TANBIIH

الحَمـْدُ للهِ المُــوَفَّـقِ للِعُـلاَ حَمـْدً يُوَافـــِي بِرَّهُ المُتَـــكَامِــلا وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَي النَّبِيِّ المُصْطَفَىَ وَالآلِ مَــــعْ صَـــحْــبٍ وَتُبَّـاعٍ وِل إنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا تَقْوَى الإلهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ وَتِبَاعُ أَهْوَى رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلاَ إن أخوف ما أخاف على أمتي اتباع الهوى وطول الأمل إنَّ الطَّرِيقَ شَرِيعَةٌُ وَطَرِيقَةٌ وَحَقِيقَةُ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلا فَشَرِيعَةٌ كَسَفِينَة وَطَرِيقَةٌ كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيقَةٌ دُرٌّ غَلاَ فَشَرِيعَةٌ أَخْذٌ بِدِينِ الخَالِقِ وَقِيَامُهُ بَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ انْجَلاَ وَطَرِِيقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطَ كَالوَرَع وَعَزِيمَةُ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاَ وَحَقِيقَةُ لَوُصُولُهِ لِلمَقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُورُ التّجَلِّي بِانجَلاَ مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق

hiasan

BELAJAR MENGKAJI HAKIKAT DIRI UNTUK MENGENAL ILAHI

Kamis, 26 April 2012

RISALAH AWAL KALIMAH بسم الله الرحمن الرحيم

“ Bismillahirrahmanirrahim”
Adapun huruf yang di jadikan atau di lahirkan Allah swt yang pertama-tama adalah huruf (ALIF) karena huruf itulah yang permulaan alloh bertajalli (nyata) / yang biasa kita sebut dengan NUR ILAHI / NUR WILAYAH /  LAA TA'YUN  itulah yang menjadikan AL_ILAH  mengadakan sekalian alam mini.bermula dari ALIF kemudian TITIK (nuqthoh) yang ada pada  huruf (BA'). Maka dengan huruf BA inilah menjadikan NUR MUHAMMAD yang biasa kita sebut TA'YUN AWAL (permulaannya ADA) dan  Cahaya NUR MUHAMMAD itu selama (70000tahun) cahaya itu di limpahkan kepada NUR AHMAD untuk BERUBUDIYAH , barulah menjadi sempurnya ALAM ini, dan AHMAD  itulah menjadi peringatan / penerang jalan lurus  kepada kita di dalam tubuhnya ADAM , maka ADAM itulah yang Dzahir didalam alam ini, adapun penerang kita itu menjadi bhatin ADAM sebenar-benarnya, dan penerang  kita menjadi tubuh yang dzahir dalam alam yang dzahir.... dalam alam dzahir itu terdiri dari 7 alam yang meliputi pada tubuh setiap INSAN ? MAHLUK .... dan 7 alam itu terikat dengan 20 sifat wajib AL_ILAHI ,,,,, 
pembagian 7 ALAM 

1- AHADIYAH
2- WAHDAH
3- WAAHIDIYAH
4- BARZAH
5- MITSAL
6- JISIM
7- INSAN KAMIL 

SEDANG 7 ALAM ITU MENJADI DZAHIRNYA WUJUD ADAM DAN BATHINNYA ITU NUR AHMAD  YANG TERIKAT OLEH SIFAT 20 :

1-WUJUD
2-QIDAM
3-BAQO
4-MUKHOLAAFATU LIL HAWADIST
5-QIYAMUHU BINAFSIH
6-WAHDANIYAH
7-QUDROT
8-IRODAH
9-'ILMU
10- HAYYAH
11-SAMA'
12-BASHOR
13-KALAM
14-QOODIRON
15- MURIDAN
16-'AALIMAN
17-HAIYYAN
18-SAMII'AN
19-BASHIRON
20-MUTAKALLIMAN 

Sifat 20 itulah menjadi bhatin setiap insan , dan sifat 20 itu menjadi tubuh Al-ILAH kita yang dzahir kita yang selalu bersama & meliputi , AL-ILAH kita itu adalah bhatin kita yang sebenar-benarnya yang selalu kita lalaikan & selalu kita kubur dengan pengakuan pengakuan AQAL indrawi sehingga kita tidak merasa sadar dalam kesesatan yang nyata ....

AL_ILAH itu bersemayam & meliputi  di dalam SIRR AL-INSAN, dan AL-INSAN itu menempati pada SIRR AL- ILAAH  seperti keterangan HADIST QUDSI

الانسان سري وانا سره 

INSAN (mahluk) ITU ADALAH RAHASIA (WUJUD) KU DAN AKU MENJADI RAHASIA (WUJUD) INSAN .... pengertian INSAN di sini di jelaskan oleh rosululloh dalam hadisnya "

ما سوي الله فهو مخلوق والمخلوق هو المحدث والمحدث هو الفان والفان هو ليس بوجوده حقيقي 

sesuatu selain ALLOH  itu di namakan MAHLUQ dan mahluk itu bersifat baru adapun yang bersifat baru itu bersifat RUSAK / tidak kekal dan sesuatu yang fana' itu tidak ada WUJUD dalam kenyataannya ... 

dalam pengertian ini ALLOH itulah DIA yang maha  segalanya dan berkuasa didalam SIRRU AL-INSAN... Maka tuhan kita inilah yang bernama : Huwal awwal – Huwal akhir – Huwaz zhahir – Huwal bhatin. “ Tuhan yang menjadi awwal  dan yang menjadi akhir , yang menjadi dzahir dan yang menjadi bhatin MAHLUQ ... serta yang meleputi alam semesta ini adalah SIRRU AL-ILAAHI ....
keterangan ini di ambil dari hadist:

 شهود الواحدة في الكثرة وشهود الكثرة في الواحدة”.

