TANBIIH

الحَمـْدُ للهِ المُــوَفَّـقِ للِعُـلاَ حَمـْدً يُوَافـــِي بِرَّهُ المُتَـــكَامِــلا وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَي النَّبِيِّ المُصْطَفَىَ وَالآلِ مَــــعْ صَـــحْــبٍ وَتُبَّـاعٍ وِل إنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا تَقْوَى الإلهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ وَتِبَاعُ أَهْوَى رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلاَ إن أخوف ما أخاف على أمتي اتباع الهوى وطول الأمل إنَّ الطَّرِيقَ شَرِيعَةٌُ وَطَرِيقَةٌ وَحَقِيقَةُ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلا فَشَرِيعَةٌ كَسَفِينَة وَطَرِيقَةٌ كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيقَةٌ دُرٌّ غَلاَ فَشَرِيعَةٌ أَخْذٌ بِدِينِ الخَالِقِ وَقِيَامُهُ بَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ انْجَلاَ وَطَرِِيقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطَ كَالوَرَع وَعَزِيمَةُ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاَ وَحَقِيقَةُ لَوُصُولُهِ لِلمَقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُورُ التّجَلِّي بِانجَلاَ مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق

hiasan

BELAJAR MENGKAJI HAKIKAT DIRI UNTUK MENGENAL ILAHI
Tampilkan postingan dengan label pencari kebenaran ilahi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pencari kebenaran ilahi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Februari 2012

Mutiara Hikmah dari Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili

Mutiara Hikmah dari Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili

Sayyidina Syeikh Abul Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Asy Syadzili Al Maghribi Al-Hasani Al Idrisi lahir di Ghamarah, desa dekat Sabtah, Maroko, Afrika Utara pada tahun 591 H / 1195 M. Sebutan Asy Syadzili itu sendiri, menurut sebagian ulama adalah daerah tempat dimana beliau banyak menimba ilmu saat mudanya.


Beliau secara nasab bersambung hingga Rasulullah SAW melalui puterinya Sayyidatuna Fatimah Az-Zahrah. Keistimewaan nasab ini tampak dalam budi pekerti beliau yang indah lagi terpuji dan mengagumkan banyak orang, sehingga mereka banyak mengambil pelajaran dan hikmah dari beliau.


Pada masa kecilnya, beliau sudah dibekali oleh orang tuanya dasar-dasar ajaran agama, kemudian berguru kepada ulama dan sufi besar pada masa itu, yakni Syeikh Abdul Salam bin Masyisyi. Dari gurunya ini pula, kemudian beliau dikirim kepada ulama besar yang tinggal di Syazilia, Tunisia.
Keberangkatan beliau ke Syazilia ini merupakan awal dari pengembaraan sufistiknya. Hingga setelah mendapatkan banyak ilmu dari gurunya di Syazilia, beliau ditugaskan gurunya untuk mengembangkan ilmunya di Iskandaria, Mesir.


 Sebelum pindah untuk berguru ke Syazilia, nama Syekh Abul hasan Asy Syazili sudah demikian harumnya; karena itu berita kedatangan beliau telah mengundang perhatian masyarakat, sehingga mereka menantikan kedatangan beliau. Demi mendengar hal itu, maka dengan ditemani oleh Syekh Abu Muhammad Abdullah bin Salamah, beliau memilih jalur lain dab mengasingkan diri di Pegunungan Zagwan untuk bisa berhubungan secara sembunyi-sembunyi dengan gurunya di Syaziliah.


Begitulah setelah lama berkhalwat di Zagwan; pada akhirnya beliau diperintahkan gurunya agar turun gunung dan berdakwah di masyarakat. Sudah barang tentu masyarakat yang ingin melihat dan berguru kepadanya datang berduyun-duyun, bahkan diantara mereka banyak para pejabat Negara yang hadir. Setelah itu beliau diutus gurunya ke Iskandaria.



Dan rupanya kota ini menjadi akhir dari pengembaraan beliau, sebab disitu pula; setelah lama membimbing masyarakat, beliau akhirnya wafat dan dimakamkan disana.
Selama berada di Tunisia, beliau bersahabat dan banyak berdiskusi dengan para Ulama dan kaum Sufi besar disana. Di antara mereka terdapat :

• Syekh Abul Hasan Ali bin Makhluf As Syazili
• Abu Abdullah Al Shabuni
• Abu Muhammad Abdul Aziz Al-Paituni
• Abu Abdillah Al Binai Al Hayah
• Abu Abdillah Al-Jarihi

Sedangkan diantara murud-murid beliau di Tunisia, dimana sebagian mereka adalah para Ulama kenamaan’ yaitu :

• Izzudin bin Abdul Salam
• Taqiyudin bin Daqiqi’id
• Abul Adhim Al-Munziri
• Ibnu Shaleh
• Ibnu Hajib
• Jamaluddin Usfur
• Nabiuddin bin Auf
• Muhyiddin bin Suraqah
• Ibnu Yasin

Diantara kemuliaan beliau, sebagaimana kesaksian sahabat seperjalanannya, bahwa diutusnya Syekh Abul Hasan Ali As Syazili oleh gurunya agar berangkat menuju Iskandaria, karena di kota itu telah menunggu 40 Waliyullah untuk meneruskan pelajaran kepada beliau.

Dasar-dasar Pemikiran Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili
• Seseorang yang ingin mendalami ajaran tasawuf, maka terlebih dahulu harus mendalami dan memahami ajaran Syari’ah.
• Beliau mengajarkan ajaran Tasawuf kepada murid-muridnya dengan menggunakan 7 kitab; yaitu :

1. Khatam Al Auliyah karya Al Hakim At Tirmidzi ( menguraikan tentang masalah kewalian dan Kenabian )
2. Al Mawaqif wa Al Mukhatabah karya Syekh Muhammad bin Abdul Jabbar An Nifari ( menguraikan tentang kerinduan Tokoh sufi kepada Allah swt )
3. Qutub Qulub karya Abu Tholib Al Makki ( menguraikan pandangan tokoh sufi yang menjelaskan Syari’at dan hakikat bersatu )
4. Ihya Ulumuddin karya Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali ( Paduan antara Syari’at dan Tasawuf )
5. Al Syifa’ karya Qadhi Iyadh ( dipergunakan untuk mengambil sumber Syarah-syarah dengan melihat tasawuf dari sudut pandang Ahli Fiqih )
6. Ar Risalah Qusyairiyah karya Imam Qusyairi ( dipergunakan beliau untuk permulaan dalam pengajaran Tasawuf )
7. Ar Muhararul Wajiz dan Al Hikam karya Ibnu Aththa’illah ( melengkapi pengetahuan dalam pengajian )

Wafatnya Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili

Beliau wafat pada tahun 656 H / 1258 M di Homaithira, Mesir. Hingga kini makamnya masih selalu diziarahi, baik oleh pengikut tarekat Syaziliyah atau bukan; yang menganggapnya sebagai waliyullah.
Karya Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili

• Majmu’atul Ahzab ( Kumpulan Hizib-wirid )
• Mafakhirul ‘Aliyah
• Al Amin
• As Sirrul Jalil fi Khawashi Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil
• Hizbus Syadzili ( partai terkenal di Afrika )

