TANBIIH

الحَمـْدُ للهِ المُــوَفَّـقِ للِعُـلاَ حَمـْدً يُوَافـــِي بِرَّهُ المُتَـــكَامِــلا وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَي النَّبِيِّ المُصْطَفَىَ وَالآلِ مَــــعْ صَـــحْــبٍ وَتُبَّـاعٍ وِل إنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا تَقْوَى الإلهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ وَتِبَاعُ أَهْوَى رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلاَ إن أخوف ما أخاف على أمتي اتباع الهوى وطول الأمل إنَّ الطَّرِيقَ شَرِيعَةٌُ وَطَرِيقَةٌ وَحَقِيقَةُ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلا فَشَرِيعَةٌ كَسَفِينَة وَطَرِيقَةٌ كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيقَةٌ دُرٌّ غَلاَ فَشَرِيعَةٌ أَخْذٌ بِدِينِ الخَالِقِ وَقِيَامُهُ بَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ انْجَلاَ وَطَرِِيقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطَ كَالوَرَع وَعَزِيمَةُ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاَ وَحَقِيقَةُ لَوُصُولُهِ لِلمَقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُورُ التّجَلِّي بِانجَلاَ مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق

hiasan

BELAJAR MENGKAJI HAKIKAT DIRI UNTUK MENGENAL ILAHI

Selasa, 10 April 2012

''Anak MENJADI tumpuan Antara Harapan dan Impian'' SECARA sufi


Sebagai insan beriman, selaiknya untuk tiada henti-henti menabur rasa syukur dalam hidupnya. Syukur, atas beragam nikmat dan karunia yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepadanya. Betapa banyak curahan nikmat dan karunia yang direguk, tiadalah diri mampu untuk membilangnya. Ini telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tegaskan dalam firman-Nya:


وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nahl: 18)

Bagi insan beriman yang pandai mensyukuri nikmat, tentulah Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak menambah kenikmatan itu. Ini sebagaimana telah Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (Ibrahim: 7)

Juga, bagi insan beriman yang secara cerdas menyikapi kucuran beragam nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dirinya kelak memperoleh keberuntungan, kesuksesan, dan kemenangan. Firman-Nya:

فَاذْكُرُوا ءَالاَءَ اللهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Al-A’raf: 69)

Satu dari beragam nikmat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada hamba-hamba-Nya adalah anak. Firman-Nya:

وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللهِ هُمْ يَكْفُرُونَ

“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (An-Nahl: 72)

Firman-Nya:
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ. أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Asy-Syura: 49-50)

Demikianlah, Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan segala sesuatu atas manusia. Termasuk dalam pemberian anak. Maka, segala nikmat yang ada pada manusia, semuanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (An-Nahl: 53)


Pertama, an-ni’mah al-muthlaqah. Yaitu kenikmatan yang bisa mengantarkan kepada kebahagiaan abadi. Seperti nikmat dalam berislam dan mengikuti As-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk memohon meraup nikmat ini. Memohon agar mendapat hidayah untuk menempuh jalan orang-orang yang meraih nikmat ini:

وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa`: 69)

Kedua, an-ni’mah al-muqayyadah. Yaitu kenikmatan yang digambarkan seperti nikmat memperoleh kesehatan, kekayaan, kekuatan jasad, kedudukan, banyak anak dan memiliki para istri yang baik, serta nikmat-nikmat yang sejenis. Kenikmatan semacam ini diberikan kepada orang yang berbuat kebaikan, juga kepada orang yang berbuat kemaksiatan, mukmin maupun kafir. Kenikmatan seperti di atas, bila diberikan kepada orang kafir, merupakan bentuk istidraj (dalam bahasa Jawa: dilulu) dengan kenikmatan itu, mengarahkan dirinya kepada azab, petaka. Hakikatnya dia tidak memperoleh nikmat, tapi sesungguhnya dirinya memperoleh bala (sesuatu yang bisa menyusahkan). Firman-Nya:

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku’. Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku’.” (Al-Fajr: 15-16)
bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (dalam ayat di atas) sebagai bentuk pengingkaran terhadap orang yang berkeyakinan apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala meluaskan rizkinya berarti dirinya mendapat kemuliaan. Padahal tidak demikian. Bahkan hal itu merupakan bentuk bala dan ujian. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:

أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ(55)نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لَا يَشْعُرُونَ

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (Al-Mu`minun: 55-56)
Demikian pula sebaliknya, apabila mengalami bala, ujian dan kesempitan rizki, dirinya berkeyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menghinakannya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: كَلاَّ (Sekali-kali tidak demikian).

Permasalahannya tidaklah seperti yang dia yakini. Tidak seperti ini dan tidak seperti yang ini pula. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan harta kepada siapa yang Dia suka dan yang tidak Dia suka. Menyempitkan harta kepada yang Dia suka dan yang tidak Dia suka. Sesungguhnya titik pijak dari itu semua adalah ketaatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam (menyikapi) dua keadaan: apabila dia sebagai orang yang berkecukupan (kaya), hendaknya dia bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas yang demikian ini. Apabila dia fakir, hendaknya menyikapinya dengan sabar dan semata'' lillah”

Karenanya, seseorang yang telah dikaruniai anak hendaknya menjaga anak tersebut agar tidak menghadirkan bala dan malapetaka. Kehadirannya tidak menjadi fitnah (ujian) yang menyeret orangtuanya kepada sesuatu yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan bahwa harta dan anak adalah fitnah (ujian).

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15)

Maksud ayat ini, harta dan anak adalah bala (sesuatu yang bisa menyusahkan), ujian dan cobaan yang membawamu ke arah perbuatan yang haram dan menghalangi dari hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, janganlah menaati mereka dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga diri, istri dan anak-anaknya dari api neraka. Membimbing dan mengarahkan mereka untuk menetapi apa yang telah disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan bagian dari kewajiban memberikan pendidikan terhadap anak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلىَ مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap diri kamu adalah pemimpin, maka dia bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang amir (penguasa) yang membawahi rakyatnya adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang suami adalah pemimpin atas penghuni rumahnya (keluarga) dan dia bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang istri adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang budak adalah pemimpin atas harta majikannya dan dia bertanggung jawab terhadapnya. Ingatlah, tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)

Islam mendorong setiap pemeluknya, dalam hal ini para orangtua, untuk memenuhi kewajibannya dalam mendidik anak. Islam tak menghendaki kehidupan generasi ke depan diliputi keterpurukan akidah, melemahnya iman, dan ketiadaan paham terhadap syariat. Sesungguhnya seorang yang beriman yang memiliki kekokohan iman tentu lebih baik dan lebih dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada yang lemah. Abu Hurairah mengungkapkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim no. 2664)

yang dimaksud ‘mukmin yang kuat’ yakni (kuat) dalam keimanannya. Bukan kuat dari aspek fisik (tubuh). Karena, kekuatan tubuh seseorang bisa mendukung pada sesuatu yang berbahaya bila kekuatan itu digunakan untuk maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kekuatan tubuh sendiri, secara dzat, tidaklah dikategorikan sebagai satu hal yang terpuji atau tercela. Bila seseorang menggunakannya untuk sesuatu yang bermanfaat di dunia dan akhirat, maka jadilah kekuatan tubuh itu sebagai suatu yang terpuji. Adapun bila difungsikan guna membantu dalam kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,

maka kekuatan tubuh itu menjadi satu hal tercela. Maka, kekuatan yang dimaksud dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di muka:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ bermakna قَوِيُّ الْإِيْمَانِ (kuat iman).

Sebab kata الْقَوِيُّ kembali kepada sifat yang mendahuluinya yaitu kata al-iman. Seperti perkataan الرَّجُلُ الْقَوِيُّ (laki-laki yang kuat), artinya laki-laki itu perkasa (jantan).

Begitu juga dengan kalimat الْمَؤْمِنُ الْقَوِيُّ yaitu kuat dalam masalah keimanannya. Sesungguhnya seorang mukmin yang kuat, kokoh, tangguh keimanannya akan mengarahkannya untuk menegakkan kewajiban yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala embankan pada dirinya.

dirinya akan menambah dengan amalan-amalan nawafil (sunnah), dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala tentunya karena hanya dengan begitu ungkapan rasa syukurnya .

Sedangkan bila diliputi dengan lemah iman, kelemahan imannya tak akan menghasung dirinya untuk mengerjakan hal-hal yang wajib serta meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan.