PANDANGLAH SATU (TAUHID) DI ANTARA YANG BANYAK (ALAM SEMESTA / MAHLUQ) 
DAN PANDANGLAH BANYAK  (ALAM) DI DALAM YANG SATU (KEESAAN) AL-ILAH ... 

Dalil ini menunjukkan kebersamaannya antara Allah dengan hamba di ibaratkan antara Tuhan Azza wa Jalla dengan NUR AHMAD dan di ibaratkan lagi seperti matahari dengan panasnya, sehubungan dengan itulah yang dimaksud hidup itu menjadi nyawa Muhammad yang sebenar-benarnya, adapun ALLOH Azza Wa Jalla itu didalam Muhammad, maka Muhammad itu nyawa Adam, justru itulah Muhammad itu adalah nyawa sekalian ummatnya dan juga merupakan juga nyawa sekalian alam ini maka dari itu MUHAMMAD di sebut dengan ROSULLUL 'AALAMIIN  ... oleh Karena itulah Allah ghaib kepada Muhammad, dan sebaliknya Muhammad ghaib kepada Allah, dan itu menjadi wujud ADAM MUMKIN yang hakikatnya  itu adalah DIA AL-ILAH sendiri yang bertajalli (nyata)  Maka dari itu diantara  AL-ILAH ,MUHAMMAD dan ADAM TIDAK TERPISAH WALAU DALAM kenyataannya itu seperti terpisah DAN  nyawa Muhammad itu juga nyawa Adam sampai turun – menurun kepada ummat seterusnya... berevolusi hingga AKHIR ZAMAN ... WALLOOHU A'LAM ... 

Tafsir, Takwil, al-Quran, Penafsiran BAB I PENDAHULUAN


Latar Belakang Masalah Al Qur`an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Setidaknya itulah yang diindikasikan oleh surat al Baqarah ayat 185. Di samping itu, dalam ayat dan surat yang sama, diinformasikan juga bahwa al Qur`an sekaligus menjadi penjelasan (bayyinaat) dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda (furqaan)-antara yang baik dan yang buruk. Di sinilah manusia mendapatkan petunjuk dari al Qur`an. Manusia akan mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk atas dasar pertimbangannya terhadap petunjuk al Qur`an tersebut. Al Qur`an adalah kalaamullaah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. dengan media malaikat Jibril as.

Dalam fungsinya sebagai petunjuk, al Qur`an dijaga keasliannya oleh Allah swt. Salah satu hikmah dari penjagaan keaslian dan kesucian al Qur`an tersebut adalah agar manusia mampu menjalani kehidupan di dunia ini dengan benar-menurut Sang Pencipta Allah ‘azza wa jalla sehingga kemudian selamat, baik di sini, di dunia ini dan di sana , di akhirat sana . Bagaimana mungkin manusia dapat menjelajahi sebuah hutan belantara dengan selamat dan tanpa tersesat apabila peta yang diberikan tidak digunakan, didustakan, ataupun menggunakan peta yang jelas-jelas salah atau berasal dari pihak yang tidak dapat dipercaya?

Oleh karena itu, keaslian dan kebenaran al Qur`an terdeterminasi dengan pertimbangan di atas agar manusia tidak tersesat dalam mengarungi kehidupannya ini dan selamat dunia-akhirat. Kemampuan setiap orang dalam memahami lafald dan ungkapan Al Qur’an tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikian gemilang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna yang dzahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global, sedangkan kalangan cendekiawan dan terpelajar akan dapat mengumpulkan pula dari pandangan makna-makna yang menarik. Dan diantara cendikiawan kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman maka tidaklah mengherangkan jika Al-Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata garib (aneh-ganjil) atau mentakwil tarkib (susunan kalimat) dan menterjemahkannya kedalam bahasa yang mudah dipahami.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas maka kami akan menjelaskan tentang definisi tafsir ta’wil dan terjemah Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut: a. Apa definisi dari tafsir, ta’wil dan terjemah? b. Bagaimana pendapat sebagian ulama tentang tafsir dan ta’wil ? c. Apakah penting bagi kita untuk mempelajari Tafsir, ta’wil dan terjemah ? C. Tujuan Penulisan Tujuan dari pembahasan yang berjudul tentang tafsir ta’wil dan terjemah yaitu: 1. Untuk mengetahui tentang definisi tafsir ta’wil dan terjemah. 2. Untuk mengetahui pendapat ulama’ tentang hal ini untuk memberi penjelasan tentang pentingnya pemahaman tafsir, ta’wil dan terjemah. . D. Sistematika Penulisan Makalah ini terdiri dari tiga bab, yaitu: Bab I pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisannya. Bab II pembahasan, yang terdiri dari Penjelasan tafsir, ta’wil dan terjemah. Bab III penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran

BAB II PEMBAHASAN

A. Tafsir : 

 Pengertian Tafsir Kata tafsir diambil dari bahasa arab yaitu fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian. Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang musykil. Pengertian tafsir dengan makna di atas, sesuai dengan firman Allah dalam surah Al Furqan :

وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (sesuatu) yang ganjil melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”. (QS. 25 : 33)

Maksudnya ialah: penjelasan yang lengkap dan terperinci sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abas. Menurut Abu Hayyan, tafsir, secara terminologis merupakan ilmu yang membahas tentang metode mengucapkan lafazh-lafazh al Qur`an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dari makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun dari hal-hal yang melengkapinya. Kata As Zarkasyy dalam Al Burhan “Tafsir itu, ialah menerangkan makna-makna Al Qur-an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya”

 Kedudukan Tafsir :

Tafsir ialah dari ilmu-ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi. Ia adalah ilmu yang paling mulia, sebagai judul, tujuan, dan kebutuhan, karena judul pembicaraan ialah kalaam atau wahyu Allah SWT yang jadi sumber segala hikmah dan sumber segala keutamaan. Selanjutnya, bahwa jadi tujuannya ialah berpegang pada tali Allah yang kuat dan menyampaikan kepada kebahagiaan yang hakikat atau sebenamya. Sesungguhnya makin terasa kebutuhan padanya ialah, karena setiap kesempurnaan agama dan dunia, haruslah sesuai dengan ketentuan syara’. Ia sesuai bila ia sesuai dengan ilmu yang terdapat dalam Kitab Allah SWT.

