TANBIIH

الحَمـْدُ للهِ المُــوَفَّـقِ للِعُـلاَ حَمـْدً يُوَافـــِي بِرَّهُ المُتَـــكَامِــلا وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَي النَّبِيِّ المُصْطَفَىَ وَالآلِ مَــــعْ صَـــحْــبٍ وَتُبَّـاعٍ وِل إنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا تَقْوَى الإلهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ وَتِبَاعُ أَهْوَى رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلاَ إن أخوف ما أخاف على أمتي اتباع الهوى وطول الأمل إنَّ الطَّرِيقَ شَرِيعَةٌُ وَطَرِيقَةٌ وَحَقِيقَةُ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلا فَشَرِيعَةٌ كَسَفِينَة وَطَرِيقَةٌ كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيقَةٌ دُرٌّ غَلاَ فَشَرِيعَةٌ أَخْذٌ بِدِينِ الخَالِقِ وَقِيَامُهُ بَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ انْجَلاَ وَطَرِِيقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطَ كَالوَرَع وَعَزِيمَةُ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاَ وَحَقِيقَةُ لَوُصُولُهِ لِلمَقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُورُ التّجَلِّي بِانجَلاَ مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق

hiasan

BELAJAR MENGKAJI HAKIKAT DIRI UNTUK MENGENAL ILAHI

Minggu, 13 Mei 2012

MANUSIA ADALAH WUJUD BAYANG-BAYANG ALLOH SWT

al-rahman ‘ala al-arsy istawa…

Alloh adalah “sosok tunggal & wajibul wujud (wujud murni & mutlaq) manusia hanyalah bayang''” keADAannya yang tak pernah terbatas, rampung, final, dan komprehensif. Maka, berkahlah bagi manusia, Tuhan membahasakan diri, membatasi diri dengan bahasa yang manusiawi, dengan kata-kata, untuk diketahui manusia sehingga mereka dapat berkata-berkata tentang-Nya, meski dengan piranti nalar yang terbatas, bisa rampung dan final. Sebab itu, manusia mampu berbicara dan berkata-kata tentang Tuhan hanya pada batas-batas yang mampu dikatakannya.

Namun, bahasa selalu tak memadai untuk sepenuhnya mendeskripsikan, menjelaskan, dan dengan itu pula membubuhkan nilai dan merumuskan makna. Ribuan kalimat tersusun merangkai yang Tuhan firmankan tentang diri-Nya, bukanlah batas paling maksimal dan esensial tentang-Nya. Maka, bahasa sebenarnya hanya menangkap jejak, memotret bayangan dari “tongkat” yang tak pernah rampung dan final itu.

Bahasa, yang Tuhan gunakan untuk menjelaskan diri-Nya kepada manusia, adalah sebuah simbol: sebuah isyarat untuk mengungkapkan sesuatu dan pada saat yang sama menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang berada di luar jangkauan nalar dan tak terdeteksi indera tapi bisa dibahasakan, maka bahasa itulah simbol, jejak, bayangan dari esensi sesuatu itu. Kau bisa membaca, menafsirkan sebuah bahasa, tapi barangkali tak layak menyatakan diri telah sampai pada batas paling esensial, final, dan absolut. Selalu mungkin ada yang tersembunyi dari sebuah bahasa, yang luput dari sekedar pembacaan atasnya.

Selanjutnya, hal itu mengantarkan pada konskuensi wajar: bahasa tersaji terbuka untuk ditentukan oleh maksud pembaca. Tuhan membahasakan diri lewat bahasa simbol yang – dengan segenap misteri tersembunyi – merangsang manusia, sebagai pembaca, untuk mengurai, menelaah, menalar, sampai akhirnya memecahkan dan menentukan misteri yang tersembunyi dari balik simbol itu, sekali lagi, pada batas-batas yang mampu dikatakannya. Dan Tuhan, sebagai penulis kisah, bahkan pelaku cerita dari sebuah teks bahasa, dan paling mengerti maksud esensial bahasa itu, tak lagi hadir sebagai pengarah, “lepas tangan”, memberikan kewenangan kepada manusia untuk melakukan elaborasi.

Kita sadari atau tidak, itulah takdir bahasa.

Sepenggal firman yang saya nukil di atas, adalah (salah satu) contoh di mana Tuhan – esensi yang tak terjangkau nalar dan tak terdeteksi indera – membahasakan diri pada batas bahasa dan kata yang paling reduktif, tapi dengan itu manusia bisa berinteraksi. Firman itu kita terjemahkan dengan: “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam pada Arsy”.

Dari pengalaman empirik, kita bisa meraba-raba sepenggal firman itu, aktifitas “bersemayam” melibatkan dua unsur: “yang bersemayam” dan “yang disemayami”, dengan sederet persoalan di belakangnya, misalnya, bagaimana posisi “yang bersemayam” pada “yang disemayami”. Seperti apakah bentuk “yang disemayami” itu, apakah lebih besar dari “yang bersemayam”, jadi, katakanlah “yang disemayami” itu seperti rumah, atau lebih kecil, maka katakanlah “yang disemayami” itu sepeti kursi. Jika “yang disemayami” disepertikan rumah atau kursi, ke arah manakah ia menghadap.

Tentu, ada kemungkinan lain, misalnya, kita setuju dengan arti reduktif itu, hanya saja, karena ini menyangkut Allah, Tuhan Yang Maha Suci, maka tak perlulah ditanyakan, “bagaimana” dan “seperti apa” Ia bersemayam, yang pertanyaan itu hanya layak disandarkan kepada manusia. Bersikap al-tanzih saja. Yang jelas, bahasa Tuhan tentang diri-Nya adalah bahasa kebenaran. Sekilas, ini seperti pasrah menyerah pada bahasa, tapi sesungguhnya adalah sebuah sikap pilihan.

Atau sebuah kemungkinan lain: kita harus lari dari teks bahasa reduktif itu untuk menemukan makna, agar tidak terjebak pada pertanyaan-pertanyaan tak elok dan tak bakal selesai, atau terperangkap pada kesan pasrah menyerah pada bahasa. Makna lain itu, misalnya, sepenggal firman di atas adalah bahasa Tuhan untuk menyimbolkan ke-Maha-Perkasa-annya. Bagi Tuhan, cuma ada dua hal: diri-Nya dan bukan diri-Nya yang lahir dari diri-Nya. Dan yang bukan diri-Nya itu berada dalam lingkaran kuasa dan pengawasan-Nya. (Atau, sesungguhnya cuma ada diri-Nya, dan yang lain hanyalah manifes dari-Nya).

Atau, kemungkinan-kemungkinan pemaknaan lain di mana Kau sampai pada batas kenyamanan dan ketentraman hati.

Kau juga bisa mencari kemungkinan pemaknaan, misalkan, pada “wahuwa ma’akum anama kuntum” (Tuhan selalu menyertai di mana pun kalian berada), pada “yadullah fauqa aidihim” (Tangan Tuhan ada di atas tangan mereka), pada “qalb al-mu’min baina ishbain min ashabi’ al-rahman” (Kalbu orang beriman ada dalam genggaman jemari Tuhan), atau juga pada “…jannaat tajri min tahtiha al-anhar” (…surga yang di bawahnya melintas aliran sungai) …

Selalu ada kemungkinan yang bisa Kau temukan dari sebuah teks bahasa. Bila Kitab Suci punya pengantar dan tamat, teks bahasa Kitab Suci adalah sebuah hamparan pemaknaan yang meruah, membentang, jalin menjalin, terus menerus, tak punya awal, tak kunjung final. Dan, ketika kemungkinan sedemikian meruah, pilihanmu pada salah satu kemungkinan di antara yang meruah itu, sesungguhnya bukan lagi semata berdasar pada kebenaran nalar, tapi pada kenyamanan dan ketentraman hati.

Jelas, Allah, Ilahi, Rabbi, Tuhan, Gusti, Pangeran, God… hanya simbol, jejak, bayangan, sebuah batas bahasa di mana kita bisa berkata-kata, berdiskusi, berdebat tentang esensi yang supernatural, tak terjangkau nalar, tak terdeteksi indera, di mana sebuah esensi itu transenden, Yang Maha. Namun, bahasa akan bernasib “selalu tak memadai untuk sepenuhnya mendeskripsikan, menjelaskan”. Allah (sebagai bahasa) terlalu sempit, tidak akan sepenuhnya memadai untuk mendeskripsikan, menjelaskan Allah sebagai esensi yang supernatural, transenden, Yang Maha.

Telah lebih dari setahun, Malaysia memberlakukan larangan kata “Allah” digunakan media non-Islam. Hanya terjadi di Malaysia, kata “Allah” diklaim sebagai hak eksklusif umat Islam untuk menggunakannya. Alasannya: penggunaan kata “Allah” di media non-Islam ditakutkan akan menimbulkan gejolak di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini. Alasan yang cenderung naif.

Pertama, ini sama sekali sepele, tidak esensial dan tidak mencerdaskan. Kedua, cukup untuk menggambarkan “hidup yang didominasi oleh kuantifikasi, sebuah hidup yang memusuhi perbedaan kualitatif”. Ketiga, menunjukkan kepongahan mayoritas, dan pada saat yang sama inferioritas mayoritas, mayoritas yang kurang percaya diri, yang rapuh, sehingga membutuhkan kekuatan (pemerintah sekalipun) untuk menopangnya.

Agama Untuk Manusia Atau Manusia Untuk Agama?



Mereka menyadari akan tuntutan di masa modern, yakni manusia menginginkan segala sesuatu. Termasuk manusia menginginkan agama. Padahal menurut pandangan klasik, mereka memandang manusia untuk agama. Mereka mengatakan bahwa didalam pandangan klasik terhadap agama, manusia memandang tinggi agama dan akidah. Dengan dalil ini, manusia menjunjung tinggi akidah dan menjadikan jiwa lahiriyah mereka tiada bernilai, serta dengan mudah mereka akan mengorbankan jiwanya itu demi agama. Adapun di masa modern, manusia menempatkan dirinya lebih tinggi atas akidahnya. Ini tidak berarti bahwa manusia akan mengorbankan dirinya demi akidahnya, juga tidaklah menjadikan jiwanya terbunuh atas dasar akidah yang dianutnya.



Tiada diragukan di masa modern bahwa manusia lebih terhormat atas pemikirannya. Hal ini dapat ditinjau dari: Pertama, argumentasi apa yang meletakkan manusia lebih terhormat atas pemikirannya? Kedua, apakah juga demikian halnya menurut pandangan klasik atau bertentangan? Adapun di masa modern manusia telah menemukan kehormatan dirinya dan meletakkan kedudukan rendah atas pemikirannya, dari sisi akibat perkara yang terlupakan oleh manusia. Dari sisi lain, sebagai akibat dari pengetahuan manusia yang telah hilang kebenarannya. Manusia modern, menyakini pengetahuan yang nisbi, hingga tidak mungkin berharap pemikirannya tersebut akan bernilai dan akan sampai pada titik terendah dari manusia. Jika manusia menemukan sebuah hakikat dari pemikirannya, akan mengantarkannya pada kemuliaan dan terjaga kehormatannya. Hingga mungkin akan menjadikan pemikirannya lebih mulia dari dirinya.Adapun pemikiran klasik yang tersebar, telah menemukan nilainya yang sangat berharga dalam sejarah manusia. Tidaklah hal tersebut berlaku atas pemikiran di masa modern. Oleh karenanya, terdapat sebuah kesalahan atas misi pengajaran yang disampaikan di masa modern, yakni pada masa sebelum pembaharuan Eropa, mempengaruhi misi pengajaran yang disampaikan atas semua budaya dan negara. Sehingga akan memaksakan kesulitan yang sama atas semua hukum yang berlaku di Eropa pada abad pertengahan. Ini adalah hasil sebuah makar yang diciptakan oleh para atheis, yang menjadikannya sebuah fenomena di dunia modern, yang mengharuskan penyelesaiannya.
Tujuan Agama

Kami di sini tidak mampu mengisyaratkan berbagai pemikiran klasik. Tetapi, kami akan menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan pemikiran klasik menurut pendapat kami. Pada masa datangnya budaya Islam, turunnya kitab-kitab suci dan diutusnya para Rasul yang mengantarkan manusia menuju jalan kesempurnaan. Hal ini sangatlah jelas, bahwa agama adalah petunjuk Tuhan Yang Penyayang dan Pemberi Hidayat kepada manusia hingga menyampaikan manusia pada kesempurnaan yang diinginkan. Tujuan agama adalah memberikan petunjuk pada manusia, sehingga dengan kekuatan petunjuk agama akan menyampaikannya menuju ke-haribaan Ilahi. Jika demikian, maka agama adalah perantara dalam membantu tugas manusia untuk merealisasikan tujuan mulianya. Dengan dasar ini, tidaklah mungkin digambarkan bahwa bagaimana mungkin ketika agama muncul manusia menjadikan tebusan dan pengorbanan pada dirinya. Jika seandainya manusia tidak berpegang pada prinsip agama, tidak menjadikan kesempurnaan kekuatan ruh agama. Maka tidak akan menyampaikannya ke tujuan agama. Jika manusia tanpa memperdulikan petunjuk agama dan agama hanya sebagai identitas lahirnya akan menjerumuskannya ke jurang kehancuran, dan yang pantas di sebut atheis. Dalam pandangan Islam yang murni, agama sebagai jalan kebenaran dan keselamatan. Agama sebagai jalan menyampaikan pada tujuan dan kesempurnaan realitas wujud yang paling tinggi. Agama sebagai rantai dan penyambung antara Alam Malaikat dan Alam Malakut. Agama datang, hingga menjadikan manusia yang berasal dari kedalaman tanah menuju ke singgasana langit. Agama sebagai pengobat rasa takut kita. Agama sebagai pelindung terhadap berbagai kesulitan yang mendasar dari alam natural. Agama adalah bagian penting dari kehidupan manusia. Agama yang merubah ketakutan akan mati pada manusia menjadikannya sebagai sebuah harapan kehidupan yang abadi. Dari sini, tidaklah kita menjadikan dalil ojektif diatas, kita ingin berbicara tentang agama menurut pandangan Islam murni. Mengidentitaskan ikatan agama dengan manusia. Begitu juga dengan memperhatiakan semua permasalahan di atas dengan tujuan manusia. Agama yang membantu tugas manusia untuk keselamatannya. Sebelumnya, terdapat sebuah pertanyaan: jika demikian, mengapa melalui perantara agama, jiwa manusia perlu dikorbankan, dan mengapa melalui penjagaan atas agama jiwa suci manusia diberikan dan mengantarkannya ke jalan syahadah ? dan mengapa ada budaya menjemput syahadah dalam agama, khususnya agama Islam ?