Tak bisa diabaikan peran strategis orangtua dalam mencelup sosok anak menjadi insan beriman. Memiliki fitrah bertauhid yang tetap terjaga. Tidak terjerembab, jatuh dalam beragam penyimpangan. Sebagaimana dimaklumi, anak yang lahir ke alam fana ini telah memiliki fitrah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia diciptakan dalam keadaan di atas tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan (ganti) pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum: 30)

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)’.” (Al-A’raf: 172)

AL-faqir mengungkapkan bahwa penetapan tentang ubudiyah arrububiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengarahkan anak kepadanya merupakan perkara yang bersifat fitrah. Adapun kesyirikan merupakan sesuatu yang baru (ada setelah anak berinteraksi dengan lingkungan atau terpengaruh pendidikan, pengalaman serta panggilan alloh /hidayah/.). Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan di atas fitrah (kesucian masing'') . Maka, kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari no. 1384, dan Muslim no. 2658, dari hadits Abu Hurairah )

Lebih lanjut, AL-faqir menyatakan bahwa lantaran pendidikan yang menyimpang dan lingkungan yang menyeleweng, terjadilah perubahan arah (dalam penetapan tauhid) pada diri anak. Dari sanalah anak melakukan bentuk taklid (melakukan proses imitasi/ meniru) pada orangtua mereka dalam kesesatan dan penyelewengan. risalah At-Tauhid,

Faktor lingkungan, termasuk di antaranya lingkungan keluarga yang selalu menetapkan doktrin & penetapan hukum syar'i namun tidak menetapkan hukum al-ilah memiliki pengaruh yang besar terhadap tumbuh kembang anak dari segi psikologis ... orang tua tidaklah sadar jika di dalam diri anak itu ada taqdir & irodah alloh namun orang tua slalu mengharap anak itu harus seperti apa yang orang tua harapkan ,,,

Keluarga yang harmonis, sehat dan senantiasa mendapat siraman nilai-nilai syariat, akan memberi pengaruh positif yang luar biasa terhadap pendidikan anak. Sebaliknya, keluarga yang buruk umumnya memberi pengaruh yang buruk pula pada pendidikan anak. Maka, peran orang tua memberikan kontribusi yang besar bagi pendidikan anak. Sebab, bila sebuah keluarga baik, maka kebaikan itu akan memberi pengaruh kepada anak. Biidznillah, dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Karenanya, keshalihan dan amal shalih orangtua sangat besar pengaruhnya dalam membentuk sosok kepribadian anak yang shalih.

Sebaliknya, kehampaan dari amal shalih dan perilaku buruk dari orangtua justru bisa menghancurkan pendidikan anak. Bahkan tak hanya itu. Keadaan orangtua yang semacam ini bisa mendatangkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala karena tidak memahami syirik yang nyata (jaliy) dan syirik yang samar (khofi) dan semua itu Menjauhkan berkah dari-NYA.

Memupus sakinah (ketenangan) di dalam rumah. Maka, sikap shalih dan giat beramal shalih dari orangtua merupakan lampu yang memercikkan seberkas cahaya bagi pendidikan anak.

Betapa tidak. Bukankah orangtua yang senantiasa membaca Al-Qur`an, membaca surat Al-Baqarah, al-mu’awwidzat dan lainnya, bisa mendatangkan sakinah, rahmah dan menjadikan para setan lari?

Dari Abu Hurairah , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ

“Dan tidaklah berkumpul satu kaum di salah satu dari rumah-rumah Allah, mereka membaca Kitabullah (Al-Qur`an) dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali akan turun atas mereka sakinah, tercurah atas mereka rahmah, para malaikat pun mengelilingi mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka pada siapa yang di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2699)
Juga berdasar hadits dari Abu Hurairah , sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيْهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 780)

Sungguh, tiada mampu terperikan bila Al-Qur`an ditinggalkan. Orangtua pun lalai dari dzikir (ingat) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rumah dipenuhi dengan suara hiruk pikuk tetabuhan musik, dendang nasyid nan memabukkan jiwa, dan tembang lagu yang membangkitkan syahwat. Apatah lagi yang bisa diharapkan dari rumah yang sarat racun yang mematikan qalbu. Dahsyat! Ini merupakan upaya sistematis dari kalangan setan (nafsu) nya diri untuk memalingkan anak sehingga ternodai fitrahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ


“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al-An’am: 112)

Maka, tatkala rumah hampa dari dzikir, di situlah syetan bercokol. Setan mengembuskan pertikaian, permusuhan, dendam kesumat, ketidakharmonisan, kegalauan, dan sekian banyak keburukan lainnya. Tak ada berkah dan sakinah. Bagaimanakah anak akan bisa tumbuh manis dalam suasana rumah seperti ini? Nas`alullah wal-’afiyah.

Sekali lagi, keshalihan dan amal shalih orangtua sangat memberi pengaruh bagi anak. Telisiklah, bagaimana kisah Musa dan Khidhir ‘alaihissalam kala tiba di tengah penduduk suatu negeri. Mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tak mau menjamu keduanya. Lantas, keduanya mendapati dinding rumah yang nyaris roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa pun berkata kepada Khidhir:

قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا

“Musa berkata: ‘Kalau engkau mau, niscaya engkau mengambil upah untuk itu’.” (Al-Kahfi: 77)
Perihal peristiwa ini, Khidhir pun memberitahu kepada Musa:

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا

“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayah keduanya adalah seorang yang shalih. Maka Rabbmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (Al-Kahfi: 82) bunyi ayat:

وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا

“Ayah keduanya adalah seorang shalih.”
merupakan dalil bahwa seorang yang shalih akan dijaga keturunan-keturunannya, termasuk keberkahan ibadahnya bagi anak-anaknya di dunia dan akhirat dengan syafaatnya kepada mereka.


Hal yang sama diungkapkan pula oleh al-faqir bahwa sungguh (bagi) hamba yang shalih, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjaganya dan menjaga anak-anaknya.
Ini merupakan berkah dari keshalihan orangtua, hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memelihara dan merahmati anak-anaknya.

فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ

“Maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu.” (Al-Kahfi: 82)

Sebagai orangtua atau pendidik dituntut untuk senantiasa mengarahkan dan membimbing anak. Segenap upaya dikerahkan agar memperoleh hasil pendidikan yang optimal. Tak semata kemampuan intelektual yang ingin dicapai, seperti banyaknya menyerap hafalan, ilmu dan lain-lain. Namun, ingin dicapai pula pembentukan kepribadian yang tersinari nilai-nilai akhlak Islami, akidah yang murni dan ibadah yang baik. Keadaan semacam ini adalah sesuatu yang idealis dan menjadi harapan semua pihak. Tapi pada kenyataannya, sebagai orangtua atau pendidik dihadapkan pada satu kasus yang di luar keinginan dan harapannya. Anak yang dicitakan mampu menyerap dan mengamalkan nilai-nilai Islam ternyata memendam sejumput masalah. Perilakunya senantiasa mengundang masalah. Ada saja ulahnya yang tiada terpuji.

Bagi orangtua atau pendidik, selain harus tetap berupaya membimbing, mengarahkan dengan berbagai nasihat, juga tidak lupa untuk selalu memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagai orangtua atau pendidik harus meyakini sepenuhnya bahwa yang memberi hidayah adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَنْ يَهْدِ اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf: 178)

فَإِنَّ اللهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Fathir: 8)
Hadits dari Sa’id bin Al-Musayyab, dari ayahnya, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, mengungkapkan betapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak memiliki daya untuk memberikan hidayah taufiq kepada paman beliau, Abu Thalib. Sehingga pamannya mati dalam kekafiran. Maka turunlah ayat:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56)
Kisah ini bisa dilihat dalam Shahih Al-Bukhari, hadits no. 4772.

