TANBIIH

الحَمـْدُ للهِ المُــوَفَّـقِ للِعُـلاَ حَمـْدً يُوَافـــِي بِرَّهُ المُتَـــكَامِــلا وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَي النَّبِيِّ المُصْطَفَىَ وَالآلِ مَــــعْ صَـــحْــبٍ وَتُبَّـاعٍ وِل إنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا تَقْوَى الإلهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ وَتِبَاعُ أَهْوَى رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلاَ إن أخوف ما أخاف على أمتي اتباع الهوى وطول الأمل إنَّ الطَّرِيقَ شَرِيعَةٌُ وَطَرِيقَةٌ وَحَقِيقَةُ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلا فَشَرِيعَةٌ كَسَفِينَة وَطَرِيقَةٌ كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيقَةٌ دُرٌّ غَلاَ فَشَرِيعَةٌ أَخْذٌ بِدِينِ الخَالِقِ وَقِيَامُهُ بَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ انْجَلاَ وَطَرِِيقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطَ كَالوَرَع وَعَزِيمَةُ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاَ وَحَقِيقَةُ لَوُصُولُهِ لِلمَقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُورُ التّجَلِّي بِانجَلاَ مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق

hiasan

BELAJAR MENGKAJI HAKIKAT DIRI UNTUK MENGENAL ILAHI

Rabu, 18 April 2012

HUKUM WAJIBNYA TAQLID BAGI SESEORANG YANG TIDAK MEMILIKI KEAHLIAN UNTUK BERIJTIHAD



Menurut pandangan Jumhuril Ulama setiap orang yang tidak memiliki keahlian untuk sampai pada tingkat kemampuan sebagai mujtahid mutlak, sekalipun ia telah mampu menguasai beberapa cabang keilmuan yang dipersyaratkan di dalam melakukan ijtihad, maka wajib baginya untuk mengikuti (taklid) pada satu qaul dari para Imam Mujtahid dan mengambil fatwa mereka agar ia dapat keluar dan terbebaskan dari ikatan beban (Taklif) yang mewajibkannya untuk mengikuti siapa saja yang ia kehendaki dari salah satu Imam Mujtahid, sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt :

فاسئلوا اهل الذكر إن كنتم لاتعلمـون

“Maka bertanyalah kalian semua kepada ahli ilmu jika kalian semua tidak mengetahui”
Dengan berdasar pada ayat ini, seseorang yang tidak mengetahui diwajibkan oleh Allah Swt. untuk bertanya, Nah bertanya itu merupakan perwujudan sikap taqlid seseorang kepada orang yang alim. Firman Allah ini berlaku secara umum untuk semua golongan yang dikhitobi.

Secara umum pula firman Allah ini, mewajibkan kita untuk bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu yang tidak kita ketahui, sesuai dengan kesepakatan / konsensus Jumhur al – Ulama. Karena sesungguhnya orang yang beridentitas awam itu pasti ada sejak zaman generasi sahabat, tabi’in dan hingga zaman setelahnya, mereka wajib meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikuti fatwa – fatwa mereka dalam hukum-hukum syari’ah dan mengimplementasikannya sesuai dengan petunjuk Ulama. Pertanyaan esensial yang kemudian muncul adalah, mengapa harus mempertanyakan suatu hukum dan tuntutan syari’at yang tidak diketahui ?


Karena sesungguhnya para ulamapun ketika menerima pertanyaan, mereka seringkali segera menjawab pertanyaan tersebut to the point tanpa memberi isyaroh untuk menuturkan dalil, di satu sisi ketika seorang ulama melarang untuk melakukan sesuatu kepada orang yang awam, merekapun (awam) langsung menerimanya tanpa mengingkarinya. Kondisi yang sedemikianlah yang lantas disepakati adanya kewajiban bagi orang awam untuk mengikuti pendapat seorang mujtahid, disadari pula bahwa sama sekali orang awam itu tidak memiliki kemampuan dan otoritas untuk memahami Al – Kitab dan Al – Sunnah dan tentunya pemahamannya tidaklah dapat diterima jika tidak cocok dengan pemahaman ulama ahli Al – Haq yang agung dan terpilih. Sesungguhnya orang yang ahli bid’ah dan berperilaku menyimpang, mereka memahami hukum-hukum secara bathil dari Al – Kitab dan Al – Sunnah, pada kenyataannya apapun yang diambil oleh ahli bid’ah tidaklah dapat dipegangi sebagai kebenaran.

Bagi orang awam tidak diwajibkan untuk tetap eksis / konsisten mengikuti satu madzhab saja dalam menyikapi setiap masalah baru yang muncul. Walaupun ia telah menetapkan untuk mengikuti satu madzhab tertentu seperti madzhabnya Imam Al - Syafi’i ra., tidaklah selamanya ia harus mengikuti madzhab ini, bahkan diperkenankan baginya untuk pindah pada madzhab yang lain selain Al - Syafi’i. Seorang awam yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengkajian masalah dan istidlal (melakukan pelacakan / pencarian sumber dalil) atau ia juga tidak memiliki kemampuan membaca sebuah kitabpun yang ada sebagai reverensi dalam sebuah madzhab, lantas ia mengatakan bahwa saya adalah bermadzhab Al-Syafi’i, maka pernyataan yang sedemikian itu tidaklah absah sebagai pengakuan bilamana hanya sekedar ucapan belaka.
Tetapi menurut sebuah pendapat yang lain menyatakan bahwa ; ketika seorang awam itu konsisten mengikuti satu madzhab tertentu maka wajiblah baginya untuk menetapkan madzhab pilihanya. Karena jelas seorang ‘Awam itu meyakini bahwa madzhab yang ia pilih adalah madzhab yang benar. Maka konsekwensi yang harus ia terima adalah wajib menjalankan apa yang menjadi ketentuan madzhab yang ia yakini.

 Bagi seseorang yang taqlid (مقلّد) boleh mengikuti selain imamnya dalam sebuah masalah yang timbul padanya. Misalnya saja ia taqlid pada satu imam dalam melaksanakan shalat dhuhur, dan ia taqlid dan mengikuti imam lain dalam melaksanakan shalat ashar. Jadi taqlid setelah selesainya melakukan sebuah amal/ ibadah adalah boleh. Untuk memahami hal ini dapatlah digambarkan sebuah masalah : “Bila seorang yang bermadzhab syafii melakukan shalat dan ia menyangka (ظن)atas keabsahan shalatnya menurut pandangan madzhabnya, ternyata kemudian menjadi jelas bahwa shalatnya adalah batal menurut madzhab yang dianutnya, dan sah bila menurut pendapat yang lain maka baginya boleh langsung taqlid pada madzhab lain yang mengesahkan shalatnya. Dengan demikian cukup terpenuhilah kewajiban shalatnya. .................. 


BERSAMBUNG ...... KE EDISI BERIKUT -NYA ........

PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI

JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...

KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN











AlkisAnnabila