TANBIIH

الحَمـْدُ للهِ المُــوَفَّـقِ للِعُـلاَ حَمـْدً يُوَافـــِي بِرَّهُ المُتَـــكَامِــلا وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَي النَّبِيِّ المُصْطَفَىَ وَالآلِ مَــــعْ صَـــحْــبٍ وَتُبَّـاعٍ وِل إنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا تَقْوَى الإلهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ وَتِبَاعُ أَهْوَى رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلاَ إن أخوف ما أخاف على أمتي اتباع الهوى وطول الأمل إنَّ الطَّرِيقَ شَرِيعَةٌُ وَطَرِيقَةٌ وَحَقِيقَةُ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلا فَشَرِيعَةٌ كَسَفِينَة وَطَرِيقَةٌ كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيقَةٌ دُرٌّ غَلاَ فَشَرِيعَةٌ أَخْذٌ بِدِينِ الخَالِقِ وَقِيَامُهُ بَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ انْجَلاَ وَطَرِِيقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطَ كَالوَرَع وَعَزِيمَةُ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاَ وَحَقِيقَةُ لَوُصُولُهِ لِلمَقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُورُ التّجَلِّي بِانجَلاَ مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق

hiasan

BELAJAR MENGKAJI HAKIKAT DIRI UNTUK MENGENAL ILAHI

Senin, 26 Desember 2011

PENGERTIAN 9 ROH DALAM DIRI


Menurut ilmu batin pada diri manusia terdapat sembilan jenis Roh. Masing-masing roh mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Ke sembilan macam roh yang ada pada manusia itu adalah sebagai berikut :

1. Roh Idhofi (Roh Idhofi) : adalah roh yang sangat utama bagi manusia. Roh Idofi juga disebut ”JAUHAR AWAL SUCI”, karena roh inilah maka manusia dapat hidup. Bila roh tersebut keluar dari raga, maka manusia yang bersangkutan akan mati. 


Roh ini sering disebut ”NYAWA”. Roh Idhofi merupakan sumber dari roh-roh lainnya pun akan turut serta. Tetapi sebaliknya kalau salah satu roh yang keluar dari raga, maka roh Idhofi tetap akan tinggal didalam jasad. Dan manusia itu tetap hidup.


Bagi mereka yang sudah sampai pada irodat allah atau kebatinan tinggi, tentu akan bisa menjumpai roh ini dengan penglihatannya. Dan wujudnya mirip diri sendiri, baik rupa maupun suara serta segala sesuatunya. Bagai berdiri di depan cermin.


Meskipun roh-roh yang lain juga demikian, tetapi kita dapat membedakannya dengan roh yang satu ini. Alamnya roh idhofi berupa nur terang benderang dan rasanya sejuk tenteram (bukan dingin). Tentu saja kita dapat menjumpainya bila sudah mencapai tingkat “INSAN KAMIL”.

2. Roh Robbani : Roh yang dikuasai dan diperintah oleh roh idofi. Alamnya roh ini ada dalam cahaya kuning diam tak bergerak. Bila kita berhasil menjumpainya maka kita tak mempunyai kehendak apa-apa. Hatipun terasa tenteram. Tubuh tak merasakan apa-apa.

3. Roh Rohani : Roh inipun juga dikuasai oleh roh idofi. Karena adanya roh Rohani ini, maka manusia memiliki kehendak dua rupa. Kadang-kadang suka sesuatu, tetapi di lain waktu ia tak menyukainya. Roh ini mempengaruhi perbuatan baik dan perbuatan buruk. Roh inilah yang menepati pada 4 jenis nafsu, yaitu :

• Nafsu Luwamah (aluamah)
• Nafsu Amarah
• Nafsu Supiyah
• Nafsu Mulamah (Mutmainah).

Kalau manusia ditinggalkan oleh roh rohani ini, maka manusia itu tidak mempunyai nafsu lagi, sebab semua nafsu manusia itu roh rohani yang mengendalikannya. Maka, kalau manusia sudah bisa mengendalikan roh rohani ini dengan baik, ia akan hidup dalam kemuliaan. Roh rohani ini sifatnya selalu mengikuti penglihatan yang melihat.


Dimana pandangan kita tempatkan, disitu roh rohani berada. Sebelum kita dapat menjumpainya, terlebih dulu kita akan melihat bermacam-macam cahaya bagai kunang-kunang. Setelah cahaya-cahaya ini menghilang, barulah muncul roh rohani itu.

4. Roh Nurani : Roh ini dibawah pengaruh roh-roh Idofi. Roh Nurani ini mempunyai pembawa sifat terang. Karena adanya roh ini menjadikan manusia yang bersangkutan jadi terang hatinya. Kalau Roh Nurani meninggalkan tubuh maka orang tersebut hatinya menjadi gelap dan gelap pikirannya.

Roh Nurani ini hanya menguasai nafsu Mutmainah saja. Maka bila manusia ditunggui Roh Nurani maka nafsu Mutmainahnya akan menonjol, mengalahkan nafsu-nafsu lainnya.

Hati orang itu jadi tenteram, perilakunya pun baik dan terpuji. Air mukanya bercahaya, tidak banyak bicara, tidak ragu-ragu dalam menghadapi segala sesuatu, tidak protes bila ditimpa kesusahan. Suka, sedih, bahagia dan menderita dipandang sama.

5. Roh Kudus (Roh Suci) : Roh yang di bawah kekuasaan Roh Idhofi juga. Roh ini mempengaruhi orang yang bersangkutan mau memberi pertolongan kepada sesama manusia, mempengaruhi berbuat kebajikan dan mempengaruhi berbuat ibadah sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya.

6. Roh Rohmani : Roh dibawah kekuasaan roh idhofi pula. Roh ini juga disebut Roh Pemurah. Karena diambil dari kata ”Rahman” yang artinya pemurah. Roh ini mempengaruhi manusia bersifat sosial, suka memberi.

7. Roh Jasmani : Roh yang juga di bawah kekuasaan Roh Idofi. Roh ini menguasai seluruh darah dan urat syaraf manusia.


Karena adanya roh jasmani ini maka manusia dapat merasakan adanya rasa sakit, lesu, lelah, segar dan lain-lainnya. Bila Roh ini keluar dari tubuh, maka ditusuk jarumpun tubuh tidak terasa sakit. Kalau kita berhasil menjumpainya, maka ujudnya akan sama dengan kita, hanya berwarna merah.

Roh jasmani ini menguasai nafsu amarah dan nafsu hewani. Nafsu hewani ini memiliki sifat dan kegemaran seperti binatang, misalnya: malas, suka setubuh, serakah, mau menang sendiri dan lain sebagainya.

8. Roh Nabati : ialah roh yang mengendalikan perkembangan dan pertumbuhan badan. Roh ini juga di bawah kekuasaan Roh Idhofi.

9. Roh Rewani : ialah roh yang menjaga raga kita. Bila Roh Rewani keluar dari tubuh maka orang yang bersangkutan akan tidur.


Bila masuk ke tubuh orang akan terjaga. Bila orang tidur bermimpi dengan arwah seseorang, maka roh rewani dari orang bermimpi itulah yang menjumpainya.


Jadi mimpi itu hasil kerja roh rewani yang mengendalikan otak manusia. Roh Rewani ini juga di bawah kekuasaan Roh Idofi.


Jadi kepergian Roh Rewani dan kehadirannya kembali diatur oleh Roh Idhofi. Demikian juga roh-roh lainnya dalam tubuh, sangat dekat hubungannya dengan Roh Idofi

Cosmologi sufi membagi Cosmo (alam semesta) menjadi 2 = Macrocosmos (alam diluar manusia) dan Microcosmos (alam didalam manusia)

 macrocosmos terdiri dari 5 =


api, air, bumi (tanah), angin, dan nafs (jiwa manusia)

 microcosmos (yg ada di dalam dada) ada 5 =


Qalb (kalbu), Ruh (Roh), Sirr, Khafi, dan Akhfa

 nafs(jiwa) dikategorikan jadi 3 =


nafs amarah, nafs lawwamah, dan nafs mutmainah

 menurut Sufisme :

 menjinakkan Qalb : bisa mengetahui alam jin

 menjinakkan Ruh : bisa mengetahui alam ruh (malaikat)

 menjinakkan Sirr : bisa mengetahui alam rahasia (semesta)

 menjinakkan Khofi : bisa mengetahui alam unifikasi (penyatuan dengan Alloh)
 menjinakkan Akhfa : bisa mengetahui alam Arsy Alloh

 untuk menjinakkan Qalb, kite harus memiliki sifat2 :

 1. zuhd (terlepas dari kejahatan)

 2. taqwa (menghindari kejahatan)

 3. wara' (menghindari kesia-siaan)

 4. tawakal (puas dengan pemberian Alloh)

 5. sabr (sabar/teguh)

 6. Syukr (berterimakasih)

 7. Raja' (mencari kebahagiaanNya)

 8. Khouf (takut sama murkaNya)

 9. Rija' (mengharap kasihNya)

 10. Yaqin (iman/keyakinan sempurna)

 11. Ikhlas (tdk mengharap dari imbalan)

 12. Sidq (membawa kebenaran)

 13. Muroqobah (fokus total kdp Nya)

 14. Khulq (tunduk)

 15, Dzikr (mengingatNya)

 16. Khuluut (mengisolasi diri dari selainNya)

Martabat 7, Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati

Dalam mencari ridhoNya, para sufi menggunakan jalan yang bermacam-macam. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan melalui kearifan, kecintaan dan tapa brata.

Sejarah mencatat, pada akhir abad ke-8, muncul aliran Wahdatul Wujud, suatu faham tentang segala wujud yang pada dasarnya bersumber satu pada Alloh Ta’ala.


Alloh yang menjadikan sesuatu dan Dialah a’in dari segala sesuatu. Wujud alam adalah a’in wujud Alloh, Alloh adalah hakikat alam.


Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan antara wujud qadim dengan wujud baru yang disebut dengan makhluk. Dengan kata lain, perbedaan yang kita lihat hanya pada rupa atau ragam dari hakikat yang Esa. Sebab alam beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu hakikat batin yang tunggal.


Tuhan Seru Sekalian Alam.

Faham wahdatul wujud mencapai puncaknya pada akhir abad ke-12. Muhyidin Ibn Arobi, seorang sufi kelahiran Murcia, kota kecil di Spanyol pada 17 Ramadhan 560 H atau 28 Juli 1165 M adalah salah seorang tokoh utamanya pada zamannya.


Dalam bukunya yang berjudul Fusus al-Hikam yang ditulis pada 627 H atau 1229 M tersurat dengan jelas uraian tentang faham Pantheisme (seluruh kosmos adalah Tuhan), terjadinya alam semesta, dan ke-insan-kamil-an.


Di mana faham ini muncul dan berkembang berdasarkan perenungan fakir filsafat dan zauq (perasaan) tasauf.

Faham ini kemudian berkembang ke luar jazirah Arab, terutama berkembang ke Tanah India yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Fadillah, salah seorang tokoh sufi kelahitan Gujarat (…-1629M).


Di dalam karangannya, kitab Tuhfah, beliau mengajukan konsep Martabat Tujuh sebagai sarana penelaahan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya.


Menurut Muhammad Ibn Fadillah, Allah yang bersifat gaib bisa dikenal sesudah bertajjali melalui tujuh martabat atau sebanyak tujuh tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan segala isinya.


Pengertian tajjali berarti kebenaran yang diperlihatkan Alloh melalui penyinaran atau penurunan — di mana konsep ini lahir dari suatu ajaran dalam filsafat yang disebut monotoisme (TAUHID). 


Yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta beserta manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat tunggal. Alloh Ta’ala.

 Dalam Mistik Islam Kejawen di jawa di wedar oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati menyatakan;


“Konsep ajaran martabat tujuh mengenai penciptaan alam manusia melalui tajjalinya Tuhan sebanyak tujuh tingkatan jelas tidak bersumber dari Al Qur’an.


Sebab dalam Islam tak dikenal konsep bertajjali. Islam mengajarkan tentang proses Tuhan dalam penciptaan makhluknya dengan Al-ijad Minal Adam, berasal dari tidak ada menjadi ada.”

Selanjutnya, konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan Majapahit dan digantikan dengan kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa.


Sedangkan awal perkembangannya, ajaran martabat tujuh di Jawa berasal dari konsep martabat tujuh yang berkembang di Tanah Aceh — terutama yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai (…-1630) dan Abdul Rauf (1617-1690).

Lebih lanjut ditambahkan; “Ajaran Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf kelihatan besar pengaruhnya dalam perkembangan kepustakaan Islam Kejawen.


Pengaruh Abdul Rauf berkembang melalui penyebaran ajaran tarekat Syatariyah yang disebarkan oleh Abdul Muhyi (murid Abdul Rauf) di tanah Priangan.


Ajaran Thoriqoh Syatoriyah segera menyebar ke Cirebon dan Tegal. Dari Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa dengan sekar macapat yang ditulis sekitar tahun 1680.”

Sedangkan Buya Hamka mengemukakan bahwa faham Wahddatul Al-Wujud yang melahirkan ajaran Martabat Tujuh muncul karena tak dibedakan atau dipisahkan antara asyiq dengan masyuqnya.


Dan apabila ke-Ilahi-an telah menjelma di badan dirinya, maka tidaklah kehendak dirinya yang berlaku, melainkan kehendak Alloh.

 Dalam ajaran martabat tujuh, Tuhan menampakkan DiriNya setelah bertajjali dalam tujuh di mana ketujuh tingkatan tersebut dibagi dalam dua wujud.


Yakni tiga aspek batin dan empat aspek lahir. “Tiga aspek batin terdiri dari :


Martabat Ahadiyah (kesatuan mutlak),


Martabat Wahdah (kesatuan yang mengandung kejamakan secara ijmal keseluruhan), dan


Martabat Wahidiyah (kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batas setiap sesuatu).


Sedangkan aspek lahir terdiri :


Alam Arwah (alam nyawa dalam wujud jamak),


Alam Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara ijmal),


Alam Ajsam (alam segala tubuh, kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya)


dan Insan Kamil (bentuk kesempurnaan manusia).

Menanggapi hal ini, Buya Hamka mengutip dari karya Ibnu Arabi yang berjudul Al-Futuhat al-Makkiyah fi Marifa Asrar al-Malakiya (589 H atau 1201 M), bahwa tajjalinya Alloh Ta’ala yang pertama adalah dalam alam Uluhiyah.


kemudian dari alam Uluhiyah mengalir alam Jabarut, Malakut, Mitsal, Ajsam, Arwah dan Insan Kamil


 di mana yang dimaksud dengan alam Uluhiyah adalah alam yang terjadi dengan perintah Allah tanpa perantara.

Martabat Pertama, Ahadiyah

Martabat pertama adalah Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai


Martabat Lata’ayyun, atau al-Ama (tingkatan yang tidak diketahui).


Disebut juga Al-Tanazzulat li ‘l-Dhat (dari alam kegelapan menuju alam terang),


al-Bath (alam murni), al-Dhat (alam zat),


al-Lahut (alam ketuhanan), al-Sirf (alam keutamaan), al-Dhat al-Mutlaq (zat kemutlakan),


al-Bayad al-Mutlaq (kesucian yang mutlak),


Kunh al-Dhat (asal terbuntuknya dzat), 


Makiyyah al-Makiyyah (inti dari segala dzat), 


Majhul al N’at (dzat yang tak dapat disifati),


Ghayb al Ghuyub (gaib dari segala yang gaib),


Wujud al-Ma'had (wujud yang mutlak).

Dan berikut adalah nukilan dari terjemahan tingkat pertama yang disebut


Martabat Ahadiyah dalam Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati.

Suluk Sujinah

Ada pengetahuan perihal tingkatan dalam kehidupan manusia, yang diceritakan dengan Ajalulloh dan dikenal dengan sebutan martabat tujuh, diawali dengan kegaiban. dzat yang membawa pengetahuan tentang Diri-Nya, dan tanpa membeberkan tentang kenyataan (fisik), Keadaannya kosong namun dasarnya ada.


Tapi dalam martabat ini belum berkehendak.


Martabat Akhadiyah disebut juga dengan Sarikul A'dzom. Awal dari segala awal.


Dalam alam akhadiyah dimulai dengan aksara La dan bersemayam ila. Itulah kekosongan pertama dari empat bentuk kekosongan.


Kedua bernama Maslub.


Ketiga adalah Tahlil, dan keempat Tasbih. Maslub bermakna belum adanya bentuk atau wujud roh atau jiwa. Tak berbentuk badan atau wujud lainnya.Tahlil berarti tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan Tasbeh bermakna Tuhan Maha Suci dan Tunggal. Tuhan tak mendua atau bertiga.


Tak ada Pangeran lain kecuali Alloh yang disembah dan dipuja, yang asih pada makhluknya.

Serat Wiirid Hidayat Jati

Sajarotul Yakin tumbuh dalam alam adam makdum yang sunyi senyap azali abadi, artinya pohon kehidupan yang berada dalam ruang hampa yang sunyi senyap selamanya, belum ada sesuatu pun, adalah hakikat dzat Mutlak yang qodim. dzat yang pasti terdahulu, yaitu dzat atmo (ruh ilahi), yang menjadi wahana alam Akhadiyah.

Tingkat pertama disebut dengan alam Akhadiyah, yaitu alam tentang tingkat keesaan-Nya. Keesaan-Nya agung, dan bukan obyek dari pengetahuan khusus mana pun dan karena itu tidak dapat dicapai oleh makhluk apa pun. Hanya Alloh yang mengetahui diri-Nya dan keesaan-Nya.

Dalam keesaan-Nya tak ada sesuatu pun yang menguasai dan mengetahui kecuali diri-Nya. Firmannya adalah diri-Nya sendiri, begitu pun malaikat-Nya dan nabi-Nya. Alloh dalam tingkatan ini berada pada kondisi al-Kamal, yaitu, dalam kesempurnaan-Nya.

Hakikat-Nya, keesaan-Nya adalah tempat berkumpulnya seluruh keragaman dan tenggelam atau lenyap dalam kesatuan-Nya. Dalam alam Ahadiyah keragaman dan kejamakan tersebut tidak dapat dipertentangkan dengan gagasan metafisis tentang tahapan atau tingkatan eksistensi.

Dalam tingkatan ini, Alloh berada dalam kondisi Ghoib al-Ghuyub, yaitu, keberadaan-Nya yang gaib.


Tuhan tak dapat diindrawi. Sebab Alloh tidak membeberkan tentang kenyataan yang fisik. Alloh dalam keadaan yang tak berujud, yang tak dapat dideteksi oleh manusia atau para wali, nabi, bahkan para malaikat terdekat-Nya. Sebab Ia masih dalam kesendirian-Nya. Alloh belum menguraikan atau menciptakan sesuatu.


Di dalam derajat ini, semua sifat umum kumpul melebur di dalam diri-Nya. Perbedaan sifat pun ada dalam kesatuan-Nya.

Tuhan dalam alam pertama disebut juga al-Unsur Adam, Alloh adalah unsur yang pertama, dan tak ada makhluk-makhluk lainnya yang mendahului.


Diri-Nya adalah unsur yang terdahulu yang bersifat agung. dzat-Nya adalah substansi universal dan hakikat-Nya yang tak dapat dipahami.


Dalam sifat adam-Nya, hakikat-Nya tak dapat dipahami. Sebab awalnya adalah Ada dalam ketiadaan. Dan ketiadaan-Nya adalah hakikat yang tak terlukiskan dan tak dapat dimengerti oleh siapa pun.