Motivasi Manusia



Sebelum memaparkan hal di atas, perlu untuk memperhatikan beberapa mukaddimahnya. Setiap perkara yang dilakukan oleh manusia, tidaklah terlepas dari dua hal: apakah perkara yang dilakukan tersebut berdasarkan kebenaran atau berdasarkan maslahat ? Dengan kata lain, motivasi (dorongan) kerja manusia ada dua bentuk: mencari sebuah kebenaran dan berfikir secara maslahat. Ketika saya mengerjakan shalat, apakah saya telah menemukan Tuhan yang memang layak disembah ? atau melalui jalan ini Dia ingin disembah (motivasi mencari kebenaran) atau dengan sebab tadi, shalat akan menjadikan keselamatan baginya (motivasi berfikir maslahat). Jika saya tidak berkata bohong. Dengan dalil ini, berbohong adalah salah (menuntut kebenaran). Atau dengan dalil tadi, berbohong menyebabkan azab yang pedih (motivasi berfikir secara maslahat). Berdasarkan dua prinsip tadi kita akan memberikan dua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas:

1. Mencari Kebenaran



Pencari kebenaran terbentuk dari tiga perkara: 1. Kecenderungan 2. Pandangan 3. Metode. Hakekat pencari kebenaran akan ditemukan sesuai dengan tiga bentukan ini: 1. Aliran kebenaran. 2. Kebenaran yang yakin. 3. Kebenaran sebagai tolak ukur. Manusia dalam mencari kebenaran melalui tiga bentuk yang berada dalam dirinya, yakni hati sebagai pusatnya niat atau maksud dan mencintai dan membenci manusia. Otak yang mana sebagai pusat pandangan-pandangan manusia. Fenomena sebagai tempat metode-metode amal perbuatan dan tingkah laku manusia untuk menetapkan sebuah hakekat. Cinta dan benci pada manusia hanya berdasarkan kebenaran dan hakekat (aliran kebenaran), selain dari keyakinan-keyakinan yang benar maka iman tidak bisa didatangkan dan juga menerima setiap keyakinan yang benar (kebenaran yang yakin) dan selalu berdiri dengan kebenaran dan sebab-sebabnya. Dan dalam sisi pengamalan, mereka tidak akan berpaling. Dan prilaku mereka hanya berdasarkan atas hakekat (kebenaran sebagai tolak ukur).

Imam Ali as sebagai tauladan pencari kebenaran  

Tauladan tertinggi manusia sebagai pencari kebenaran adalah Ali Bin Abu Thalib as, yang mana didalam segala sesuatu berpegang pada kebenaran, dan tidaklah mencintai sesuatu selain kebenaran. Walaupun di dalam kewilayahan dan pemerintahan. Jika hal tesebut bukan sebuah kebenaran, maka atas salah satu bagian dari sepatunya adalah sesuatu yang sedikit lebih berharga (khutbah 33). Setiap seorang akan mengetahui bahwa beliau adalah orang yang paling mulia diantara rakyat yang mana kebenaran di sisinya lebih ia cintai dari segala sesuatu (aliran kebenaran). Tidaklah menghukumi sesuatu menurut keyakinannya selain kebenaran dan kenyataan. Dan mengenal kebenaran setiap saat serta tidak berhenti waktunya di dalam kebenaran (khutbah 4). Dalam sisi amal perbuatan, selalu dalam lingkaran kebenaran. Tidaklah hadir dalam dirinya suatu kebohongan untuk mendapatkan kedudukan khilafah ( dalam musyawarah pemilihaan setelah khilafah kedua), orang-orang kuat di sisi beliau menjadi lemah sehingga mereka mengembalikan haknya (khutbah 37), beliau mengingatkan dengan bersumpah atas nama Tuhan bahwa untuk kebenaran dan kebebasan dari cengkraman kebatilan. Dan dalam setiap sesuatu yang dicampuradukkan dengan kebatilan, hendaklah hal tersebut diperangi (khutbah 104), dalam tolak ukur kebenarannya hingga dengan perkembangannya terhadap para penuntut hak lebih dan yang keliru memaksa beliau melakukan tiga peperangan yang tidak inginkan, yang mengakibatkan jiwa beliau sendiri melayang atas dasar keadilan. Pengorbanan di Jalan Kebenaran Ini adalah keadaan seseorang yang telah menemukan dan berpegang teguh kebenaran. Jika halnya seseorang telah menemukan kebenaran. Jika ia ingin mendapatkan kebenaran, haruslah juga berbuat demikian. Apakah hakikat nilai penemuan kebenaran tidak ada, sehingga badan manusia perlu dikorbankan? Tentunya kesempurnaan manusia selalu tegar dalam kebenaran dan berperang demi kebenaran ? tidaklah dari sisi kemanusiaan kita mempunyai tolak ukur kebenaran? Manusia adalah pencari kebenaran, kemanusiaan itu sendiri dalam kelompok pandangan kebenaran, kebenaran yang yakin dan kebenaran sebagai tolak ukur. Oleh karenanya, dalam penilaian esensi ini mengorbankan ikatan kemanusian secara materi pada dirinya.

2. Berfikir maslahat

Seseorang yang melakukan perbuaatannya berdasarkan prinsip maslahat, harus memulai dengan pengenalan terhadap maslahat pribadinya. Kemudian akan mengetahui maslahat apa yang paling baik bagi rakyat. Dan bagaimana akan mendapatkan maslahat itu, melalui jalan apa yang bisa menjauhkan diri dari perkara yang membahayakan serta akan mendekatkan pada perkara yang menguntungkan. Pada dasarnya, sesuatu apa yang menguntungkan dan permasalahan apa yang merugikan. Seseorang yang berpegang pada agama akan mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Bijaksana dan Penyayang mengetahui maslahat sesuatu dan menginginkannya. Oleh karenanya, paling tingginya tingkat maslahat pada-Nya akan menjamin suatu kebaikan dalam ruang lingkup agama. Apabila bagian dari maslahat ke depan dan yang terlewati tidak diketahui maka lebih diutamakan maslahat di dalam ketetapan agama dan maslahat terhadap amal perbuatan atasnya. Dikarenakan berpegang pada agama sebagai jalan keselamatan dan mengantarkan pada kebahagian dunia dan akhirat. Alhasil, orang beragama akan menanti sebuah pengorbanan untuk mengantarkannya pada keselamatan. Dan ini adalah perbuatan orang-orang yang berakal dan kemanusiaan. Dikarenakan, akan menjamin maslahat manusia pada jalan ini. Benar, akan hilang sebagian maslahat dunia, akan tetapi akan mendatangkan kebaikan yang abadi. Apakah jual beli dan perdagangan yang lebih besar dan menguntungkan dari hal ini? Allah Swt dalam al-qur’an berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih. Yaitu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.” (Shaf ayat 10 dan11)

Setiap dua individu manusia melalui jalan ini mampu mengantarkan jalan menuju maslahat akhirat dan mendapatkan keselamatan atas dirinya serta dengan dalil ini juga akan mendapatkan ketenangan dunia. Agama seperti tali yang telah disambungkan dari puncak gunung, sehingga para pendaki dengan perantara tali tersebut mampu untuk naik ke atas gunung, sebagai pengaman dari jatuh atau kecelakaan serta sebagai alat bantu naik. Begitu juga agama sebagai tali Allah yang kuat, dengan berpegang dengannya mampu mengantarkan kepada puncak keselamatan dan mendapatkan kebaikan-kebaikan yang pasti dan abadi serta telah bergerak pada puncak keamanan dan ke- tenangan jiwa. Yakni, juga seiring dengan ketenangan duniawi serta kebahagiaan akhirat: “ Barang- siapa yang berpegang pada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk ke jalan yang lurus….” “Dan berpeganglah kalian pada tali(agama) Allah dan janganlah bercerai berai…” (surat Al-Imran ayat 101 dan 103). Adapun jika disandarkan pada maslahat kelompok: Agama, khususnya agama Islam. Adalah agama untuk masyarakat dan juga bermanfaat atas sebuah masyarakat yang berjalan menurut maslahat-maslahat dunianya, juga melalui jalan agama akan menjamin maslahat-maslahat tersebut (alhasil, pembahasan di atas berhubungan dengan agama).

Pengorbanan untuk menjaga maslahat

Dari sisi ini mampu diterima secara rasional, yang mana agama akan menjamin maslahat bagi manusia. Pengorbanan pada jalan agama sangatlah berarti. Jika masyarakat ingin memperoleh maslahat ini maka harus berpegang pada agama. Untuk menjaga agama harus memberikan sumbangan yang diperlukan. Terkadang sumbangan itu berupa jiwa manusia. Dari sisi ini haruslah menjaga bahwa sumbangan yang telah diberikan tidaklah harus mendapatkan faedah yang dihasilkan. Seorang komandan pasukan akan berfikir mengenai tujuannya dalam berperang, menjaga jiwa kelompoknya dan menyelamatkan mereka dari serangan musuh. Jika tidak dipimpin, maka pasukannya akan banyak yang terbunuh. Adapun seorang komandan mampu menyelamatkan mereka, dan untuk menyelamatkan mereka semua haruslah menjaga perintahnya. Dan ini adalah rasional, bahwa mereka mengorbankan beberapa oranga dari anggota pasukan untuk menjaga dan menyelamatkan yang lain.dan memikul tanggungjawab penjagaan atas perintah komandan serta menjaga keselamatan dirinya sebelum ajal menjemputnya. Benar, bahwasaanya seorang komandan untuk menyelamatkan pasukannya, tidaklah kebalikannya. Adapun untuk merealisasikan perkara ini terkadang dianggap perlu yang menjadikan ketaatan beberapa anggota pasukan kepada komandannya, hingga dengan menjadikan ia tetap hidup demi keselamatan pasukannya.

Olehkarena itu, dengan dasar berfikir atas maslahat duniawi juga merupakan sebuah aturan yang ada pada agama, juga perhitungan untung dan ruginya haruslah dengan ketelitian, hingga pengorbanan di jalan agama mempunyai makna dan kematian menuju syahadah atas orang-orang yang dimuliakan di jalan agama, pada dasarnya adalah jalan untuk menjamin maslahat-maslahat manusia. Begitu juga dengan kelanggengan agama ini dapat menjamin maslahat-maslahat mereka. Untuk itu, dorongan memperkuat sisi ruhani syahadah bukanlah dengan pengertian penilaian yang tidak berharga atas jiwa manusia. Akan tetapi, mempersiapkan pada diri manusia untuk menjamin maslahat atas dirinya

Kesempurnaan manusia melalui jalan pengorbanan. Oleh karenanya, tidak ada satu ketetapan atas dalil yang disebutkan yang mampu mengklaim bahwa jiwa manusia tidak bernilai. Atau manusia melakukan pengorbanan demi agama. Atas dasar ini bahwa yang mengatas namakan agama, bukanlah dengan dalil lain sebagai sebuah kebenaran atau maslahat atas diri manusia. Jika menjadikan pengorbanan di jalan agama sebagai sebuah wasiat. Dalam kenyataannya, hal tersebut dalam berwasiat untuk kesempurnaan dirinya dan menyampaikannya menuju jalan kebahagiaan. Permintaan atas syahadah bukanlah tanpa nilai. Akan tetapi, sampai pada satu tingkatan hingga batasan yang mana Tuhan dengan dalil ruhaniyah syahadah ini, membanggakannya atas para malaikat. Para syahid dan pembela di jalan agama, mereka sendiri akan mendapatkan kebahagiaan yang abadi, bumi terjaga, juga kelestarian agama serta akan mempersiapkan kepada kebahagiaan yang lain.

Dibalik Tujuan Penciptaan Manusia ????



Tidak diragukan lagi bahwasannya Allah Swt adalah Wujud Yang Maha Kaya (tidak membutuhkan), jika demikian, mengapa manusia diciptakan? Apa tujuan dari penciptaanya? Dengan kata lain; apa diballik tujuan penciptaan manusia? Tidakkah hal ini berarti bahwa Dia (Allah Swt) adalah wujud yang melalui tujuan penciptaan manusia membutuhkan atas sesuatu? Kalau seandainya tidak mempunyai tujuan, berarti perbuatan Allah Swt tsb adalah sia-sia?

Untuk mengatasi persoalan diatas, tidaklah terlepas dari dua pokok proposisi:

1. Allah Swt, sebagai Wujud Yang Maha Sempurna, dan tidak membutuhkan, juga bagiNya tidak mempunyai tujuan dalam pencapaian suatu kebutuhan.

2. Perbuatan Allah Swt tidaklah menuju kesia-siaan, haruslah bagiNya meraih tujuan. Tujuan tersebut berkenaan dengan tindakan (objek),bukanlah bagi pelaku perbuatan(subjek).

Mereka yang memaparkan persoalan ini, tentunya menyakini bahwa perbuatan Allah sama seperti mahlukNya dan menggambarkan bahwa Allah Swt sebagai Maha Sempurna Yang Absolut yang tidak memiliki kekurangan , haruslah bertujuan dibalik tindakan perbuatanNya. Dikarenakan, ketika perbuatan Allah Swt tanpa tujuan, akan melahirkan sebuah tindakan yang sia-sia.