Pendapat Ulama tentang Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili

• Al-Manawi berkata : ketika ditanya orang siapa Syekh nya; Syekh Abu Hasan Ali menjawab : “Adapun pada masa lalu, Syekh Abdus Salam Masyisy, sekarang aku minum dari sepuluh lautan, lima diantaranya di langit dan lima di bumi.”
• Al-Mursi berkata : “Allah swt pernah membukakan tabir pemandanganku, maka Ku lihat Syekh Abu Madyan bergantung di tiang Arasy. Aku mengajukan pertanyaan :
”Berapa banyak ilmu anda?”
Dia menjawab :”71”
Aku bertanya lagi : “Apa Jabatanmu?”
Dia menjawab :”Khalifah keempat dan pemimpin 7 wali Abdal
Kutanya lagi :”Bagaimana pendapatmu tentang Abu Hasan
Asy-Syazili?”
Dia menjawab :”Dia lebih dari padaku dengan 40 Ulama, dia
Adalah samudera tidak bertepi.”
• Abu Abdullah As-Syatibi berkata : “ Aku setiap malam mengadakan hubungan dengan Syekh Abu Hasan beberap kali. Aku mohon berbagai hajat kepada Allah swt, dengan perantaraannya. Ternyata hajatku dikabulkan Allah swt. Pada suatu malam, aku bermimpi bertemu Rasulullah saw. Aku bertanya kepada beliau :

”Wahai Rasulullah saw, relakah rasul kepada Abu Hasan. Aku selalu bermohon kepada Allah swt dengan perantaraan beliau, ternyata doa’ ku makbul. Bagaimana pendapat Rasulullah tentang dirinya?

Beliau bersabda :

“Abu Hasan itu adalah putraku, secara rohaniah. Anak adalah bagian dari Ayah. Siapa yang berpegang kepada sebagian, berarti sesungguhnya berpegang pada semua. Apabila kamu meminta kepada Allah swt dengan perantaraan Syekh Abu Hasan, maka sesungguhnya kamu telah memohon kepada Allah swt dengan perantaraanku.”

Wasiat dan Nasihat Syekh Abul Hasan Ali Asy Syadzili

• Jika Kasyaf bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah, tinggalkanlah Kasyaf dan berpeganglah pada Al Qur’an dan Sunah. Katakana pada dirimu : Sesungguhnya Allah swt menjamin keselamatan saya dalam kitabnya dan sunah Rasulnya dari kesalahan, bukan dari Kasyaf, Ilham, maupun Musyahadah sebelum mencari kebenarannya dalam Al Qur’an dan Sunah terlebih dahulu.

• Kembalilah dari menentang Allah swt, maka engkau menjadi Ahli Tauhid. Berbuatlah sesuai dengan rukun-rukun Syara’, maka engkau menjadi Ahli Sunah. Gabungkanlah keduanya, maka engkau menuju kesejatian.

• Jika engkau menginginkan bagian dari anugerah para wali, berpalinglah dari manusia kecuali dia menunjukkanmu kepada Allah swt dengan cara yang benar dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah.

• Seandainya kalian mengajukan permohonan kepada Allah swt, sampaikan lewat Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali. Kitab Ihya Ulumuddin Al Ghazali mewariskan Ilmu; sedangkan Qutub Qulub Al Makki mewariskan cahaya kepada kalian.

• Ketuklah pintu zikir dengan hasrat dan sikap sangat membutuhkan kepada Allah swt melalui kontemplasi, menjauhkan diri segala hal selain Allah swt. Lakukanlah dengan menjaga rahasia batin, agar jauh dari bisikan nafsu dalam seluruh nafas dan jiwa, sehingga kalian memilki kekayaan rohani. Tuntaskan lisanmu dengan berzikir, hatimu untuk tafakur dan tubuhmu untuk menuruti perintah-Nya. Dengan demikian kalian bisa tergolong orang-orang saleh.

• Manakala zikir terasa berat di lisanmu, sementara pintu kontemplasi tertutup, ketahuilah bahwa hal itu semata-mata karena dosa-dosamu atau kemunafikan dalam hatimu. Tak ada jalan bagimu kecuali bertobat, memperbaiki diri, hanya menggantungkan diri kepada Allah swt dan ikhlas beragama

Selasa, 01 November 2011

PEMAHAMAN TENTANG FANA'


Kebanyakan kitab-kitab tua seperti Kitab Syarah Hikam Ibni Athoillah As-Kandariah, Kitab Manhal-Shofi, Kitab Addurul-Nafs dan lain-lain menggunakan istilah-istilah seperti 'binasa' dan 'hapus' untuk memperihalkan tentang maksud fana.


Ulama-ulama lainnya yang banyak menggabungkan beberapa disiplin ilmu lain seperti falsafah menggunakan istilah-istilah seperti 'lebur', 'larut', 'tenggelam' dan 'lenyap' dalama usaha mereka untuk memperkatakan sesuatu tentang 'hal' atau 'maqam' fana ini.

Di dalam Kitab Arrisalah al-Qusyairiah disebutkan arti fana' itu ialah :

Lenyapnya sifat-sifat basyariah (pancaindera insan)

Maka siapa yang telah diliputi Hakikat Ketuhanan sehingga tiada lagi melihat daripada Alam baru, Alam rupa dan Alam wujud ini, maka dikatakanlah ia telah fana' dari Alam Cipta. 


Fana' bererti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiah lahir dan maksiat batin) dan kekalnya sifat-sifat terpuji(mahmudah). Bahwa fana' itu iyalah lenyapnya segala-galanya, lenyap af'alnya/perbuatannya (fana fil af'al), lenyap sifatnya (fana fis-sifat), lenyap dirinya (fan fiz-zat)

Oleh karana inilah ada di kalangan ahli-hali tasawuf berkata:

"Tasawuf itu ialah mereka fana' dari dirinya dan baqa' dengan Tuhannya kerena kehadiran hati mereka bersama Allah".

Sahabat Rasulullah yang banyak memperkatakan tentang 'fana' iyalah Sayyidina Ali, salah seorang sahabat Rasulullah yang terdekat yang diiktiraf oleh Rasulullah sebagai 'Pintu Gedung Ilmu'. 


Sayyidina Ali sering memperkatakan tentang fana'. Antaranya :

"Di dalam fan'aku, leburlah kefana'anku, tetapi di dalam kefana'an itulah aku mendapatkan Engkau dalam kebaqo'anMu sendiri".

Demikianlah 'fana' ditanggapi oleh para kaun sufi secara baik, bahkan fana itulah merupakan pintu kepada mereka yang ingin menemukan Allah (Liqa Allah) bagi yang benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk bertemu dengan Allah (Salik).


Firman Allah yang bermaksud:

"Maka barangsiapa yang ingin akan menemukan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amalan Sholeh dan janganlah ia mempersekutukan siapapun dalam beribadat kepada Allah (Surah Al-Kahfi:)

Untuk mencapai liqa Allah dalam ayat yang tersebut di atas, ada dua kewajiban yang mesti dilaksanakan iaitu:

Pertamanya mengerjakan amalan sholeh dengan menghilangkan semua- sifat-sifat yang tercela dan menetapkan dengan sifat-sifat yang terpuji iaitu Takholi dan Tahalli.