Hakikatnya di luar segala perumpamaan dan citraan yang memungkinkan.

Selanjutnya, alam Akhadiyah terbagi dalam empat tingkatan.


Tahap pertama dikenal dengan kata La yang bersemayam di dalam kata illa.


La dan illa adalah dua kata yang manunggal, karena setiap realitas-realitas hanya merupakan refleksi dari realitas-realitas Alloh.


La dan illa menunjukan pada asal segala sesuatu yaitu dalam ketiadaan-Nya, diri-Nya Ada.


Sedangkan pengertian illa juga menunjukan pada kembali sesuatu dalam kesatuan-Nya yang bersifat keabadian.

Jika memperhatikan tatanan ontologis, bila diterapkan La dan illa akan mengisyaratkan pemisahan antara ada Ilahi dan para makhluknya.


Dengan demikian, Ada-Nya pertama menjadi tabu bagi adanya yang kedua. Pengetian La dan illa dalam masyarakat sufi memiliki tiga makna. Pertama, adalah tiada Tuhan melainkan Alloh.


Kedua adalah tiada Ma’bud melainkan Alloh dan ketiga tiada maujud melainkan Alloh. Pengertian pertama mengacu pada keberadaan pada kekuasaan-Nya. Yaitu penegasan tiada Tuhan yang pantas menjadi penguasa selain Alloh yang Esa.


Pengertian kedua, Alloh adalah dzat yang wajib disembah sebab Alloh bersifat disembah. Tiada penguasa yang wajib disembah selain Alloh, dzat yang Maha Suci.


Sedangkan pengertian ketiga, Alloh adalah awal segala yang berwujud. Sebab dzat-Nya adalah wujud yang pertama dan tak berakhir.

Ketiga pengertian tersebut di atas adalah suatu kesatuan yang tak dapat dikaji secara terpisah. Sebab, segala bentuk yang maujud ini pada hakikatnya sama sekali tidak ada. Yang ada hanyalah Alloh.


Jadi, kalau yang ada ini semuanya dikatakan ada, artinya ada dalam Alloh. Inilah konsep dasar dari Widhatul al-Wujud.


Sementara,


tingkatan kedua dari alam Akhadiyah adalah Nafi Uslub, yaitu, tingkat ketiadaan-Nya yang ada. Dalam ketiadaan-Nya, Alloh tak dapat digambarkan atau dilukiskan oleh siapa pun.


Alloh dalam keadaan Al-Ama, yaitu, tingkatan yang tak dapat diketahui. Alloh dalam tingkatan ini hanya mempunyai hubungan murni dalam hakikat dan tanpa bentuk. Sedang tingkatan yang ketiga dalam alam Ahadiyah adalah Tahlil.


Pengertian Tahlil berarti kondisi Tuhan yang bermakna La illa illaha. Tahlil pun bermakna suatu kondisi pemujaan Alloh dengan pengucapan syahadat tentang persaksian akan keberadaan-Nya.

Dalam kalimah Syahadah yang diucapkan dengan niat bulat dan mengakui bahwa Alloh berkuasa sendirian, tidak menghendaki pertolongan dari siapa pun, ia suci dan kaya.


Kalimah Syahadah adalah kalimat yang wajib bagi pemeluk Islam, di mana intinya adalah pengakuan akan adanya Alloh yang menjadi pemimpin kehidupan, di samping itu, adanya pengakuan rasul Alloh. Yaitu Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.

Selanjutnya, tingkat empat adalah Akhadiyah Tasbih, yang bermakna kemahaluasan Alloh. Tingkatan ini berintikan kalimat Subhhanalloh, artinya, maha suci Alloh dan mengingatkan serta menunjukan seluruh keyakinan untuk selalu mempersucikan-Nya.

Sedang pada Serat Wirid Hidayat Jati, ajaran pertamanya dikenal dengan sebutan Sajarotul Yakin.


Yaitu sebagai lambang pohon kehidupan yang dalam bahasa Jawa disebut dengan Kajeng Sejati dan memiki makna pengertian tentang kehidupan atau hayyu.

Hayyun berarti atma, jiwa atau ruh. Dalam Sajarotul Yakin Alloh adalah Wujud al-Sirri, kondisi wujud yang utama. Atma-Nya belum tersifati, namun ruh-Nya adalah al-Lahut (bersifat ke-ilahi-an). Ia merupakan hakikat dzat mutlak dan qadim, yaitu, asal dzat dari segala dzat yang bersifat abadi. dzat-Nya tak ada dalam penguraian.


Segala penguraian-Nya adalah bersifat negatif. Sebab Alloh bersifat Makiyyah al Makiyyah, yaitu, inti dari segala dzat yang ada di kemudian hari. Atmanya adalah esa dari yang tak teruraikan dan diuraikan.

Dzat ruh-Nya sesungguhnya adalahd zat yang bersifat esa. Ruh itulah sejatinya Tuhan Yang Mahasuci. Ruh-Nya adalah subyek absolut, di mana benda yang termasuk subyek individu hanyalah obyektivisasi-obyektivisasi ilusi. Sebab Alloh adalah Kunhu al-Dhat, asalnya dzat terbentuk.

Di dalam kitabnya Daqiqul Akbar, Imam Abdurahman menuliskan, pada awal permulaan Alloh menciptakan sebatang pohon kayu bercabang empat. Pohon kayu tersebut dikenal dengan Syajaratul Yakin. Dan Syajaratul Yakin tercipta dalam alam kesunyian yang bersifat qadim dan azali.


Pengertian sunyi di sini bukan bermakna tak adanya sesuatu. Namun bermakna belum terciptanya alam, kecuali tajjali-Nya yang pertama dalam bentuk Syajarotul Yakin.


Sedangkan pengertian qadim dan azali adalah wujud dari sifat-Nya yang terawal dan tak berakhir. dzat-Nya adalah terdahulu, tak ada sesuatu pun yang mendahului dan tak ada akhir karena masa.

Syajarotul yakin adalah awal sifat-Nya. Dalam pohon kehidupan sifat-Nya yang menonjol adalah tentang hidup  hidup (al-Hayat) adalah sifat wajib yang ada pada Diri-Nya. Sebab sifat al-Hayat adalah qadim dan azali. Al-Hayat dalam segala martabat-Nya menjadi pangkal bagi segala macam kenyataan yang lahir dan kekal.


karena hidup atau hayyun atau atma adalah subyek yang absolut, maka, hakikat atma atau hidup adalah mutlak yang qadim. Dan Alloh adalah dzat pertama dan sumber dari hidup itu sendiri. Diri-Nya adalah kekal bersamaan dengan kekalnya zat kehidupan.

Keduanya adalah ada dalam kemanunggalan. dzat-Nya yang al-Hayat adalah sumber munculnya perkara-perkara sifat wajib-Nya. Yaitu, ilmu, iradat, kalam dan baqa. Artinya, karena adanya ruh atau hayyu (al-Hayat), maka, muncul ilmu (pengetahuan). Timbulnya pengetahuan (al-ilm) menciptakan atau mengalirnya kehendak (iradat), dan firman-Nya. Dan ketiga sifat-Nya adalah kekal, baqa'.

MERASA CUKUP AKAN KARUNIA ALLOH SWT


قَدْ كَفَانِيْ عِلْمُ رَبِّي مِنْ سُؤَالِي وَاخْتِيَار
ِ
Sungguh telah cukupbagiku kepuasan dan ketenanganku bahwa Penciptaku Maha Mengetahui Segala Permintaanku dan Usahaku 

فَدُ عَائِي وَابْتِهَالِي شَاهِدٌ لِي بِافْتِقَارِي


Maka do’a do’a dan jeritan hatiku sebagai saksiku atas kefakiranku (dihadapan kewibawaanMU)

فَلِهَذَا السِّرِّ أَدْعُو فِي يَسَارِي وَعَسَارِي


Maka demi rahasia kefakiranku (dihadapan KewibawaanMu) aku selalau mohon (padaMu) disaat kemudahan dan kesulitanku

أَنَا عَبْدٌ صَارَفَخْرِي ضِمْنَ فَقْرِي وَاضْطِرَارِي


Aku adalah hamba yang kebangganku adalah dalamnya kemiskinannku dan besarnya kebutuhanku (padaMu)

قَدْ كَفَانِي عِلْمُ رَبِّي مِنْسُؤَالِي وَاخْتِيَارِي


Sungguh telah cukup bagiku kepuasan dan ketenanganku bahwa penciptraku Maha Mengetahui segala permohonan dan usahaku

يَا إِلَهِي وَمَلِيكِي أَنْتَ تَعْلَم كَيْفَ حَالِي
وَبِمَا قَدْ حَلَّ قَلْبِي مِنْهُمُومٍ وَاشْتِغَالِي


Wahai Tuhanku Wahai yang memiliki diriku,Engkau Maha Mengetahui bagaimana keadaanku,
Dan dari segala yang memenuhi hatiku dari kegundahan dan kesibukanku (hingga terlupakan dari mengingatMu), Maka ulurkanlah bagiku Kasih Sayang dari Mu Wahai Raja dari segenap para Raja, Wahai Yang Maha Pemurah Dzatnya,tolonglah aku,dengan pertolongan yang dating sebelum sirna kemampuanku dalam bersabar

فَتَدَارَكْنِي بِلُطْفٍ مِنْكَ يَا مَولَى الْمَوَالِي
ياَ كَرِيْمَ الْوَجْهِ غِثْنِي قَبْلَ أَنْ يَفْنَى اصْطِبَارِي


Wahai Yang Maha Pemurah Dzatnya,tolonglah aku,dengan pertolongan yang dating sebelum sirna kemampuanku dalam bersabar

قَدْ كَفَانِي عِلْمُ رَبِّي مِنْسُؤَالِي وَاخْتِيَارِي


Sungguh telah cukup bagiku kepuasan dan ketenanganku bahwa penciptaku mengetahui segala permohonan dan usahaku