Allah Swt Maha Kaya dan Sempurna, tidaklah memiliki kekurangan yang mendasari sebuah tindakan untuk mencapai tujuan. Sebagaimana ulama’ teologi berkata: “Sesungguhnya perbuatan Allah tidaklah didasari oleh tujuan.” Pengertiannya adalah; sesungguhnya manfaat dan tujuan tersebut bukanlah akan kembali pada zat Allah, dikarenakan bagaimana mungkin Dia sebagai Pemilik Kesempurnaan yang Absolut menjadikan dan menutupi diriNya dengan kekurangan.

Namun, seandainya kita katakan bahwa Allah Swt tidaklah mempunyai tujuan dalam penciptaan makhluk dan alam, berbeda kalau kita katakan bahwa hasil ciptaannya adalah perbuatan yang sia-sia. Disini adanya perbedaan antara lain kaum materalisme berpendapat tidaklah mempunyai tujuan dari penciptaan alam dan manusia. Adapun dalam kalangan muslim mengatakan dibalik penciptaan alam dan manusia dari sisi Allah Swt dibalik hikmah penciptaan adanya maksud dan tujuan,dan dengan keyakinan yang jelas menyatakan adanya maksud dan tujuan dibalik semua perubahan dan pergerakan alam sekitar. Dalam alqur’an Allah Swt berfirman: “ Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?(QS Al-Mukminun ayat 115) dalam surat lain, Allah Swt berfirman:. “…………..Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.”(QS Al-Imran ayat 191), juga dalam ayatNya : “ Dan tidaklah kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main”. (QS Anbiya’ ayat 16)

Maksud dan kandungan ayat-ayat diatas bahwasanya Allah Swt menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya itu adalah dengan maksud dan tujuan yang mengandung hikmat. Poin penting adalah tidaklah maksud dan tujuan tersebut kecuali untuk kesempurnaan makhluk tidaklah bagi kesempurnaan zatNya (Allah Swt). Oleh karenanya, tujuan dari penciptaan, menyampaikan pada semua makhlukNya akan kesempurnaannya, tanpa manfaat bagiNya sehingga tidaklah menjadikan perbuatanNya sia-sia.

Dan manusia akan meraih kesempurnaan dirinya melalui jalan ibadah dan beramal, dan di dalam ibadah dan amal itu sendiri mengandung sifat kesempurnaan, dan kesempurnaan ini akan dicapai manusia setelah kematian menjemputnya. Yang merupakan kehidupan yang terbaik dari sisi jasmani dan rohani. Dengan kata lain, dunia tempat bercocok tanam dan akhirat tempat memetik hasilnya.

PENYAMA'AN GENDER WANITA DALAM ISLAM

Kedudukan Wanita dalam Islâm

Wanita di Masa Jahiliyah

Wanita di masa jahiliyah (sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) pada umumnya tertindas dan terkungkung khususnya di lingkungan bangsa Arab, tetapi tidak menutup kemungkinan fenomena ini menimpa di seluruh belahan dunia. Bentuk penindasan ini di mulia sejak kelahiran sang bayi, aib besar bagi sang ayah bila memiliki anak perempuan. Sebagian mereka tega menguburnya hidup-hidup dan ada yang membiarkan hidup tetapi dalam keadaan rendah dan hina bahkan dijadikan sebagai harta warisan dan bukan termasuk ahli waris. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):



“Dan apabila seorang dari mereka diberi khabar dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah. Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An Nahl: 58-59)

Islam Menjunjung Martabat Wanita

Dienul Islam sebagai rahmatal lil’alamin, menghapus seluruh bentuk kezhaliman-kezhaliman yang menimpa kaum wanita dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi. Timbangan kemulian dan ketinggian martabat di sisi Allah subhanahu wata’ala adalah takwa, sebagaiman yang terkandung dalam Q.S Al Hujurat: 33). Lebih dari itu Allah subhanahu wata’ala menegaskan dalam firman-Nya yang lain (artinya):

“Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 97)

Ambisi Musuh-Musuh Islam untuk Merampas Kehormatan Wanita

Dalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab antara pria dan wanita telah semarak di panggung modernisasi dewasa ini. Sebagai peluang dan jembatan emas buat musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam untuk menyebarkan opini-opini sesat. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagai propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak wanita Islam. Dikesankan wanita-wanita muslimah yang menjaga kehormatannya dan kesuciannya dengan tinggal di rumah adalah wanita-wanita pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya, direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan budaya. Sehingga teropinikan wanita muslimah itu tak lebih dari sekedar calon ibu rumah tangga yang tahunya hanya dapur, sumur, dan kasur. Oleh karena itu agar wanita bisa maju, harus direposisi ke ruang rubrik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara apapun seperti halnya kaum lelaki di masa moderen dewasa ini.

Ketahuilah wahai muslimah! Suara-suara sumbang yang penuh kamuflase dari musuh-musuh Allah subhanahu wata’ala itu merupakan kepanjangan lidah dari syaithan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaithan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapak kalian dari jannah, ia menanggalkan dari kedua pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya.” (Al A’raf: 27)

Peran Wanita dalam Rumah Tangga

Telah termaktub dalam Al Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia yang datang dari Rabbull Alamin Allah Yang Maha Memilki Hikmah:

“Dan tetaplah kalian (kaum wanita) tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al Ahzab: 33)

Maha benar Allah subhanahu wata’ala dalam segala firman-Nya, posisi wanita sebagai sang istri atau ibu rumah tangga memilki arti yang sangat urgen, bahkan dia merupakan salah satu tiang penegak kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam mencetak “tokoh-tokoh besar”. Sehingga tepat sekali ungkapan: “Dibalik setipa orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan mendidiknya.”

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkta: “Perbaikan masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara:

Pertama: perbaikan secara dhahir, di pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya dari perkara-perkara dhahir. Ini didominasi oleh lelaki karena merekalah yang bisa tampil di depan umum.

Kedua: perbaikan masyarakat dilakukan yang di rumah-rumah, secara umum hal ini merupakan tanggung jawab kaum wanita. Karena merekalah yang sangat berperan sebagai pengatur dalam rumahnya. Sebagaiman Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Tetaplah kalian tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj (berpenampilan) sebagaimana penampilannya orang-orang jahiliyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikan zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah hanyalah berkehendak untuk menghilangkan dosa-dosa kalian wahai Ahlul bait dan mensucikan kalian dengan sebersih-bersihnya.” (Al Ahzab: 33)

Kami yakin setelah ini, tidaklah salah bila kami katakan perbaikan setengah masyarakat itu atau bahkan mayoritas tergantung kepada wanita dikarenakan dua sebab:

1. Kaum wanita jumlahnya sama dengan kaum laki-laki bahkan lebih banyak, yakni keturunan Adam mayoritasnya wanita sebagamana hal ini ditunjukkan oleh As Sunnah An Nabawiyah. Akan tetapi hal itu tentunya berbeda antara satu negeri dengan negeri lain, satu jaman dengan jaman lain. Terkadang di suatu negeri jumlah kaum wanita lebih dominan dari pada jumlah lelaki atau sebaliknya… Apapun keadaannya wanita memiliki peran yang sangat besar dalam memperbaiki masyarakat.

2. Tumbuh dan berkembangnya satu generasi pada awalnya berada dibawah asuhan wanita. Atas dasar ini sangat jelaslah bahwa tentang kewajiban wanita dalam memperbaiki masyarakat. (Daurul Mar’ah Fi Ishlahil Mujtama’)

Pekerjaan Wanita di dalam Rumah

Beberapa pekerjaan wanita yang bisa dilakukan di dalam rumah:

1. Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala. Tinggalnya ia di dalam rumah merupakan alternatif terbaik karena memang itu perintah dari Allah subhanahu wata’ala dan dapat beribadah dengan tenang. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Tetaplah kalian tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikan zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al Ahzab: 33)

2. Wanita berperan memberikan sakan (ketenangan/keharmonisan) bagi suami. Namun tidak akan terwujud kecuali ia melakukan beberapa hal berikut ini:

- Taat sempurna kepada suaminya dalam perkara yang bukan maksiat bahkan lebih utama daripada melakukan ibadah-ibdah sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali setelah mendapat izin suaminya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami itu wajib sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.’ (Fathul Bari 9/356)

- Menjaga rahasia suami dan kehormatannya dan juga menjaga kehormatan ia sendiri disaat suaminya tidak ada di tempat. Sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadapnya.

- Menjaga harta suami. Rasulullah bersabda:

خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الإِبِلَ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ : أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ، وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ

“Sebaik-baik wanita penunggang unta, adalah wanita yang baik dari kalangan quraisy yang penuh kasih sayang terhadap anaknya dan sangat menjaga apa yang dimiliki oleh suami.” (Muttafaqun ‘alaihi)

- Mengatur kondisi rumah tangga yang rapi, bersih dan sehat sehingga tampak menyejukkan pandangan dan membuat betah penghuni rumah.

3. Mendidik anak yang merupakan salah satu tugas yang termulia untuk mempersiapkan sebuah generasi yang handal dan diridhai oleh Allah subhanahu wata’ala.

Adab Keluar Rumah

Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Mengetahui tentang maslahat (kebaikan) hambanya di dunia maupun diakhirat yaitu kewajiban wanita untuk tetap tinggal di rumah. Namun bila ada kepentingan, diperbolehkan baginya keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قَدْ أَذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ

“Allah telah mengijinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” (Muttafaqun ‘alahi)

Namun juga ingat petuah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lainnya:

“Wanita itu adalah aurat maka bila ia keluar rumah syaithan menyambutnya.” (HR. At Tirmidzi, shahih lihat Al Irwa’ no. 273 dan Shahihul Musnad 2/36)

Sehingga wajib baginya ketika hendak keluar harus memperhatikan adab yang telah disyariatkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu:

a. Memakai jilbab yang syar’i sebagaimana dalam surat Al Ahzab: 59.
b. Atas izin dari suaminya, bila ia sudah menikah.
c. Tidak boleh bersafar kecuali dengan mahramnya. (HR. Muslim no. 1341)
d. Menundukkan pandangan. (An Nur: 31)
e. Berbicara dengan wajar tanpa mendayu-dayu (melembut-lembutkan). (Al Ahzab: 32)
f. Tidak boleh melenggak lenggok ketika berjalan.
g. Hindari memakai wewangian. (Al Jami’ush Shahih: 4/311)
h. Tidak boleh menghentakkan kaki ketika berjalan agar diketahui perhiasannya. (An Nur: 31)
i. Tidak boleh ikhtilath (campur baur) antara lawan jenis. (Lihat Shahih Al Bukhari no. 870)
j. Tidak boleh khalwat (menyepi dengan pria lain yang bukan mahram) (Lihat Shahih Muslim 2/978).

Hukum Wanita Kerja di Luar Rumah

Allah menciptakan bentuk fisik dan tabiat wanita berbeda dengan pria. Kaum pria di berikan kelebihan oleh Allah subhanahu wata’ala baik fisik maupun mental atas kaum wanita sehingga pantas kaum pria sebagai pemimpin atas kaum wanita. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Kaum lelaki itu adalah sebagai pemimpin (pelindung) bagi kaum wanita.” (An Nisa’: 35)

Sehingga secara asal nafkah bagi keluarga itu tanggug jawab kaum lelaki. Asy syaikh Ibnu Baaz berkata: “Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus agar keduanya menjalankan perannya, hingga sempurnalah bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya, mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, dan mengobati mereka serta pekerjaan lain yang khusus bagi kaum wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya. Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik hakiki maupun maknawi. (Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fil Maidanil amal, hal. 5)

Bila kaum wanita tidak ada lagi yang mencukupi dan mencarikan nafkah, boleh baginya keluar rumah untuk bekerja, tentunya ia harus memperhatikan adab-adab keluar rumah sehingga tetap terjaga iffah (kemulian dan kesucian) harga dirinya.

Wanita adalah Sumber Segala Fitnah

Bila wanita sudah keluar batas dari kodratnya karena melanggar hukum-hukum Allah subhanahu wata’ala. Keluar dari rumah bertamengkan slogan bekerja, belajar, dan berkarya. Meski mengharuskan terjadinya khalwat (campur baur dengan laki-laki tanpa hijab), membuka auratnya (tanpa berjilbab), tabarruj (berpenampilan ala jahiliyah), dan mengharuskan komunikasi antar pria dan wanita dengan sebebas-bebasnya. Itulah pertanda api fitnah telah menyala.

Bila fitnah wanita telah menyala, ia merupakan inti dari tersebarnya segala fitnah-fitnah yang lainnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia untuk condong kepada syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak … .” (Ali Imran: 14).

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Sesunggunya fitnah wanita merupakan fitnah yang terbesar dari selainnya …, karena Allah menjadikan para wanita itu sebagai sumber segala syahwat. Dan Allah meletakkan para wanita (dalam bagian syahwat) pada point pertama (dalam ayat di atas) sebelum yang lainnya, mengisyaratkan bahwa asal dari segala syahwat adalah wanita.” (Nashihati Linnisaa’i: 114)

Bila fitnah wanita itu telah menjalar, maka tiada yang bisa membendung arus kebobrokan dan kerusakan moral manusia. Fenomena negara barat atau negara-negara lainnya yang menyuarakan emansipasi wanita, sebagai bukti kongkrit hasil dari perjuangan mereka yaitu pornoaksi dan pornografi bukan hal yang tabu bahkan malah membudaya, foto-foto telanjang dan menggoda lebih menarik daya beli dan mendongkrak pangsa pasar. Tak lebih harga diri wanita itu seperti budak pemuas syahwat lelaki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضْرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَ اتَّقُوا النِّسَاءَ فَإنَّ أَوَّلِ فِتْنَةِ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau dan Allah subhanahu wata’ala menjadikan kalian berketurunan di atasnya. Allah melihat apa yang kalian perbuat. Takutlah kepada (fitnah) dunia dan takutlah kepada (fitnah) wanita, karena sesungguhnya awal fitnah yang menimpa Bani Isra’il dari wanitanya.” (HR. Muslim)

Setelah mengetahui hak dan tanggung jawab wanita sedemikian rupa, rapi dan serasi yang diatur oleh Islam, apakah bisa dikatakan sebagai wanita pengangguran atau kuno? sebaliknya, silahkan lihat kenyataan kini dari para wanita karier dibalik label emansipasi atau slogan “Mari maju menyambut modernisasi?” Renungkanlah wahai kaum wanita, bagaimana kedaan suami dan anak-anak kalian setelah kalian tinggalkan tanggung jawab sebagai istri penyejuk hati suami dan penyayang anak-anak?!!!!