Pembagian Tafsir :

Secara umum para ulama telah membagi tafsir menjadi dua bagian yaitu: Tafsir bi al-riwayah, atau disebut juga dengan tafsir bi al-ma’tsur, dan tafsir bi al-dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ra’y. 1. Tafsir bi al-ma’tsur Tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw, pendapat (aqwal) sahabat, ataupun perkataan (aqwal) tabi’in. Dengan kata lain yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat Al Qur’an dengan sunnah, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Semua ayat-ayat al Qur`an telah dijelaskan oleh nabi Muhammad saw., sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam menafsirkan al Qur`an setelah al Qur`an itu sendiri, kepada para sahabat. Oleh karena itu, untuk menafsirkan al Qur`an maka metode yang tepat adalah mencari hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut setelah tidak didapatkan ayat al Qur`an yang lain yang menjelaskan ayat tersebut. Apabila memang tidak ada ayat dan atau hadis nabi Muhammad saw. yang dapat menafsirkan sebuah ayat al Qur`an maka yang digunakan adalah pendapat-pendapat para sahabat karena mereka lebih tahu tentang asbaabun nuzuul dan tingkat keimanan juga intelektualitasnya adalah yang tertinggi di kalangan pengikut Rasulullah saw. Dalam pertumbuhannya, tafsir bil ma’tsur menempuh tiga periode, yaitu: .

1. Periode masa Nabi, Sahabat, dan permulaan masa tabi’in ketika belum tertulis dan secara umum periwayatannya masih secara lisan (musyafahah). 

2. Periode II, bermula dengan pengodifikasian hadits secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abd Al-Aziz (95-101). Tafsir bil Ma’tsur ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadits dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadits.

3. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab Tafsir bil Ma’tsur yang secara khusus dan berdiri sendiri.

Tafsir bil ma’tsur inilah yang wajib diikuti, diambil dan dipegangi, karena tafsir inilah jalan ma’rifah yang sahih dan metode yang dikenal. Inilah tafsir yang tidak mungkin menyelewengkan dalam kitabullah. Beberapa kitab tafsir bil ma`tsuur yang terkenal diantaranya tafsir Ibnu Abbas dengan judul Tanwiirul Miqbas min Tafsiiri Ibn Abbas, tafsir at Thabari dengan judul Jamii’ul Bayaan fii Tafsiiril Qur`an, tafsir Ibnu ‘Atiyyah dengan judul Muharrarul Wajiiz fi Tafsiiril Kitaabil ‘Aziz, dan tafsir Ibnu Katsir dengan judul Tafsiirul Qur`aanul ‘Azhiim. 2. tafsir bi al-dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ra’y

Cara penafsiran bil ma’qul atau lebih populer lagi bir ra`yi menambahkan fungsi ijtihad dalam proses penafsirannya, di samping menggunakan apa yang digunakan oleh tafsir bil ma`tsuur.

Penjelasan-penjelasannya bersendikan kepada ijtihad dan akal dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip bahasa Arab dan adat-istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya. Husayn al Dhahaby menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bir ra`yi adalah penafsiran al Qur`an atas dasar ijtihadnya yang berlandaskan pengetahuannya tentang penuturan bangsa Arab dan arah pembicaraan mereka serta pengetahuannya tentang lafal bahas Arab dan makna yang ditunjukkannya dengan menjadikan syair jahily sebagai acuan dan panduannya.

Meskipun demikian, lanjut al Dhahaby, asbaabun nuzuul, naasikh wa mansuukh, dan alat bantu lainnya merupakan pengetahuan-pengetahuan yang tetap harus dikuasai dan digunakan dalam penafsiran ini. Ulama’ berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya metode tafsir bi Al – Ro’yi. Sebagian ulama’ melarang penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan metode ini, sebagian yang lain memperbolehkannya.

Rincian dari perbedaan ini hanyalah sebatas pada lafadz bukan hakikatnya. Dan golongan pertama tidak sampai melewati batas-batas ketentuan penafsiran. Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa tiap-tiap golongan telah melewati batas, dengan alasan bahwa meniadakan ma’na dalam lafadz yang manqul adalah suatu hal yang berlebihan dan membahas penafsiran bagi semua orang adalah suatu perbuatan yang tercela. Akan tetapi kalau kita kaji lebih dalam perbedaan-perbedaan mereka kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa semuanya sepakat tidak di perbolehkannya menafsiri Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan pendapat pribadi.

Menurut Manna’ Khalil Qaththan menafsirkan al qur`an dengan akal dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Menurutnya, cara penafsiran seperti ini dilakukan oleh mayoritas ahli bid’ah dan madzhab batil dalam rangka melegitimasi golongannya dengan memelintir ayat-ayat al Qur`an agar sesuai dengan kehendak hawa nafsunya.