ياَسَرِ يْعَ الْغَوْثِ غَوْثًا مِنْكَ يُدْرِكْنِي سَرِيعًا


Wahai Yang Maha cepat mendatangkan pertolongan,temukan kami dengan pertolongan dari Mu yang mendatangi kami dengan segera

يُهْزِمُ الْعُسْرَوَيَأْتِي بْالَّذْي أَرْجُو جَمِيعًا


Pertolongan yang merubuhkan segala kesulitan,dan mendatangkan segala yang kami harap harapkan

يَاقَرِيْبًا يَامُجِيْبًا يَاعَلِيْمًا يَاسَمِيْعًا


Wahai Yang Maha Dekat,Wahai Yang Maha Menjawab segala rintihan,Wahai Yang Maha Mengetahui,Wahai Yang Maha Mendengar

قَدْ تَحَقَّقْتُ بِعَجْزِي وَخُضُوْعِي وَانْكِسَارِي


Sungguh aku telah benar-benar meyakini kelemahan dan ketidakmampuanku,kerendahan dan keluluhanku

قَدْ كَفَانِي عِلْمُ رَبِّي مِنْ سُؤَلِي وَاخْتِيَارِي


Sungguh telah cukup bagiku kepuasan dan ketenanganku bahwa penciptaku Maha Mengetahui Segala Permohonan dan usahaku

لَمْ أَزَلْ بِالْبَابِ وَاقِفْ فَارْحَمَنْ رَبِّي وُقُوْفِي
Aku masih tetap berdiri di Gerbang Mu,maka kasihanilah aku yang masih terus menunggu

وَبِوَادِي الْفَضْلِ عَاكِفْ فَأَدِمْ رَبِّي عُكُوفِي


Dan di Lembah Anugerah Kasih SayangMu aku berdiam maka abadikanlah keadaanku ini

وَلِحُسْنِ الظَّنِّ لاَزِمَ فَهُوَخِلِّي وَحَلِيْفِي


Maka bersangka baik padaMu adalah hal yang mesti bagiku,sangka baik atasMu adalah pakaianku dan janjiku

وَأَنِيْسِيْ وَجَلِيسِي طُوْلَ لَيْلِي وَنَهَارِي


Dan hal itulah (sangka baik padaMu) yang menjadi penenang hatiku,dan selalu (sangka baik pada Mu) menemaniku sepanjang siang dan malam

قَدْكَفَانِي عِلْمُ رَبِّي مِنْ سُؤَالِي وَاخْتِيَارِي


Sungguh telah cukup bagiku kepuasan dan ketenanganku bahwa penciptaku Maha Mengetahui Segala permohonan dan usahaku

حَاجَةٌ فِي النَّفْسِ يَارَبْ فَاقْضِهَا يَاخَيْرَ قَاضِي


Segala kebutuhan dalam diriku Wahai Penciptaku maka selesaikanlah,Wahai sebaik-baik yang menyelesaikan kebutuhan

وَأَرِحْ سِرِّي وَقَلْبِي مِنْ لَظَاهَا وَالشُّوَاظِ


Dan tenangkanlah ruhku dan sanubariku dari gejolak dan gemuruhnya (nafsu,kemarahan,kesedihan,kebingungan,dan penyakit penyakit hati)

قِيْ سُرُورٍ وَحُبُوْرٍ وَإِذَامَا كُنْتَ رَاضِي


Agar hatiku dan ruhku selalu dalam ketentraman dan kedamaian dalam apa2 yang telah engkau Ridhoi

فاَلْهَنَا وَالْبَسْطُ حَالِي وَشِعَارِي وَدِثَارِي


Maka kegembiraan dan kebahagiaan menjadi keadaanku selalu,dan menjadi lambang kehidupanku dan selubung perhiasanku

قَدْ كَفَانِي عِلْمُ رَبِّي مِنْسُؤَالِي وَاخْتِيَارِي


Sungguh telah cukup bagiku kepuasan dan ketenangan bahwa penciptaku Maha Mengetahui Segala permohonan dan usahaku

Selasa, 01 November 2011

PEMAHAMAN TENTANG FANA'


Kebanyakan kitab-kitab tua seperti Kitab Syarah Hikam Ibni Athoillah As-Kandariah, Kitab Manhal-Shofi, Kitab Addurul-Nafs dan lain-lain menggunakan istilah-istilah seperti 'binasa' dan 'hapus' untuk memperihalkan tentang maksud fana.


Ulama-ulama lainnya yang banyak menggabungkan beberapa disiplin ilmu lain seperti falsafah menggunakan istilah-istilah seperti 'lebur', 'larut', 'tenggelam' dan 'lenyap' dalama usaha mereka untuk memperkatakan sesuatu tentang 'hal' atau 'maqam' fana ini.

Di dalam Kitab Arrisalah al-Qusyairiah disebutkan arti fana' itu ialah :

Lenyapnya sifat-sifat basyariah (pancaindera insan)

Maka siapa yang telah diliputi Hakikat Ketuhanan sehingga tiada lagi melihat daripada Alam baru, Alam rupa dan Alam wujud ini, maka dikatakanlah ia telah fana' dari Alam Cipta. 


Fana' bererti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiah lahir dan maksiat batin) dan kekalnya sifat-sifat terpuji(mahmudah). Bahwa fana' itu iyalah lenyapnya segala-galanya, lenyap af'alnya/perbuatannya (fana fil af'al), lenyap sifatnya (fana fis-sifat), lenyap dirinya (fan fiz-zat)

Oleh karana inilah ada di kalangan ahli-hali tasawuf berkata:

"Tasawuf itu ialah mereka fana' dari dirinya dan baqa' dengan Tuhannya kerena kehadiran hati mereka bersama Allah".

Sahabat Rasulullah yang banyak memperkatakan tentang 'fana' iyalah Sayyidina Ali, salah seorang sahabat Rasulullah yang terdekat yang diiktiraf oleh Rasulullah sebagai 'Pintu Gedung Ilmu'. 


Sayyidina Ali sering memperkatakan tentang fana'. Antaranya :

"Di dalam fan'aku, leburlah kefana'anku, tetapi di dalam kefana'an itulah aku mendapatkan Engkau dalam kebaqo'anMu sendiri".

Demikianlah 'fana' ditanggapi oleh para kaun sufi secara baik, bahkan fana itulah merupakan pintu kepada mereka yang ingin menemukan Allah (Liqa Allah) bagi yang benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk bertemu dengan Allah (Salik).


Firman Allah yang bermaksud:

"Maka barangsiapa yang ingin akan menemukan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amalan Sholeh dan janganlah ia mempersekutukan siapapun dalam beribadat kepada Allah (Surah Al-Kahfi:)

Untuk mencapai liqa Allah dalam ayat yang tersebut di atas, ada dua kewajiban yang mesti dilaksanakan iaitu:

Pertamanya mengerjakan amalan sholeh dengan menghilangkan semua- sifat-sifat yang tercela dan menetapkan dengan sifat-sifat yang terpuji iaitu Takholi dan Tahalli.

Keduanya meniadakan/menafikan segala sesuatu termasuk dirinya sehingga yang benar-benar wujud/isbat hanya Allah semata-mata dalam beribadat. Itulah artinya memfana'kan diri.

Para Nabi-nabi dan wali-wali seperti Sheikh Abu Qasim Al-Junaid, Abu Qadir Al-Jailani , Imam Al-Ghazali, Ab Yazid Al-Busthomi sering mengalami keadaan "fana'" fillah dalam menemukan Allah.


Umpamanya Nabi Musa alaihisalam ketika ia sangat ingin melihat Allah maka baginda berkata yang kemudiannya dijawab oleh Allah Taala seperti berikut;

"Ya Tuhan, bagaimanakah caranya supaya aku sampai kepada Mu? Tuhan berfirman: Tinggalkan dirimu/lenyapkan dirimu(fana), baru kamu kemari."

2. Kata-kata Hikmah Dari Wali-wali Allah yang telah mengalami FANA

Ada seorang bertanya kepada Abu Yazid Al-Busthomi;

"Bagaimana tuan habiskan masa pagimu?". Abu Yazid menjawab: "Diri saya telah hilang(fana) dalam mengenang Allah hingga saya tidak tahu malam dan siang".

Satu ketika Abu Yazid telah ditanyai orang bagaimanakah kita bisa mencapai Allah. 
Beliau telah menjawab dengan perkataanya:

"Buangkanlah (fana'kan) diri kamu.
Di situlah terletak jalan menuju Allah. 


Barangsiapa yang melenyapkan(fana) dirinya dalam Allah, maka didapati bahwa Allah itu segala-galanya".Beliau pernah menceritakan sesuatu tentang fana ini dengan katanya;

Apabila Allah memfanakan saya dan membawa saya baqa dengaNya dan membuka hijab yang mendinding saya dengan Dia, maka saya pun dapat memandangNya dan ketika itu hancur leburlah pancainderaku dan tidak dapat berkata apa-apa. Hijab diriku tersingkap dan saya berada di keadaan itu beberapa lama tanpa pertolongan sebarang panca indera.


Kemudian Allah kurniakan saya mata Ketuhanan dan telinga Ketuhanan dan saya dapat dapati segala-galanya (mahluk / alam) adalah di dalam Dia juga."

Al-Junaid Al-Bagdadi yang menjadi Imam Tasawuf kepada golongan Ahli Sunnah Wal-Jamaah pernah membicarakan tentang fana' ini dengan kata-kata beliau seperti berikut:

Kamu tidak mencapai baqa(kekal dengan Allah) sebelum melalui fana' (hapus diri /lebur dalam ketiadaan diri) Membuang segala-galanya kecuali Allah dan 'mematikan diri' iyalah fana' dalam kesufian.

