************************************************************
Hasrat untuk melangkah mendekati takdir rasanya sudah diujung kaki, jika takdir adalah apa yang selalu ingin dicapai. Saya berkejaran dengan suatu titik dimana kita kehilangan kendali atas apa yang terjadi, dan hidup jadi dikendalikan oleh nasib. Itulah ketidak mampuan orang memilih takdir mereka sendiri, dusta terbesar di dunia.
“Menyantuni orang miskin tidak berarti harus ikut miskin, atau mengikuti cara hidup kaum miskin. Mereka tahu bahwa kita tidak semiskin mereka. Mereka juga tidak ingin agar kita menjadi semiskin mereka. Yang penting, menghormati mereka sebagai manusia, solider dengan mereka, bersimpati kepada mereka, dan jangan lupa, apapun kedudukan kita di masyarakat, mengarahkan kegiatan kita kepada pemberantasan kemiskinan, menuju tata masyarakat yang lebih adil.”
Pada detik saya berdiri sekarang, saya tidak takut bermimpi, sangat mendambakan segalanya terwujud. Saya menjadikannya jelas terlihat dengan menulisnya, segalanya pasti mungkin. Satu-satunya kewajiban sejati manusia adalah mewujudkan takdirnya.
“Ada satu kebenaran mahabesar di planet ini siapapun dirimu, apapun yang kaulakukan, kalau engkau sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, itu karena hasrat tersebut bersumber dari jiwa jagat raya. Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya
Pada detik saya berdiri sekarang, saya tidak takut bermimpi, sangat mendambakan segalanya terwujud. Saya menjadikannya jelas terlihat dengan menulisnya, segalanya pasti mungkin. Satu-satunya kewajiban sejati manusia adalah mewujudkan takdirnya.
“Ada satu kebenaran mahabesar di planet ini siapapun dirimu, apapun yang kaulakukan, kalau engkau sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, itu karena hasrat tersebut bersumber dari jiwa jagat raya. Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya
1 komentar:
"Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Yunus: 107)
Maka dari itu, apa pun yang kita alami dalam kehidupan ini, apakah itu terlihat baik ataupun buruk, semuanya adalah baik karena hal itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kita. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, zat yang menetapkan akibat suatu peristiwa bukanlah seorang manusia yang terbatas oleh ruang dan waktu, melainkan Allah, Zat yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, Yang menciptakan manusia, juga ruang dan waktu
Posting Komentar