Keduanya meniadakan/menafikan segala sesuatu termasuk dirinya sehingga yang benar-benar wujud/isbat hanya Allah semata-mata dalam beribadat. Itulah artinya memfana'kan diri.

Para Nabi-nabi dan wali-wali seperti Sheikh Abu Qasim Al-Junaid, Abu Qadir Al-Jailani , Imam Al-Ghazali, Ab Yazid Al-Busthomi sering mengalami keadaan "fana'" fillah dalam menemukan Allah.


Umpamanya Nabi Musa alaihisalam ketika ia sangat ingin melihat Allah maka baginda berkata yang kemudiannya dijawab oleh Allah Taala seperti berikut;

"Ya Tuhan, bagaimanakah caranya supaya aku sampai kepada Mu? Tuhan berfirman: Tinggalkan dirimu/lenyapkan dirimu(fana), baru kamu kemari."

2. Kata-kata Hikmah Dari Wali-wali Allah yang telah mengalami FANA

Ada seorang bertanya kepada Abu Yazid Al-Busthomi;

"Bagaimana tuan habiskan masa pagimu?". Abu Yazid menjawab: "Diri saya telah hilang(fana) dalam mengenang Allah hingga saya tidak tahu malam dan siang".

Satu ketika Abu Yazid telah ditanyai orang bagaimanakah kita bisa mencapai Allah. 
Beliau telah menjawab dengan perkataanya:

"Buangkanlah (fana'kan) diri kamu.
Di situlah terletak jalan menuju Allah. 


Barangsiapa yang melenyapkan(fana) dirinya dalam Allah, maka didapati bahwa Allah itu segala-galanya".Beliau pernah menceritakan sesuatu tentang fana ini dengan katanya;

Apabila Allah memfanakan saya dan membawa saya baqa dengaNya dan membuka hijab yang mendinding saya dengan Dia, maka saya pun dapat memandangNya dan ketika itu hancur leburlah pancainderaku dan tidak dapat berkata apa-apa. Hijab diriku tersingkap dan saya berada di keadaan itu beberapa lama tanpa pertolongan sebarang panca indera.


Kemudian Allah kurniakan saya mata Ketuhanan dan telinga Ketuhanan dan saya dapat dapati segala-galanya (mahluk / alam) adalah di dalam Dia juga."

Al-Junaid Al-Bagdadi yang menjadi Imam Tasawuf kepada golongan Ahli Sunnah Wal-Jamaah pernah membicarakan tentang fana' ini dengan kata-kata beliau seperti berikut:

Kamu tidak mencapai baqa(kekal dengan Allah) sebelum melalui fana' (hapus diri /lebur dalam ketiadaan diri) Membuang segala-galanya kecuali Allah dan 'mematikan diri' iyalah fana' dalam kesufian.

Seorang itu tidak akan mencapai Cinta kepada Allah (mahabbah) hingga dia memfana'kan dirinya. Percakapan orang-orang yang cinta kepada Allah itu pandangan orang-orang biasa adalah dongeng saja. 

3. Himpunan Kata-kata Hikmat Tentang Fana'

A. Sembahyang orang yang cinta (mahabbah) iyalah memfanakan diri sementara sembahyang orang awam ialah rukuk dan sujud.

B. Setengah mereka yang fana' (lupa diri sendiri) dalam satu tajali dzat dan kekal dalam keadaan itu selama-lamanya. Mereka adalah Majdzub yang hakiki.

C. Sufi itu Awalnya satu titik air dan menjadi lautan. Fana'nya diri itu meluaskan keUpayaanNya. Keupayaan setitik air menjadi keupayaan lautan.

D. Dalam keadaan fana, wujud Salik yang terhad itu dikuasai oleh wujud Allah yang Mutlak. Dengan itu Salik tidak mengetahui dirinya dan benda-benda lain.


Inilah peringkatWilayah(Kewalian). Perbedaan antara Wali-wali itu iyalah disebabkan oleh perbedaan tempo & masa dalam pemahaman keadaan ini. Ada yang merasakan keadaan fana' itu satu saat, satu jam, ada yang satu hari an seterusnya. Mereka yang dalam keadaan fana' seumur hidupnya digelar majdzub.


Mereka masuk ke dalam satu suasana dimana menjadi mutlak.

E. Kewalian ialah melihat Allah melalui Allah. Kenabian ialah melihat Allah melalui makhluk. Dalam kewalian tidak ada bayang makhluk yang wujud.
Dalam kenabian makhlik masih nampak di samping memerhati Allah. Kewalaian iyalah peringakat fana' dan kenabian iyalah peringkat baqa'

F. Tidak ada pandangan yang pernah melihat Tajalinya dzat.
Jika ada pun ia mencapai Tajali ini, maka ianya binasa dan fana kerana Tajali dzat melarutkan semua cermin pendzohiranNya semata. 
Firman Allah yang bermaksud :
Sesungguhnya Allah meliputi segala-galanya. (Surah Al-Fadhilah:54)

G. Tajali bererti menunjukkan sesuatu pada diriNya dalam beberapa dan berbagai bentuk. Umpama satu biji benih menunjukkan dirinya sebgai beberapa ladang dan satu unggun api menunjukkan dirinya sebagai beberapa unggun api.

H. Wujud alam ini fana (binasa) dalam wujud Allah.


Dalilnya ialah Firman Allah dalam Surah An-Nur:35 yang bermaksud;

"Cahaya atas cahaya, Allah membimbing dengan cahayanya sesiapa yang dikehendakinya." dan "Allah adalah cahaya langit dan bumi."

I. Muraqobah adalah memfana'kan hamba akan afa'alnya dan sifatnya dan dzatnya dalam afa'al Allah, sifat Allah dan dzat Allah.

J. Al-Thomsu atau hilang iaitu hapus segala tanda-tanda sekalian sifat hamba kembali pada sifat Allah. Maka itu salah satu bagian daripada fana'.

5. Tajuk-tajuk yang berkaitan dengan Fana'

Mikraj Muhammad Alamat Sampai Kepada Maqam Yang Tinggi

4. Pesanan Dari Suluk

Hakikat tidak akan muncul sewajarnya jika syariat dan thorikat belum betul lagi kedudukannya. Huruf-huruf tidak akan tertulis dengan betul jika pena tidak betul keadaannya.

Dari itu saudara-saudaraku anda seharusnya banyak menuntut dan mendalami ilmu-ilmu agama yang berkaitan dengan syariat , usuluddin dan asas tasauf untuk mendekatkan diri dengan Allah




Al-Fana' dan al-Baqa' (Abu Yazid al-Busthomi ) 

Pokok Pemikiran Abu Yazid al-Busthami


Abu Yazid al-Bisthami adalah tokoh sufi pertama yang memperkenalkan konsep al-fana dan al-baqa serta konsep ittihad. Fana adalah sirnanya segala sesuatu selain Allah dari pandangan seorang sufi.