Seorang itu tidak akan mencapai Cinta kepada Allah (mahabbah) hingga dia memfana'kan dirinya. Percakapan orang-orang yang cinta kepada Allah itu pandangan orang-orang biasa adalah dongeng saja. 

3. Himpunan Kata-kata Hikmat Tentang Fana'

A. Sembahyang orang yang cinta (mahabbah) iyalah memfanakan diri sementara sembahyang orang awam ialah rukuk dan sujud.

B. Setengah mereka yang fana' (lupa diri sendiri) dalam satu tajali dzat dan kekal dalam keadaan itu selama-lamanya. Mereka adalah Majdzub yang hakiki.

C. Sufi itu Awalnya satu titik air dan menjadi lautan. Fana'nya diri itu meluaskan keUpayaanNya. Keupayaan setitik air menjadi keupayaan lautan.

D. Dalam keadaan fana, wujud Salik yang terhad itu dikuasai oleh wujud Allah yang Mutlak. Dengan itu Salik tidak mengetahui dirinya dan benda-benda lain.


Inilah peringkatWilayah(Kewalian). Perbedaan antara Wali-wali itu iyalah disebabkan oleh perbedaan tempo & masa dalam pemahaman keadaan ini. Ada yang merasakan keadaan fana' itu satu saat, satu jam, ada yang satu hari an seterusnya. Mereka yang dalam keadaan fana' seumur hidupnya digelar majdzub.


Mereka masuk ke dalam satu suasana dimana menjadi mutlak.

E. Kewalian ialah melihat Allah melalui Allah. Kenabian ialah melihat Allah melalui makhluk. Dalam kewalian tidak ada bayang makhluk yang wujud.
Dalam kenabian makhlik masih nampak di samping memerhati Allah. Kewalaian iyalah peringakat fana' dan kenabian iyalah peringkat baqa'

F. Tidak ada pandangan yang pernah melihat Tajalinya dzat.
Jika ada pun ia mencapai Tajali ini, maka ianya binasa dan fana kerana Tajali dzat melarutkan semua cermin pendzohiranNya semata. 
Firman Allah yang bermaksud :
Sesungguhnya Allah meliputi segala-galanya. (Surah Al-Fadhilah:54)

G. Tajali bererti menunjukkan sesuatu pada diriNya dalam beberapa dan berbagai bentuk. Umpama satu biji benih menunjukkan dirinya sebgai beberapa ladang dan satu unggun api menunjukkan dirinya sebagai beberapa unggun api.

H. Wujud alam ini fana (binasa) dalam wujud Allah.


Dalilnya ialah Firman Allah dalam Surah An-Nur:35 yang bermaksud;

"Cahaya atas cahaya, Allah membimbing dengan cahayanya sesiapa yang dikehendakinya." dan "Allah adalah cahaya langit dan bumi."

I. Muraqobah adalah memfana'kan hamba akan afa'alnya dan sifatnya dan dzatnya dalam afa'al Allah, sifat Allah dan dzat Allah.

J. Al-Thomsu atau hilang iaitu hapus segala tanda-tanda sekalian sifat hamba kembali pada sifat Allah. Maka itu salah satu bagian daripada fana'.

5. Tajuk-tajuk yang berkaitan dengan Fana'

Mikraj Muhammad Alamat Sampai Kepada Maqam Yang Tinggi

4. Pesanan Dari Suluk

Hakikat tidak akan muncul sewajarnya jika syariat dan thorikat belum betul lagi kedudukannya. Huruf-huruf tidak akan tertulis dengan betul jika pena tidak betul keadaannya.

Dari itu saudara-saudaraku anda seharusnya banyak menuntut dan mendalami ilmu-ilmu agama yang berkaitan dengan syariat , usuluddin dan asas tasauf untuk mendekatkan diri dengan Allah




Al-Fana' dan al-Baqa' (Abu Yazid al-Busthomi ) 

Pokok Pemikiran Abu Yazid al-Busthami


Abu Yazid al-Bisthami adalah tokoh sufi pertama yang memperkenalkan konsep al-fana dan al-baqa serta konsep ittihad. Fana adalah sirnanya segala sesuatu selain Allah dari pandangan seorang sufi.


Di mana ia tidak lagi menyaksikan kecuali hakekat yang satu yaitu Allah. Dan baqa adalah merupakan konsekuensi dari adanya fana, ketika seseorang bersatu dengan Tuhan (ittihad), dalam hal ini baqa mengandung pengertian kekal dalam kebaikan. Sehingga apa yang diupayakannya bisa tercapai yaitu bisa bersatu dengan Tuhan, yang dalam bahasa Abu Yazid disebut dengan istilah ittihad.

Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu, dan al-fana jauh lebih berbeda dengan al-fasad (rusak), fana artinya tidak kelihatannya sesuatu, sedang al-fasad adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain.


Konsep ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Sina di mana ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan bersifat alam, di mana ia mengambil konklusi bahwa keberadaan benda alam itu berdasarkan permulaannya, bukan perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lain, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana bukan dengan fasad.

Adapun makna fana dalam pandangan kaum sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya dan dari makhluk lainnya sebenarnya dirinya tetap sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya,

Dalam konteks lain fana mengandung pengertian gugurnya sifat-sifat tercela, makna lainnya bergantung sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan

Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan eksistensi sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana an-nafs). Fana an-nafs adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan dzat Allah

Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan bahwa ia telah berada dekat dengan Tuhan, hal ini dapat dilihat dari kalimat-kalimat bersayap yang belum dikenal sebelumnya (syathahat) yang dia ungkapkan, seperti : “Tidak ada Tuhan selain Aku. Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku”.

Al-Bisthami pernah mengatakan bahwa ketika ia naik haji untuk pertama kali, yang ia lihat adalah bangunan Ka’bah dan dirinya, kemudian ia naik haji lagi, maka selain melihat bangunan Ka’bah dan dirinya, ia merasakan Tuhan Ka’bah. Pada haji ketiga, ia tidak merasakan apa-apa lagi kecuali Tuhan Ka’bah.

Tentang kefanaan Abu Yazid al-Bisthami ini pernah dikisahkan oleh sahabatnya. dzunnun al-Mishri mengutus untuk menemui Abu Yazid, ketika utusan itu sampai, diketuklah pintu rumah Abu Yazid, terjadilah percakapan antara tamu dengan Abu Yazid :

Abu Yazid : “Siapa di luar?”

Utusan : “ Kami hendak berjumpa dengan Abu Yazid”

Abu Yazid : “Abu Yazid siapa? Dimana dia? Sayapun mencari Abu Yazid

Rombongan utusan itupun pulang dan kemudian memberitahukan kepada dzunnun. Mendengar keterangan itu dzunnun berkata : “Sahabatku Abu Yazid telah pergi kepada Allah dan dia sedang fana"

Kejadian yang menimpa Abu Yazid ini disebabkan keinginannya untuk selalu dekat dengan Tuhan. Bahkan ia selalu berusaha untuk mencari jalan agar selalu berada di hadirat Tuhan. Ia pernah berkata : “Aku bermimpi melihat Tuhan”, Akupun bertanya : “Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu?”. Ia menjawab : “Tinggalkan dirimu dan datanglah”.

Menurut Abu Yazid ada empat situasi gradual dalam proses fana, yakni :

-Tingkatan fana yang paling rendah yaitu fana yang dicapai atau dihasilkan melalui mujahadah.

-Tingkatan fana terhadap kenikmatan surga dan kepedihan siksa neraka

-Fana terhadap pemberian Allah

-Fana terhadap fana itu sendiri (fana al-fana)

Apabila seseorang telah mencapai fana pada tahap akhir, seseorang akan secara totalitas lupa terhadap segala sesuatu yang sedang terjadi padanya. Hatinya sudah tidak lagi terisi oleh kesan apapun yang ditangkap oleh panca indera

Konsekuensi dari terjadinya fana itu, maka terjadi pulalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal. Sedangkan dalam kaca mata sufi baqa mengandung makna, kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia.


Sedangkan menurut Abu Yazid baqa adalah hilangnya sifat-sifat kemanusiaan yang dirasakan hanyalah sifat-sifat Tuhan yang kekal dalam dirinya dengan kata lain merasa hidupnya selaras dengan sifat-sifat Tuhan,sistem kerja fana-baqa ini selalu beriringan, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli tasawuf

اِذَا اَشْرَقَ نُوْرُ الْبَقَاءِ فَيَفْنَ مَنْ لَمْ يَكُنْ وَيَبْقَ مَنْ لَمْ يَزَلْ

Apabila nampaklah Nur kebaqa'an, maka fana'lah yang tiada, dan baqalah yang kekal”

Kata al-Bisthami, “Ia telah membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup”, aku berkata : bila pada diriku adalah kehancuran (fana) sedang gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup (baqa)”. Al-Busthomi juga berkata : “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, sampai aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku hidup.

Untuk mencapai station al-baqa ini seseorang perlu melakukan perjuangan dan usaha-usaha yang keras dan kontinyu, seperti dzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji.

Jika dilihat dari sisi lain, yang disebut fana dan baqa' itu dapat pula disebut sebagai ittihad.

Ittihad

Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana dalam pengertian tersebut di atas, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa.


Di dalam perpaduan dirinya ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad

Faham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari faham fana dan baqa. Ungkapan Bayazid berikut ini akan memperjelas pengertian ittihad. Bayazid berkata

رفعنى الله عزة فأ قامنى بين يديه وقال لى يا أبا يزيد : ان خلقى يحبون ان يروك فقلت زينى بوحد انيتك والبسنى انا نيتك وارفعنى الى احاديتك حتى اذا ارانى خلقك. قالوا رايناك فتكون انت ذاك ولا اكون اناهناك.

Dan pada kesempatan lain beliau berkata : “Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan ia berkata : ‘Hai Zayid, makhluk-Ku ingin melihat engkau’.