Al-faqir memerinci masalah hidayah menjadi dua macam. Pertama, al-huda (petunjuk) dengan makna ad-dalalah (tuntunan) dan al-bayan (penjelasan). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى



“Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) dari petunjuk itu.” (Fushshilat: 17)
Kedua, al-huda (petunjuk) dengan makna at-taufiq dan al-ilham. Inilah yang tidak ada pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada kekuasaan pada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk memberi hidayah) kecuali (hidayah ini dari) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Al-Qashash: 56)

Dengan memahami dan meyakini masalah hidayah ini, setidaknya bisa melecut diri untuk senantiasa bersabar dalam menunaikan kewajiban mendidik anak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ

“Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49)

Pendidik (orangtua) harus tetap gigih mengarahkan, membimbing, menuntun dan memberi keteladanan pada anak. Mudah-mudahan dengan segenap upaya ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah dan taufiknya kepada anak kita AMIIN

Wallahu a’lam.

by: alkis

JIKA SURGA & NERAK TAK PERNAH ADA ... APAKAH KAU AKAN TAAT KEPADANYA

Ikhlas menurut pandangan sufi: “Bila Surga dan Neraka tak pernah ada” 

Beberapa tokoh sufi mencoba memisahkan makna ibadah antara cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf). Menurut mereka ibadah haruslah mengedepankan cinta (mahabbah) saja kepada Allah. Memiliki harapan akan surga dan takut karena neraka dinilai oleh para tokoh sufi tersebut mengotori dari keikhlasan dalam beribadah. Bahkan sering kita mendengar, bila surga dan neraka tak pernah ada, apakah kita masih melakukan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya? Apakah kita berdosa bila menghendaki surga dan takut akan neraka? Apakah ibadah akan memiliki kecacatan bila kita mengharapkan pahala dari ibadah kita? Ujung-ujungnya adalah apakah kita masih dapat disebut ikhlas bila kita masih mengharapkan surga dan takut akan neraka ?


Jawabannya adalah dengan mencontoh junjungan kita Rasulullah SAW dalam berdoa

“Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksaan kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati, serta dari kejahatan fitnah Almasih Dajjal.” (HR. Al-Bukhari 2/102 dan Muslim 1/412. Lafazh hadits ini dalam riwayat Muslim.)


“Ya Allah! Aku mohon kepada-Mu. Sesungguhnya bagi-Mu segala pujian, tiada Tuhan (yang hak disembah) kecuali Engkau Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Mu, Maha Pemberi nikmat, Pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya. Wahai Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Pemurah, wahai Tuhan Yang Hidup, wahai Tuhan yang mengurusi segala sesuatu, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu agar dimasukkan ke Surga dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka.” (HR. Seluruh penyusun As-Sunan. Lihat Shahih Ibnu Majah 2/329.)

Jelaslah bahwa Rasulullah mengajarkan kepada kita dalam beribadah selain mengedepankan cinta (mahabbah) namun tetap mengharapkan (raja’) surga, dan takut (khauf) agar dijauhkan dari siksa api neraka. Ketiganya (cinta, harapan, dan takut) tidak bisa dipisahkan dan dipilah-pilah dalam ibadah.


 Seseorang yang memiliki rasa cinta yang tinggi kepada Allah akan melakukan seluruh syariat dengan hati yang ringan disertai luapan kalbu sebagai bukti akan kecintaannya kepada Allah. Seorang pecinta akan berhias dan berwangi dalam shalatnya melebihi pertemuan dengan orang yang paling ia cintai. Ia selalu menanti-nanti waktu shalat selanjutnya. Ia tidak memiliki pengharapan akan surga, karena tidak di surga kelak dia akan dapat memandang wajah Kekasihnya tapi di balik al-akhirat .... Ia tidak takut berada di neraka karena  mungkin dia dapat hidup selamaNYA  di sana jika alloh meridhoinya. Neraka adalah tempat bagi umat yang banyak melanggar larangan-Nya & menduakannya baik secara lahir / bathin, dan bukan tempat bagi umat yang mencintai Rabbnya dan selalu setia menjalankan UBUDIYAH-NYA.

Tokoh sufi perempuan yang sangat dihormati seperti Rabiatul Adawiyah yang mengembangkan konsep cinta kepada Rabb, sering menangis karena Allah. Saat orang-orang bertanya kepadanya mengapa ia menangis, Rabiatul Adawiyah menjawab, “Aku takut Allah akan berkata kepadaku disaat menghembus nafas terakhir : jauhkan dia dariKu karena dia tak layak berada di majlis-KU”.


Lantas dimanakah tempat yang layak agar kelak kita dapat memandang Dzat-Nya yang indah kalau bukan di Surga-Nya? Dimanakah tempat yang tidak layak bagi Allah untuk menampakkan Dzat-Nya selain di Neraka ?


Memisah-misahkan antara cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf), terkadang kita perlukan untuk meningkatkan kesadaran rasa cinta kita kepada Allah jalla wa a’la. Terkadang kita membutuhkan syair-syair indah untuk memahami ungkapan kecintaan kepada Allah. Seperti kalimat: “Bila Surga dan Neraka tak pernah ada, apakah kita masih melakukan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya?”




 Kalimat-kalimat indah tersebut berfungsi semacam shock terapi cinta kita kepada Tuhan yang wajib kita cintai melebihi apapun. Kalimat tersebut dapat mengingatkan kita bahwa konsep cinta (mahabah) pun penting dalam ibadah, bukan hanya harapan akan pahala dan rasa takut akan Neraka saja. Namun dalam beribadah yang lengkap dan sempurna, ketiga konsep, yaitu: cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf) tidak dapat dipisahkan. Jadi janganlah merasa ragu apakah amal ibadah kita masih bisa dikatagorikan ikhlas bila masih memiliki harapan akan surga dan rasa takut akan adzab-Nya. Lengkapilah ibadah dengan cinta, harapan, dan rasa takut.

صحح عملك بالاخلاص وصحح اخلاصك بالتبر عن حولي مع القةتى  لله


Beribadah tanpa cinta akan membuat ibadah Anda seperti “ibadahnya pedagang”, hanya mencari untung dan menjauhi kerugian. Ciri “ibadah pedagang”adalah bila keinginannya tak terpenuhi ia segera kecewa dan menganggap Tuhan tidak adil.


Beribadah dengan rasa takut saja (khauf) akan membuat Anda menjadi khawarij, yang beberapa sifatnya adalah: buruk sangka, mencela kaum muslim dengan sebutan kafir, berlebihan dalam ibadah, dan sesat sebagaimana pelaku pengeboman bunuh diri di Indonesia.


Beribadah dengan harapan (raja’) saja, akan membuat Anda menjadi murji’ah, yang berpendapat bahwa iman cukup di hati saja bukan perbuatan (shalat, zakat, dan lainnya).


ومن عمل لطلب الجزاء فهو نسيان من الفضل والرحمة

barang siapa beramal hanya karena mengharapkan pahala

maka sesungguhnya dia melupakan keutama'an dan rahmat alloh kepadanya

SALAM RAHAYU SELALU

SAUDARA SEJIWA LIANG LAHAT


Senin, 09 April 2012

PENGERTIAN TASAWWUF SUFI

“Tasawwuf adalah pengertian tentang kenyataan dan keadaan dari pengalaman DIRI dalam mumalah DIRI dalam tawakkal . Sufi adalah orang yang menyucikan dirinya dari segala sesuatu yang menjauhkan dari mengingat Allah dan orang yang mengisi dirinya dengan ilmu hati dan ilmu pikiran di mana harga emas dan batu adalah sama saja baginya. Tasawwuf menjaga makna-makna yang tinggi dan meninggalkan mencari ketenaran dan egoisme untuk meraih keadaan yang penuh dengan Kebenaran HAKIKAT UBUDIYAH AR-RUBUBIYAH . Manusia terbaik sesudah Nabi adalah Shidiqin menuju kemerdekaan hakiki ,,,, namun kenyataannya masih banyak yang gak mau dengan kenyataan hidup cuma mau belajar membaca tanpa praktek dalam keseharian diri ... ilmu buat menhukum dan menilai orang lain namun lupa dalam MUHASABAHNYA diri ... sampai terlepas dari masalah dunia dan akhirat ...

MANUSIA mahluk yg suka merasa sempurna karena telah di berikannya AQAL namun lupa jika aqalnya AKAN menguburnya ... sehingga tidaklah merasa akan 'UJUB & RIYA' yg teramat samar ...

                                                        

DI KUTIB DARI PARA AL-'AALIM ILALLOH

Imam Abu Hanifa (81-150 H./700-767 )


Imam Abu Hanifa (ra) (85 H.-150 H) berkata, “Jika tidak karena dua tahun, saya telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Ja’far as-Sadiq dan mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”. Ad-Durr al-Mukhtar, vol 1. p. 43 bahwa Ibn ‘Abideen said, “Abi Ali Dakkak, seorang sufi, dari Abul Qassim an-Nasarabadi, dari ash-Shibli, dari Sariyy as-Saqati dari Ma’ruf al-Karkhi, dari Dawad at-Ta’i, yang mendapatkan ilmu lahir dan batin dari Imam Abu Hanifa (ra), yang mendukung jalan Sufi.” Imam berkata sebelum meninggal: lawla sanatan lahalaka Nu’man, “Jika tidak karena dua tahun, Nu’man (saya) telah celaka.” Itulah dua tahun bersama Ja’far as-Sadiq.