Hadits-Hadits Dho’if (Lemah) atau Palsu yang Tersebar di Kalangan Ummat

اُطْلُبُوْا العِلْمَ وَ لَوْ بِالصِّيْنِ

“Tuntutlah Ilmu walau sampai ke negeri Cina.”

Keterangan:

Hadits ini adalah bathil, diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy, Abu Nu’aim, Al Khotib, Al Baihaqi, dan selain mereka. Hadits ini dikritik oleh para ulama seperti Al Imam Al Bukhori, Ahmad, An Nasa’i, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al Khotib, dan selain dari mereka. Karena didalam perawi-perawi hadits ini lemah (dho’if). (Lihat Adh Dhoi’fah No.416)



Berikut ini adalah jawaban dari pertanyaan yang terdapat dalam majalah Al-Jail di Riyadh (Arab Saudi) tentang kedudukan wanita dalam Islam yang disampaikan oleh Syaikh Ibnu Baz.

***

Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi dan Rasul yang paling mulia, kepada keluarganya, sahabatnya, serta kepada siapa saja yang meniti jalannya sampai hari pembalasan.

Sesungguhnya wanita muslimah memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam dan pengaruh yang besar dalam kehidupan setiap muslim. Dia akan menjadi madrasah pertama dalam membangun masyarakat yang shalih, tatkala dia berjalan di atas petunjuk Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Karena berpegang dengan keduanya akan menjauhkan setiap muslim dan muslimah dari kesesatan dalam segala hal.

Kesesatan dan penyimpangan umat tidaklah terjadi melainkan karena jauhnya mereka dari petunjuk Allah dan dari ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul-Nya. Rasulullah bersabda, “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, di mana kalian tidak akan tersesat selama berpegang dengan keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’ kitab Al-Qadar III)

Sungguh telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an betapa pentingnya peran wanita, baik sebagai ibu, istri, saudara perempuan, mapun sebagai anak. Demikian pula yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Adanya hal-hal tersebut juga telah dijelaskan dalam sunnah Rasul.

Peran wanita dikatakan penting karena banyak beban-beban berat yang harus dihadapinya, bahkan beban-beban yang semestinya dipikul oleh pria. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi kita untuk berterima kasih kepada ibu, berbakti kepadanya, dan santun dalam bersikap kepadanya. Kedudukan ibu terhadap anak-anaknya lebih didahulukan daripada kedudukan ayah. Ini disebutkan dalam firman Allah,

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kamu akan kembali.” (QS. Luqman: 14)

Begitu pula dalam firman-Nya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pernah ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak bagi aku untuk berlaku bajik kepadanya?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari, Kitab al-Adab no. 5971 juga Muslim, Kitab al-Birr wa ash-Shilah no. 2548)

Dari hadits di atas, hendaknya besarnya bakti kita kepada ibu tiga kali lipat bakti kita kepada ayah. Kemudian, kedudukan isteri dan pengaruhnya terhadap ketenangan jiwa seseorang (suami) telah dijelaskan dalam Al-Qur’an.

Allah berfirman,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara kalian.” (QS. Ar-Rum: 21)

Al-Hafizh Ibnu Katsir -semoga Alah merahmatinya- menjelaskan pengertian firman Allah: “mawaddah wa rahmah” bahwa mawaddah adalah rasa cinta, dan rahmah adalah rasa kasih sayang.

Seorang pria menjadikan seorang wanita sebagai istrinya bisa karena cintanya kepada wanita tersebut atau karena kasih sayangnya kepada wanita itu, yang selanjutnya dari cinta dan kasih sayang tersebut keduanya mendapatkan anak.

Sungguh, kita bisa melihat teladan yang baik dalam masalah ini dari Khadijah, isteri Rasulullah, yang telah memberikan andil besar dalam menenangkan rasa takut Rasulullah ketika beliau didatangi malaikat Jibril membawa wahyu yang pertama kalinya di goa Hira’. Nabi pulang ke rumah dengan gemetar dan hampir pingsan, lalu berkata kepada Khadijah, “Selimuti aku, selimuti aku! Sungguh aku khawatir dengan diriku.” Demi melihat Nabi yang demikian itu, Khadijah berkata kepada beliau, “Tenanglah. Sungguh, demi Allah, sekali-kali Dia tidak akan menghinakan dirimu. Engkau adalah orang yang senantiasa menyambung tali silaturahim, senantiasa berkata jujur, tahan dengan penderitaan, mengerjakan apa yang belum pernah dilakukan orang lain, menolong yang lemah dan membela kebenaran.” (HR. Bukhari, Kitab Bad’ al-Wahyi no. 3, dan Muslim, Kitab al-Iman no. 160)

Kita juga tentu tidak lupa dengan peran ‘Aisyah. Banyak para sahabat, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, menerima hadits darinya berkenaan dengan hukum-hukum agama.

Kita juga tentu mengetahui sebuah kisah yang terjadi belum lama ini berkenaan dengan istri Imam Muhammad bin Su’ud, raja pertama kerajaan Arab Saudi. Kita mengetahui bahwa isteri beliau menasehati suaminya yang seorang raja itu untuk menerima dakwah Imam al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab. Sungguh, nasehat isteri sang raja itu benar-benar membawa pengaruh besar hingga membuahkan kesepakatan antara Imam al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Imam Muhammad bin Su’ud untuk menggerakkan dakwah. Dan -alhamdulillah— kita bisa merasakan hasil dari nasehat istri raja itu hingga hari ini, hal mana aqidah merasuk dalam diri anak-anak negeri ini. Dan tidak bisa dipungkiri pula bahwa ibuku sendiri memiliki peran dan andil yang besar dalam memberikan dorongan dan bantuan terhadap keberhasilan pendidikanku. Semoga Allah melipat gandakan pahala untuknya dan semoga Allah membalas kebaikannya kepadaku tersebut dengan balasan yang terbaik.

Tidak diragukan bahwa rumah yang penuh dengan rasa cinta, kasih dan sayang, serta pendidikan yang islami akan berpengaruh terhadap kehidupan seseorang. Dengan izin Allah seseorang yang hidup dalam lingkungan rumah seperti itu akan senantiasa mendapatkan taufik dari Allah dalam setiap urusannya, sukses dalam pekerjaan yang ditempuhnya, baik dalam menuntut ilmu, perdagangan, pertanian atau pekerjaan-pekerjaan lain.

Kepada Allah-lah aku memohon semoga Dia memberi taufik-Nya kepada kita semua sehingga dapat melakukan apa yang Dia cintai dan Dia ridhai. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan sahabat-sahabatnya. (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz III/348)

Tidak Suka Dengan Kelahiran Anak Wanita Termasuk Perilaku Jahiliyah

Tanya: Pada zaman ini, kita sering mendengar perkara-perkara yang biasa menjadi bahan perdebatan orang karena ganjilnya. Di antaranya mungkin kita pernah mendengar sebagian orang mengatakan, “Kami tidak suka menggauli istri kami jika yang lahir adalah anak perempuan.” Sebagian lagi mengatakan kepada istrinya, “Demi Allah, jika engkau melahirkan anak perempuan, saya akan menceraikanmu.” -Kita berlepas diri dari orang-orang seperti itu-. Sebagian dari wanita ada yang mendapatkan perlakuan semacam itu dari suaminya. Mereka merasa gelisah dengan perkataan suaminya yang seperti itu. Bagaimana dan apa yang mesti mereka perbuat terhadap perkataan suami seperti itu? Apa nasehat Syaikh dalam masalah ini?

Jawab: Saya yakin apa yang dikatakan saudara penanya adalah sesuatu yang sangat jarang terjadi. Saya tidak habis pikir, bagaimana ada seorang suami yang kebodohannya sampai pada taraf seperti itu; mengultimatum akan menceraikan isterinya jika anak yang dilahirkannya anak perempuan. Lain masalahnya, kalau sebenarnya dia sudah tidak suka dengan isterinya, kemudian ingin menceraikannya dan menjadikan masalah ini sebagai alasan agar dapat menceraikannya. Jika ini masalah yang sebenarnya; dia sudah tidak bisa bersabar lagi untuk hidup bersama isterinya, dan telah berusaha untuk tetap hidup berdampingan dengannya akan tetapi tidak berhasil; jika ini masalah yang sebenarnya, hendaknya dia mencerai istrinya dengan cara yang jelas, bukan dengan alasan seperti itu.

Karena perceraian dibolehkan asalkan dengan dengan alasan yang syar’i. Akan tetapi, meskipun demikian, kami menasehatkan kepada para suami yang mendapatkan hal-hal yang tidak disukai pada diri isterinya agar bersabar, sebagaimana yang difirmankan Allah, “Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (isteri-isteri kamu), (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19)

Adapun membenci anak perempuan, tidak diragukan bahwa itu merupakan perilaku jahiliyah, dan di dalamnya terkandung sikap tasakhuth (tidak menerima) terhadap apa yang telah menjadi ketetapan dan takdir Allah. Manusia tidak tahu, mungkin saja anak-anak perempuan yang dimilikinya akan lebih baik baginya daripada mempunyai banyak anak laki-laki. Berapa banyak anak-anak perempuan justru menjadi berkah bagi ayahnya baik semasa hidupnya maupun setelah matinya. Dan berapa banyak anak-anak lelaki justru menjadi bala dan bencana bagi ayahnya semasa hidupnya dan tidak memberi manfaaat sedikit pun setelah matinya.

JAGALAH HATI & TUNDUKKAN PANDANGAN

Dalil Kewajiban Menahan Pandangan

1. Dari al-Qur’an

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya,

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” (QS. an-Nur [24]: 30-31)



Para ulama tafsir menyebutkan bahwa kata ‘min’ dalam ‘min absharihim’ maknanya adalah sebagian, untuk menegaskan bahwa yang diharamkan oleh Allah Subhaanahu Wata’ala hanyalah pandangan yang dapat dikontrol atau disengaja, sedangkan pandangan tiba-tiba tanpa sengaja dimaafkan. Atau untuk menegaskan bahwa kebanyakan pandangan itu halal, yang diharamkan hanya sedikit saja.


Berbeda dengan perintah memelihara kemaluan yang tidak menggunakan kata min karena semua pintu pemuasan seksual dengan kemaluan adalah haram kecuali yang diizinkan oleh syariat saja (nikah).

Larangan menahan pandangan didahulukan dari menjaga kemaluan karena pandangan yang haram adalah awal dari terjadinya perbuatan zina.

Berkata Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithy—rahimahullah, “Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa yang menjadikan mata itu berdosa karena memandang hal-hal yang dilarang berdasarkan firman Allah Subhaanahu Wata’ala yang artinya,

“Dia mengetahui khianatnya (pandangan) mata dan apa yang disembunyikan oleh hati”. (QS. Ghafir: 19).

Ini menunjukkan ancaman bagi yang menghianati matanya dengan memandang hal-hal yang dilarang.”

Imam al-Bukhary—rahimahullah—berkata, “Makna dari ayat (an-Nuur: 31) adalah memandang hal yang dilarang karena hal itu merupakan pengkhianatan mata dalam memandang.” (Adhwa` al-Bayan 9/190).

2. Dalil dari Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
Dari Jarir bin Abdillah Radhiyallahu Anhu berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang pandangan tiba-tiba (tanpa sengaja), lalu beliau memerintahkanku untuk memalingkannya.” (HR. Muslim).

Maksudnya, jangan meneruskan pandanganmu, karena pandangan tiba-tiba tanpa sengaja itu dimaafkan, tapi bila diteruskan berarti disengaja.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain, dan seorang perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan lain. Seorang laki-laki tidak boleh bersatu (bercampur) dengan laki-laki lain dalam satu pakaian (selimut), dan seorang perempuan tidak boleh bercampur dengan perempuan lain dalam satu pakaian (selimut).” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud & Tirmidzi).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepada Ali Radhiyallahu Anhu, “Wahai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya, karena yang pertama itu boleh (dimaafkan) sedangkan yang berikutnya tidak.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud dan dinyatakan hasan oleh al-Albani).

Imam An-Nawawy mengatakan, “Pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba tanpa maksud tertentu pada pandangan pertama maka tak ada dosa. Adapun selain itu, bila ia meneruskan pandangannya maka hal itu sudah terhitung sebagai dosa.”

الْعَيْنَانِ تَزْنِيَانِ، وَزِنَاهُمَا النَّظَرُ

“Dua mata itu berzina, dan zinanya adalah memandang.” (Muttafaq ‘alaih).

Imam Bukhari dalam menjelaskan hadits ini mengatakan bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya pun dapat berzina.

Akibat Negatif Memandang yang Haram
1. Rusaknya hati.
Pandangan yang haram dapat mematikan hati seperti anak panah mematikan seseorang atau minimal melukainya. Segala peristiwa bermula dari pandangan, dan api yang besar itu berasal dari percikan api yang kecil.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, "Sesungguhnya seorang mukmin jika berbuat dosa maka akan ada satu noda hitam di hatinya, jika ia bertaubat dan berlepas dari dosanya maka hatinya akan menjadi bersih, namun jika dosanya bertambah maka noda hitam tersebut akan semakin bertambah hingga menutupi hatinya, itulah noda yang disebutkan oleh Allah Azza Wajalla dalam al-Qur`an (artinya), "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya dosa yang mereka perbuat itu menutupi hati mereka."

2. Terancam jatuh kepada zina
Ibnul Qayyim—rahimahullah—berkata bahwa pandangan mata yang haram akan melahirkan lintasan pikiran, lintasan pikiran melahirkan ide, sedangkan ide memunculkan nafsu, lalu nafsu melahirkan kehendak, kemudian kehendak itu menguat hingga menjadi tekad yang kuat dan biasanya diwujudkan dalam amal perbuatan (zina).