Aku menjawab : ‘Kekasihku, aku ingin melihat mereka, tetapi jika itulah kehendak-Mu, maka aku tak berdaya menentang kehendak-Mu, hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata : “Telah kami lihat Engkau”. 


Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah engkau, karena itu aku tak ada di sana”.

Situasi ittihad itu diperjelas lagi dalam ungkapannya : “Tuhan berkata : semua mereka kecuali Engkau, adalah makhlukku. Akupun berkata : Aku adalah engkau, Engkau adalah Aku”.

Ungkapan kata Abu Yazid ini telah mendapat tanggapan, bahkan kecaman dari para ulama di zamannya.


Bagi para ulama yang toleran menilainya sebagai suatu penyelewengan, tetapi bagi ulama yang ekstrim menilainya sebagai suatu kekufuran.


Namun ada pula yang menilainya merupakan kasus tertentu bagi seorang sufi dan kata-kata yang dilontarkan adalah kata-kata yang terlontar di kala kondisi kejiwaannya tidak stabil.


Dalam kondisi seperti ini, seorang sufi tidak sepenuhnya bisa mengandalkan diri pribadinya, dan dia pada saat itu tidak mampu lagi mengendalikan dirinya


----------------------


Abu Yazid, seperti kita ketahui adalah sufi pertama yang memunculkan faham fana dan baqa dalam tasawuf.


Dia selalu ingin selalu dekat (ber-taqarrub) dengan Tuhan. Karena keinginan yang mendalam untuk selalu dekat dengan Tuhan, mengakibatkan seakan-akan Abu Yazid merasa bersatu dengan Tuhan.

Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, bahwa ia telah dekat dengan sang khaliq, ini dapat dicermati dari syathahat yang diucapkannya, dan dalam hal ini ucapan tersebut tidak dapat dipegangi dan dikenakan hukum.


Karena orang yang berkata pada waktu itu sedang mabuk. Mabuk oleh fananya, oleh tiada sadar diri lagi, sebab tenggelam dalam tafakkur. 


Ungkapan Abu Yazid tentang fana dan ittihad menurut al-Taftazani : “memang terlalu berlebih-lebihan”, antara lain seperti yang diucapkan Abu Yazid : “Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali aku, maka sembahlah Aku”. 


Yazid juga pernah mengatakan : Tuhan berfirman : “Semua mereka, kecuali Engkai adalah Aku, dan Aku adalah Engkau"

Secara harfiah ungkapan-ungkapan Bayazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan.


Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. 


Dengan ucapannya Aku adalah Engkau bukan ia maksudkan akunya Bayazid pribadi. 


Dialog yang terjadi pada waktu itu pada hakekatnya adalah monolog. 


Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan melalui lidah Bayazid yang sedang dalam keadaan fana an-nafs. Pada saat bersatunya Bayazid dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada pada ketika itu hanya satu wujud, yaitu Tuhan, sehingga ucapan-ucapannya itu pada hakikatnya adalah kata-kata Tuhan. Dalam hal ini Bayazid menjelaskan :

لانه هو الذى يتكلم بلسانى اما انا فقد فنلبت

Sebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya, sedangkan saya sendiri dalam keadaan fana”.

Oleh karena itu sebenarnya Bayazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan seperti apa yang dilakukan oleh Fir’aun.


Proses ittihad ini menurut Bayazid adalah naiknya jiwa manusia kehadirat Ilahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah.


Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang terlihat.

Sudah banyak usaha dilakukan untuk menjelaskan kepribadian dan ucapannya yang penuh teka-teki yang terbaik kata Schimmel, adalah sebuah telaah pendek namun mendalam yang dilakukan oleh Helmut Ritter, R.C. Zaehner telah menekankan kemungkinan adanya pengaruh India pada Abu Yazid.


Tampaknya R.A. Nicholson juga cenderung berpendapat bahwa Abu Yazid, khususnya faham fana dipengaruhi oleh ajaran India yang diterima dari Abu Ali al-Sindi Annemarie Schimmel meragukan pendapat yang mengatakan bahwa Abu Yazid menerima ajaran dari Abu Ali al-Sindi
Memang di kalangan para sufi sendiri terjadi perbedaan pendapat seperti yang pernah penulis singgung namun demikian menurut Ust. Drs. Moh. Saifullah al-Aziz, di dalam bukunya Risalah Memahami Tasawuf, kita tidak bisa begitu saja khususnya di kalangan mujtahid untuk terus berkiprah berusaha menggali tasawuf dari sumber aslinya untuk mencari kemurnian tasawuf itu hingga saat ini, seperti Muhammad Iqbal, Prof. Dr. H. Abdul Karim Amrullah (HAMKA) dan sebagainya. 


Dan hasil pengkajian mereka itulah, maka ajaran tasawuf seperti fana dan ittihad dan sejenisnya bisa dikaji ulang untuk dikembalikan pada bentuk aslinya pada masa Nabi dan para sahabat

Perlu juga diketahui bahwa paham ini jauh berbeda dengan faham hulul-nya al-Hallaj. Di mana dalam faham hulul ini Tuhan lah yang mencari dan mengambil tempat tubuh manusia tertentu untuk ditempatinya, dengan kata lain Tuhan sendiri yang melebur dalam diri manusia, setelah manusia telah mampu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana, sedangkan kalau ittihad, manusia yang berusaha sendiri untuk menarik diri Tuhan melalui metode al-fana.




Haqiqat Fana 


FANA QALB

                                                       

DALAM Wilayah Sughro (kecil), seseorang Murid Salik akan mengalami Istighraq yakni merasa bahwa dirinya seakan akan tenggelam dan Sukr yakni merasa mabuk cintanya terhadap dzat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalam Wilayah ini, hati akan terputus hubungan secara keseluruhan dengan segala sesuatu yang selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala sama ada pada pengetahuan mahupun kecintaan terhadap sesuatu dan hatinya akan lupa secara keseluruhan terhadap sesuatu yang selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kaifiat keadaan ini dinamakan Fana' Qalb.

Penyair Sufi bersyair,


Key Bud Khud Za Khud Juda Mandah Man Wa Tu Raftah Wa Khuda Mandah


"Seseorang yang sudah meninggalkan dirinya ke manakah haluannya?
aku dan dirimu sudah pergi dan yang tinggal hanyalah Alloh.

Fana Qalb akan menghasilkan Tajjalliyah Af’aliyah Ilahiyah dalam diri Salik yakni dalam kesadaran dan khalayannya dia akan melihat bahwa segala Af’al tindakan dan perlakuan segala sesuatu yang selain Allah adalah kesan daripada Af’al tindakan dan perlakuan Haq Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan keadaan ini akan Ghalabah menguasai dirinya.

Kemudian, segala dzat dan sifat Wujud Mumkinat akan dianggapkan olehnya sebagai penzahiran Dzat dan Sifat Haq Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka, pada waktu itu Salik sedang berdiri di pintu Tauhid Wujudi ataupun masyhur dengan sebutan Wahdatul Wujud yakni menganggap bahwa segala tindakan yang wujud pada Mumkinat itu adalah merupakan ombak dari tindakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dzat yang Wajibul Wujud.

Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih menyatakan bahwa Fana' terbagi empat keadaan seperti berikut:

1. Fana Kholaq - Segala pengharapan Murid dan rasa ketakutannya terhadap selain Allah akan menjadi lenyap.

2. Fana Hawa - Hati Murid hanya berkendakkan dzat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan dalam dirinya tidak berkehendak kepada segala sesuatu yang selain Allah.

3. Fana Irodah - Segala keinginan dalam hati Murid menjadi tiada, seumpama orang yang mati.

4. Fana Fi’il - Murid mengalami Fana dalam perbuatan dan perlakuan, maka segala penglihatannya, pendengarannya, percakapannya, makan dan minumnya, berjalannya dan berfikirnya dia akan merasakan bahwa segalanya itu adalah merupakan perbuatan dan perlakuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata-mata.

Dalam sebuah Hadits Qudsi ada dinyatakan bahwa apabila seseorang hamba berusaha mendekatkan dirinya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala melanjutkan dengan amalan Nawafil sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikannya sebagai kekasihNya, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menjadi pendengarannya yang dia dapat mendengar denganNya dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menjadi penglihatannya yang dia dapat melihat denganNya dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menjadi tangannya yang dia dapat memegang denganNya dan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala akan menjadi kakinya yang dia dapat berjalan denganNya.

HAQIQAT FANA

Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih telah menyatakan di dalam
kitabnya Ma’arif Laduniyyah pada Makrifat 26 berkenaan Fana dan Latifah sebagai berikut:

“Fana berarti melupakan semua perkara kecuali Allah Ta’ala.


Setiap satu dari kelima-lima Latifah dalam Alam Amar terkandung bayangan gambaran dan takluk keasyikan di dalam tubuh badan manusia. Kelima-limanya Latifah itu telah diberikan nama sebagai Qalb, Ruh, Sirr, Khafi dan Akhfa.


Kebanyakan Aulia Allah tidak dapat membedakannya di antara satu dengan yang lain lalu menggelarkan kesemuanya sebagai Ruh. 


Apabila dimaksudkan Ruh, maka kelima-lima hal ini juga turut difahami.
Ruh iaitu suatu Latifah, sudah pun mengenali Allah Ta’ala sebelum ia digabungkan dengan tubuh badan jasmani. Ia memiliki sedikit keinginan, pengetahuan dan cinta terhadap Allah Ta’ala. Ia telah diberikan tenaga dan kemampuan untuk mencapai ketinggian dan terpuji.


Akan tetapi ia tidak akan dapat mencapai kecemerlangan selagi ia tidak bergabung dengan tubuh badan jasmani.Untuk maju menuju cahaya hati, ia perlu disatukan dengan tubuh badan.
Untuk maksud ini, pada mulanya Ruh telah diberikan takluk keasyikan terhadap tubuh badan.
Kemudian, ia telah diberikan kebenaran untuk menuju ke tubuh badan lalu ia tercampak ke tubuh badan.