Di mana ia tidak lagi menyaksikan kecuali hakekat yang satu yaitu Allah. Dan baqa adalah merupakan konsekuensi dari adanya fana, ketika seseorang bersatu dengan Tuhan (ittihad), dalam hal ini baqa mengandung pengertian kekal dalam kebaikan. Sehingga apa yang diupayakannya bisa tercapai yaitu bisa bersatu dengan Tuhan, yang dalam bahasa Abu Yazid disebut dengan istilah ittihad.

Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu, dan al-fana jauh lebih berbeda dengan al-fasad (rusak), fana artinya tidak kelihatannya sesuatu, sedang al-fasad adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain.


Konsep ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Sina di mana ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan bersifat alam, di mana ia mengambil konklusi bahwa keberadaan benda alam itu berdasarkan permulaannya, bukan perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lain, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana bukan dengan fasad.

Adapun makna fana dalam pandangan kaum sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya dan dari makhluk lainnya sebenarnya dirinya tetap sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya,

Dalam konteks lain fana mengandung pengertian gugurnya sifat-sifat tercela, makna lainnya bergantung sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan

Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan eksistensi sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana an-nafs). Fana an-nafs adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan dzat Allah

Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan bahwa ia telah berada dekat dengan Tuhan, hal ini dapat dilihat dari kalimat-kalimat bersayap yang belum dikenal sebelumnya (syathahat) yang dia ungkapkan, seperti : “Tidak ada Tuhan selain Aku. Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku”.

Al-Bisthami pernah mengatakan bahwa ketika ia naik haji untuk pertama kali, yang ia lihat adalah bangunan Ka’bah dan dirinya, kemudian ia naik haji lagi, maka selain melihat bangunan Ka’bah dan dirinya, ia merasakan Tuhan Ka’bah. Pada haji ketiga, ia tidak merasakan apa-apa lagi kecuali Tuhan Ka’bah.

Tentang kefanaan Abu Yazid al-Bisthami ini pernah dikisahkan oleh sahabatnya. dzunnun al-Mishri mengutus untuk menemui Abu Yazid, ketika utusan itu sampai, diketuklah pintu rumah Abu Yazid, terjadilah percakapan antara tamu dengan Abu Yazid :

Abu Yazid : “Siapa di luar?”

Utusan : “ Kami hendak berjumpa dengan Abu Yazid”

Abu Yazid : “Abu Yazid siapa? Dimana dia? Sayapun mencari Abu Yazid

Rombongan utusan itupun pulang dan kemudian memberitahukan kepada dzunnun. Mendengar keterangan itu dzunnun berkata : “Sahabatku Abu Yazid telah pergi kepada Allah dan dia sedang fana"

Kejadian yang menimpa Abu Yazid ini disebabkan keinginannya untuk selalu dekat dengan Tuhan. Bahkan ia selalu berusaha untuk mencari jalan agar selalu berada di hadirat Tuhan. Ia pernah berkata : “Aku bermimpi melihat Tuhan”, Akupun bertanya : “Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu?”. Ia menjawab : “Tinggalkan dirimu dan datanglah”.

Menurut Abu Yazid ada empat situasi gradual dalam proses fana, yakni :

-Tingkatan fana yang paling rendah yaitu fana yang dicapai atau dihasilkan melalui mujahadah.

-Tingkatan fana terhadap kenikmatan surga dan kepedihan siksa neraka

-Fana terhadap pemberian Allah

-Fana terhadap fana itu sendiri (fana al-fana)

Apabila seseorang telah mencapai fana pada tahap akhir, seseorang akan secara totalitas lupa terhadap segala sesuatu yang sedang terjadi padanya. Hatinya sudah tidak lagi terisi oleh kesan apapun yang ditangkap oleh panca indera

Konsekuensi dari terjadinya fana itu, maka terjadi pulalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal. Sedangkan dalam kaca mata sufi baqa mengandung makna, kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia.


Sedangkan menurut Abu Yazid baqa adalah hilangnya sifat-sifat kemanusiaan yang dirasakan hanyalah sifat-sifat Tuhan yang kekal dalam dirinya dengan kata lain merasa hidupnya selaras dengan sifat-sifat Tuhan,sistem kerja fana-baqa ini selalu beriringan, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli tasawuf

اِذَا اَشْرَقَ نُوْرُ الْبَقَاءِ فَيَفْنَ مَنْ لَمْ يَكُنْ وَيَبْقَ مَنْ لَمْ يَزَلْ

Apabila nampaklah Nur kebaqa'an, maka fana'lah yang tiada, dan baqalah yang kekal”

Kata al-Bisthami, “Ia telah membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup”, aku berkata : bila pada diriku adalah kehancuran (fana) sedang gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup (baqa)”. Al-Busthomi juga berkata : “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, sampai aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku hidup.

Untuk mencapai station al-baqa ini seseorang perlu melakukan perjuangan dan usaha-usaha yang keras dan kontinyu, seperti dzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji.

Jika dilihat dari sisi lain, yang disebut fana dan baqa' itu dapat pula disebut sebagai ittihad.

Ittihad

Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana dalam pengertian tersebut di atas, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa.


Di dalam perpaduan dirinya ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad

Faham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari faham fana dan baqa. Ungkapan Bayazid berikut ini akan memperjelas pengertian ittihad. Bayazid berkata

رفعنى الله عزة فأ قامنى بين يديه وقال لى يا أبا يزيد : ان خلقى يحبون ان يروك فقلت زينى بوحد انيتك والبسنى انا نيتك وارفعنى الى احاديتك حتى اذا ارانى خلقك. قالوا رايناك فتكون انت ذاك ولا اكون اناهناك.

Dan pada kesempatan lain beliau berkata : “Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan ia berkata : ‘Hai Zayid, makhluk-Ku ingin melihat engkau’.


Aku menjawab : ‘Kekasihku, aku ingin melihat mereka, tetapi jika itulah kehendak-Mu, maka aku tak berdaya menentang kehendak-Mu, hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata : “Telah kami lihat Engkau”. 


Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah engkau, karena itu aku tak ada di sana”.

Situasi ittihad itu diperjelas lagi dalam ungkapannya : “Tuhan berkata : semua mereka kecuali Engkau, adalah makhlukku. Akupun berkata : Aku adalah engkau, Engkau adalah Aku”.

Ungkapan kata Abu Yazid ini telah mendapat tanggapan, bahkan kecaman dari para ulama di zamannya.


Bagi para ulama yang toleran menilainya sebagai suatu penyelewengan, tetapi bagi ulama yang ekstrim menilainya sebagai suatu kekufuran.


Namun ada pula yang menilainya merupakan kasus tertentu bagi seorang sufi dan kata-kata yang dilontarkan adalah kata-kata yang terlontar di kala kondisi kejiwaannya tidak stabil.


Dalam kondisi seperti ini, seorang sufi tidak sepenuhnya bisa mengandalkan diri pribadinya, dan dia pada saat itu tidak mampu lagi mengendalikan dirinya


----------------------


Abu Yazid, seperti kita ketahui adalah sufi pertama yang memunculkan faham fana dan baqa dalam tasawuf.