Akses terhadap pornografi yang begitu mudah, hingga kalangan anak-anak sekalipun telah menjadi pemicu meningkatnya pemerkosaan dan seks bebas. Semuanya berawal dari mata yang khianat terhadap larangan-larangan Allah Azza Wajalla.

3. Lupa ilmu
Imam Waki’ bin Jarrah salah seorang guru Imam Syafi’i berkata, “Sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.”

Kebiasaan seseorang menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan akan menjadikan hatinya bersih. Kebersihan hati memudahkan masuknya nur atau cahaya petunjuk dari Allah Subhaanahu Wata’ala kedalamnya.

Sebaliknya kebiasaan memandang hal-hal yang diharamkan Allah, seperti aurat orang lain maka akan menjadikan hatinya kotor dengan kemaksiatan dan dosa yang lama-kelamaan semakin menutupi kebersihan hatinya sehingga sulit ditembus oleh nur hidayah-Nya.

4. Turunnya bala’
Amr bin Murrah berkata, “Aku pernah memandang seorang perempuan yang membuatku terpesona, kemudian mataku menjadi buta. Kuharap itu menjadi kafarat penghapus dosaku.”

5. Menambah lalai terhadap Allah Azza Wajalla dan hari akhirat.

6. Rendahnya nilai mata yang memandang yang haram dalam pandangan syariat Islam.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Jika seseorang melongok ke dalam rumahmu tanpa izinmu, lalu kau sambit dengan kerikil hingga buta matanya, tak ada dosa bagimu karenanya.” (Muttafaq ‘alaih).

Manfaat Menahan Pandangan
Di antara manfaat menahan pandangan adalah:
1. Membebaskan hati dari pedihnya penyesalan, karena barangsiapa yang mengumbar pandangannya maka penyesalannya akan berlangsung lama.

2. Hati yang bercahaya dan terpancar pada tubuh terutama mata dan wajah, begitu pula sebaliknya jika seseorang mengumbar pandangannya.

3. Terbukanya pintu ilmu dan faktor-faktor untuk menguasainya karena hati yang bercahaya dan penuh konsentrasi.

4. Mempertajam firasat dan prediksi
Syuja’ Al-Karmani berkata,
“Siapa yang menyuburkan lahiriyahnya dengan mengikuti sunnah, menghiasi batinnya dengan muraqabah, menundukkan pandangannya dari yang haram, menahan dirinya dari syahwat, dan memakan yang halal, maka firasatnya tidak akan salah.”

5. Menjadi salah satu penyebab datangnya mahabbatullah (kecintaan dari Allah Subhaanahu Wata’ala).
Al-Hasan bin Mujahid berkata,

غَضُّ البَصَرِ عَنْ مَحَارِمِ اللهِ يُوْرِثُ حُبَّ اللهِ.

“Menahan pandangan dari apa yang diharamkan Allah akan mewarisi cinta Allah.”


Faktor-faktor Penyebab Mampu Menahan Pandangan
Di antara faktor yang membuat seseorang mampu menahan pandangannya adalah:
1. Hadirnya pengawasan Allah dan rasa takut akan siksa-Nya di dalam hati.
2. Menjauhkan diri dari semua penyebab mengumbar pandangan.
3. Meyakini semua bahaya mengumbar pandangan.
4. Meyakini manfaat menahan pandangan.
5. Melaksanakan pesan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk segera memalingkan pandangan ketika melihat yang haram.
6. Memperbanyak puasa.
7. Menyalurkan keinginan melalui jalan yang halal (pernikahan).
8. Bergaul dengan orang-orang shaleh dan menjauhkan diri dari persahabatan akrab dengan orang-orang yang rusak akhlaknya.
9. Selalu merasa takut dengan su’ul khatimah ketika meninggal dunia.

AL-QUR'AN ADALAH OBAT PENYAKIT HATI

PENYAKIT HATI

Hati itu dapat hidup dan dapat mati, sehat dan sakit. Dalam hal ini, ia lebih penting dari pada tubuh.
Allah berfirman, artinya:
"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya." (Al-An'am : 122)
Artinya, ia mati karena kekufuran, lalu Kami hidupkan kembali dengan keimanan. Hati yang hidup dan sehat, apabila ditawari kebatilan dan hal-hal yang buruk, dengan tabi'at dasarnya ia pasti menghindar, membenci dan tidak akan menolehnya. Lain halnya dengan hati yang mati. Ia tak dapat membedakan yang baik dan yang buruk.

Dua Bentuk Penyakit Hati:

Penyakit hati itu ada dua macam: Penyakit syahwat dan penyakit syubhat. Keduanya tersebut dalam Al-Qur'an.
Allah berfirman, artinya:
"Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara (melembut-lembutkan bicara) sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. " (Al-Ahzab:32)
Ini yang disebut penyakit syahwat.

Allah juga berfirman, artinya:
"Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya..." (Al-Baqarah : 10)
Allah juga berfirman, artinya:
"Dan adapun orang yang didalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada)." (At-Taubah : 125)

Penyakit di sini adalah penyakit syubhat. Penyakit ini lebih parah daripada penyakit syahwat. Karena penyakit syahwat masih bisa diharapkan sembuh, bila syahwatnya sudah terlampiaskan. Sedangkan penyakit syubhat, tidak akan dapat sembuh, kalau Allah tidak menanggulanginya dengan limpahan rahmat-Nya.

Seringkali penyakit hati bertambah parah, namun pemiliknya tak juga menyadari. Karena ia tak sempat bahkan enggan mengetahui cara penyembuhan dan sebab-sebab (munculnya) penyakit tersebut. Bahkan terkadang hatinya sudah mati, pemiliknya belum juga sadar kalau sudah mati. Sebagai buktinya, ia sama sekali tidak merasa sakit akibat luka-luka dari berbagai perbuatan buruk. Ia juga tak merasa disusahkan dengan ketidak mengertian dirinya terhadap kebenaran, dan keyakinan-keyakinannya yang batil. "Luka, tak akan dapat membuat sakit orang mati." *). Terkadang ia juga merasakan sakitnya. Namun ia tak sanggup mencicipi dan menahan pahitnya obat. Masih bersarangnya penyakit tersebut di hatinya, berpengaruh semakin sulit dirinya menelan obat. Karena obatnya dengan melawan hawa nafsu. Itu hal yang paling berat bagi jiwanya. Namun baginya, tak ada sesuatu yang lebih bermanfaat dari obat itu. Terkadang, ia memaksa dirinya untuk bersabar. Tapi kemudian tekadnya mengendor dan bisa meneruskannya lagi. Itu karena kelemahan ilmu, keyakinan dan ketabahan. Sebagai halnya orang yang memasuki jalan angker yang akhirnya akan membawa dia ke tempat yang aman. Ia sadar, kalau ia bersabar, rasa takut itu sirna dan berganti dengan rasa aman. Ia membutuhkan kesabaran dan keyakinan yang kuat, yang dengan itu ia mampu berjalan. Kalau kesabaran dan keyakinannya mengendor, ia akan balik mundur dan tidak mampu menahan kesulitan. Apalagi kalau tidak ada teman, dan takut sendirian.

Menyembuhkan Penyakit Dengan Makanan Bergizi dan Obat:

Gejala penyakit hati adalah, ketika ia menghindari makanan-makanan yang bermanfaat bagi hatinya, lalu menggantinya dengan makanan-makanan yang tak sehat bagi hatinya. Berpaling dari obat yang berguna, menggantinya dengan obat yang berbahaya. Sedangkan makanan yang paling berguna bagi hatinya adalah makanan iman. Obat yang paling manjur adalah Al-Qur'an masing-masing memiliki gizi dan obat. Barangsiapa yang mencari kesembuhan (penyakit hati) selain dari Al-kitab dan As-sunnah, maka ia adalah orang yang paling bodoh dan sesat.
Sesungguhnya Allah berfirman:
"Katakanlah: "Al-qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat jauh." (Fushshilat : 44)

Al-qur'an adalah obat sempurna untuk segala penyakit tubuh dan hati, segala penyakit dunia dan akherat. Namun tak sembarangan orang mahir menggunakan Al-qur'an sebagai obat. Kalau si sakit mahir menggunakannya sebagai obat, ia letakkan pada bagian yang sakit, dengan penuh pembenaran, keimanan dan penerimaan, disertai dengan keyakinan yang kuat dan memenuhi syarat-syaratnya. Tak akan ada penyakit yang membandel. Bagaimana mungkin penyakit itu akan menentang firman Rabb langit dan bumi; yang apabila turun di atas gunung, gunung itu akan hancur, dan bila turun di bumi, bumi itu akan terbelah? Segala penyakit jasmani dan rohani, pasti terdapat dalam Al-qur'an cara memperoleh obatnya, sebab-sebab timbulnya dan cara penanggulangannya. Tentu bagi orang yang diberi kemampuan mamahami kitab-Nya.

ANUGRAH CINTA & IMAN

CINTA adalah satu perkataan yang tidak asing lagi di telinga kita. Apalagi di kalangan remaja, kerana sudah menjadi anggapan umum bahawa cinta sinonim dengan ungkapan rasa sepasang sejoli yang mabuk asmara.

Ada yang mengatakan cinta itu suci, cinta itu agung, cinta itu indah dan terlalu indah hingga tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, hanya dapat dirasakan dan sebagainya. Bahkan ada yang menggambarkan oleh kerana tersangat indahnya cinta, syaitan pun berubah menjadi bidadari “racun dirasa bagaikan madu?”

Yang jelas kerana cinta, banyak orang yang merasa bahagia namun sebaliknya kerana cinta ramai pula yang tersiksa dan merana. Cinta dapat membuat seseorang menjadi sangat mulia, dan cinta pula yang menjadikan seseorang menjadi sangat tercela.

Kita tahu bagaimana kecintaan Khadijah RA kepada Rasulullah SAW yang rela mengorbankan apa sahaja yang dimilikinya dengan perasaan bahagia demi perjuangan si kekasih yang menjadikannya mulia. Sebaliknya ada pemudi yang mengorbankan kehormatannya demi untuk menyenangkan si kekasih yang dia lakukan atas nama cinta. Atau ada remaja yang menghabiskan nyawanya (na’udzubillahi min zalik) hanya kerana cinta. Cinta yang sedemikianlah yang membawanya kepada kehinaan.

Lalu, Apa Sebenarnya Makna Daripada Cinta ?

Benarkah cinta hanyalah sepenggal kata namun mengandung sejuta makna?
Atau pendapat para filosofi bahawa makna cinta tergantung siapa yang memandang?

Rupanya tepat seperti ungkapan Ibnu Qayyim Al Jauziah tentang cinta, bahwasanya, “Tidak ada batasan tentang cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri.”

Ada pun kata cinta itu sendiri secara bahasa adalah kecenderungan atau keberpihakan. Bertolak dari sini cinta dapat didefinisikan sebagai sebuah gejolak jiwa dimana hati mempunyai kecenderungan yang kuat terhadap apa yang disenanginya sehingga membuat untuk tetap mengangankannya, menyebut namanya, rela berkorban atasnya dan menerima dengan segenap hati apa adanya dari yang dicintainya serasa kurang sekalipun, dan ia tumpahkan dengan kata-kata dan perbuatan.

Pandangan Islam terhadap Cinta

Cinta dalam pandangan Islam adalah suatu perkara yang suci. Islam adalah agama fitrah, sedang cinta itu sendiri adalah fitrah kemanusiaan. Allah telah menanamkan perasaan cinta yang tumbuh di hati manusia. Islam tidak pula melarang seseorang untuk dicintai dan mencintai, bahkan Rasulullah menganjurkan agar cinta tersebut diutarakan.

“Apabila seseorang mencintai saudaranya maka hendaklah ia memberitahu bahawa ia mencintainya.” HR Abu Daud dan At-Tirmidzi

Seorang muslim dan muslimah tidak dilarang untuk saling mencintai, bahkan dianjurkan agar mendapat keutamaan-keutamaan. Islam tidak membelenggu cinta, kerana itu Islam menyediakan penyaluran untuk itu (misalnya lembaga pernikahan) dimana sepasang manusia diberikan kebebasan untuk bercinta.

“Dan di antara tanda-tanda yang membuktikan kekuasaannya dan rahmat-Nya, bahawa Dia menciptakan untuk kamu (wahai kaum lelaki), isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya dan dijadikan-Nya di antara kamu (suami isteri) perasaan kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang yang berfikir.” Q.S Ar-Ruum : Ayat 21

Ayat di atas merupakan jaminan bahawa cinta dan kasih sayang akan Allah tumbuhkan dalam hati pasangan yang bersatu kerana Allah (setelah menikah). Jadi tak perlu menunggu “jatuh cinta dahulu” baru berani menikah, atau pacaran dahulu baru menikah sehingga yang menyatukan adalah si syaitan durjana (na’udzubillahi min zalik). Jadi Islam jelas memberikan batasan-batasan, sehingga nantinya tidak timbul fenomena kerosakan pergaulan dalam masyarakat.

Dalam Islam ada peringkat-peringkat cinta, siapa yang harus didahulukan / diutamakan dan siapa / apa yang harus diakhirkan. Tidak boleh kita menyetarakan semuanya.

“(Walaupun demikian), ada juga di antara manusia yang mengambil selain dari Allah (untuk menjadi) sekutu-sekutu (Allah), mereka mencintainya, (memuja dan mentaatinya) sebagaimana mereka mencintai Allah; sedang orang-orang yang beriman itu lebih cinta (taat) kepada Allah dan kalaulah orang-orang yang melakukan kezaliman (syirik) itu mengetahui ketika mereka melihat azab pada hari akhirat kelak, bahawa sesungguhnya kekuatan dan kekuasaan itu semuanya tertentu bagi Allah dan bahawa sesungguhnya Allah Maha berat azab seksa-Nya, (nescaya mereka tidak melakukan kezaliman itu).” Q.S Al-Baqarah : Ayat 165

Menurut Syaikh Ibnul Qayyim, seorang ulama di abad ke-7,

Ada enam peringkat cinta (maratibul - mahabah), iaitu:

1. Peringkat ke 1 dan yang paling tinggi/paling agung adalah tatayyum, yang merupakan hak Allah semata-mata. “Sesungguhnya solatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Rabbul ‘alamiin.”