Dengan keadaannya yang halus dan suci, orang yang fana' tenggelam ke dalam tubuh badan manusia. Ia menjadi tidak dikenali, tidak dikenali oleh tubuh badan. Ia lupa tentang dirinya. Ia terus menyangka dirinya adalah tubuh badan.orang yang fana' itu kehilangan dirinya di dalam tubuh badan. Karena itulah kebanyakan manusia menyangka diri mereka sebagai hanya tubuh badan. Tidak menyedari tentang kewujudan Ruh, mereka menafikannya.

Allah Ta’ala dengan sifatNya Yang Maha Mengasihani telah menghantar pesanan kepada manusia yaitu Ruh, bersambung dengan ruh Para Nabi dan Rasul ‘Alaihimussolatu Wassalam.


Dia mengajak mereka kepada DiriNya. Dia melarang mereka dari bergantung kepada tubuh badan yang gelap ini. Seseorang yang yang telah ditetapkan untuk memperolehi kebaikan yang kekal akan mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan ketergantungannya terhadap tubuh badan. 


Dia mengucapkan kesejahteraan kepadanya dan ia akan terus kembali ke atas pada tahap ketinggiannya yang sebenar-benarNya.

Cintanya terhadap asal-usulnya yang pernah dirasakannya sebelum bergabung dengan tubuh badan meningkat secara peringkat demi peringkat. Cintanya
terhadap benda yang bersifat sementara makin berkurangan.


Apabila dia melupakan keseluruhan tentang tubuh badan jasmaninya yang gelap, yang mana tiada lagi rasa asyik dan cinta yang tinggal, maka dia sudah mencapai fana tubuh badan.

Selanjutnya, dia perlu melepas satu dari dua langkah asas pada jalan Tasawwuf iaitu Fana dan Baqa. kemudian jika Allah menghendaki dan merahmatinya, dia akan mencapai peningkatan Ruhaniah lalu terus melupakan tentang dirinya.


Apabila ketidak sadaran ini meningkat, dia akan langsung melupakan terus tentang dirinya. Dia tidak akan lagi mengenali sesuatu apapun selain dari Allah Ta’ala.

Seterusnya dia akan mencapai Fana Ruh yang mana seterusnya dia perlu bergerak meneruskan langkahnya yang kedua.


Ruh datang ke dunia ini dengan keinginan untuk mencapai Fana yang kedua ini. Fana' tidak akan dapat dicapai tanpa datang ke dunia ini. Jika Latifah Qalb melepaskan kedua-dua langkah ini bersama-sama Ruh, ia akan mencapai Fana'nya sendiri bersama-sama dengan Ruh. 


Jika Nafsmenyertai Qalb dengan cara ini, ia juga akan disucikan, iaitu ia juga akan mancapai Fana'nya. Tetapi apabila Nafs telah mencapai tahap Qalb, jika ia tetap berada di situ tanpa berusaha mencapai peningkatan dan melepasi kedua-dua langkah ini, ia tidak akan dapat mencapai tahap ketidaksadaran. 


Ia tidak akan menjadi Mutmainnah atau jiwa yang tenang.
Seseorang yang telah mencapai Fana' Ruh mungkin tidak mencapai Fana' Qalb. 


Ruh ibarat bapak kepada Qalb dan Nafs pula ibarat ibu kepada Qalb. 


Jika Qalb mempunyai keinginan terhadap Ruh sebagai bapaknya dan memalingkan dirinya dari Nafs sebagai ibunya dan jika keinginan ini bertambah kuat dan menarik Qalb ke arah bapanya, maka ia akan mencapai darajatnya. 


caranya adalah dengan melepaskan kedua-dua langkah ini. 


Apabila Qalb dan Ruh mencapai Fana, Nafs tidak semestinya turut mencapai Fana.

Jika Nafs mempunyai keasyikan dan keinginan terhadap anaknya, dan jika keinginan ini semakin bertambah dan membuatkannya semakin dekat dengan anaknya yang telah mencapai darajat bapaknya, maka ibunya juga akan menjadi seperti mereka. 


Keadaan yang sama juga berlaku untuk mencapai Fana pada Latifah Sirr, Khafi dan Akhfa. Segala ingatan dan fikiran yang telah dipadamkan dan dilenyapkan dari Qalb hatinya menunjukkan kebenaran bahwa Ia telah melupakan segala perkara yang lain selain Allah Ta’ala. 


Tidak ada daya upaya untuk mengingat sesuatu apa pun bermakna bahwa pengetahuan dan segala sesuatu
telah lenyap.


Di dalam Fana, ilmu pengetahuan juga perlu dilenyapkan.”

Masyaikh berkata,

‘Ilm Sufi ‘Ain Dzat Haq Bud,
‘Ilm Haq U Khud Sifat Haq Bud.
‘Ilm Haq Dar ‘Ilm Sufi Gum Syawad,
In Sukhn Key Bawar Mardam Syawad.

Ilmu Sufi adalah mata air Ilmu Dzat Yang Haq,
Ilmu Haq pada mereka adalah sifat yang Haq.
Ilmu Haq dalam Ilmu Sufi telah lenyap,
Kebenaran perkataan ini ada dalam hati lelaki Sufi.

FANA FI SYEIKH

                                              



APABILA Zikir Rabitah ghalib ke atas seorang Murid yakni dirinya sudah tenggelam dengan dzikir Rabitah, maka dia akan melihat wajah Syeikhnya pada segala sesuatu dan keadaan ini dinamakan sebagai Fana Fi Syeikh.

Di dalam kitab Hidayatut Thalibin bahwa keadaan warid seperti ini juga
berlaku ke atas diri ketika mula-mula melakukan dzikir Rabitah sehinggakan beliau mendapati bahwa dari ‘Arash sehingga ke tanah dipenuhi dengan wajah Syeikhnya dan beliau melihat bahwa setiap pergerakan maupun diamnya adalah pergerakan dan diam Syeikhnya. 


Ketahuilah bahwa jalan Rabitah merupakan jalan yang paling dekat dari sekalian jalan. Banyak masalah ajaib dan sulit yg akan terlahir menuju jalan ini.

Syaikh Muhammad Ma’sum Rahmatullah ‘alaih telah berkata bahwa,
“Dzikir semata-mata tanpa Rabitah dan tanpa Fana Fi Syeikh tidak akan dapat menyampaikan kepada maksud dan Rabitah semata-mata dengan mengamati Adab Suhbah adalah mencukupi.”
Seseorang yang telah tenggelam dalam Fana Fi Syeikh akan sentiasa merasakan bahwa Syeikhnya sentiasa ada dalam dirinya, dalam setiap pergerakan dan perkataannya.


Yang diingatnya hanyalah alloh dengan bimbingan syeikhnya dan ini hanya akan berhasil dengan sempurna apabila ianya disertai dengan Mahabbah yaitu Cinta dan Kasih Sayang yang terhasil dari Rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Fana Fi Syeikh berarti meletakkan segala urusan perjalanan Keruhaniannya pada tangan Syeikhnya dan bersedia menurut segala anjuran, teguran, nasihat dan tunjuk ajar dari Syeikhnya. 


Fana Fi Syeikh akan membawa seseorang Murid itu ke arah ketaatan
terhadap Syeikh yang dianggap sebagai pemimpin dan pembimbing Ruhani bagi Murid.
Menurut Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih, apabila kelima-lima
Lataif Alam Amar telah disucikan dengan sempurna, Lathoif Alam Kholaq juga dengan sendirinya akan disucikan, kemudian dia akan memahami hakikat Daerah Imkan.


Untuk mencapai maqam ini, seseorang itu perlulah mancapai Fana Fi Syeikh.


Ini akan mengangkat hijabnya terhadap kefahaman tentang Daerah Imkan. Seseorang Murid yang Salik menuju Allah Subhanahu Wa Ta’ala perlu kembali kepada Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam karena Ruh kita terbit dari Ruh Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. 


Untuk kembali kepada Ruh Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, seseorang Murid itu perlu mengenali Ruh Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bersambung pada tali hayat dan bimbingan seorang Syeikh yang akan memberikannya beberapa petunjuk untuk menuju Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. 


Syeikh adalah Ulul Amri yang memelihara urusan Keruhanian Murid. Mentaati Syeikh berarti mentaati Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan ketaatan kepada Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bererti kita mentaati Allah
Subhanahu Wa Ta’ala.


Seseorang Murid yang Fana Fi syeikhnya sempurna, maka Syeikhnya hendaklah membimbingnya kepada Syari’at, Tariqat, Ma’rifat dan
Haqiqat Muhammadiyah sehingga Murid yang Salik itu tenggelam dalam lautan Fana Fi Rasul. Para Masyaikh menyatakan bahwa Fana Fi Syeikh adalah Muqaddimah bagi Fana Fi Rasul dan Fana Fillah. Setelah mencapai Fana Fi Syeikh, Murid perlu menuju Fana Fi Masyaikh terlebih dahulu dan seterusnya Fana Fi Rasul.

FANA FI MASYAIKH

                                                             



FANA Fi Masyaikh bererti seseorang Murid yang sudah mulai patuh pada Syeikhnya, maka hendaklah dia turut mematuhi sekelian Para Masyaikh dalam Silsilah karana segala limpahan Ruhaniah dan Faidhz adalah datang menerusi pertalian Batin mereka yang kukuh sehinggalah kepada Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Para Masyaikh adalah orang-orang yang menuruti kehidupan dzohir dan Batin Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. 