Corak Tafsir dengan ra’yi (pikiran) dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:

1. Tafsir dengan pikiran yang tercela (madzum / mardud). Ialah bila mufassir dalam memahami pengertian kalimat yang khas dan ministimbatkan hukum hanya dengan menggunakan pikirannya saja dan tidak sesuai dengan ruh syari’at. Yang banyak menggunakan penafsiran bentuk ini ialah tokoh-tokoh bid’ah yang menurut pikiran mereka saja. Umpamanya tafsir Jabba’i, Rummani, Qadhi Abdul Jabbar, Zamakh Syari, dan Abdul Rahman bin Kisan Ashmi.

2. Tafsir dengan menggunakan pikiran yang terpuji (mahmudah / maqbul) a) Ialah bila tidak bertentangan dengan tafsir maktsuur b) Ia berbentuk ijtihad muqayyad atau yang dikaitkan dengan satu kait berpikir mengenai kitab Allah menurut hidayah sunnah Rasul yang mulia.

Sedangkan menurut Imam Al-Dzahabi dalam menanggapi permasalahan ini beliau berkata: Tafsir bi Al-Ro’yi ada dua:

1. Dengan menggunakan kaidah bahasa arab, akan tetapi tetap mengikuti Al-Kitab dan sunnah serta tetap mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini diperbolehkan.

2. Tidak memakai kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah ilmu syari’at serta tidak mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini sangat dibenci dan tidak di terima oleh para ulama’, seperti yang di sampaikan oleh Ibnu Mas’ud: “akan ada suatu kaum yang mengajak untuk memahami Al-Qur’an, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Maka wajib bagi kalian untuk mendalami Al-Qur’an, dan menjauhi segala bentuk bid’ah”. Kitab-kitab tafsir bir ra`yi diantaranya tafsir ar Razi yang berjudul Mafaatihul Ghaib, tafsir Ibnu Hayyan yang berjudul Al Bahrul Muhiit, dan tafsir az Zamakhsyari yang berjudul Al Kasysyaf ‘an Haqaa`iqit Tanziil wa ‘Uyuunil Aqaawiil fii Wujuuhit Tanwiil.

B. Ta’wil :

Pengertian Ta’wil Ta’wil secara bahasa berasal dari kata “aul”, yang berarti kembali ke asal.
Adapun mengenai arti takwil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh itu. Dengan kata lain, takwil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan merupakan makna lahirnya.

Kata sebahagian ulama : “Ta‘wil ialah mengembalikan sesuatu kepada ghayahnya, yakni menerangkan apa yang dimaksud daripadanya.” Sebagian yang lain berkata : “Ta‘wil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat diterima oleh lafadz.” 

Perbedaan Tafsir dan Ta’wil Para mufassirin telah berselisihan pendapat dalam memberikan makna Tafsir dan Ta’wil. Kata Ar Raghib Al Asfahany : “Tafsir lebih umum dari ta’ wil. Dia lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal. Sedang ta’wil lebih banyak dipakai mengenai makna dan susunan kalimat.” Kata Abu Thalib Ats Tsa’laby : “Tafsir ialah, menerangkan makna lafadh, baik makna hakikatnya maupun makna majaznya, seperti mentafsirkan makna Ash Shirath dengan jalan dan Ash Shaiyib dengan hujan. Ta’wil ialah, mentafsirkan bathin lafadh. Jadi tafsir bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedang ta’wil menerangkan hakikat yang dikehendaki.

Umpamanya firman Allah s.w.t.:

إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ

“Bahwasanya Tuhanmu itu sungguh selalu memperhatikan kamu.” (Q.S. 14. 89 . AlFajr).
Tafsirnya ialah, bahwasanya Allah senantiasa dalam mengintai-intai memperhatikan keadaan hamba-Nya. Adapun ta’wilnya, ialah menakutkan manusia dari berlalai-lalai, dari lengah mempersiapkan persiapan yang perlu. Kata segolongan pula : “Tafsir berpaut dengan Riwayat. sedang ta’wil berpaut dengan Dirayat. Hal ini mengingat, bahwa tafsir dilakukan dengan apa yang dinukilkan dari Sahabat, sedang ta’wil difahamkan dari ayat dengan mempergunakan undang-undang bahasa ‘Arab.

Umpamanya firman Allah:

إِنَّ اللَّهَ فَالِقُ الْحَبِّ وَالنَّوَى يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَمُخْرِجُ الْمَيِّتِ مِنَ الْحَيِّ ذَلِكُمُ اللَّهُ فَأَنَّى تُؤْفَكُون

  "Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan (menjadikan) yang hidup dari yang mati (ditiupkan-Nya ruh) dan yang mengeluarkan (menjadikan) yang mati dari yang hidup (diangkat-Nya ruh). Demikian ialah (sifat) Allah, maka mengapa kamu masih berpaling." – (QS.6:95)  “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati.”  Maka jika kita katakan bahwa yang di kehendaki oleh ayat ini, mengeluarkan burung dari telur, dinamakanlah ia tafsir. Dan jika di katakan bahwa yang di kehendaki, mengeluarkan yang ‘alim dari yang bodoh, atau yang beriman dari yang kafir, itulah yang dinamakan ta’wil.

 Perbedaan antara keduanya dapat di paparkan di bawah ini. TAFSIR Pemakaiannya banyak dalam lafazh-lafazh dan mufradat Jelas diterangkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih Banyak berhubungan dengan riwayat Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas) Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki. TAKWIL Pemakaiannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat Kebanyakan di istinbath oleh para ulama Banyak berhubungan dengan dirayat Digunakan dalam ayat-ayat mutasyabihat (tidak jelas) Menerangkan hakikat yang dikehendaki

C. Terjemah

 Pengertian Terjemah Secara lafazh tarjamah dalam bahasa Arab memiliki arti mengalihkan pembicaraan (kalam) dari satu bahasa ke bahasa lain.
Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam kitab Lisan al-’Arab:

Yang dimaksud dengan turjuman (dengan menggunakan dhammah) atau tarjuman (dengan fathah)
adalah yang menterjemahkan kalam (pembicaraan), yaitu memindahkannya dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
Sedangkan pengertian tarjamah secara terminologis, sebagaimana di definisikan oleh Muhammad ‘Abd al-’Azhim al Zarqani sebagai berikut:

Tarjamah ialah mengungkapkan makna kalam (pembicaraan) yang terkandung dalam suatu bahasa dengan kalam yang lain dan dengan menggunakan bahasa yang lain (bukan bahasa pertama),

lengkap dengan semua makna-maknanya dan maksud-maksudnya. Kata “terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti:
1). Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.

2). Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.

Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu mengetahui bahwa terjemah harfiyah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak mungkin dapat dicapai dengan baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semua maknanya tetap di pertahankan. Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lain dalam hal tertib bagian-bagian kalimatnya.

D.Syarat-syarat terjemah

Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah, baik tarjamah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah:
1. Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa terjemahnya;

2. Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa tersebut;

3. Hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama;

4. Hendaknya bentuk (sighat) terjemahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa terjemah tersebut.

BAB PENUTUP

A. Kesimpulan Al-Qur`an sebagai ”hudan-linnas” (petunjuk buat manusia )dan “hudan-lilmuttaqin (petunjuk untuk orang yang bertaqwa), maka untuk memahami kandungan al-Qur`an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup sehari-hari memerlukan pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya,
ta`wil, dan tafsirnya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Sehingga kehendak tujuan ayat al-Qur`an tersebut tepat sasarannya.
Terjemah, tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-ayat al-Qur`an yang mulia. Pengertian terjemah lebih simple dan ringkas karena hanya merubah arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya.
Sedangkan istilah tafsir lebih luas dari kata terjemah dan ta’wil , dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan ayat, surat, asbaabun nuzul, dan lain sebagainya dibahas dalam tafsir yang bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau surat tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah SWT tersebut.

B. Saran Demikianlah makalah yang kami berisikan tentang tafsir, ta’wil dan terjemah. Makalah inipun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada makalah ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih jika ingin lebih jelas lagi silahkan di buka di http://hakikatcintahamba.blogspot.com semoga bisa melengkapi kajian yang di tulis di sini ... mohon masukannya dari saudaraku semuanya ....agar bisa menambah kelengkapan sedikit uraian dari al-faqir ...

Senin, 23 April 2012

MANUSIA HAQIQATNYA TERTIDUR & TERJEBAK PADA AQAL INDRAWI


Kemanusiaan itu hakikatnya tertidur lalai & terjebak aqal semata , hanya terpaku pada hal yang tidak bermanfaat merasa , mengakal, namun terlupa dari asal usul kehidupan, hidup di dunia yang keliru karena ketidak tahuan akan jalan pulang,Percaya bahwa manusia bisa mengatasi stiap masalah tanpa alloh , hal itu hanyalah kebiasaan dan penggunaan merasa ,lalai,bohong,merasa, dan itu bukan ajaran agama assamawi.


" JIka Agama" ini mengajarkan itu sungguh tidak layak kita ikuti sama saja agama itu penyesatan terhadap AL-ILAAH...

Jangan mencela Orang-orang yang mengkaji Thoriqot,ma'rifat & haqiqat dalam mengiringi pengkajian TAUHID BILLAH & SEMATA-MATA DENGAN ALLOH .... lebih baik perbaikilah dirimu dalam memahami kajian ....



karena Engkau memiliki pengetahuan dari agama yang keliru jika engkau membelakangi Realitas ALAM SEMESTA DI ADAKAN DENGAN DI BEKALI AQAL YANG BERFUNGSI MENJADI TAJALLINYA (TAMPAK) ALLOH ....

Manusia melilitkan jaring bagi dirinya yang merasa wujud namun tiada menyadari jika wujudnya itu adalah pengakuan aqal & lalai kalolah telah melanggar wilayah wujud alloh .... bebaskan dirimu jangan bersandar kepada batasan aqal indrawimu yang di balik itu semua hanyalah allohlah yang kau sandari ...

koreksi diri sebelum mengkoreksi orang lain itulah hikmah manusia belajar akan pehaman ilmu yaqin (iman) yang selalu bersandar pada alloh semata .... ikhtiyarnya semata'' tawakkal kepada alloh ...tanpa adanya keterbelengguan wujud & kuasanya diri al-abdu .... karena sebenarnya abdu itu terliputi & bersama AL-ILAH di manapun dia berada ... tanpa terpisah / bertemu sedetikpun ....


Janganlah melihat bentuk luarku, Tapi ambillah apa yang ada dalam KUASAKU... (alloh)
Menjadi seorang Sufi adalah menanggalkan gagasan-gagasan tetap dan prasangka.. dan tidak berupaya menghindar dari takdirmu....

Pengertian Dan Landasan Tasawwuf fase pengenalan salik

I. Pengertian Dan Landasan Tasawwuf

Akar kata “tasawwuf” memiliki ragam makna. Sebagain pendapat mengatakan bahwa “tasawwuf” diambil dari akar kata bahasa arab (صفا يصفو ) yang artinya “suci murni”. Dalam pengertian ini, imam Bisyr bin al-Harits, salah seorang sufi terkemuka (sebagaimana dikutip syekh Muhammad Mayyarah dalam kitab Syarh al-Mursyid al-Mu'in), berkata:

الصُّوْفِيّ مَنْ صَفَا قَلْبُهُ للهِ تَعَالَى

(Orang sufi ialah orang yang hatinya murni bagi Allah)

Dapat pula “tasawwuf” diambil dari kata ( الصوف ). Artinya “kain wol”. Dalam makna ini imam Abu Ali al-Raudzabari, yang juga seorang sufi besar, berkata:


مَنْ لَبِسَ الصُّوْفَ عَلَى الصّفَا وَكَانَتِ الدُّنْيَا مِنْهُ عَلَى القَفَا وَسَلَكَ مِنْهَاجَ المُصْطَفَى

(seorang sufi adalah orang yang dalam kesuciannya memakai kain wol, menjauhi kenikmatan dunia, dan berpegang teguh pada jalan rasulullah).