Dia selalu ingin selalu dekat (ber-taqarrub) dengan Tuhan. Karena keinginan yang mendalam untuk selalu dekat dengan Tuhan, mengakibatkan seakan-akan Abu Yazid merasa bersatu dengan Tuhan.

Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, bahwa ia telah dekat dengan sang khaliq, ini dapat dicermati dari syathahat yang diucapkannya, dan dalam hal ini ucapan tersebut tidak dapat dipegangi dan dikenakan hukum.


Karena orang yang berkata pada waktu itu sedang mabuk. Mabuk oleh fananya, oleh tiada sadar diri lagi, sebab tenggelam dalam tafakkur. 


Ungkapan Abu Yazid tentang fana dan ittihad menurut al-Taftazani : “memang terlalu berlebih-lebihan”, antara lain seperti yang diucapkan Abu Yazid : “Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali aku, maka sembahlah Aku”. 


Yazid juga pernah mengatakan : Tuhan berfirman : “Semua mereka, kecuali Engkai adalah Aku, dan Aku adalah Engkau"

Secara harfiah ungkapan-ungkapan Bayazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan.


Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. 


Dengan ucapannya Aku adalah Engkau bukan ia maksudkan akunya Bayazid pribadi. 


Dialog yang terjadi pada waktu itu pada hakekatnya adalah monolog. 


Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan melalui lidah Bayazid yang sedang dalam keadaan fana an-nafs. Pada saat bersatunya Bayazid dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada pada ketika itu hanya satu wujud, yaitu Tuhan, sehingga ucapan-ucapannya itu pada hakikatnya adalah kata-kata Tuhan. Dalam hal ini Bayazid menjelaskan :

لانه هو الذى يتكلم بلسانى اما انا فقد فنلبت

Sebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya, sedangkan saya sendiri dalam keadaan fana”.

Oleh karena itu sebenarnya Bayazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan seperti apa yang dilakukan oleh Fir’aun.


Proses ittihad ini menurut Bayazid adalah naiknya jiwa manusia kehadirat Ilahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah.


Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang terlihat.

Sudah banyak usaha dilakukan untuk menjelaskan kepribadian dan ucapannya yang penuh teka-teki yang terbaik kata Schimmel, adalah sebuah telaah pendek namun mendalam yang dilakukan oleh Helmut Ritter, R.C. Zaehner telah menekankan kemungkinan adanya pengaruh India pada Abu Yazid.


Tampaknya R.A. Nicholson juga cenderung berpendapat bahwa Abu Yazid, khususnya faham fana dipengaruhi oleh ajaran India yang diterima dari Abu Ali al-Sindi Annemarie Schimmel meragukan pendapat yang mengatakan bahwa Abu Yazid menerima ajaran dari Abu Ali al-Sindi
Memang di kalangan para sufi sendiri terjadi perbedaan pendapat seperti yang pernah penulis singgung namun demikian menurut Ust. Drs. Moh. Saifullah al-Aziz, di dalam bukunya Risalah Memahami Tasawuf, kita tidak bisa begitu saja khususnya di kalangan mujtahid untuk terus berkiprah berusaha menggali tasawuf dari sumber aslinya untuk mencari kemurnian tasawuf itu hingga saat ini, seperti Muhammad Iqbal, Prof. Dr. H. Abdul Karim Amrullah (HAMKA) dan sebagainya. 


Dan hasil pengkajian mereka itulah, maka ajaran tasawuf seperti fana dan ittihad dan sejenisnya bisa dikaji ulang untuk dikembalikan pada bentuk aslinya pada masa Nabi dan para sahabat

Perlu juga diketahui bahwa paham ini jauh berbeda dengan faham hulul-nya al-Hallaj. Di mana dalam faham hulul ini Tuhan lah yang mencari dan mengambil tempat tubuh manusia tertentu untuk ditempatinya, dengan kata lain Tuhan sendiri yang melebur dalam diri manusia, setelah manusia telah mampu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana, sedangkan kalau ittihad, manusia yang berusaha sendiri untuk menarik diri Tuhan melalui metode al-fana.




Haqiqat Fana 


FANA QALB

                                                       

DALAM Wilayah Sughro (kecil), seseorang Murid Salik akan mengalami Istighraq yakni merasa bahwa dirinya seakan akan tenggelam dan Sukr yakni merasa mabuk cintanya terhadap dzat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalam Wilayah ini, hati akan terputus hubungan secara keseluruhan dengan segala sesuatu yang selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala sama ada pada pengetahuan mahupun kecintaan terhadap sesuatu dan hatinya akan lupa secara keseluruhan terhadap sesuatu yang selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kaifiat keadaan ini dinamakan Fana' Qalb.

Penyair Sufi bersyair,


Key Bud Khud Za Khud Juda Mandah Man Wa Tu Raftah Wa Khuda Mandah


"Seseorang yang sudah meninggalkan dirinya ke manakah haluannya?
aku dan dirimu sudah pergi dan yang tinggal hanyalah Alloh.

Fana Qalb akan menghasilkan Tajjalliyah Af’aliyah Ilahiyah dalam diri Salik yakni dalam kesadaran dan khalayannya dia akan melihat bahwa segala Af’al tindakan dan perlakuan segala sesuatu yang selain Allah adalah kesan daripada Af’al tindakan dan perlakuan Haq Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan keadaan ini akan Ghalabah menguasai dirinya.

Kemudian, segala dzat dan sifat Wujud Mumkinat akan dianggapkan olehnya sebagai penzahiran Dzat dan Sifat Haq Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka, pada waktu itu Salik sedang berdiri di pintu Tauhid Wujudi ataupun masyhur dengan sebutan Wahdatul Wujud yakni menganggap bahwa segala tindakan yang wujud pada Mumkinat itu adalah merupakan ombak dari tindakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dzat yang Wajibul Wujud.

Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih menyatakan bahwa Fana' terbagi empat keadaan seperti berikut:

1. Fana Kholaq - Segala pengharapan Murid dan rasa ketakutannya terhadap selain Allah akan menjadi lenyap.

2. Fana Hawa - Hati Murid hanya berkendakkan dzat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan dalam dirinya tidak berkehendak kepada segala sesuatu yang selain Allah.

3. Fana Irodah - Segala keinginan dalam hati Murid menjadi tiada, seumpama orang yang mati.

4. Fana Fi’il - Murid mengalami Fana dalam perbuatan dan perlakuan, maka segala penglihatannya, pendengarannya, percakapannya, makan dan minumnya, berjalannya dan berfikirnya dia akan merasakan bahwa segalanya itu adalah merupakan perbuatan dan perlakuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata-mata.

Dalam sebuah Hadits Qudsi ada dinyatakan bahwa apabila seseorang hamba berusaha mendekatkan dirinya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala melanjutkan dengan amalan Nawafil sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikannya sebagai kekasihNya, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menjadi pendengarannya yang dia dapat mendengar denganNya dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menjadi penglihatannya yang dia dapat melihat denganNya dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menjadi tangannya yang dia dapat memegang denganNya dan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala akan menjadi kakinya yang dia dapat berjalan denganNya.

