Jika dilihat dari judulnya, mungkin banyak di antara kaum
muslimin sendiri yang malas untuk membaca tulisan dengan judul ini. Karena
menganggap bahwa masalah tauhid ini; anak kecil juga tahu kalau Allah subhanahu
wa ta’ala itu Tuhan yang Satu (Esa), Dialah yang menciptakan alam semesta ini
beserta segala isinya, jadi buat apa diperpanjang lebar?
Ketahuilah Bahwa Penghuni Surga Itu Sedikit
Yang jadi masalah adalah ketika penghuni surga jumlahnya
sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah penghuni neraka sebagai mana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Allah berfirman: “Wahai Adam!” maka ia menjawab: “Labbaik
wa sa’daik” kemudian Allah berfirman: “Keluarkanlah dari keturunanmu delegasi
neraka!” maka Adam bertanya: “Ya Rabb, apakah itu delegasi neraka?” Allah
berfirman: “Dari setiap 1000 orang 999 di neraka dan hanya 1 orang yang masuk
surga.” Maka ketika itu para sahabat yang mendengar bergemuruh membicarakan hal
tersebut. Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah siapakah di antara kami yang
menjadi satu orang tersebut?” Maka beliau bersabda: “Bergembiralah, karena
kalian berada di dalam dua umat, tidaklah umat tersebut berbaur dengan umat
yang lain melainkan akan memperbanyaknya, yaitu Ya’juj dan Ma’juj. Pada lafaz
yang lain: “Dan tidaklah posisi kalian di antara manusia melainkan seperti
rambut putih di kulit sapi yang hitam, atau seperti rambut hitam di kulit sapi
yang putih.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Padahal kita ketahui bahwa kaum muslimin saat ini adalah
hampir separuh penduduk dunia dan terus bertambah, sedangkan kaum kuffar di
Eropa jumlahnya kian berkurang karena mereka ‘malas’ untuk menikah dan punya
anak. Bahkan di antara negara-negara Eropa yang memberikan tunjangan agar
penduduknya mau menikah dan punya anak.
Kabar yang sedikit menggembirakan kita adalah kenyataan
bahwa Ya’juj dan Ma’juj yang akan keluar menjelang hari kiamat itu jumlahnya
sangat banyak, hingga mampu meminum air danau thobariah hingga kering,
sebagaimana dikabarkan dalam hadits yang shahih. Akan tetapi kita tidak
mengetahui berapa perbandingan sebenarnya antara orang yang mengaku islam
dengan orang-orang kafir. Sedangkan orang yang mengaku Islam dan mengucapkan
kalimat syahadat belum tentu masuk surga. Sebab…
Mengucapkan Kalimat Syahadat Bukan Jaminan Masuk Surga
“Wah, ngawur anda !!” (berdasarkan hadits “Siapa yang
mengucapkan laa ilaaha illallah akan masuk surga”). Mungkin itu komentar yang
muncul, setelah membaca sub judul di atas. Akan tetapi yang kami maksudkan di
sini adalah, bahwa hanya sekedar perkataan tidaklah bermanfaat bagi kita jika
kita tidak memahami dan mengamalkan maknanya. Karena kaum munafik juga
mengatakan kalimat tersebut, mereka juga sholat, puasa, mengeluarkan zakat, dan
pergi haji seperti kaum muslimin yang lainnya. Akan tetapi, mengapa kaum
munafik ditempatkan pada jurang neraka yang paling dasar? Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada
tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan
mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisaa’: 145)
Yang lebih mengherankan, apa yang menyebabkan mereka tidak
bisa menjawab 3 pertanyaan yang mudah (siapa Rabbmu? apa agamamu? dan siapa
nabimu? di dalam kubur?).
Jawaban mereka adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Hah… hah… aku tidak tahu, aku mendengar orang mengatakan
sesuatu, kemudian aku mengatakan hal tersebut.”
Pertanyaannya memang mudah, tetapi menjawabnya sangatlah
sulit. Karena hati manusia di akhirat merupakan hasil dari perbuatannya di
dunia. Jika di dunia dia meremehkan agamanya, maka dia tidak akan bisa
mengatakan bahwa agamanya adalah Islam. Sekarang, jika kaum munafik yang mengucapkan
syahadat kemudian mengamalkan sholat, puasa, zakat, dan haji, tidak dianggap
telah mengamalkan makna syahadat, maka apa sih makna syahadat yang (harus kita
amalkan) sebenarnya?