Secara definitif sebagai sebuah disiplin ilmu, “tasawwuf” diartikan beragam. Di antaranya perkataan imam al-Junaid al-Baghdadi, seorang pemuka kaum sufi:

الخُرُوْجُ عَنْ كُلِّ خُلُقٍ دَنِيّ، وَالدُّخُوْلُ فِي خُلُقٌ سَنِيّ

(Keluar dari setiap akhlak tercela dan masuk kepada setiap akhlak terpuji)

Syekh Zakariyya al-Anshari, berkata:

التَّصَوُّفُ هُوَ عِلْمٌ تُعْرَفُ بهِ أحْوَالُ تَزْكِيَةِ النّفْس، وَتَصْفِيَةِ الأخلاق، وَتَعْمِيْرِ الظّاهِرِ وَالبَاطِنِ لِنَيْلِ السّعَادَة ِالأبَدِيَّة

(Tasawwuf adalah sebuah ilmu yang dengannya diketahui keadaan-keadaan dalam mensucikan jiwa, membersihkan akhlak, menghiasi zhahir dan batin untuk mencapai kebaagian dunia dan akhirat)

Imam Abu Bakar al-Syibly, ketika ditanya oleh Abu al-Hasan al-Farghani tentang siapakah seorang yang sufi, menjawab:

مَنْ صَفَا قَلْبُهُ فَصَفَى، وَسَلَكَ طَرِيْقَ المُصْطَفَى، وَرَمَى الدُّنْيَا خَلْفَ القَفَا، وَأذَاقَ الهَوَى طَعْمَ الجَفَا

(Sufi adalah seorang yang hatinya bersih, maka ia menjadi suci. Seorang yang menapaki jalan Rasulullah, membuang dunia di belakang punggungnya dan menjadikan hawa nafsu merasakan kepahitan)

Ketika ditanya kembali definisi lain dari seorang sufi, al-Syibli berkata:

مَنْ جَفَا عَنِ الكَدَرِ، وَخلصَ مِنَ العَكر، وَامْتَلأ بالفِكْر، وَتَسَاوَى عِنْدَهُ الذهَبُ وَالمَدَرُ

(Adalah orang yang menjauhi kekeruhan, membersihkan diri dari aib, memenuhi dirinya dengan berfikir dan tidak berbeda baginya antara emas dan debu)

Dan ketika ditanya definisi tasawwuf, imam Syibly berkata:

تَصْفِيَةُ القلُوْبِ لِعَلاَّمِ الغُيُوبِ

(Membersihkan hati hanya bagi Allah; Yang mengetahui segala yang ghaib)

Ketika ditanya kembali definisi lain dari tasawwuf, imam Syibly berkata:

تَعْظِيْمُ أمْرِ اللهِ وَالشّفَقَةُ إِلَى عِبَادِ اللهِ

(Mengagungkan segala perintah Allah dan mencintai para hanba Allah)

Definisi lain mengatakan:

الجِدُّ فِي السُّلُوكِ إلَى مَلِكِ المُلُوْكِ

(Usaha keras dalam suluk menuju Allah).

Tasawwuf sebagai sebuah nama belum dikenal pada masa awal perkembangan Islam. Namun sebagai sebuah ajaran sudah ada. Bahkan apa yang dicontohkan Rasulullah dalam kesehariannya dihadapan para sahabat adalah unsur-unsur tasawwuf yang merupakan landasannya. Firman Allah dalam al-Qur’an:

وَأمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الهَوَى، فَإِنَّ الجَنَّةَ هِيَ المَأوَى (النازعات: 40-41)

(Adapun Orang yang takut akan keagungan Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:

أحَبُّ العِبَادِ إلَى اللهِ تَعَالى الأتقِيَاءُ الأخْفِيَاء، الذيْنَ إذَا غَابُوا لَمْ يُفْتَقَدُوْا، وَإذَا شَهِدُوْا لَمْ يُعْرَفُوا، أولئِكَ هُمْ أئِمَّة الهُدَى وَمَصَابِيْحُ العِلمِ (رواه أبو نعيم)

(Hamba-hamba yang dicintai oleh Allah adalah mereka yang bertaqwa dan yang tersembunyi. Bila tidak hadir, mereka tidak dicari. Dan bila hadir mereka tidak dikenali. Mereka adalah para imam yang membawa petunjuk dan lentera-lentera ilmu).

Sahabat Umar bin al-Khattab berkata:

اخْشَوْشِنُوْا وَتَمَعْدَدُوْا

Maksud perkataannya (اخشوشنوا ) adalah “Biasakanlah oleh kalian untuk menjauhi kenikmatan”. Pengertian (تمعددوا ) “Biasakanlah oleh kalian untuk mencontoh Ma’ad ibn ‘Adnan”. Ma’ad ibn ‘Adnan adalah salah seorang kakek Rasulullah yang beragama Islam, sangat disegani di kaumnya, namun demikian beliau selalu menghindari kenikmatan-kenikmatan duniawi.



Pernyataan Umar ini memberikan keterangan jelas kepada kita bahwa ajaran-ajaran tasawwuf di kalangan sahabat nabi sudah ada.