HAQIQAT FANA

Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih telah menyatakan di dalam
kitabnya Ma’arif Laduniyyah pada Makrifat 26 berkenaan Fana dan Latifah sebagai berikut:

“Fana berarti melupakan semua perkara kecuali Allah Ta’ala.


Setiap satu dari kelima-lima Latifah dalam Alam Amar terkandung bayangan gambaran dan takluk keasyikan di dalam tubuh badan manusia. Kelima-limanya Latifah itu telah diberikan nama sebagai Qalb, Ruh, Sirr, Khafi dan Akhfa.


Kebanyakan Aulia Allah tidak dapat membedakannya di antara satu dengan yang lain lalu menggelarkan kesemuanya sebagai Ruh. 


Apabila dimaksudkan Ruh, maka kelima-lima hal ini juga turut difahami.
Ruh iaitu suatu Latifah, sudah pun mengenali Allah Ta’ala sebelum ia digabungkan dengan tubuh badan jasmani. Ia memiliki sedikit keinginan, pengetahuan dan cinta terhadap Allah Ta’ala. Ia telah diberikan tenaga dan kemampuan untuk mencapai ketinggian dan terpuji.


Akan tetapi ia tidak akan dapat mencapai kecemerlangan selagi ia tidak bergabung dengan tubuh badan jasmani.Untuk maju menuju cahaya hati, ia perlu disatukan dengan tubuh badan.
Untuk maksud ini, pada mulanya Ruh telah diberikan takluk keasyikan terhadap tubuh badan.
Kemudian, ia telah diberikan kebenaran untuk menuju ke tubuh badan lalu ia tercampak ke tubuh badan.


Dengan keadaannya yang halus dan suci, orang yang fana' tenggelam ke dalam tubuh badan manusia. Ia menjadi tidak dikenali, tidak dikenali oleh tubuh badan. Ia lupa tentang dirinya. Ia terus menyangka dirinya adalah tubuh badan.orang yang fana' itu kehilangan dirinya di dalam tubuh badan. Karena itulah kebanyakan manusia menyangka diri mereka sebagai hanya tubuh badan. Tidak menyedari tentang kewujudan Ruh, mereka menafikannya.

Allah Ta’ala dengan sifatNya Yang Maha Mengasihani telah menghantar pesanan kepada manusia yaitu Ruh, bersambung dengan ruh Para Nabi dan Rasul ‘Alaihimussolatu Wassalam.


Dia mengajak mereka kepada DiriNya. Dia melarang mereka dari bergantung kepada tubuh badan yang gelap ini. Seseorang yang yang telah ditetapkan untuk memperolehi kebaikan yang kekal akan mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan ketergantungannya terhadap tubuh badan. 


Dia mengucapkan kesejahteraan kepadanya dan ia akan terus kembali ke atas pada tahap ketinggiannya yang sebenar-benarNya.

Cintanya terhadap asal-usulnya yang pernah dirasakannya sebelum bergabung dengan tubuh badan meningkat secara peringkat demi peringkat. Cintanya
terhadap benda yang bersifat sementara makin berkurangan.


Apabila dia melupakan keseluruhan tentang tubuh badan jasmaninya yang gelap, yang mana tiada lagi rasa asyik dan cinta yang tinggal, maka dia sudah mencapai fana tubuh badan.

Selanjutnya, dia perlu melepas satu dari dua langkah asas pada jalan Tasawwuf iaitu Fana dan Baqa. kemudian jika Allah menghendaki dan merahmatinya, dia akan mencapai peningkatan Ruhaniah lalu terus melupakan tentang dirinya.


Apabila ketidak sadaran ini meningkat, dia akan langsung melupakan terus tentang dirinya. Dia tidak akan lagi mengenali sesuatu apapun selain dari Allah Ta’ala.

Seterusnya dia akan mencapai Fana Ruh yang mana seterusnya dia perlu bergerak meneruskan langkahnya yang kedua.


Ruh datang ke dunia ini dengan keinginan untuk mencapai Fana yang kedua ini. Fana' tidak akan dapat dicapai tanpa datang ke dunia ini. Jika Latifah Qalb melepaskan kedua-dua langkah ini bersama-sama Ruh, ia akan mencapai Fana'nya sendiri bersama-sama dengan Ruh. 


Jika Nafsmenyertai Qalb dengan cara ini, ia juga akan disucikan, iaitu ia juga akan mancapai Fana'nya. Tetapi apabila Nafs telah mencapai tahap Qalb, jika ia tetap berada di situ tanpa berusaha mencapai peningkatan dan melepasi kedua-dua langkah ini, ia tidak akan dapat mencapai tahap ketidaksadaran. 


Ia tidak akan menjadi Mutmainnah atau jiwa yang tenang.
Seseorang yang telah mencapai Fana' Ruh mungkin tidak mencapai Fana' Qalb. 


Ruh ibarat bapak kepada Qalb dan Nafs pula ibarat ibu kepada Qalb. 


Jika Qalb mempunyai keinginan terhadap Ruh sebagai bapaknya dan memalingkan dirinya dari Nafs sebagai ibunya dan jika keinginan ini bertambah kuat dan menarik Qalb ke arah bapanya, maka ia akan mencapai darajatnya. 


caranya adalah dengan melepaskan kedua-dua langkah ini. 


Apabila Qalb dan Ruh mencapai Fana, Nafs tidak semestinya turut mencapai Fana.

Jika Nafs mempunyai keasyikan dan keinginan terhadap anaknya, dan jika keinginan ini semakin bertambah dan membuatkannya semakin dekat dengan anaknya yang telah mencapai darajat bapaknya, maka ibunya juga akan menjadi seperti mereka. 


Keadaan yang sama juga berlaku untuk mencapai Fana pada Latifah Sirr, Khafi dan Akhfa. Segala ingatan dan fikiran yang telah dipadamkan dan dilenyapkan dari Qalb hatinya menunjukkan kebenaran bahwa Ia telah melupakan segala perkara yang lain selain Allah Ta’ala. 


Tidak ada daya upaya untuk mengingat sesuatu apa pun bermakna bahwa pengetahuan dan segala sesuatu
telah lenyap.


Di dalam Fana, ilmu pengetahuan juga perlu dilenyapkan.”

Masyaikh berkata,

‘Ilm Sufi ‘Ain Dzat Haq Bud,
‘Ilm Haq U Khud Sifat Haq Bud.
‘Ilm Haq Dar ‘Ilm Sufi Gum Syawad,
In Sukhn Key Bawar Mardam Syawad.

Ilmu Sufi adalah mata air Ilmu Dzat Yang Haq,
Ilmu Haq pada mereka adalah sifat yang Haq.
Ilmu Haq dalam Ilmu Sufi telah lenyap,
Kebenaran perkataan ini ada dalam hati lelaki Sufi.

FANA FI SYEIKH

                                              



APABILA Zikir Rabitah ghalib ke atas seorang Murid yakni dirinya sudah tenggelam dengan dzikir Rabitah, maka dia akan melihat wajah Syeikhnya pada segala sesuatu dan keadaan ini dinamakan sebagai Fana Fi Syeikh.