Imam Malik (94-179 H./716-795 )


Imam Malik (ra): “man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasauf tanpa fikh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasauf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasauf dan fikh dia meraih kebenaran).” (dalam buku ‘Ali al-Adawi dari keterangan Imam Abil-Hassan, ulama fikh, vol. 2, p. 195


Imam Shafi’i (150-205 H./767-820 )


Imam Shafi’i : ”Saya bersama orang sufi dan aku menerima 3 ilmu:


1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara.


2. Mereka mengajariku bagaimana meperlakukan orang dengan kasih dan hati lembut.


3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf


[Kashf al-Khafa and Muzid al-Albas, Imam 'Ajluni, vol. 1, p. 341.]


Dalam Diwan (puisi) Imam Syafii, nomor 108 :


“Jadilah ahli fiqih dan sufi Jangan menjadi salah satunya Demi Allah Aku menasehatimu”.


Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H./780-855 )


Imam Ahmad (ra) : “Ya walladee ‘alayka bi-jallassati ha’ula’i as-Sufiyya. Fa innahum zaadu ‘alayna bikathuratil ‘ilmi wal murqaba wal khashiyyata waz-zuhda wa ‘uluwal himmat (Anakku jika kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka tetap mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan mereka memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi,” –Tanwir al-Qulub, p. 405, Shaikh Amin al-Kurdi) Imam Ahmad (ra) tentang Sufi:”Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka” ( Ghiza al-Albab, vol. 1, p. 120)


Imam Haris Al-Muhasibi (d. 243 H./857 )


Imam Haris Al-Muhasibi meriwayatkan dari Rasul, “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan menjadi kelompok yang selamat” . Dan Allah yang lebih mengetahui bahwa itu adalah Golongan orang tasawuf. Dia menjelaskan dengan mendalam dalam Kitab al-Wasiya p. 27-32.


Imam al-Qushayri (d. 465 H./1072 )


Imam al-Qushayri tentang Tasauf: “Allah membuat golongan ini yang terbaik dari wali-wali-Nya dan Dia mengangkat mereka di atas seluruh hamba-hamba-Nya sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati mereka rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih mereka diantara umat-Nya yang menerima cahaya-Nya. Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka menyucikan diri dari segala hubungan dengan dunia dan Dia mengangkat mereka ke kedudukan tertinggi dalam penampakan (kasyf). Dan Dia membuka kepada mereka Kenyataan akan Keesaan-Nya. Dia membuat mereka untuk melihat kehendak-Nya mengendalikan diri mereka. Dia membuat mereka bersinar dalam wujud-Nya dan menampakkan mereka sebagai cahaya dan cahaya-Nya .” [ar-Risalat al-Qushayriyya, p. 2]


Imam Ghazali (450-505 H./1058-1111 )


Imam Ghazali, hujjatul-Islam, tentang tasawuf : “Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, p. 131].


Imam Nawawi (620-676 H./1223-1278 )


Dalam suratnya al-Maqasid : “Ciri jalan sufi ada 5 : menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata menghindari ketergantungan kepada orang lain bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit selalu merujuk masalah kepada Allah swt [Maqasid at-Tawhid, p. 20]


Imam Fakhr ad-Din ar-Razi (544-606 H./1149-1209 )


Imam Fakhr ad-Din ar-Razi : “Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan diri mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri mereka agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah, pada seluruh tindakan dan perilaku” .” [Ictiqadat Furaq al-Musliman, p. 72, 73]


Ibn Khaldun (733-808 H./1332-1406 )


Ibn Khaldun : “Jalan sufi adalah jalan salaf, ulama-ulama di antara Sahabat, Tabi’een, and Tabi’ at-Tabi’een. Asalnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan dan kesenangan dunia” [Muqaddimat ibn Khaldan, p. 328]



Tajuddin as-Subki


Mu’eed an-Na’eem, p. 190, dalam tasauf: “Semoga Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka dan menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga. Banyak hal yang telah dikatakan tentang mereka dan terlalu banyak orang-orang bodoh yang mengatakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang benar adalah bahwa mereka meninggalkan dunia dan menyibukkan diri dengan ibadah” Dia berkata: “Mereka dalah manusia-manusia yang dekat dengan Allah yang doa dan shalatnya diterima Allah, dan melalui mereka Allah membantu manusia.

MARILAH BELAJAR DAN MATLA'AH DIRI SAMPAI AKHIR HAYAT .... SALAM MAYAT 


BY: ALKIS ANNABILA ISYQ AL-FAQIR

SEJARAH SINGKAT PEJUANG SUFI SYECH ABU YAZID AL-BUSHTHOMI


Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid al-Bustami (w. 261 H/876 H)disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan baqaini. Nama kecilnya adalah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum sufi seluruhnya. Bermacam-macam pula anggapan orang tentang pendiriannya. Iapernah mengatakan: "Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaankeramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara, maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syariat dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari'at."

Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan, padahal yang sesungguhnya ia tetap manusia, yaitu manusia yang mengalami pengalaman batin berTAUHID dengan , pada al-haq Di antara ucapan ganjil yang keluar dari dirinya, misalnya: "Tidak ada Tuhan, melainkan saya.Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besarnya kuasaku."لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنَا فَاعْبُدْنِيْ

"Tidak ada Tuhan selain Aku, makasembahlah Aku."

سُبْحَانِيْ, سُبْحَانِيْ, مَا اَعْظَمُشَأْنِيْ

"Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, MahaBesar Aku."



Selanjutnya diceritakan yang berikut:اَتىَ رَجُلُ اَبَا يَزِيْدَ وَدَقَّعَلَيْهِ الْبَابَ فَقَالَ: مَنْ تَطْلُبُ؟ قَالَ اَبُوْا يَزِيْدَ قَالَ مُرَّفَلَيْسَ فىِ الْبَيْتِ غَيْرُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

"Seorang lewatdi rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya: "Siapa yang engkau cari?" Jawabnya: "Abu Yazid". Lalu Abu Yazid mengatakan: "Pergilah". Di rumahini tidak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi."



Pada lain kali Abu Yazid berkata,لَيْسَ فىِ الْجُبَّةِ اِلاَّ اللهُ

"Yang ada dalam baju ini hanyalah Allah."



Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yaziditu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu di ucapkannya melalui diri Alloh dalam ittihad yang di capainya dengan Alloh. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Alloh
Bagi orang yang bersikap toleran, ittihaddipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yangkeras berpegang pada agama, itu dipandang sebagai kekufuran. Faham ittihad iniselanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Dengan demikian untuk mencapai hulul dan wahdatul wujud pun sama dengan al-ittihad, yaitu melalui fana dan baqa.
Ittihad sebagai salah satu metode tasawuf yang di perkenalkan oleh Abu Yazid al-Busthomi ini dapat di kelompokkan kedalam tasawuf metode irfani (pengetahuan Diri)
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana' dan baqa' yang melahirkan ittihad sebagai tahapan selanjutnya. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan. Apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit di praktekkan merupakan pertanyaan yangsangat baik untuk dianalisis lebih lanjut. Menurut Al-faqir uraiantentang ini banyak terdapat di dalam buku karangan umum
Iaseorang zahid yang terkenal. Zahid itu berarti seseorang yang telah menyediakandirinya untuk hidup zuhud demi kedekatan dengan Allah. Yang ia kerjakan melaluitiga fase:
- zuhud terhadap dunia
- zuhud terhadap akherat
- zuhud terhadap selain Allah.