II. Landasan Tasawwuf; Ilmu dan Amal

Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa tasawwuf adalah usaha untuk mencapai keridlaan Allah dengan meraih derajat tinggi kwalitas taqwa. Titik final ini tidak akan bisa dicapai kecuali dengan mengikuti segala yang telah digariskan syari'at. Dengan demikian tasawwuf sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sebaliknya tasawwuf adalah ajaran Islam itu sendiri. Karena itulah, ajaran yang diemban para imam sufi adalah berpegang teguh dengan apa yang telah digariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Imam Abu Nu’aim, salah seorang ulama terkemuka di sekitar abad 4 hijriah, menulis sebuah kitab berjudul Hilyah al-Auliya Fi Thabaqat al-Ashfiya’. Sebuah kitab yang berisi penyebutan biografi kaum sufi dari masa ke masa hingga masanya sendiri.



Beliau menulis karya tersebut untuk membedakan antara sufi sejati yang benar-benar sufi dengan kaum sufi gadungan (palsu). Dalam penyebutan biografi kaum sufi tersebut, Abu Nu’aim memulai dengan kaum sufi kalangan sahabat nabi (100 tahun pertama hijriah).


Di mulai dengan Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib dan seterusnya. Kemudian dari kalangan tabi’in (100 tahun kedua hijriah) seperti al-Hasan al-Bashri, Sufyan al-Tsauri dan seterusnya.


Selanjutnya dari kalangan atba’ at-Tabi’in (100 tahun ketiga hijriah). Hal ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa kaum sufi sejati adalah mereka yang berpegang teguh dengan ajaran nabi.

Dalam Islam kaum sufi bukan sebagai komunitas tersendiri. Tapi sebaliknya kaum sufi terdiri dari berbagai kalangan ulama. Ada yang berasal dari kalangan ahli hadits, ahli tafsir dan lainnya. Dalam aqidah mereka berpegang teguh dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam fiqh, secara umum, mereka berpegang teguh kepada salah satu dari empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

Karena itu, landasan yang paling pertama ditanamkan oleh kaum sufi adalah ilmu. Yaitu mempelajari ajaran-ajaran syari’at Islam. Kemudian dilanjutkan dengan amal, artinya mengerjakan ketentuan-ketentuan syari’at tersebut.



Dari sini derajat takwa sebagai tujuan suluk (perjalanan) akan diraih. Seseorang tidak akan pernah mencapai apa yang telah dicapai kaum sufi sejati bila tidak mengetahui syari’at, karena ia tidak akan pernah mencapai derajat takwa. Dan karenanya Allah tidak menjadikan para wali-Nya mereka yang bodoh dengan syari’at-Nya. Dalam pada ini imam Syafi’i berkata:

مَا اتَّخَذَ اللهُ وَلِيًّا جَاهِلاً

(Allah tidak mengangkat seorang wali yang bodoh)

III. Thariqat

Di antara tanda-tanda kaum sufi gadungan adalah mereka yang memisahkan atau membeda-bedakan antara syari’at dan thariqat, atau membedakan antara syari’at dengan hakekat. Tidak sedikit dari kalangan mereka yang tidak shalat, puasa, atau amal ibadah lainnya dengan alasan bahwa itu semua hanya pekerjaan syari’at atau zhahir saja, bukan hakikat atau batin; yang merupakan intinya.

Kaum sufi sejati tidak membedakan antara syari’at dengan hakekat. Hakekat tidak akan pernah dapat diraih kecuali dengan jalan syari’at. Dan karenanya syari’at disebut sebagai thariq (thariqah), karena ia merupakan jalan menuju hakekat tersebut. Imam al-Junaid al-Baghdadi, pemimpin kaum sufi, berkata:

طَرِيْقُنَا هذَا مَضْبُوطٌ بِالكِتَابِ وَالسُّنَّةِ إذِ الطّرِيْقُ إلَىاللهِ مَسْدُوْدَةٌ إلاّ عَلَى المُقْتَفِيْنَ ءَاثَارَ رَسُوْلِ اللهِ

(Jalan kita ini (tasawwuf) diikat al-Qur'an dan sunnah rasul, karena sesungguhnya setiap jalan menuju Allah itu tertutup kecuali bagi mereka yang berpegang teguh dengan apa yang digariskan Rasulullah)

Dalam kesempatan lain beliau berkata:

مَنْ لَمْ يَحْفَظِ القُرْءَانَ وَلَمْ يَكْتُبِ الحَدِيْثَ لاَ يُقْتَدَى بِهِ فِي هذا الأمْرِ، لأنَّ عِلْمَنَا هذا مُقَيَّدٌ بأصُوْلِ السُّنَّةِ

(Orang yang tidak hafal al-Qur’an dan tidak mau menulis hadis, maka ia tidak diikuti dalam urusan ini (tasawwuf), karena ilmu kita ini terikat dengan pokok-pokok sunnah)

Seorang sufi besar lainnya, imam Sahl al-Tustary berkata:


أصُوْلُ مَذهَبِنَا ثَلاَثَةٌ, الاقتِدَاءُ بِالنَّبِيِّ فِي الأخْلاَقِ وَالأفْعَالِ وَالأكْلِ مِنَ الحَلاَلِ وَإخْلاَصِ النِّيَّةِ فِي جَمِيْعِ الأفْعَالِ

Maknanya: “Landasan kita ini (tasawwuf) tiga perkara: mencontoh akhlak dan perbuatan rasulullah, makan dari makanan halal dan ikhlas dalam setiap perbuatan".