Di dalam kitab Hidayatut Thalibin bahwa keadaan warid seperti ini juga
berlaku ke atas diri ketika mula-mula melakukan dzikir Rabitah sehinggakan beliau mendapati bahwa dari ‘Arash sehingga ke tanah dipenuhi dengan wajah Syeikhnya dan beliau melihat bahwa setiap pergerakan maupun diamnya adalah pergerakan dan diam Syeikhnya. 


Ketahuilah bahwa jalan Rabitah merupakan jalan yang paling dekat dari sekalian jalan. Banyak masalah ajaib dan sulit yg akan terlahir menuju jalan ini.

Syaikh Muhammad Ma’sum Rahmatullah ‘alaih telah berkata bahwa,
“Dzikir semata-mata tanpa Rabitah dan tanpa Fana Fi Syeikh tidak akan dapat menyampaikan kepada maksud dan Rabitah semata-mata dengan mengamati Adab Suhbah adalah mencukupi.”
Seseorang yang telah tenggelam dalam Fana Fi Syeikh akan sentiasa merasakan bahwa Syeikhnya sentiasa ada dalam dirinya, dalam setiap pergerakan dan perkataannya.


Yang diingatnya hanyalah alloh dengan bimbingan syeikhnya dan ini hanya akan berhasil dengan sempurna apabila ianya disertai dengan Mahabbah yaitu Cinta dan Kasih Sayang yang terhasil dari Rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Fana Fi Syeikh berarti meletakkan segala urusan perjalanan Keruhaniannya pada tangan Syeikhnya dan bersedia menurut segala anjuran, teguran, nasihat dan tunjuk ajar dari Syeikhnya. 


Fana Fi Syeikh akan membawa seseorang Murid itu ke arah ketaatan
terhadap Syeikh yang dianggap sebagai pemimpin dan pembimbing Ruhani bagi Murid.
Menurut Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih, apabila kelima-lima
Lataif Alam Amar telah disucikan dengan sempurna, Lathoif Alam Kholaq juga dengan sendirinya akan disucikan, kemudian dia akan memahami hakikat Daerah Imkan.


Untuk mencapai maqam ini, seseorang itu perlulah mancapai Fana Fi Syeikh.


Ini akan mengangkat hijabnya terhadap kefahaman tentang Daerah Imkan. Seseorang Murid yang Salik menuju Allah Subhanahu Wa Ta’ala perlu kembali kepada Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam karena Ruh kita terbit dari Ruh Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. 


Untuk kembali kepada Ruh Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, seseorang Murid itu perlu mengenali Ruh Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bersambung pada tali hayat dan bimbingan seorang Syeikh yang akan memberikannya beberapa petunjuk untuk menuju Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. 


Syeikh adalah Ulul Amri yang memelihara urusan Keruhanian Murid. Mentaati Syeikh berarti mentaati Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan ketaatan kepada Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bererti kita mentaati Allah
Subhanahu Wa Ta’ala.


Seseorang Murid yang Fana Fi syeikhnya sempurna, maka Syeikhnya hendaklah membimbingnya kepada Syari’at, Tariqat, Ma’rifat dan
Haqiqat Muhammadiyah sehingga Murid yang Salik itu tenggelam dalam lautan Fana Fi Rasul. Para Masyaikh menyatakan bahwa Fana Fi Syeikh adalah Muqaddimah bagi Fana Fi Rasul dan Fana Fillah. Setelah mencapai Fana Fi Syeikh, Murid perlu menuju Fana Fi Masyaikh terlebih dahulu dan seterusnya Fana Fi Rasul.

FANA FI MASYAIKH

                                                             



FANA Fi Masyaikh bererti seseorang Murid yang sudah mulai patuh pada Syeikhnya, maka hendaklah dia turut mematuhi sekelian Para Masyaikh dalam Silsilah karana segala limpahan Ruhaniah dan Faidhz adalah datang menerusi pertalian Batin mereka yang kukuh sehinggalah kepada Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Para Masyaikh adalah orang-orang yang menuruti kehidupan dzohir dan Batin Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. 


Mengasihi mereka bererti mengasihi Baginda Nabi
Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam karena Para Masyaikh adalah Para ‘Alim ‘Ulama dan mereka adalah Pewaris Nabi sehingga ke hari Qiyamat.
Para Masyaikh adalah orang-orang yang terdahulu menjalani kehidupan Tariqat Tasawwuf dan jasad mereka telah Fana manakala Ruh mereka kekal Baqa di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mereka adalah orang yang hidup dan matinya berada atas jalan Allah, berjuang untuk menegakkan Kalimah Allah yang Agung. Fana Fi Masyaikh adalah pintupintu jalan untuk menuju Fana Fi Rasul. 

‘Ilmuhu Atam.
FANA FI RASUL

FANA Fi Rasul berarti seseorang Murid yang tenggelam dalam Haqiqat Muhammadiyah setelah dia menyAdari bahwa Syeikhnya dan Para Masyaikhnya adalah bayangan kepada Ruh Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mana sekelian Ruh Mukmin bersumber darinya. Seseorang Murid akan mengalami rasa Cinta dan Kasih Sayang yang hebat terhadap Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu‘Alaihi Wasallam sehingga dia berusaha membawa kehidupannya selaras dengan kehendak kalimah:

MUHAMMADUR RASULULLAH.

Syeikh hendaklah membimbing Muridnya kepada Amalan Sunnah Nabawiyah yang dzohir mahupun yang Batin. Tiada satupun amalan yang kecil di dalam Sunnah
Nabawiyah bahkan kesemuanya adalah amat besar di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.


Seseorang Mukmin tidak akan mencapai derajat Iman yang sempurna sehinggalah segala Hawa dan Nafsunya tunduk sepenuhnya kepada Agama dan Sunnah Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.


Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam juga adalah Insan dan manusia biasa seperti kita yang memiliki Hawa dan Nafsu, namun Ruhnya telah disucikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Hawa Nafsunya juga telah ditarbiyah dan disucikan untuk menuruti kemauan Ruh.


Ruh Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah terbit dari Ruh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hubungan di antara keduanya amat rapat sehingga segala kecintaan dalam hati Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam hanyalah tertumpu kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ruh orang-orang yang beriman dengan Allah adalah terbit dari Ruh Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mereka hendaklah kembali kepada fitrah mereka yang asal iaitu fitrah Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menjadi sumber petunjuk bagi orang-orang beriman untuk menuju kepada Allah.


Orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala hendaklah mencintai Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam lebih daripada apa yang mereka cintai untuk diri mereka, ibu bapa mereka dan kaum keluarga mereka sendiri.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 31 yang bermaksud,“Katakanlah:


Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka turutilah aku (Muhammad Rasulullah Sallallahu‘Alaihi Wasallam), nescaya Allah akan mencintai kamu dan Dia akan mengampuni dosa-dosa kamu, dan Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”

Untuk mencapai Fana Fi Rasul, Salik perlu menanamkan dalam dirinya tentang kemuliaan, kehebatan dan keagungan Sunnah Nabi Muhammad Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam serta sentiasa beramal dengannya.