“Sedang orang-orang yang beriman itu lebih cinta (taat) kepada Allah”. Q.S Al-Baqarah:Ayat 165

Jadi, ungkapan-ungkapan seperti: “Kau selalu di hatiku, bersemi di dalam kalbu”
atau “Kusebutkan namamu di setiap detak jantungku”, “Cintaku hanya untukmu” dan sebagainya seharusnya ditujukan kepada Allah. Kerana Dialah yang memberikan kita segala nikmat/kebaikan sejak kita dilahirkan, bahkan sejak dalam rahim ibu. Jangan terbalik, baru diberi sekelumit cinta dan kenikmatan dari si “darling” kita sudah hendak menyerahkan jiwa raga kepadanya yang merupakan hak Allah.

Lupa kepada Pemberi Nikmat, “Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi dan (pada) pertukaran malam dan siang dan (pada) kapal-kapal yang belayar di laut dengan membawa benda-benda yang bermanfaat kepada manusia; demikian juga (pada) air hujan yang Allah turunkan dari langit lalu Allah hidupkan dengannya tumbuh-tumbuhan di bumi sesudah matinya, serta Dia biakkan padanya dari berbagai-bagai jenis binatang; demikian juga (pada) peredaran angin dan awan yang tunduk (kepada kuasa Allah) terapung-apung di antara langit dengan bumi; sesungguhnya (pada semuanya itu) ada tanda-tanda (yang membuktikan keesaan Allah kekuasaan-Nya, kebijaksanaan-Nya dan keluasan rahmat-Nya) bagi kaum yang (mahu) menggunakan akal fikiran”. Q.S Al-Baqarah:Ayat 164

2. Peringkat ke 2; ‘isyk yang hanya merupakan hak Rasulullah SAW. Cinta yang melahirkan sikap hormat, patuh, ingin selalu membelanya, ingin mengikutinya, mencontohinya, dan sebagainya, namun bukan untuk menghambakan diri kepadanya.

“Katakanlah (wahai Muhammad) : Jika benar kamu mengasihi Allah maka ikutilah daku, nescaya Allah mengasihi kamu serta mengampunkan dosa-dosa kamu dan (ingatlah), Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani”. Q.S Aali Imran : Ayat 31

3. Peringkat ke 3; syauq iaitu cinta antara mukmin dengan mukmin lainnya. Antara suami isteri, antara orang tua dan anak, yang membuahkan rasa mawaddah wa rahmah.

4. Peringkat ke 4; shababah iaitu cinta sesama muslim yang melahirkan ukhuwah Islamiah.

5. Peringkat ke 5; ithf (simpati) yang ditujukan kepada sesama manusia. Rasa simpati ini melahirkan kecenderungan untuk menyelamatkan manusia, berdakwah, dan sebagainya.

6. Peringkat ke 6 adalah cinta yang paling rendah dan sederhana, iaitu cinta/keinginan kepada selain dari manusia: harta benda. Namun keinginan ini sebatas intifa’ (pendayagunaan/pemanfaatan).

Hubungan Cinta dan Keimanan

Dalam Islam cinta dan keimanan adalah dua perkara yang tidak dapat dipisahkan. Cinta yang berlandaskan iman akan membawa seseorang kepada kemuliaan; sebaliknya cinta yang tidak berlandaskan iman akan menjatuhkan seseorang ke jurang kehinaan.

Cinta dan keimanan laksana kedua belah sayap burung. Al Ustadz Imam Hasan Al Banna mengatakan bahawa “dengan dua sayap inilah Islam diterbangkan setinggi-tingginya ke langit kemuliaan”. Bagaimana tidak, jikalau iman tanpa cinta akan pincang, dan cinta tanpa iman akan jatuh ke jurang kehinaan. Selain itu iman tidak akan terasa lezat tanpa cinta dan sebaliknya cinta pun tidak lezat tanpa iman.

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW; “Barangsiapa ingin memperoleh kelazatan iman, hendaklah ia mencintai seseorang hanya kerana Allah SWT”. (Riwayat Imam Ahmad, dari Abu Hurairah)

Tidak heranlah ketika Uqbah bin Al Harits telah bercerai dengan isteri yang sangat dicintainya Ummu Yahya, atas persetujuan Rasulullah SAW hanya kerana pengakuan seorang wanita tua bahawa ia telah menyusukan pasangan suami isteri itu di saat mereka masih bayi. Allah mengharamkan pernikahan saudara sesusuan.

Demikian pula kecintaan Abdullah bin Abu Bakar kepada isterinya, yang terkenal kecantikannya, keluhuran budinya dan keagungan akhlaknya. Ketika ayahnya mengamati bahawa kecintaannya tersebut telah melalaikan Abdullah dalam berjihad di jalan Allah dan memerintahkan untuk menceraikan isterinya. Pemuda Abdullah memandang perintah tersebut dengan kacamata iman, sehingga dia rela menceraikan belahan jiwanya tersebut demi mempererat kembali cintanya kepada Allah.

Subhanallah, pasangan tersebut telah bersatu kerana Allah, saling mencintai kerana Allah, bahkan telah bercinta kerana Allah, namun mereka juga rela berpisah kerana Allah. Cinta kepada Allah di atas segalanya.

Bagaimana pula halnya dengan pasangan yang terlanjur jatuh cinta, atau yang berpacaran atau sudah bercinta sebelum menikah?

Hanya ada dua jalan; bersegeralah menikah atau berpisah kerana Allah, nescaya akan terasa lazat dan manisnya iman. Dan janganlah mencintai si dia lebih daripada cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dari Anas ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda; “Ada tiga perkara dimana orang yang memilikinya akan merasakan manisnya iman, iaitu mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi segala-galanya, mencintai seseorang hanya kerana Allah, dan enggan untuk menjadi kafir setelah diselamatkan Allah daripadanya sebagaimana enggannya kalau dilempar ke dalam api”. HR. Bukhari dan Muslim

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda; “Demi zat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, kamu sekalian tidak akan masuk syurga sebelum beriman, dan kamu sekalian tidaklah beriman sebelum saling mencintai”. HR Muslim

Cinta Kepada Allah, Itulah yang Hakiki

Cinta bagaikan lautan, sungguh luas dan indah. Ketika kita tersentuh tepinya yang sejuk, ia mengundang untuk melangkah lebih jauh ke tengah, yang penuh rintangan, hempasan dan gelombang pada siapa saja yang ingin mengarunginya. Namun carilah cinta yang sejati, di lautan cinta berbiduk takwa berlayarkan iman yang dapat melawan gelombang syaitan dan hempasan nafsu, insyaAllah kita akan sampai kepada tujuannya iaitu: cinta kepada Allah, itulah yang hakiki, yang kekal selamanya. Adapun cinta kepada makhluk-Nya, pilihlah cinta yang hanya berlandaskan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukan kerana bujuk rayu syaitan, bukan pula kerana desakan nafsu yang menggoda.

Cintailah Allah, berusahalah untuk menggapai cinta-Nya. Menurut Ibnu Qayyim, ada

10 perkara yang menyebabkan orang mencintai Allah SWT:

1. Membaca Al-Quran dan memahaminya dengan baik.
2. Mendekatkan diri kepada Allah dengan solat sunat sesudah solat wajib.
3. Selalu menyebut dan berzikir dalam segala keadaan dengan hati, lisan dan
perbuatan.
4. Mengutamakan kehendak Allah di saat berbenturan dengan kehendak hawa nafsu.
5. Menanamkan dalam hati Asma’ul Husna dan sifat-sifatnya dan memahami maknanya.
6. Memperhatikan kurnia dan kebaikan Allah kepada kita.
7. Menundukkan hati dan diri ke pangkuan Allah.
8. Menyendiri bermunajat dan membaca kitab sucinya di waktu malam ketika orang sedang nyenyak tidur.
9. Bergaul dan berkumpul bersama orang-orang soleh, mengambil hikmah dan ilmu dari mereka.
10. Menjauhkan sebab-sebab yang dapat menjauhkan kita daripada Allah.
Saling mencintailah kerana Allah agar dapat mendapatkan kecintaan Allah. Dalam hadith Qudsi Allah berfirman; “CintaKu harus Kuberikan kepada orang-orang yang saling mencintai keranaKu, CintaKu harus Kuberikan kepada orang-orang yang saling berkorban keranaKu, dan CintaKu harus Kuberikan kepada orang-orang yang menyambung hubungan keranaKu”.

Hiduplah di bawah naungan cinta dan saling mencintailah kerana keagungan-Nya, niscaya akan mendapatkan naungan Allah, yang pada hari itu tidak ada naungan selain naungan-Nya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda; “Pada hari kiamat Allah berfirman: Dimanakah orang-orang yang saling mencintai kerana keagunganKu? Pada hari yang tiada naungan selain naunganKu ini, Aku menaungi mereka dengan naunganKu“. HR. Muslim

Bahkan Allah memuliakan mereka yang saling mencintai dan bersahabat kerana Allah, yang membuat para nabi dan syuhada merasa iri terhadap mereka mereka. Nasa’i meriwayatkan dengan sanad dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda; “Di sekeliling Arasy, terdapat mimbar-mimbar dari cahaya yang ditempati oleh suatu kaum yang berpakaian dan berwajah cahaya pula. Mereka bukanlah para nabi atau syuhada, tetapi para nabi dan syuhada merasa iri terhadap mereka”.

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, beritahulah kami tentang mereka!”

Beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai, bersahabat, dan saling mengunjungi kerana Allah”.

“Ya Allah, kurniakanlah kepada kami Cinta terhadapMu dan Cinta kepada mereka yang mencintaiMu, dan apa sahaja yang mendekatkan kami kepada CintaMu, dan jadikanlah CintaMu itu lebih berharga bagi kami daripada air yang sejuk bagi orang yang dahaga”.

Akhirul qalam, bertanyalah pada diri kita sendiri:

1. Sudahkah aku menemukan cinta yang hakiki, cinta yang sejati dalam hidup ini?
2. Sejauh mana aku mengenal-Nya, asma’ (nama)-Nya, sifat-sifat-Nya, kehendak-Nya, larangan-Nya?
3. Seringkah aku mengingati-Nya, menyebut nama-Nya melalui zikir-zikir yang panjang?
4. Seringkah aku mendekatkan diri kepada-Nya dengan solat serta ibadah-ibadah lainnya?
5. Seringkah aku merintih, mengadu dan mengharap kepada-Nya melalui untaian doa yang keluar dari lubuk hati.
6. Sudahkah aku mengikuti kehendak-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya?
7. Apakah aku mencintai seseorang kerana-Nya atau kerana dorongan nafsuku sendiri?
8. Sejauh mana aku berusaha untuk mengekang hawa nafsuku sendiri?

Wallahu’alam.

PESAN-PESAN ROSULULLOH SAW

Lima jenis racun dan Lima penawarnya:‎
‎1.Dunia itu racun, zuhud itu obatnya.‎
‎2.Harta itu Racun, zakat itu obatnya.‎
‎3.perkataan yg sia-sia itu racun, zikir itu obatnya.‎
‎4.seluruh umur itu racun, taat itu obatnya.‎
‎5.Seluruh tahun itu racun, ramadhan itu obatnya.‎

NABI MUHAMMAD SAW. Bersabda:‎
Ada 4 dipandang sebagai ibu, yaitu:‎

‎1.Ibu dari segala OBAT adalah SEDIKIT MAKAN‎
‎2. Ibu dari segala ADAB adalah SEDIKIT BERBICARA ‎
‎3. Ibu dari segala IBADAT adalah TAKUT BERBUAT DOSA‎
‎4. ibu dari segala CITA-CITA adalah SABAR.‎


‎ Pesan-pesanlah kepada kebenaran dan kesabaran
Beberapa kata renungan dari Qur'an: ‎

Orang yang tidak melakukan solat:‎
Subuh : Dijauhkan cahaya muka yang bersinar
Dhuhur : Tidak diberikan berkah dalam rezekinya.‎
Asar : Dijauhkan dari kesehatan/kekuatan
Maghrib: Tidak diberi santunan anak2nya
Isyak : Dijauhkan kedamaian dalam tidurnya.‎

‎15 Pintu Syaitan yang ada dalam diri kita..‎
‎- pintu marah
‎- cinta dunia
‎- kebodohan (keengganan menghadiri majlis ilmu)
‎- panjang angan-angan
‎- rakus
‎- bakhil
‎- suka pada pujian‎
‎- riak
‎- ujub (merasa kagum)
‎- takut dan gelisah
‎- buruk sangka
‎- memandang rendah pada orang lain
‎- merasa suka pada dosa
‎- merasa aman daripada pembalasan "ALLAH"
‎- putus asa daripada rahmat "ALLAH"

‎14 Senjata Menghalang Syaitan

‎- Membaca Bismillah (menjadi kunci pada perbuatan baik)
‎- Memperbanyak zikir
‎- memperbanyak Beristigfar
‎- Baca "la i' la ha illa anta subha naka inni kuntu minaz zoli min"
‎- Jangan tidur sendirian
‎- Baca doa pagi dan petang
‎- Melaksanakan solat jamaah
‎- Berwudhuk sebelum tidur
‎- menutup aurat
‎- Membaca doa bila masuk kamar mandi.
‎- Banyak bersolawat pada hati
‎- Bertaubat, beristighfar
‎- memperbanyak baca Al-Quran
‎- Membaca surah Yassin setiap pagi

Rumah yang Tidak Dimasuki Syaitan

‎- Rumah yang bersih
‎- Penghuni membaca "Bismillah" ketika memasuki rumah
‎- Sentiasa berzikir (ahli rumah menegakkan solat)
‎- Penghuninya jujur dan memenuhi janji
‎- Penghuninya memakan makanan yang halal (dan cara ‎mendapatkannya halal)
‎- Penghuninya mengekalkan silaturahim (sentiasa mesra)
‎- Rumah yang penghuninya berbakti kepada Ibu Bapak.‎

PENGERTIAN NEKAT & TEKAD

Sekarang-sekarang ini kita kerap mendengar kekerasan yang levelnya benar-benar fantastis. Tidak tahu pasti apakah itu karena memang kuantitas dan intensitasnya yang meningkat atau memang karena pemberitaannya yang makin genjar. Yang jelas, kekerasan itu rasanya semakin dekat saja dengan kehidupan kita.