Dalam fase terakhir ini berada dalam suatu kondisi mental yang menjadikan dirinyatidak mengingat apa-apa lagi selain Allah, atau fana' al-nafs. Fana' berarti hilangnya kesadaran Diri akan eksistensi diri pribadi sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai manusia, kesadarannya menyatu ke dalam qudrah-iradah alloh , bukan menyatu dengan wujud Allah.
Dalam tahapan ittihad ini, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintaidan yang dicintai, baik substansi maupun perbuatannya,sehingga salah satu dari mereka dapatmemanggil yang lain dengan "Hai Aku". Dengan mengutip A.R. al-Baidawi, Alfaqir menjelaskan bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud sungguh pun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang disebut dan dirasakan hanya satu wujud,
شهود الوحدة في الكثرة وشهود الكثرة في الوحدة
menyaksikan satu di dalam yang banyak memandang banyak di dalam satu
maka dalam ittihad dapat terjadi pertukaran antara yang mencintai danyang dicintai, atau tegasnya antara sufi dan Tuhan. Dalam ittihad, "identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu." Sufi yang bersangkutan, karena fana'-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Dengan fana'-nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadlirat Tuhan. Berada dekat dengan Tuhan hingga ittihad. Hingga sehabis shalat shubuh, Abu Yazid berucap, "Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku." Dan suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya,"Siapa yang engkau cari?" Orang itu menjawab, "Abu Yazid". Abu Yazid berkata,"Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah Yang Mahakuasa danMahatinggi". Ucapan ini sepintas memberi kesan syirik. Karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan di penjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.
Kritikdan celaan banyak bermunculan, bertubi-tubi menyerang syeh abu yazid berkaitan dengan ucapan yang di ucapkannya itu, tetapi seluruh kritik dan celaan itu di dasarkan atas riwayat atau pernyataan yang konteks waktunya tidak bisa di ketahui (diakses) atau dipahami. Karena mereka tidak memahami tujuannya serta tidak mengetahui makna yang dimaksudkan; mereka mengungkapkan semua itu tanpa menggunakan perspektif orang yang pertama mengucapkannya dan tanpa melakukan klarifikasi lebih jauh. Pengetahuan yang mendalam hanya bisa dicapai melalui pemahaman yang lebih dalam pula.
Al-fana'secara bahasa sebetulnya berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda denganal-fasad (rusak). Fana artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dalam hubungan ini Ibn Sina ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda-benda yang bersifat alam, mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasarpermulaannya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yanglainnya, hilangnya benda alam itu dengan cara fana, bukan cara rusak.
Sedangkanarti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengandirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurutpendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengansifat-sifat yang tercela.
Al-faqir mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan (sifat kemanusiaan) , yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu karena bersandar pada selain alloh dan di luar alloh Orang yang telah diliputi hakikat Ilahiyah , sehingga tiada lagi melihat dari pada alam semesta,alam rupa dan alam wujud ini,keciuali DIA semata . maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam Angan-angan makhluk (wahmun). Selain itu fana juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.... Akibat dari seseorang yang telah di tempatkan pada maqom fana maka ia akan berada dalam keadaan baqa' dalam murodNYA semata (tawakkal) Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekal-NYA sendiri dan sifat-sifat Ilahiyah dalam diri manusia.Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan,sebagaimana dinyatakan oleh para ahli tasawuf:اِذَا اَشْرَقَ نُوْرُ الْبَقَاءِفَيَفْنَى مَنْ لَمْ يَكُنْ وَيَبْقَى مَنْ لَمْ يَزُلْ

"Apabila NUR kebaqa'an Ilahiyah telah

nampak jelas , maka fana / sirnalah yang alam yang tidak kekal, dan baqalah yang kekal dan tidak akan pernah berubah"التَّصَوُّفُ فَانُوْنُ عَنْ اَنْفُسِهِم فَاقُوْنَ بِرَبِّهِمْ بِحُضُوْرِ قُلُوْبِهِمْ مَعَ اللهِ

"Tasawuf itu ialah mereka yang telah terpanggil dlm kefanaan diri Darinya dan baqa dengan IlahiNYA karena kehadiran ALLOH meliputi hatinya (bathinnya sufi) bersama Allah semata ."



Dengan demikian, dapatlah difahamibahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir, beribadah, dan menghiasidiri dengan akhlak yang terpuji.
Selanjutnya fana yang dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri (al-fana 'an al-nafs), yaituhancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurut , fana yang dimaksud adalah:فَنَاءُهُ عَنْ نَفْسِه وَعَنِ الْخَلْقِ بِزَوَالِ اِحْسَاسِهِ بِنَفْسِهِ وَبِهِمْ فَنَفْسُهُمَ وْجُوْدَةٌ وَالْخَلْقُ مَوْجُوْدٌ وَلَكِنْ لاَ عِلْمَ لَهُ بِهِمْ وَلاَ بِهِ

"Fananya seseorang dari dirinya dan darimakhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentangmakhluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lainada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya."



Apabila seorang sufi telah mencapaial-fana al-nafs, yaitu apabila wujud jasmaniah tak ada lagi (dalam arti takdisadarinya lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika ituia bersatu dengan Tuhan secara rohaniah. Menurut Allloh, kelihatannya persatuan dengan Alloh ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fanaal-nafs. Tak ubahnya dengan fana yang terjadiketika hilangnya kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk di atas. Denganhancurnya hal-hal ini yang langsung tinggal (baqa) ialah pengetahuan, takwa dankelakuan baik.
Berdasarkan uraian tersebut dapat di ketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini adalah mencapai persatuansecara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanyaTuhan dalam dirinya. Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yangdemikian tidak terjadi terus menerus dan juga karena dilimpahkan oleh Alloh.Fana merupakan keadaan di mana seseorang hanya menyadari kehadiran Alloh dalam dirinya, dan kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan rohani dengan alloh).
Membicarakan fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Alloh, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad itu. Hal yang demikian sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa fana dan baqa tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagaimana yang dikatakan oleh al-faqir,yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya yang ada dua wujud yang berpisah dari yang lain. Karena yang di lihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (alloh) atau tegasnya antara sufi dan Alloh

Dalam situasi ittihad yang demikian itu, seorang sufi telah tertarik (murod/dikehendaki) dirinya bertauhid dengan Alloh suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah satu, dalam tingkatan ini telah di tempatkan pada alam lahut (tanpa batas) antara dunia & akhirat surga dan neraka dalam istilah lain menempati haqqul yaqin sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata: "Hai Aku". Dalam teks Arabnya kata-kata tersebut berbunyi:فَيَقُوْلُ الْوَاحِدُ لِلاَخَرِ يَا اَنَا

"Maka yang satu kepada yang lainnyamengatakan "aku".



Dengan demikian jika seorang sufi mengatakan misalnya, "mahasuci aku", maka yang dimaksud aku di situ bukan sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya dengan alloh, melalui fana dan baqa.
Fahamfana dan baqa yang di tujukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh sufi sebagai sejalan dengan konsep liqo' al-rabbi, menemui Alloh. Fana dan baqa merupakan jalan menuju berjumpa dengan Alloh. Hal ini sejalan dengan firmanAllah yang berbunyi:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاءَ رَبِّه فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ اَحَدًا

"Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaandengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan (syirik) seorangpun dalam berubudiyah kepadanya."

Paham ittihad ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata: " YaTuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu?" Tuhan berfirman: اترك نفسك تصل الي " Tinggalkanlah dirimu (lenyapkanlah dirimu) maka kau sampai padaku (bertauhid)." dalam pemahaman aqal tidaklah mungkin mahluk itu ada di karnakan keadaan itu hanyalah untukNYA sendiri ketidah fahaman akan syirik khofi yang selalu kita lalaikan untuk selalu memahami keADAanNYA semata ... diri mahluk telah menjadi TAJALLINYA alloh tanpa adanya yang lain ,,,,, karena sesuatu yang bersifat hudus itu tidaklah kekal & murni tidak ada .... ADA NYA jasad ini tanpa adanya roh idlofi (nur muhammad) mungkinkah bisa dinamakan kehidupan
Dari ayat dan riwayat tersebut diatas memberikan petunjuk bahwa Allah Swt telah memberi peluang kepada manusia untuk memahami & mengenali kefanaan diri agar tidak menempati kesyirikan kata SYIRIK yang berasal dari kata syaroka (persekutuan) antara 2 wujud (kholiq & mahluk) dengan secara rohaniah atau batiniah menyadari ketiadaan diri selalu dalam setiap detik gerakknya diri adalah geraknya alloh sendiri , yang selalu menempati berubudiyah semata-mata karena Allah ,menghilangkan sifat-sifat dan akhlak yang buruk, menghilangkan kesadaran sebagai manusia (MENGENAL DIRI), meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, apa yang dipandang di dunia dan akhirat haram menutupi wujud alhaq karena mustahil keadaan mahluk (bayang'') menutupi yg empunya bayang (kholiq) yang kesemuanya ini tercakup dalam konsep fanaul fana dan baqa'ul baqo'. Adanya konsep fana dan baqa ini dapat dipahami dari isyarat yang terdapatdalam ayat sebagaimana berikut ini:كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَالاِكْرَامِ

"Semua yang ada di dunia ini akan binasa.Yang tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan."