Kemuliaan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum adalah terhasil menerusi ketaatan mereka terhadap Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan kecintaan mereka untuk menuruti segala Sunnah Baginda Nabi Muhammad Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.


Maka itulah, Para Masyaikh menyuruh sekalian para pengikut mereka agar sentiasa berpegang teguh dengan amalan Sunnah Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam pada setiap masa dan keadaan. 


Semoga Allah memberikan kita Taufiq. Amin.

FANA FILLAH

FANA Fillah adalah suatu hal keadaan di mana Murid yang Salik itu merasa kehilangan dirinya dalam menyaksikan Musyahadah Keagungan dan Kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerusi Tajalli yang dilimpahkan oleh Allah

Subhanahu Wa Ta’ala ke dalam hatinya. Ianya terhasil menerusi dzikir kalimah Ismu dzat dan Nafi Itsbat yang banyak. Pintu hati tidak akan terbuka tanpa dzikir yang
banyak. Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan melimpahkan Tajalli Nama dzatNya bagi memperkenalkan Sifat-SifatNya dan Af’al perlakuan serta tindakanNya. 


Seseorang Salik yang baru mencapai Fana Fillah akan mengalami Ghalabah atau disebut keadaan Bey Khudi yakni merasakan bahwa dirinya telah hilang, berkeadaan tidak
tentu arah seolah-olah menggelabah dalam perasaannya. Sukar baginya mengungkapkan segala rahsia-rahsia Ketuhanan yang diperlihatkan secara Musyahadah di dalam hatinya. Dia akan merasai tenggelam dalam lautan Rahmat dan Kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.


Apabila terhasilnya Kaifiat ketika berzikir maka hendaklah memeliharanya, dan jika Kaifiat tersebut ghaib maka hendaklah teruskan berzikir sehingga Kaifiat kembali terhasil dan rasa kehadiran menjadi semakin teguh. Apabila Murid mencapai Jazbah Qabuliyat yakni tarikan penerimaan dari Allah Ta’ala, maka dia akan merasakan limpahan Faidhz dan hembusan Rahmaniyah dari Tuhan Yang Maha Pemurah melimpahi dirinya.

Kadang-kadang Faidhz akan terlimpah ke dalam hati secara tiba-tiba dan terhasilnya Warid pada hati, lalu menjadikannya dalam keadaan tidak tentu arah. Maka apabila kaifiat yang sedemikan itu berlaku secara berterusan, seseorang Murid itu hendaklah mengharap dan memohonpenghasilan Fana dan kesenantiasaan merasai kehadiran bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Fana Fillah juga diertikan sebagai Fana Fi dzat yang bermakna seseorang Salik itu tenggelam dalam lautan

kehadiran dzat yang meliputi segala sesuatu. Apabila seseorang itu tenggelam dalam lautan dzat yang menguasai dan meliputi segala sesuatu, maka pandangannya tidak akan melihat sesuatu yang lain selain dzatNya yang Maha Berkuasa dan kekuasaanNya meliputi setiap benda dan segala sesuatu yang ada di langit, di bumi dan apa yang ada di antara langit dan bumi. Sesungguhnya Allah adalah Al-Latif yang Maha Halus dan Dialah Al-Muhit yang kewujudanNya dan kekuasaanNya meliputi segala sesuatu.

Sewaktu seseorang itu sedang tenggelam dalam lautan Fana Fii dzat ini, dia akan mengalami suatu perasaan bahwa dirinya juga bukanlah sutu wujud yang bersifat hakiki bahkan tidak wujud sama sekali. Yang difahami olehnya hanyalah Wujud Allah yang mana kewujudanNya adalah wajib dan Haq, tidak dapat disangkal sama sekali. 


Dia akan melihat bahwa segala kejadian ciptaan, hal peristiwa dan keadaan, perbuatan serta tindakan itu hanya dapat berlaku dengan kehendak dan izin dari Allah Tuhan Semesta Alam. Maka dia akan merasai bahwa Wujud Haqiqi hanyalah satu iaitu dzat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan inilah permulaan
hal Tauhid Wujudi atau digelar Wahdatul Wujud.

Mendawamkan dzikir Ismu dzat yang banyak akan membawa Salik mencapai Fana pada Qalbnya dan dia akan mengalami suatu Jazbah untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Qalbnya akan mula memberi tumpuan Tawajjuh kepada limpahan Faidz dari sisi yang diatas ‘Arash.

Seterusnya dia akan mengalami Jam’iyat dan Hudhur yang mana segala lintasan pada hati dan fikiran menjadi semakin berkurangan dan mungkin lenyap sama sekali. Keadaan ini apabila berterusan akan menghasilkan Warid pada diri Salik yang mana dia akan mengalami perasaan sukar dan tiada terdaya untuk menerima sesuatu Hal dalam hatinya, dengan merasakan ketiadaan wujud pada dirinya.


Pada peringkat awal pencapaian Fana, keadaan ini berlaku sekali-sekala bahkan mungkin sebulan sekali. Seseorang yang banyak berdzikir mungkin akan sering mengalaminya seperti seminggu sekali atau bahkan mungkin pada setiap hari dan mungkin berkali-kali menerima Warid yang sedemikian dalam sehari. Segalanya ini berlaku dengan
Rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Para Masyaikh berkata bahwa,

“Tasawwuf secara keseluruhannya adalah Adab, dan barangsiapa yang biadab dengan tidak memelihara Adab tidak akan dapat mencapai Tuhan.”
Para Akabirin Naqshbandiyah berkata, Man Dhzayya’ar Rabbal Adna,
Lam Yasil Ilar Rabbil A’la. Barangsiapa yang mensia-siakan Pentarbiyah yang rendah (SyeikhMurshid), Dia sekali-kali tidak akan sampai kepada Pentarbiyah Yang Maha Tinggi (Allah Ta’ala).

Fana Fillah bererti melupakan semua masalah kecuali Allah Ta’ala. Apabila dia melupakan keseluruhan tentang tubuh badan jasmaninya yang gelap, yang mana tiada lagi rasa asyik dan cinta yang tinggal, maka dia sudah mencapai fana tubuh badan. Seterusnya, dia perlu melepasi satu daripada dua langkah asas pada jalan Tasawwuf iaitu Fana Qalb.


Seterusnya dia akan mencapai Fana Ruh yang mana seterusnya dia perlu bergerak meneruskan langkahnya yang kedua. Seseorang yang telah mencapai Fana Ruh mungkin tidak mencapai Fana Qalb.


Apabila Qalb dan Ruh mencapai Fana, Nafs tidak semestinya turut mencapai Fana. Keadaan
yang sama juga berlaku untuk mencapai Fana pada Latifah Sirr, Koafi dan Akhfa. Segala ingatan dan fikiran yang telah dipadamkan dan dilenyapkan dari Qalb menunjukkan kebenaran bahwa Ia telah melupakan segala perkara yang lain selain Allah Ta’ala.


Tidak ada daya upaya untuk mengingat sesuatu apa pun bermakna bahwa pengetahuan dan segala sesuatu telah lenyap. 
Di dalam Fana, ilmu pengetahuan juga perlu dilenyapkan.



                                                            

PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI

JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...

KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN











AlkisAnnabila