Makna Kalimat Syahadat “Laa Ilaaha Illallah”
Makna kalimat syahadat tersebut bukanlah pengakuan bahwa
Allah adalah pencipta, pemberi rezeki dan pengatur seluruh alam semesta ini.
Karena orang Yahudi dan Nasrani juga mengakuinya. Akan tetapi mereka tetap
dikatakan kafir. Bahkan kaum musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga meyakini hal tersebut. Sebagaimana difirmankan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala dalam banyak ayat di Al Quran, di antaranya adalah:
Katakanlah (wahai Muhammad): “Siapakah yang memberi rezeki
kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala
urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu
tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)
Bahkan kaum musyrikin tersebut mengatakan bahwa penyembahan
mereka terhadap berhala-berhala yang merupakan patung orang-orang shalih itu
adalah dengan tujuan untuk mendapatkan syafaat mereka dan kedekatan di sisi
Allah subhanahu wa ta’ala (sebagaimana para penyembah kuburan para wali di
sebagian negeri kaum muslimin). Hal tersebut dinyatakan dalam firman Allah
subhanahu wa ta’ala berikut:
Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah
(berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan
kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3)
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak
dapat mendatangkan mudarat dan manfaat bagi mereka, dan mereka berkata: “Mereka
itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18)
Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah,
melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah.” (QS. Yusuf: 106)
Yaitu mengimani, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah
pencipta, pemberi rezeki dan pengatur alam semesta, akan tetapi
mempersekutukan-Nya dalam peribadatan. Secara ringkas makna syahadat “Laa
ilaaha illallah” adalah tidak ada sembahan yang haq (benar) kecuali Allah.
Seorang yang bersaksi dengan kalimat tersebut harus meninggalkan pengabdian
kepada selain Allah dan hanya beribadah kepada Allah saja secara lahir maupun
batin. Sama saja, baik yang dijadikan sembahan selain Allah itu malaikat, nabi,
wali, orang-orang shalih, matahari, bulan, bintang, batu, pohon, jin, patung
dan gambar-gambar. Jika kita masih merasa tenang dengan menganggap diri kita
adalah ahli tauhid serta memandang remeh untuk mendalami dan medakwahkannya
maka perhatikanlah beberapa hal berikut:
Tujuan Penciptaan Jin dan Manusia Adalah Untuk Menauhidkan
Allah
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka (hanya) menyembahku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Seseorang tidaklah dianggap telah beribadah kepada Allah
jika dia masih berbuat syirik, sebab amalan ibadah dari orang yang
mempersekutukan Allah akan dihapuskan dan tidak bermanfaat sedikit pun di sisi
Allah.
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada
orang-orang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan
hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS.
Az-Zumar: 65)
Karena tauhid adalah menunggalkan Allah dalam peribadatan,
maka syirik membatalkan tauhid sebagaimana berhadats dapat membatalkan wudhu.
Jika sholatnya orang yang berhadats tidaklah sah, dalam arti kata belum
dianggap telah melakukan sholat sehingga harus diulangi, maka begitu pun syirik
jika mencampuri tauhid, akan merusak tauhid tersebut dan membatalkannya.
Tauhid Merupakan Tujuan Diutusnya Para Rasul
Sebelumnya manusia adalah umat yang satu, berasal dari Nabi
Adam ‘alaihissalam. Mereka beriman dan menyembah hanya kepada Allah saja.
Kemudian datanglah syaitan menggoda manusia untuk mengada-adakan bid’ah dalam
agama mereka. Bid’ah-bid’ah kecil yang semula dianggap remah saat generasi
berganti generasi, bid’ahnya pun semakin menjadi. Hingga pada akhirnya
menggelincirkan mereka kepada bid’ah yang sangat besar, yaitu kemusyrikan.
Iblis terbilang cukup ‘sabar’ dalam melancarkan aksinya
selama sepuluh abad untuk menggelincirkan keturunan Adam ‘alaihissalam kepada
kemusyrikan –sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu
(lihat “Kisah Para Nabi”, Ibnu Katsir)– Hingga tatkala seluruhnya tenggelam
dalam kemusyrikan, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nuh ‘alaihi salam.
Demikianlah, setiap kali kemusyrikan merajalela pada suatu
kaum, maka Allah mengutus rasul-Nya untuk mengembalikan mereka kepada tauhid
dan menjauhi syirik.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap
umat (untuk menyerukan): “sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thoghut (sembahan
selain Allah).” (QS. An Nahl: 36)
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu,
melainkan Kami wahyukan kepadanya: bahwa tidak ada sembahan (yang hak)
melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. Al Anbiya: 25)
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus,
Allah subhanahu wa ta’ala tidak lagi mengutus rasul. Hal ini bukanlah dalil
bahwa kemusyrikan tidak akan pernah terjadi lagi seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana dikatakan beberapa orang. Akan
tetapi Allah subhanahu wa ta’ala menjamin bahwa akan senantiasa ada segolongan
dari umat ini yang berada di atas tauhid dan mendakwahkannya, sebagaimana
disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim.