COBA KITA KOREKSI DIRI .. SUDAHKAH KITA TIDAK MERASA WUJUD,AMAL,LAHIR,BATHIN KITA KECUALI WUJUD ,AMAL,LAHIR & BATHIN ALLOH SEMATA .... PADAHAL ALLOH MELARANG SYIRIK (PERSEKUATUAN) DALAM ISTHILAH SYIRIK DI SINI ADANYA WUJUD DUA / LEBIH ... JADI TIDAK TAUHID ... SALAM MAYAT LAKNAT LIANG LAHAT ......


BY : alkis annabila al-faqir

Minggu, 08 April 2012

KEBUTA'AN DALAM BERTAQLID BUTA DALAM MASALAH KE IMANAN SERTA HADIST & AL-FURQON

Menceritakan betapa seorang ulama yang terjerumus dalam taqlid buta akan selalu mencari cara untuk membela pendapat madzhab-nya. Beliau berkata:

ترى بعض الناس اذا وجد حديثا يوافق مذهبه فرح به وانقاد له و سلم

“Engkau lihat sendiri, sebagian orang ketika mendapatkan hadits yang sesuai dengan pendapat madzhab-nya pemahamannya, ia gembira. Ia pun patuh pada hadits tersebut dan menerima dengan senang hati”.

و ان وجد حديثا صحيحا سالما من معارضة والنسخ مؤيدا لمذهب غير امامه فتح له باب الاحتمالات البعيدة وضرب عنه الصفح و العارض و يلتمس لمذهب إمامه أوجها من الترجيح مع مخالفته للصحابة و التابعين والنص الصريح

“Namun ketika ia menemukan hadits shahih, tidak bertentangan dengan dalil lain, tidak mansukh, dan cocok dengan pendapat imam madzhab yang lain, ia pun mencari kemungkinan-kemungkinan lain yang jauh. Lalu membuat seolah hadits tersebut bertentangan dengan dalil lain. Kemudian merumuskan poin-poin tarjih yang menguatkan pendapat madzhab-nya walaupun bertolak belakang dengan pendapat sahabat Nabi, pendapat para tabi’in serta nash yang sharih (tegas)”

و ان شرح كتابا من كتب الحديث حرف كل حديث خالف مذهبه وإن عجز عن ذلك ادعى النسخ بلا دليل أو الخصوصية أو عدم العمل به أو غير ذلك مما يحضر ذهنه العليل

“Jika ia men-syarah (menjelaskan) sebuah kitab hadits, ia pun menyimpangkan makna setiap hadits yang bertentangan dengan madzhab-nya. Jika maknanya sulit untuk disimpangkan, ia pun mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh, dengan klaim yang tanpa dalil. Atau ia mengklaim bahwa hadits tersebut ada takhshish-nya, atau mengklaim bahwa hadits tersebut tidak perlu diamalkan, atau klaim-klaim yang lain yang muncul dari akalnya yang tidak beres”

وإن عجز عن ذلك ادعى أن إمامه اطلع كل مروي أو جله فما ترك هذا الحديث الشريف إلا وقد اطلع على طعن فيه برأيه المنيف فيتخذ علماء مذهبه أربابا و يفتح لمناقبهم و كراماتهم أبوابا ويعتقد أن من خالف ذلك لم يوفق صوابا

“Jika ia tidak mampu melakukan hal itu, ia pun beralasan bahwa imamnya telah menelaah semua atau sebagian besar riwayatnya. Maka bagaimana mungkin imamnya tidak memakai hadits tersebut, menurutnya ini bukti bahwa imamnya mengkritik hadits tersebut dan ia menggaris-bawahi kehandalan imamnya dalam mengkritik hadits. Kemudian ia seakan menjadikan imamnya sebagai ALLOH. Ia menggembar-gemborkan kisah-kisah serta karomah-karomah imamnya dan berkeyakinan bahwa orang yang berbeda pendapat dengan pendapat imamnya adalah orang yang salah.”

وإن نصح أحد العلماء السنة اتخذه عدوا ولو كانوا قبل ذالك أحبابا

“Jika ada salah seorang ulama sunnah menasehatinya, ia pun seketika itu menganggap ulama tersebut sebagai musuh, walau sebelumnya mereka adalah teman yang saling mencintai”

وإن وجد كتابا من كتب مذهبه المشهورة يتضمن نصحه و ذم الرأي والتقليد والحث على اتباع الأحاديث نبذه وراء ظهره وأعرض عن امره ونهيه واتخذه حجرا محجورا

“Jika ia menemukan sebuah kitab terkenal dari madzhab-nya, yang berisi nasehat sang ulama sunnah, yaitu mencela berpendapat dengan mengedepankan akal, mencela taqlid, mengajak untuk mengikuti hadits-hadits, ia meletakkan kitab tersebut di belakang punggungnya, berpaling dari perintah dan larangan yang ada di dalamnya, lalu membuat dinding penghalang”



Jika demikian yang terjadi di zaman beliau, sungguh di zaman ini perkaranya sudah lebih parah lagi. Semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua…

TAUHID ASMA DAN SIFAT

                                                                      


Kata “asma” adalah bentuk jama dari kata “ismun”, yang artinya ‘nama’. “Asma Allah” berarti ‘nama-nama Allah’. Asma’ul husna berarti nama-nama yang baik dan terpuji. Sehingga istilah “asma’ul husna” bagi Allah maksudnya adalah nama-nama yang indah, baik dan terpuji yang menjadi milik Allah. Misalnya: Ar Rahman, Ar Rahim, Al Malik, Al Ghafur, dan lain-lain.

Sedangkan kata “sifat” dalam bahasa Arab berbeda dengan “sifat” dalam bahasa indonesia. Kata “sifat” dalam bahasa arab mencakup segala informasi yang melekat pada suatu yang wujud. Sehingga “sifat bagi benda” dalam bahasa arab mencakup sifat benda itu sendiri, seperti besar kecilnya, tinggi rendahnya, warnanya, keelokannya, dan lain-lain. Juga mencakup apa yang dilakukannya, apa saja yang dimilikinya, keadaan, gerakan, dan informasi lainnya yang ada pada benda tersebut.

Dengan demikian, kata “sifat Allah” mencakup perbuatannya, kekuasaannya, apa saja yang ada pada Dzat Allah, dan segala informasi tentang Allah.



Karena itu, sering kita dengar ungkapan ulama, bahwa diantara sifat Allah adalah Allah memiliki tangan yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, Allah memiliki kaki yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, Allah turun ke langit dunia, Allah bersemayam di Arsy, Allah tertawa, Allah murka, Allah berbicara, dan lain-lain. Dan sekali lagi, sifat Allah tidak hanya berhubungan dengan kemurahan-Nya, keindahan-Nya, keagungan-Nya, dan lain-lain.

Secara istilah syariat, tauhid asma dan sifat adalah pengakuan seorang hamba tentang nama dan sifat Allah, yang telah Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya ataupun dalam sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa melakukan empat hal berikut:

1. Tahrif (menyimpangkan makna)
yaitu mengubah atau mengganti makna yang ada pada nama dan sifat Allah, tanpa dalil.
Misalnya: Sifat Allah marah, diganti maknanya menjadi keinginan untuk menghukum, sifat Allah istiwa (bersemayam), diselewengkan menjadi istaula (menguasai), Tangan Allah, disimpangkan maknanya menjadi kekuasaan dan nikmat Allah.

2. Ta’thil (menolak)
Yaitu menolak penetapan nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam dalil. Baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian.

Contoh menolak secara keseluruhan adalah sikap sekte Jahmiyah, yang tidak mau menetapkan nama maupun sifat untuk Allah. Mereka menganggap bahwa siapa yang menetapkan nama dan sifat untuk Allah berarti dia musyrik.

Contok menolak sebagian adalah sikap yang dilakukan sekte Asy’ariyah atau Asya’irah, yang membatasi sifat Allah hanya bebeberapa sifat saja dan menolak sifat lainnya. Atau menetapkan sebagian nama Allah dan menolak nama lainnya.