Kita dengar ada seorang ibu yang membekap ketiga anaknya satu persatu. Ketiganya meninggal. Ini terjadi di Bandung. Di Malang, begitu juga yang terjadi. Di Jawa Tengah, ada seorang bawahan, polisi, menembak mati atasannya dan menembak dirinya. Di Jawa Tengah juga, ada seorang polisi muda yang membawa granat yang siap diledakkan di kantornya. Polisi yang masih muda ini tidak mau kasus pribadinya diangkat ke persidangan. Masih banyak lagi yang lain dan yang lain.



Apakah seorang ibu yang tega membunuh anaknya itu bisa dibilang telah kehilangan naluri keibuannya? Apakah seorang polisi yang membunuh atasannya dan membunuh dirinya itu sudah tidak sayang lagi sama hidupnya, sama keluarga dan sama karirnya? Dari bukti-bukti yang masih hidup, jawabnya tidak hitam-putih. Inilah misterinya manusia. Kata para peneliti, misteri terbesar di dunia ini adalah ruang di antara kedua telinga anda. Ruang itulah otak kita.



Ibu yang tega membunuh anaknya itu tetap punya rasa sayang. Mana ada sih seorang ibu yang kehilangan kasih sayangnya? Bahkan, kata pemberitaan, si ibu yang membunuh anaknya itu justru dipicu oleh rasa sayang. Si ibu tidak ingin anaknya nanti hidupnya susah seperti dirinya. Saking sayangnya ia dengan si anak, akhirnya ia mengambil tindakan seperti itu. Lalu, kenapa dengan cara seperti itu? Ini juga termasuk misteri.



Nah, terkadang, saking susahnya kita menyebut tindakan yang semacam itu, kita sebut saja perbuatan nekat. Salah satu ciri yang paling menonjol adalah munculnya paradok antara sebelum dan sesudahnya. Sebelum tindakan itu terjadi, biasanya yang bersangkutan punya kemauan yang kuat agar tindakan itu terjadi. Tapi setelah terjadi, muncullah penyesalan kenapa tindakan itu terjadi. Sayangnya, penyesalan itu selalu datang terlambat.



Kalau merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, ternyata baik nekat atau tekad itu merujuk pada sumber yang sama. Sumber itu adalah kemauan keras. Bedanya, yang satu tidak terarah, atau hanya berdasarkan impuls dan lebih sering tidak rasional, dan yang satu lagi terarah, atau berdasarkan nilai-nilai, visi, tujuan, dan sasaran.



Menurut kamus itu, nekat adalah kemauan keras yang didasari oleh ketidakpedulian terhadap apa saja (karena putus harapan, hilang akal, rasa malu yang cukup tinggi, dan seterusnya). Sedangkan tekad adalah kemauan / kehendak yang pasti atau kebulatan hati. Orang yang perbuatannya mengabaikan kaidah kebenaran, akal sehat, atau norma-norma kita sebut orang nekat. Sebaliknya, orang yang perbuatannya mengarah pada sasaran yang pasti kita sebut orang yang punya tekad tinggi.



Dalam prakteknya, perbuatan nekat itu bisa terjadi dalam berbagai tingkatan / skala dan pola. Ada yang masih dalam tingkatan rendah atau hanya merugikan diri sendiri, atau ada juga yang sudah merugikan orang banyak. Ada yang terjadi karena reaksi sesaat, by default, khilaf atau kalap, tapi ada juga yang sudah direncanakan di luar kesadaran akan right and wrong-nya, by design, seperti dalam kasus kedua ibu di atas.



Terlepas adanya tingkatan dan pola itu, hampir semua perbuatan nekat itu mewariskan penyesalan atau rasa bersalah bagi pelakunya. Seorang karyawan yang langsung ingin mengundurkan diri saat dimarahi atasannya, terkadang bisa menyesal juga. Ini biasanya terjadi ketika tindakan itu ia lakukan sebagai sebagai reaksi sesaat yang belum dipikirkan baik-buruknya di kemudian hari bagi dirinya.



Kemampuan Mengendalikan Diri

Bagi anda yang merasa sering melakukan sesuatu tindakan di luar kontrol dan itu benar-benar merugikan, maka yang perlu anda lakukan adalah mengoreksi kemampuan anda dalam mengontrol-diri. Dalam teori kompetensi, kemampuan seseorang dalam mengontrol diri ini termasuk kunci (key skill). Di sejumlah perusahaan jasa yang berhadapan langsung pada publik (customer), kemampuan seperti ini merupakan rukun profesi. Seseorang akan diberhentikan apabila melakukan tindakan nekat yang merugikan dirinya, orang lain dan organisasi.



Kalau membaca penjelasan  kontrol-diri adalah kemampuan seseorang dalam mengelola emosinya supaya tetap under-control dan kemampuannya dalam menahan diri dari tindakan brutal ketika ada pemicu, ada oposisi, atau berada di kondisi yang menegangkan (stressful condition). Orang yang punya kemampuan seperti itu, biasanya tetap bisa menggunakan akal sehat (tidak kalap atau tidak kalut), tetap bisa memunculkan perspektif positif dan tetap tenang (stabil).



Nah, untuk mengetahui sejauhmana kemampuan anda dalam mengontrol diri, di bawah ini ada penjelasan yang dapat kita jadikan semacam acuan untuk mengoreksi diri.



آ§ Anda mudah kehilangan kendali, mudah frustasi, mudah meluapkan ekspresi emosi secara meledak-ledak, atau tidak efektif dalam menjalankan aktivitas karena emosi yang tidak terkontrol (skala: 0)

آ§ Anda lebih memilih menghindari stress atau lebih memilih menghindari hal-hal yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan ketimbang memperjuangkan keinginan atau prestasi. Anda lebih memilih diam tapi selamat ketimbang maju tapi butuh perjuangan (skala: -1)

آ§ Anda tahan terhadap berbagai tekanan atau godaan (skala: 1)

آ§ Anda sudah bisa mengontrol emosi tetapi belum bisa menggunakannya secara konstruktif (skala: 2)

آ§ Anda sudah sanggup memberikan respon dengan tenang dan mendiskusikannya secara fair (skala: 3)

آ§ Anda sudah bisa mengelola tekanan secara efektif, tidak mempengaruhi hasil pekerjaan atau tidak mempengaruhi proses pekerjaan (skala: 4)

آ§ Anda bisa memberikan respon secara konstruktif: bisa membangun yang lebih positif dan mengantisipasi problem (skala: 5)

آ§ Anda sudah bisa menenangkan diri anda dan orang lain atau sanggup memainkan peranan sebagai leader (skala: 6)



Selain bisa menggunakan penjelasan di atas, kita pun bisa mengukurnya dengan melihat cara kita dalam menyikapi hal-hal yang tidak anda inginkan. Tentang cara ini, ada yang disebut



آ§ Reaktif

آ§ Proaktif.



Pasti kita sudah akrab dengan kedua istilah di atas, lebih-lebih lagi kalau kita suka membaca bukunya Stephen Covey, Seven Habits itu. Orang reaktif adalah orang yang tindakannya lebih sering didasari oleh impuls-sesaat atau tergantung pada stimuli eksternal (tanpa proses berpikir atau kesadaran memilih). Karena kita dihina si A, maka kita membalas menghinanya. Karena kita dimarahi atasan, kita membalasnya dengan amarah pula. Karena gaji kita kecil maka kita mencuri, dan seterusnya.



Sedangkan orang yang proaktif adalah orang yang keputusannya atau tindakannya sudah dilakukan proses berpikir, berdasarkan pada nilai-nilai yang benar (apa yang benar, apa yang baik dan apa yang bermanfaat). Orang reaktif sangat berpotensi melakukan tindakan nekad yang menimbulkan penyelesan. Sebaliknya, orang yang proaktif sangat berpotensi melahirkan tekad-tekad positif untuk meraih sasaran yang positif. Karena itu, masih menurut Covey, salah satu pilar kebiasaan hidup yang efektif adalah belajar menjadi orang yang proaktif.



Menurut teori Logika (Manthiq), ada sembilah model keputusan yang berpotensi salah. Salah satunya adalah ketika kita reaktif. Kesembilan itu adalah:



آ§ Keputusan yang langsung pada kesimpulan hitam-putih, salah-benar; langsung membuat penghakiman, penuduhan dan semisalnya.

آ§ Keputusan yang didasari oleh fakta yang dangkal.

آ§ Keputusan yang didasari oleh pengaruh dari luar semata atau hanya ikut-ikutan.

آ§ Keputusan yang didasari oleh fanatisme pada pendapat seseorang, tanpa pertimbangan akal.

آ§ Keputusan yang didasari oleh pengaruh tradisi nenek moyang.

آ§ Keputusan yang didasari oleh ledakan emosi sesaat (reaktif) dan nafsu sesaat.

آ§ Keputusan yang didasari oleh keinginan "Asal Beda", "Asal Bukan Si Anu", persaingan negatif, dan semisalnya.

آ§ Keputusan yang didasari oleh hal-hal yang sifatnya lahiriah semata.

آ§ Keputusan yang didasari oleh pemahaman yang salah.



Itulah beberapa acuan yang bisa kita jadikan semacam pedoman untuk mengukur apakah kita reaktif atau bukan, apakah kita lebih sering (berpotensi) melakukan tindakan nekad atau "tindakan tekad".



Bagaimana Melatih Emosi?

Tentu saja ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk melatih emosi itu. Di bawah ini baru sebagian dari sekian yang bisa kita lakukan. Justru yang paling penting di sini bukan soal caranya, melainkan lebih pada kemauannya. Sebagian cara itu antara lain:



Pertama, belajarlah untuk memunculkan emosi kedua yang positif atau konstruktif (berakibat baik). Kalau kita tiba-tiba mendengar orang mengatakan sesuatu tentang kita dan itu negatif, pastinya kita jengkel dong. Kalau kita dikhianati orang, memang wajarnya kita kecewa. Kalau kita dimarahi orang, memang umumnya kita marah juga. Kalau kita berada pada keadaan yang stressful, tentunya kita juga stress.



Nah, jengkel, kecewa, marah atau stress dalam kondisi seperti di atas, itu disebut emosi pertama. Ledakan emosi pertama itu biasanya belum sempat kita pikirkan. Dan lagi, biasanya ini sulit dihindari. Apakah emosi pertama ini salah? Belum tentu juga. Selama itu wajar, proporsional dan tidak merugikan, bisalah itu dibilang manusiawi. Yang terkadang berbahaya adalah ketika kebablasan atau lebih dari wajar.



Supaya tidak sampai terlalu kebablasan, jangan membiarkan munculnya emosi kedua yang lebih negatif, membesar-besarkan atau malah meruncingkan masalah. Kita butuh belajar untuk memunculkan emosi kedua yang lebih positif atau yang lebih terkontrol untuk mengurangi atau mengantisipasi berkembangnya emosi pertama. Bisa dibayangkan, kalau kita mengembangkan sel emosi pertama yang negatif itu, masalah kecil jadi besar. Ada â€کkan dulu orang yang membunuh tetangganya gara-gara kambing dan daun singkong?



Jadi, marah, jengkel, kecewa, dan semisalnya itu mungkin sulit dihindari saat kita tiba-tiba mendapatkan sesuatu yang tidak diinginkan. Tapi, jangan sampai kita malah membiarkannya semakin marah, semakin jengkel, semakin kecewa yang berkelanjutan sehingga membuat kita gelap. Kontrollah, rimlah dan munculkanlah emosi kedua yang positif. Kalau pun tidak langsung positif buat orang lain, minimalnya itu positif buat kita sendiri.



Kedua, lakukan puasa atau rutinas lain tertentu yang bisa memperbaiki kemampuan dalam mengendalikan diri. Semua agama dan semua ajaran spiritual di dunia ini memasukkan puasa sebagai kurikulum dasar atau esensial. Bahkan termasuk ilmu kesehatan. Pada tataran fisik, puasa itu ya menahan diri dari makan atau minum dalam batas waktu tertentu dengan niat perbaikan diri, pendekatan diri atau ibadah. Tentu ini dengan syarat asalkan kondisi fisik kita mendukung.



Tapi, supaya puasa kita itu punya efek yang lebih bagus, maka yang diperintahkan bukan saja puasa fisik itu. Puasa fisik itu bisa disebut kulitnya. Puasa yang diperintahkan adalah puasa lahir dan batin. Puasa batin adalah menahan diri dari berbagai dorongan negatif yang berakibat buruk pada diri kita, orang lain atau lingkungan, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang.



Ketiga, ikutilah berbagai kegiatan yang melibatkan orang banyak dan membutuhkan energi tinggi. Ini misalnya saja masuk ke klub olahraga sesuai dengan kesukaan kita, menjadi relawan sosial, masuk dalam tim kerja, dan lain-lain. Kenapa ini penting? Emosi kita semakin terdidik seiring dengan tingkat kematangan. Untuk meraih tingkat kematangan yang lebih tinggi ini butuh proses. Salah satu prosesnya adalah kesediaan kita untuk memperbaiki diri dari berbagai gesekan, konflik, kesepakatan, kerja sama atau pergaulan dengan orang lain.



Keempat, tingkatkan kepedulian pada orang lain, terutama yang ikatannya dekat dengan kita. Ini misalnya anak, istri, suami, orangtua, suadara, teman-teman, dan lain-lain. Kenapa ini penting? Dari berbagai kasus yang ada, tindakan nekat itu ternyata tidak terjadi secara spontan dan tidak berdiri sendiri. Umumnya sudah ada kebiasaan tertentu yang mendukung sebelum-sebelumnya. Sebagiannya adalah, misalnya saja, tertutup (introvert), kurang care (selfish), kurang sosial (anti-social), kurang empati, dan lain-lain.