Tauhid Adalah Kewajiban Pertama Bagi Manusia Dewasa dan
Berakal
Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa mendahulukan perintah
tauhid dan menjauhi syirik, sebelum memerintahkan yang lainnya dalam setiap
firmannya di Al Quran.
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan suatu apapun. Dan berbuat baiklah pada kedua orang tua (ibu &
bapak), karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat
dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabiil dan hamba sahayamu.” (QS. An
Nisa: 36)
Pelanggaran Tauhid Adalah Keharaman Yang Terbesar
“Katakanlah: marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu
oleh Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan suatu apapun dengan Dia,
dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua…” (QS. Al An’am: 151)
Allah mendahulukan penyebutan pengharaman syirik sebelum
yang lainnya, karena keharaman syirik adalah yang terbesar.
Tauhid Harus Diajarkan Sejak Dini
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada
Ibnu Abbas tentang tauhid sejak beliau masih kecil.
“Jika engkau hendak memohon, maka mintalah kepada Allah,
jika engkau hendak memohon pertolongan, maka memohonlah kepada Allah.” (HR.
Tirmidzi)
Tauhid Adalah Materi Dakwah Yang Pertama Kali Harus Di
jelaskan pengertiannya
Saat mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka
hendaklah dakwah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah syahadat
Laa ilaaha illallah (dalam riwayat lain disebutkan: agar mereka menauhidkan
Allah).” (HR. Bukhari, Muslim)
buah dari kajian di atas adalah kesadaran
pada orang “ngaji diri” diawali dengan mengajeni (menghargai)
sesama / menghormati sesama kemudian dia diajini (dihargai)dan menjadilah aji
soko, soko ajining diri, caranya kebersihan hati, dan cara diatas.
==========================================
yang dimaksud ngaji
diri adalah memahami diri pribadi baik secara lahir maupun secara bathin
itu pernyataan sepertinya bukan yang pertama yang harus
dilakukan oleh kita kan karena sepengetahuan saya adalah tahu dulu siapa
pencipta kita kan? ada yang awal dan ada yang akhir….
==========================================
ma’rifat syareat
thoriqot hakekat
mungkin itu yang saya maksud…
adakah secara
lahiriah tahapan yang lebih mendetail step demi step untuk sampai ngaji
diri…kemudian ngaji lalaku dan lainnya?
==========================================
untuk bisa ngaji diri
sebenarnya susah susah gampang karena apa yang kita pelajari tidak jauh dari
diri kita sendiri misalnya belajar tentang mengenali dan mengendalikan hawa
nafsu pribadi , belajar jujur terhadap diri sendiri dan yang terpenting adalah
terlepas dari rekayasa akal pikiran kita sendiri
apa dulu yang harus dilakukan? shalat dullu atau apa
dulu..sehingga kita secara aqidah tidak tersesat, karena walaubagaimanapun
parasit akidah akan selalu menempel?
==========================================
mengenal Gusti Allah
terlebih dahulu kemudian barulah menjalankan perintahNya lanjut kepada
pembuktiaan akan kebenaran akan firman2xNya untuk sampai pada tahap keyakinan
tertinggi yaitu Amarul yakin
dan bagaimana kita bisa tahu bahwa kita sdang melaksanakan
suatu “lelaku” itu tidak terkena parasit aqidah?
==========================================
gunakan akal sehat
apakah apa yang kita lakukan itu bertentangan dengan firman Allah dan sabda
Rosul ataukah tidak
intinya lihatlah perilaku Rosululloh SAW karena beliau
adalah sebaik-baik contoh untuk kita semua.
beliau tetap membumi
dengan menjalankan syareatNya itulah sebaik baik contoh.
Tunjukan yang umum
dan simpan yang khusus hanya untuk kepentingan pribadi atau kalaupun akan
dibicarakan, sebaiknya bicarakanlah dengan orang2x yang setaraf pengetahuannya
agar tidak terjadi/timbul fitnah….
inilah jalan yang
diambil oleh Nabi kita dan para Wali yaitu menjalankan keumuman ( Syareat )
tanpa menunjukan kekhususan.
semoga selalu dalam bimbingan alloh