3. Takyif (membahas bagaimana bentuk dan hakikat nama dan sifat Allah)
yaitu menggambarkan bagaimanakah hakikat sifat dan nama yang dimiliki oleh Allah. Misalnya, Tangan Allah, digambarkan bentuknya bulat, panjangnya sekian, ada ruasnnya, dan lain-lain. Kita hanya wajib mengimani, namun dilarang untuk menggambarkannya.

Karena hal ini tidak mungkin dilakukan makhluk. Untuk mengetahui bentuk dan hakikat sebuah sifat, hanya bisa diketahui dengan tiga hal:


 a) Melihat dzat tersebut secara langsung.

Dan ini tidak mungkin kita lakukan, karena manusia di dunia tidak ada yang pernah melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

b) Ada sesuatu yang semisal zat tersebut, sehingga bisa dibandingkan.

Dan ini juga tidak mungkin dilakukan untuk Dzat Allah, karena tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah. Maha Suci Allah dari hal ini.

c) Ada berita yang akurat (khabar shadiq) dan informasi tentang Dzat dan sifat Allah.

Baik dari Al Qur’an maupun hadis.
Karena itu, manusia yang paling tahu tentang Allah adalah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun demikian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menggambarkan bentuk dan hakikat sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4. Tamtsil (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya)
Misalnya, berkeyakinan bahwa tangan Allah sama dengan tangan budi, Allah bersemayam di ‘arsy seperti joki naik kuda. Mahasuci Allah dari adanya makhluk yang serupa dengan-Nya.
Allah berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (Qs. Asy-Syuura: 11)

Kaidah Penting Terkait Nama dan Sifat Allah

Berikut beberapa kaidah penting yang ditetapkan oleh para ulama, terkait nama dan sifat Allah:

1. Mengimani segala nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Alquran dan sunnah (hadits-hadits sahih).

Artinya, kita tidak membedakan dalam mengimani segala ayat yang ada dalam Alquran, baik itu mengenai hukum, sifat-sifat Allah, berita, ancaman dan lain sebagainya. Sehingga tidaklah tepat jika seseorang kemudian hanya mengimani ayat-ayat hukum karena dapat dicerna oleh akal sedangkan mengenai nama dan sifat Allah, harus diselewengkan maknanya karena tidak sesuai dengan jangkauan akal mereka.

“… Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (Qs. Al-Baqarah: 85)

Begitu pula dalam mengimani hadits-hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaknya kita tidak membedakan apakah itu hadits mutawatir ataupun hadits ahad, karena jika itu sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia wajib diimani walaupun akal kita tidak dapat memahaminya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Segera saja ada seorang yang duduk di atas sofanya lalu disampaikan kepadanya sebuah hadits dariku baik sesuatu yang aku perintahkan atau sesuatu yang aku larang maka ia berkata, ‘Kami tidak tahu, kami hanya mengikuti apa yang kami dapatkan dalam kitab Allah.’” (HR. Abu Dawud dan At Turmudzi, dinilai sahih oleh oleh Al Albani)

2. Menyucikan Allah dari menyerupai makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya.

Ketika kita mengakui segala nama dan sifat yang Allah tetapkan, seperti Allah maha melihat, Allah tertawa, betis Allah, tangan Allah, maka kita tidak diperbolehkan menerupakan sifat-sifat tersebut dengan sifat makhluk.

Sayangnya, hal inilah yang sering terjadi pada sekelompok orang, dan hal ini pulalah yang memicu penyimpangan yang terjadi pada tauhid asma wa shifat. Kesalahan yang berbuah kesalahan. Contohnya sebagai berikut:

Seseorang tidak ingin menyerupakan sifat Allah dengan makhluk sehingga ia menyimpangkan (tahrif) sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya karena menganggap jika ia menetapkan sifat tersebut maka ia akan menyerupakan Allah dengan makhluk. Padahal tidak demikian. Allah sendiri menyatakan dalam firman-Nya, yang artinya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Hal ini disebabkan kesamaan dalam nama tidak berarti kesamaan dalam bentuk dan sifat. Contohnya adalah kaki gajah dan semut. Mereka sama-sama memiliki kaki, namun bentuk dan hakikat kaki tersebut tetaplah berbeda.

Atau seseorang tidak ingin menyerupakan Allah dengan makhluk karena khawatir akan menghinakan Allah sehingga ia menolak segala nama dan sifat yang Allah tetapkan baik sebagian atau seluruhnya. Contohnya adalah orang-orang yang menyatakan nama-nama Allah hanya ada



13. Padahal apa yang mereka lakukan justru menghinakan Allah karena penetapan mereka memiliki konsekuensi Allah memiliki sifat-sifat yang terbatas.

3. Menutup keinginan untuk mengetahui bentuk hakikat sifat-sifat Allah tersebut.

 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu bentuk penyimpangan dalam tauhid asma wa shifat adalah menanyakan bagaimana bentuk dan hakikat sifat-sifat Allah. Dan hal ini tidak mungkin dapat kita ketahui karena Allah dan Rasul-Nya tidak menjelaskan hal tersebut. Sebagai contoh, seseorang tidak dapat menanyakan kaifiyah (bagaimananya) sifat tertawa Allah, atau bentuk tangan Allah, atau bagaimanakah wajah Allah.

 Yang perlu kita imani adalah Allah memiliki sifat yang bermacam-macam dan Allah maha sempurna dengan segala sifat yang dimiliki-Nya.Dan untuk mengimani sesuatu tidaklah mengharuskan kita harus mengetahui hakikat Dzat tersebut. 



Sebagai contoh, kita meyakini adanya roh (nyawa) walaupun kita tidak pernah mengetahi bentuk dan hakikat dari roh tersebut. Padahal roh adalah sesuatu yang sangat dekat dengan manusia namun akal kita tidak pernah mampu mengetahui bentuk dan hakikatnya.

Termasuk larangan dalam hal ini adalah membayangkan bagaimana bentuk dan hakikat sifat Allah, karena akan membuka pada penyimpangan lainnya, yaitu penyerupaan dengan makhluk. Yang perlu diluruskan adalah, larangan untuk mengetahui bentuk dan hakikat dari sifat-sifat Allah bukan berarti meniadakan adanya bentuk dan hakikat dari sifat-sifat Allah. hakikat sifat Allah tetaplah ada dan hanya Allah-lah yang mengetahuinya.

Sekarang kita praktikkan ilmu yang kita telah pelajari dalam memahami salah satu hadits tentang salah satu sifat Allah, yaitu Allah turun ke langit dunia setiap malam, sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,


“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkannya, siapa yang memohon kepada-Ku, niscaya Aku memberinya, siapa yang meminta ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sesuai kaidah, maka kita tetapkan sifat turun pada Allah Ta’ala.



Kita tidak menyerupakan sifat turun ini dengan makhluk (dimana sifat turun pada makhluk adalah dari atas ke bawah dan memiliki sifat kurang (naqish)) dan juga kita tidak menanyakan atau membayangkan bagaimana Allah turun ke langit dunia setiap malam (seperti banyak orang menakwilkan (tepatnya menyelewengkan) hadits ini karena menganggap tidak mungkin bagi Allah turun ke langit dunia setiap malam karena dunia ada yang malam dan ada yang siang, lalu bagaimana Allah turun atau pertanyaan-pertanyaan lainnya yang memustahilkan sesuatu bagi Allah karena berpikir dengan logika makhluk). 


Allah sempurna dengan segala sifatnya dan tidak memiliki sifat kurang dalam seluruh sifat tersebut. Jika kita tidak mampu memahami ini, maka cukuplah bagi kita mengimaninya bahwa sifat turun ini ada pada Allah.

Contoh lainnya adalah mengimani sifat al-wajhu (wajah), al-yadain (dua tangan) dan al-’ainain (dua mata), sebagaimana Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam Alquran.

Allah berfirman, yang artinya, “Dan tetap kekal wajah Rabb-Mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Qs. Ar-Rahman: 27)

Allah juga berfirman, yang artinya, “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabb-mu, sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan mata Kami.” (Qs. Ath-Thur: 48)

Allah juga berfirman, yang artinya, “Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada (Adam) yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (Qs. Shad: 75)

Dari apa yang telah Allah kabarkan untuk diri-Nya ini, maka sesuai kaidah, kita mengimani (menetapkan) sifat tersebut bagi Allah, dan tidak menyerupakan sifat-sifat tersebut dengan makhluk, serta tidak menanyakan bagaimana bentuk atau penggunaan dari sifat-sifat Allah tersebut, misalnya mempertanyakan bagaimana wajah Allah, atau membayangkan mata Allah seperti manusia atau membayangkan bagaimana Allah menggunakan kedua tangan-Nya.



