Logikanya, kalau kita ingin melancarkan perbuatan nekat, tapi kemudian kita ingat orangtua, anak, istri atau suami, ingat dosa, dan lain-lain, apa kemungkinan yang bakal terjadi? Kemungkinannya kita akan berpikir dua kali atau tidak jadi. Ingat pada hal-hal yang positif dan mempositifkan kita, karena itu, menjadi penting. Sebab itulah, baik agama atau ilmu pengetahuan, mengharamkan penggunaan zat-zat yang merusak akal sehat atau yang menghilangkan ingatan. Sudah banyak tindakan nekad yang dilakukan oleh seseorang pada saat mabuk.



Kelima, tumbuhkan kesadaran yang lebih kuat. Maksudnya seperti apa? Kesadaran yang lebih kuat adalah ketika kita menyadari bahwa hanya kita dan hanya dari kita perbaikan emosi itu akan terjadi. Jadi, angkatlah diri anda sebagai pemimpin atau pengendali. Kenapa? Kalau kita selalu mengandalkan keadaan atau orang lain, pastinya akan selalu ada keadaan atau orang yang mendukung untuk berbuat nekad. Karena itu, kita sendiri yang harus bisa mengemudikan diri kita. You are the law of yourself. Semoga bermanfaat.

LANGKAH MEMPERKUAT CAHAYA AL-ILAHIYAH DI MAQOM THORIQOH




1. Dzikir 
Zikir memiliki pengaruh yang kuat terhadap kecemerlangan cahaya batin. Hati yang selalu terisi dengan cahaya zikir akan memancarkan Nur Allah dan keberadaannya akan mempengaruhi perilaku yang serba positif. Kebiasaan melakukan zikir dengan baik dan benar akan menimbulkan ketentraman hati dan menumbuhkan sifat ikhlas. Hikmah zikir amatlah besar bagi orang yang ingin membangkitkan kekuatan indera keenamnya (batin). Ditinjau dari sisi ibadah, zikir merupakan latihan menuju Ikhlasnya hati dan Istiqomah dalam berkomunikasi dengan Al Khaliq (Sang Pencipta). Ditinjau dari sisi kekuatan batin, zikir merupakan metode membentuk dan memperkuat Niat Hati, sehingga dengan izin Allah SWT, apa yang terdapat dalam hati, itu pula yang akan dikabulkan oleh Allah SWT. Dengan kata lain, zikir memiliki beberapa manfaat, diantaranya ; membentuk, memperkuat kehendak, mempertajam batin, sekaligus bernilai ibadah. Dengan zikir berarti membersihkan dinding kaca batin, ibarat sebuah bola lampu yang tertutup kaca yang kotor, meyebabkan cahaya-sinarnya tidak muncul keluar secara maksimal. Melalui zikir, berarti membersihkan kotoran yang melekat sehingga kaca menjadi bersih dan cahaya sinarnya bisa memancar keluar. Sampai disini mungkin timbul suatu pertanyaan. Apakah zikir memiliki pengaruh terhadap kekuatan batin? Untuk menjawab pertanyaan ini, kiranya perlu diketahui bahwa hal tersebut merupakan bagian dari karunia Allah SWT. Dalam sebuah hadits ; Bahwa dengan selalu mengingat Allah menyebabkan Allah membalas ingat kepada seorang hamba-Nya. Aku selalu menyertai dan membantunya, selama ia mengingat Aku karena itu, agar Allah senantiasa mengingat kamu, perbanyaklah mengingat-Nya dengan selalu berzikir.

2. Doa
Seseorang yang ingin memiliki kekuatan rohani pada dirinya, hendaklah memperbanyak doa kepada orang lain, disamping untuk diri sendiri dan keluarganya. Caranya, cobalah anda mendoakan seseorang yang anda kenal di mana orang itu sedang mengalami kesulitan. Menurut para Ahli Hikmah, seseorang yang mendoakan sesamanya maka reaksi doa itu akan kembali kepadanya, contohnya ; Anda mendoakan si A yang sedang dirundung duka agar Allah berkenan mengeluarkan dari kedukaan, maka yang pertama kali merasakan reaksi doa itu adalah orang yang mendoakan, baru setelah itu reaksi doanya untuk orang yang dituju. Karena itu semakin banyak anda berdoa untuk kebaikan sahabat, guru, orang yang dikenal atau tidak dikenal, siapapun juga, maka akan semakin banyak kebaikan yang akan anda rasakan. Sebaliknya jika anda berdoa untuk kejelekan si A sementara si A tidak patut di doakan jelek maka reaksi doa tersebut akan kembali kepada Anda. Contohnya ; Anda berdoa agar si A jatuh dari sepeda motor, maka boleh jadi anda akan jatuh sendiri dari sepeda motor, setelah itu baru giliran si A. Tetapi dalam sebuah hadits disebutkan bahwa, “Seseorang yang berdoa untuk kejelekan sesamanya maka doa itu melayang-layang di angkasa”, jika orang yang didoakan jelek itu orang zalim maka Allah SWT akan memperkenankan doanya, sebaliknya jika orang yang dituju itu orang baik, maka doa itu akan kembali menghantam orang yang berdoa. Dari sini lalu timbul konsep saling doa mendoakan seperti guru memberikan atau menghadiahkan doa berupa surat Al-Fatihah kepada muridnya. Sebaliknya murid pun berdoa untuk kebaikan gurunya. Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa doa yang mudah dikabulkan adalah doa yang diucapkan oleh seorang sahabat secara rahasia. Mengapa ? “Ini disebabkan karena doa itu diucapkan secara ikhlas. Keikhlasan memiliki nilai (kekuatan) yang sangat tinggi. Karena itu perbanyaklah berdoa atau mendoakan sesama yang sedang dirundung duka. Insya Allah reaksi dari doa itu akan anda rasakan terlebih dahulu, selanjutnya baru orang yang anda doakan. Disamping itu, mendoakan seseorang memiliki nilai dalam membentuk kepribadian lebih peka terhadap persoalan orang lain. Jika hal ini dikaitkan dengan janji Allah bahwa barang siapa yang mengasihi yang di bumi maka yang di langit akan mengasihinya, berlakulah hukum timbal balik. Siapa menanam kebajikan ia akan menuai kebajikan juga, sebaliknya jika ia menanam kezaliman maka ia pun akan menuai kezalimannya juga.

3. Shalawat Nabi


Mungkin sudah sering atau pernah mendengar nasehat dari orang-orang tua kita bahwa kalau ada bahaya, kita disarankan salah satunya adalah untuk memperbanyak shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Konon dengan mendoakan keselamatan kepada Nabi, Allah SWT akan mengutus para malaikat untuk ganti mendoakan keselamatan kepada orang itu. Dalam beberapa hadits Rasullullah SAW banyak kita temukan berbagai keterangan tentang afdholnya bershalawat. Diantaranya setiap doa itu terdindingi, sampai dibacakan shalawat atas Nabi. (HR. Ad - Dailami). Pada hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasai dan Hakim, Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa membaca shalawat untukku sekali, maka Allah membalas shalawat untuknya sepuluh kali dan menanggalkan sepuluh kesalahan darinya dan meninggikannya sepuluh derajat . Yang berkaitan dengan urusan kekuatan batin, terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Najjar dan Jabir, Barangsiapa bershalawat kepadaku dalam satu hari seratus kali, maka Allah SWT memenuhi seratus hajatnya, tujuh puluh daripadanya untuk kepentingan akhiratnya dan tiga puluh lagi untuk kepentingan dunianya . Berdasarkan hadits-hadits itu, benarlah adanya jika orang-orang tua kita menyuruh anak-anaknya untuk memperbanyak shalawat kepada anak cucunya. Karena selain merupakan penghormatan kepada junjungannya juga memiliki dampak yang amat menguntungkan dunia dan akhirat.

4. Makanan Halal dan Bersih


Seseorang yang ingin memiliki kekuatan batin bersumber dari tenaga ilahiyah harus memperhatikan makanannya. Baginya pantang kemasukan makanan yang haram karena keberadaannya akan mengotori hati. Makanan yang haram akan membentuk jiwa yang kasar dan tidak religius. Makanan yang haram disini bukan hanya dilihat dari jenisnya saja ( misal ; babi, bangkai dan lain-lain), tapi juga dari cara dan proses untuk mendapatkan makanan tersebut. Efek dari makanan yang haram ini menyebabkan jiwa sulit untuk diajak menyatu dengan hal-hal yang positif, seperti ; dibuat zikir tidak khusuk, berdoa tidak sungguh-sungguh dan hati tidak tawakal kepada Allah. Daging yang tumbuh dari makanan yang haram selalu menuntut untuk diberi makanan yang haram pula. Seseorang yang sudah terjebak dalam lingkaran ini sulit untuk melepaskannya, sehingga secara tidak langsung menjadikan hijab atau penghalang seseorang memperoleh getaran atau cahaya ilahiyah. Disebutkan, setitik makanan yang haram memberikan efek terhadap kejernihan hati. Ibarat setitik tinta yang jatuh diatas kertas putih, semakin banyak unsur makanan haram yang masuk, ibarat kertas putih yang banyak ternoda tinta. Sedikit demi sedikit akan hitamlah semuanya. Hati yang gelap menutupi hati nurani, menyebabkan tidak peka terhadap nilai-nilai kehidupan yang mulia. Seperti kaca yang kotor oleh debu-debu, sulitlah cahaya menembusnya. Tapi dengan zikir dan menjaga dari makanan yang haram, hati akan menjadi bersih bercahaya. Begitu halnya jika anda menghendaki dijaga oleh para malaikat Allah. Inilah mengapa para ahli Ilmu batin sering menyarankan seorang calon siswa yang ingin suatu ilmu agar memulai suatu pelajaran dengan laku batin seperti puasa. Konon, puasa itu bertujuan menyucikan darah dan daging yang timbul dari makanan yang haram. Dengan kondisi badan yang bersih, diharapkan ilmu batin lebih mampu bersenyawa dengan jiwa dan raga. Bahkan ada suatu keyakinan bahwa puasa tidak terkait dengan suatu ilmu. Fungsinya hanya untuk mempersiapkan wadah yang bersih terhadap ilmu yang akan diwadahinya.

5. Mengurangi Makan dan Tidur


 Sebuah laku tirakat yang universal yang berlaku untuk seluruh makhluk hidup adalah puasa. Ulat agar bisa terbang menjadi kupu-kupu harus berpuasa terlebih dahulu, ular agar bisa ganti kulit harus puasa terlebih dahulu dan ayam agar bisa beranak harus puasa terlebih dahulu. Secara budaya banyak hal yang dapat diraih melalui puasa. Orang-orang terdahulu tanpa mempermasalahkan sisi ilmiahnya aktivitas puasa telah berhasil mendapatkan segala daya linuwih atau keistimewaan melalui puasa yang lazim disebut tirakat. Para spiritualis mendapatkan wahyu maupun wisik (petunjuk ghoib melalui puasa terlebih dahulu). Dan tradisi itu masih terus dilestarikan orang-orang zaman sekarang. Intinya sampai kapanpun orang tetap meyakini dengan mengurangi makan dalam hal ini adalah puasa, seseorang akan memperoleh inspirasi baru, intuisi. Secara logika, puasa adalah bentuk kesungguhan yang diwujudkan melalui melaparkan diri. Hanya orang-orang yang sungguh-sungguh saja yang sanggup melakukannya. Aktivitas ini jika ditinjau dari sisi ilmu batin, menunjukan bahwa kesungguhan memprogram niat itu yang akan menghasilkan kelebihan-kelebihan. Hati yang diprogram dengan sungguh-sungguh akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Karena itu dalam menempuh ilmu batin, aktivitas puasa mutlak dibutuhkan. Karena di dalam puasa itu tidak hanya bermakna melaparkan diri semata. Lebih dari itu, berpuasa memiliki tujuan menon aktifkan nafsu setan. Non aktifnya nafsu secara tidak langsung meninggikan taraf spiritual manusia, sehingga orang-orang yang berpuasa doanya makbul dan apa yang terusik dalam hatinya sering menjadi kenyataan. Menurut Imam Syafii dengan berpuasa seseorang terhindar dari lemah beribadah, berat badanya, keras hatinya, tumpul pikirannya dan kebiasaan mengantuk. Dari penyelidikan ilmiah puasa diyakini memiliki pengaruh terhadap kesehatan manusia. Orang-orang terdahulu memiliki ketajaman mata batin dan manjur Ilmu kanuragannya karena kuatnya dalam laku melek atau mengurangi tidur malam hari. Bahkan burung hantu yang dilambangkan sebagai lambang ilmu pengetahuanpun disebabkan karena kebiasannya tafakur pada malam hari. Dalam filosofi ilmu batin, memperbanyak tafakur malam hari menyebabkan seseorang memiliki mata lebar, yaitu ketajaman dalam melihat dan membaca apa-apa yang tersirat dibalik kemisterian alam semesta ini. Bahkan ketika agama Islam datang membenarkan informasi sebelumnya yang dibawa oleh agama lain. hanya Islam yang menginformasikan bahwa dengan bertahajud ketika orang lain terlelap dalam tidur, menyebabkan orang itu akan ditempatkan Allah SWT pada tempat yang terpuji. Pada keheningan malam terdapat berbagai hikmah. Melawan nafsu tidur menuju ibadah kepada Allah SWT dan dalam suasana hening itu konsentrasi mudah menyatu. Saat inilah Allah SWT memberikan keleluasaan kepada hamba-hamba-Nya guna memohon apa saja yang diinginkan.Banyak para spiritualis yang memiliki keunikan dalam ilmu batin bukan karena banyaknya ilmu dan panjangnya amalan yang dibacanya, melainkan karena laku prihatin pada malam harinya. Insya Allah seseorang yang membiasakan diri tafakur dan beribadah pada malam hari, maka Allah SWT akan memberikan keberkahan dalam ilmu-ilmunya. 

PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI

JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...

KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN











AlkisAnnabila