Mengasihi mereka bererti mengasihi Baginda Nabi
Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam karena Para Masyaikh adalah Para ‘Alim ‘Ulama dan mereka adalah Pewaris Nabi sehingga ke hari Qiyamat.
Para Masyaikh adalah orang-orang yang terdahulu menjalani kehidupan Tariqat Tasawwuf dan jasad mereka telah Fana manakala Ruh mereka kekal Baqa di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mereka adalah orang yang hidup dan matinya berada atas jalan Allah, berjuang untuk menegakkan Kalimah Allah yang Agung. Fana Fi Masyaikh adalah pintupintu jalan untuk menuju Fana Fi Rasul. 

‘Ilmuhu Atam.
FANA FI RASUL

FANA Fi Rasul berarti seseorang Murid yang tenggelam dalam Haqiqat Muhammadiyah setelah dia menyAdari bahwa Syeikhnya dan Para Masyaikhnya adalah bayangan kepada Ruh Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mana sekelian Ruh Mukmin bersumber darinya. Seseorang Murid akan mengalami rasa Cinta dan Kasih Sayang yang hebat terhadap Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu‘Alaihi Wasallam sehingga dia berusaha membawa kehidupannya selaras dengan kehendak kalimah:

MUHAMMADUR RASULULLAH.

Syeikh hendaklah membimbing Muridnya kepada Amalan Sunnah Nabawiyah yang dzohir mahupun yang Batin. Tiada satupun amalan yang kecil di dalam Sunnah
Nabawiyah bahkan kesemuanya adalah amat besar di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.


Seseorang Mukmin tidak akan mencapai derajat Iman yang sempurna sehinggalah segala Hawa dan Nafsunya tunduk sepenuhnya kepada Agama dan Sunnah Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.


Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam juga adalah Insan dan manusia biasa seperti kita yang memiliki Hawa dan Nafsu, namun Ruhnya telah disucikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Hawa Nafsunya juga telah ditarbiyah dan disucikan untuk menuruti kemauan Ruh.


Ruh Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah terbit dari Ruh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hubungan di antara keduanya amat rapat sehingga segala kecintaan dalam hati Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam hanyalah tertumpu kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ruh orang-orang yang beriman dengan Allah adalah terbit dari Ruh Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mereka hendaklah kembali kepada fitrah mereka yang asal iaitu fitrah Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menjadi sumber petunjuk bagi orang-orang beriman untuk menuju kepada Allah.


Orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala hendaklah mencintai Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam lebih daripada apa yang mereka cintai untuk diri mereka, ibu bapa mereka dan kaum keluarga mereka sendiri.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 31 yang bermaksud,“Katakanlah:


Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka turutilah aku (Muhammad Rasulullah Sallallahu‘Alaihi Wasallam), nescaya Allah akan mencintai kamu dan Dia akan mengampuni dosa-dosa kamu, dan Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”

Untuk mencapai Fana Fi Rasul, Salik perlu menanamkan dalam dirinya tentang kemuliaan, kehebatan dan keagungan Sunnah Nabi Muhammad Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam serta sentiasa beramal dengannya.


Kemuliaan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum adalah terhasil menerusi ketaatan mereka terhadap Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan kecintaan mereka untuk menuruti segala Sunnah Baginda Nabi Muhammad Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.


Maka itulah, Para Masyaikh menyuruh sekalian para pengikut mereka agar sentiasa berpegang teguh dengan amalan Sunnah Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam pada setiap masa dan keadaan. 


Semoga Allah memberikan kita Taufiq. Amin.

FANA FILLAH

FANA Fillah adalah suatu hal keadaan di mana Murid yang Salik itu merasa kehilangan dirinya dalam menyaksikan Musyahadah Keagungan dan Kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerusi Tajalli yang dilimpahkan oleh Allah

Subhanahu Wa Ta’ala ke dalam hatinya. Ianya terhasil menerusi dzikir kalimah Ismu dzat dan Nafi Itsbat yang banyak. Pintu hati tidak akan terbuka tanpa dzikir yang
banyak. Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan melimpahkan Tajalli Nama dzatNya bagi memperkenalkan Sifat-SifatNya dan Af’al perlakuan serta tindakanNya. 


Seseorang Salik yang baru mencapai Fana Fillah akan mengalami Ghalabah atau disebut keadaan Bey Khudi yakni merasakan bahwa dirinya telah hilang, berkeadaan tidak
tentu arah seolah-olah menggelabah dalam perasaannya. Sukar baginya mengungkapkan segala rahsia-rahsia Ketuhanan yang diperlihatkan secara Musyahadah di dalam hatinya. Dia akan merasai tenggelam dalam lautan Rahmat dan Kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.


Apabila terhasilnya Kaifiat ketika berzikir maka hendaklah memeliharanya, dan jika Kaifiat tersebut ghaib maka hendaklah teruskan berzikir sehingga Kaifiat kembali terhasil dan rasa kehadiran menjadi semakin teguh. Apabila Murid mencapai Jazbah Qabuliyat yakni tarikan penerimaan dari Allah Ta’ala, maka dia akan merasakan limpahan Faidhz dan hembusan Rahmaniyah dari Tuhan Yang Maha Pemurah melimpahi dirinya.

Kadang-kadang Faidhz akan terlimpah ke dalam hati secara tiba-tiba dan terhasilnya Warid pada hati, lalu menjadikannya dalam keadaan tidak tentu arah. Maka apabila kaifiat yang sedemikan itu berlaku secara berterusan, seseorang Murid itu hendaklah mengharap dan memohonpenghasilan Fana dan kesenantiasaan merasai kehadiran bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Fana Fillah juga diertikan sebagai Fana Fi dzat yang bermakna seseorang Salik itu tenggelam dalam lautan

kehadiran dzat yang meliputi segala sesuatu. Apabila seseorang itu tenggelam dalam lautan dzat yang menguasai dan meliputi segala sesuatu, maka pandangannya tidak akan melihat sesuatu yang lain selain dzatNya yang Maha Berkuasa dan kekuasaanNya meliputi setiap benda dan segala sesuatu yang ada di langit, di bumi dan apa yang ada di antara langit dan bumi. Sesungguhnya Allah adalah Al-Latif yang Maha Halus dan Dialah Al-Muhit yang kewujudanNya dan kekuasaanNya meliputi segala sesuatu.

Sewaktu seseorang itu sedang tenggelam dalam lautan Fana Fii dzat ini, dia akan mengalami suatu perasaan bahwa dirinya juga bukanlah sutu wujud yang bersifat hakiki bahkan tidak wujud sama sekali. Yang difahami olehnya hanyalah Wujud Allah yang mana kewujudanNya adalah wajib dan Haq, tidak dapat disangkal sama sekali. 


Dia akan melihat bahwa segala kejadian ciptaan, hal peristiwa dan keadaan, perbuatan serta tindakan itu hanya dapat berlaku dengan kehendak dan izin dari Allah Tuhan Semesta Alam. Maka dia akan merasai bahwa Wujud Haqiqi hanyalah satu iaitu dzat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan inilah permulaan
hal Tauhid Wujudi atau digelar Wahdatul Wujud.

Mendawamkan dzikir Ismu dzat yang banyak akan membawa Salik mencapai Fana pada Qalbnya dan dia akan mengalami suatu Jazbah untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Qalbnya akan mula memberi tumpuan Tawajjuh kepada limpahan Faidz dari sisi yang diatas ‘Arash.

Seterusnya dia akan mengalami Jam’iyat dan Hudhur yang mana segala lintasan pada hati dan fikiran menjadi semakin berkurangan dan mungkin lenyap sama sekali. Keadaan ini apabila berterusan akan menghasilkan Warid pada diri Salik yang mana dia akan mengalami perasaan sukar dan tiada terdaya untuk menerima sesuatu Hal dalam hatinya, dengan merasakan ketiadaan wujud pada dirinya.


Pada peringkat awal pencapaian Fana, keadaan ini berlaku sekali-sekala bahkan mungkin sebulan sekali. Seseorang yang banyak berdzikir mungkin akan sering mengalaminya seperti seminggu sekali atau bahkan mungkin pada setiap hari dan mungkin berkali-kali menerima Warid yang sedemikian dalam sehari. Segalanya ini berlaku dengan
Rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Para Masyaikh berkata bahwa,

“Tasawwuf secara keseluruhannya adalah Adab, dan barangsiapa yang biadab dengan tidak memelihara Adab tidak akan dapat mencapai Tuhan.”
Para Akabirin Naqshbandiyah berkata, Man Dhzayya’ar Rabbal Adna,
Lam Yasil Ilar Rabbil A’la. Barangsiapa yang mensia-siakan Pentarbiyah yang rendah (SyeikhMurshid), Dia sekali-kali tidak akan sampai kepada Pentarbiyah Yang Maha Tinggi (Allah Ta’ala).

Fana Fillah bererti melupakan semua masalah kecuali Allah Ta’ala. Apabila dia melupakan keseluruhan tentang tubuh badan jasmaninya yang gelap, yang mana tiada lagi rasa asyik dan cinta yang tinggal, maka dia sudah mencapai fana tubuh badan. Seterusnya, dia perlu melepasi satu daripada dua langkah asas pada jalan Tasawwuf iaitu Fana Qalb.


Seterusnya dia akan mencapai Fana Ruh yang mana seterusnya dia perlu bergerak meneruskan langkahnya yang kedua. Seseorang yang telah mencapai Fana Ruh mungkin tidak mencapai Fana Qalb.


Apabila Qalb dan Ruh mencapai Fana, Nafs tidak semestinya turut mencapai Fana. Keadaan
yang sama juga berlaku untuk mencapai Fana pada Latifah Sirr, Koafi dan Akhfa. Segala ingatan dan fikiran yang telah dipadamkan dan dilenyapkan dari Qalb menunjukkan kebenaran bahwa Ia telah melupakan segala perkara yang lain selain Allah Ta’ala.


Tidak ada daya upaya untuk mengingat sesuatu apa pun bermakna bahwa pengetahuan dan segala sesuatu telah lenyap. 
Di dalam Fana, ilmu pengetahuan juga perlu dilenyapkan.



                                                            

PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI

JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...

KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN











AlkisAnnabila