1 ar-Rahmaan ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pemurah ===> Al-Faatihah: 3
2 ar-Rahiim ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pengasih ===> Al-Faatihah: 3
3 al-Malik ===> Dzat Yang menciptakan Raja ===> Al-Mu'minuun: 11
4 al-Qudduus ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Suci ===> Al-Jumu'ah: 1
5 as-Salaam ===> Dzat Yang menciptakani Sifat Sejahtera ===> Al-Hasyr: 23
6 al-Mu'min ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Terpercaya ===> Al-Hasyr: 23
7 al-Muhaimin ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Memelihara ===> Al-Hasyr: 23
8 al-'Aziiz ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Perkasa ===> Ali 'Imran: 62
9 al-Jabbaar ===> Dzat Yang menciptakani Sifat Kehendak Tidak Dapat Diingkari ===>Al-Hasyr: 23
10 al-Mutakabbir ===> Dzat Yang menciptakan Kebesaran ===> Al-Hasyr: 23
11 al-Khaaliq ===> Dzat pencipta ===> Ar-Ra'd: 16
12 al-Baari' ===> Dzat Yang menciptakan dari Tiada ===> Al-Hasyr: 24
13 al-Mushawwir ===> Dzat Yang menciptakan Bentuk ===> Al-Hasyr: 24
14 al-Ghaffaar ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pengampun ===> Al-Baqarah: 235
15 al-Qahhaar ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Perkasa ===> Ar-Ra'd: 16
16 al-Wahhaab ===>Dzat Yang Mempunyai Sifat Pemberi ===> Ali 'Imran: 8
17 ar-Razzaq ===>Dzat Yang menciptakan Rezki ===> Adz-Dzaariyaat: 58
18 al-Fattaah ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Membuka (Hati) ===> Sabaa': 26
19 al-'Aliim ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Mengetahui ===> Al-Baqarah: 29
20 al-Qaabidh ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Pengendali ===> Al-Baqarah: 245
21 al-Baasith ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Melapangkan ===> Ar-Ra'd: 26
22 al-Khaafidh ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Merendahkan ===> Hadits at-Tirmizi
23 ar-Raafi' ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Meninggikan ===> Al-An'aam: 83
24 al-Mu'izz ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Terhormat ===> Ali 'Imran: 26
25 al-Mudzdzill ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mendengar ===> Al-Israa': 1
27 al-Bashiir ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Melihat ===> Al-Hadiid: 4
28 al-Hakam ===>Dzat Yang menciptakan Hukum ===> Al-Mu'min: 48
29 al-'Adl ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Adil ===> Al-An'aam: 115
30 al-Lathiif ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Lembut ===> Al-Mulk: 14
31 al-Khabiir ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Mengetahui Al-An'aam: 18
32 al-Haliim ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Penyantun ===> Al-Baqarah: 235
33 al-'Azhiim ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Agung ===> Asy-Syuura: 4
34 al-Ghafuur ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pengampun ===> Ali 'Imran: 89
35 asy-Syakuur ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Syukur ===> Faathir: 30
36 al-'Aliyy ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Tinggi ===> An-Nisaa': 34
37 al-Kabiir ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Besar ===> Ar-Ra'd: 9
38 al-Hafiizh ===> Dzat Yang menciptakan Penjaga ===> Huud: 57
39 al-Muqiit ===>Dzat Yang menciptakan Pemelihara ===> An-Nisaa': 85
40 al-Hasiib ===>Dzat Yang menciptakan Perhitungan ===> An-Nisaa': 6
41 al-Jaliil ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Luhur ===> Ar-Rahmaan: 27
42 al-Kariim ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mulia ===> An-Naml: 40
43 ar-Raqiib ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Mengawasi ===> Al-Ahzaab: 52
44 al-Mujiib ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mengabulkan ===> Huud: 61
45 al-Waasi' ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Luas ===> Al-Baqarah: 268
46 al-Hakiim ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Bijaksana ===> Al-An'aam: 18
47 al-Waduud ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mengasihi ===> Al-Buruuj: 14
48 al-Majiid ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Mulia ===> Al-Buruuj: 15
49 al-Baa'its ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Membangkitkan ===> Yaasiin: 52
50 asy-Syahiid ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Menyaksikan ===> Al-Maaidah: 117
51 al-Haqq ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Benar ===> Thaahaa: 114
52 al-Wakiil ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Pemelihara ===> Al-An'aam: 102
53 al-Qawiyy ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Kuat ===> Al-Anfaal: 52
54 al-Matiin ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Kokoh ===> Adz-Dzaariyaat: 58
55 al-Waliyy ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Melindungi ===> An-Nisaa': 45
56 al-Hamiid ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Terpuji ===> An-Nisaa': 131
57 al-Muhshi ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Menghitung ===> Maryam: 94
58 al-Mubdi' ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Memulai ===> Al-Buruuj: 13
59 al-Mu'id ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mengembalikan ===> Ar-Ruum: 27
60 al-Muhyi ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Menghidupkan ===> Ar-Ruum: 50
61 al-Mumiit ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mematikan ===> Al-Mu'min: 68
62 al-Hayy ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Hidup ===>Thaahaa: 111
63 al-Qayyuum ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mandiri ===> Thaahaa: 11
64 al-Waajid ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Menemukan ===> Adh-Dhuhaa: 6-8
65 al-Maajid ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Mulia ===> Huud: 73
66 al-Waahid ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Tunggal ===> Al-Baqarah: 133
67 al-Ahad ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Esa ===> Al-Ikhlaas: 1
68 ash-Shamad ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Dibutuhkan ===> Al-Ikhlaas: 2
69 al-Qaadir ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Kuat ===> Al-Baqarah: 20
70 al-Muqtadir ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Berkuasa ===> Al-Qamar: 42
71 al-Muqqadim ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mendahulukan ===> Qaaf: 28
72 al-Mu'akhkhir ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mengakhirkan ===> Ibraahiim: 42
73 al-Awwal ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Permulaan ===> Al-Hadiid: 3
74 al-Aakhir ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Akhir ===> Al-Hadiid: 3
75 azh-Zhaahir ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Nyata ===> Al-Hadiid: 3
76 al-Baathin ===>Dzat Yang menciptakan Sifat Gaib ===> Al-Hadiid: 3
77 al-Waalii ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Memerintah ===> Ar-Ra'd: 11
78 al-Muta'aalii ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Tinggi ===> Ar-Ra'd: 9
79 al-Barr ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Dermawan ===> Ath-Thuur: 28
80 at-Tawwaab ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Penerima Taubat ===> An-Nisaa': 16
81 al-Muntaqim ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Penyiksa ===> As-Sajdah: 22
82 al-'Afuww ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pemaaf ===> An-Nisaa': 99
83 ar-Ra'uuf ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pengasih ===> Al-Baqarah: 207
84 Maalik al-Mulk ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Kerajaan ===> Ali 'Imran: 26
85 Zuljalaal wa al-'Ikraam ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Kebesaran serta Kemuliaan ===> Ar-Rahmaan: 27
86 al-Muqsith ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Adil ===> An-Nuur: 47
87 al-Jaami' ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pengumpul ===> Sabaa': 26
88 al-Ghaniyy ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Kaya ===> Al-Baqarah: 267
89 al-Mughnii ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mencukupi ===> An-Najm: 48
90 al-Maani' ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mencegah ===> Hadits at-Tirmizi
91 adh-Dhaarr ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pemberi Derita ===> Al-An'aam: 17
92 an-Naafi' ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pemberi Manfaat ===> Al-Fath: 11
93 an-Nuur ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Bercahaya ===> An-Nuur: 35
94 al-Haadii ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pemberi Petunjuk ===> Al-Hajj: 54
95 al-Badii' ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pencipta ===> Al-Baqarah: 117
96 al-Baaqii ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Kekal ===> Thaahaa: 73
97 al-Waarits ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Mewarisi ===> Al-Hijr: 23
98 ar-Rasyiid ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Pandai ===> Al-Jin: 10
99 ash-Shabuur ===> Dzat Yang menciptakan Sifat Sabar ===> Hadits at-Tirmizi



HATI-HATI DALAM MEMAHAMI TAUHID ASMA' ITU HANYA SEBATAS NAMA/SEBUTAN BELAKA  JANGAN TERJEBAK KEMBALI KE PENGAKUAN SEMU .... 

PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI

JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...

KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN











AlkisAnnabila