Pengertian thariqat di atas adalah pengertian secara umum. Artinya seluruh apa yang merupakan ajaran dalam syari’at Islam adalah merupakan jalan untuk mencapai hakekat. Hanya saja belakangan, penyebutan thariqat seakan lebih mengacu kepada apa yang telah dirintis oleh para ulama sufi atau para wali Allah dari bacaan-bacaan atau dzikir-dzikir tertentu untuk mendorong dalam meningkatkan kwalitas takwa.

Pada dasarnya apa yang telah dirintis oleh para ulama tersebut adalah sesuatu yang sangat baik. Seorang murid dihadapan mursyid-nya berjanji untuk memegang teguh syari’at hingga mendapatkan citra takwa, inilah sebenarnya tujuan thariqat. Bacaan-bacaan dzikir tersebut hanya sebagai salah satu sarana untuk meraih citra takwa tersebut.



Dalam masalah ini para ulama berkata: 

أخْذُ العَهْدِ عَلَى أيِدِيْ المَشَايِخِ مُسْتَحَبٌّ

(Mengambil janji (dalam menjankan syari'at) diatas tangan para syekh (Mursyid) itu disunnahkan).

Maksudnya bahwa menjalankan thariqat yang isinya syari'at Islam itu sendiri, dengan ditambah berjanji kepada para syekh untuk selalu berusaha menjalankan syari'at, juga berusaha untuk menjauhi hal-hal yang mubah (dengan tidak mengharamkannya), adalah hal yang sangat baik. Inilah pengertian thariqat secara garis besar.

Pemimpin para wali Allah (Suthanul 'Auliya), imam Ahmad ar-Rifa'i, perintis thariqat Rifa'iyyah berkata:


وَاعْلَمْ أنَّ كُلَّ طَرِيْقَةٍ تُخَالِفُ الشَّرِيْعَةَ فَهِيَ زَنْدَقَةٌ

(Ketahuilah sesunggguhnya setiap thariqah (menuju jalan Allah) yang menyalahi syari'at adalah kekufuran)

Kemudian esensi thariqat tidak lebih dari berzikir, tahlil, takbir, tahmid, istigfar dan shalawat atas rasulullah. Maka jelas tidak ada suatu apapun yang menyalahi syari'at, bahkan sebaliknya syari'at menganjurkan kepada setiap muslim untuk selalu berzikir, istigfar, juga shalawat.


Yang perlu digaris bawahi bahwa para wali Allah perintis thariqat di atas adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan aqidah Ahlussunnah, aqidah yang diajarkan rasulullah dan para sahabatnya.



Diantara apa yang diajarkan rasul dalam hal aqidah ialah bahwa Allah ada tanpa tempat, Dia tidak menyerupai apapun dari makhlukNya. Allah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيءٌ (الشورى:11)

(Dia (Allah) tidak menyerupaiNya suatu apapun). (QS As-Syura:11)

ARTI TAUHID DALAM ISLAM


Tauhid adalah sesuatu yang sudah akrab di telinga kita. Namun tidak ada salahnya kita mengingat beberapa keutamaannya. Karena dengan begitu bisa menambah keyakinan kita atau meluruskan tujuan sepak terjang kita yang selama ini mungkin keliru. Karena melalaikan masalah tauhid akan berujung pada kehancuran dunia dan akhirat.


Tujuan Diciptakannya Makhluk Adalah untuk Bertauhid

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat: 56)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yaitu tujuan mereka Kuciptakan adalah untuk Aku perintah agar beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Adzhim, Tafsir surat Adz-Dzariyaat). Makna menyembah-Ku dalam ayat ini adalah mentauhidkan Aku, sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama salaf.

Tujuan Diutusnya Para Rasul Adalah untuk Mendakwahkan Tauhid




Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) sembahlah Allah dan tinggalkanlah thoghut.” (QS. An-Nahl: 36)
Thoghut adalah sesembahan selain Allah. Syaikh As-Sa’di berkata, “Allah Ta’ala memberitakan bahwa hujjah-Nya telah tegak kepada semua umat, dan tidak ada satu umatpun yang dahulu maupun yang belakangan, kecuali Allah telah mengutus dalam umat tersebut seorang Rasul. Dan seluruh Rasul itu sepakat dalam menyerukan dakwah dan agama yang satu yaitu beribadah kepada Allah saja yang tidak boleh ada satupun sekutu bagi-Nya.” (Taisir Karimirrahman, Tafsir surat An-Nahl). Beribadah kepada Allah dan mengingkari thoghut itulah hakekat makna tauhid.

Tauhid Adalah Kewajiban Pertama dan Terakhir

Rasul memerintahkan para utusan dakwahnya agar menyampaikan TAUHID terlebih dulu sebelum yang lainnya. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ta’ala ‘anhu, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhori dan Muslim). Nabi juga bersabda, “Barang siapa yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illAllah niscaya masuk surga.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dihasankan Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil)Tauhid Adalah Kewajiban yang Paling Wajib

Allah berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Allah mengampuni dosa selain itu bagi orang-orang yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisaa’: 116)
Sehingga syirik menjadi larangan yang terbesar. Sebagaimana syirik adalah larangan terbesar maka lawannya yaitu tauhid menjadi kewajiban yang terbesar pula. Allah menyebutkan kewajiban ini sebelum kewajiban lainnya yang harus ditunaikan oleh hamba. Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah pada kedua orang tua.” (QS. An-Nisaa’: 36).

Kewajiban ini lebih wajib daripada semua kewajiban, bahkan lebih wajib daripada berbakti kepada orang tua. Sehingga seandainya orang tua memaksa anaknya untuk berbuat syirik maka tidak boleh ditaati. Allah berfirman,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا

“Dan jika keduanya (orang tua) memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…” (QS. Luqman: 15)

Hati yang Saliim Adalah Hati yang Bertauhid

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah di dalam tubuh itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Allah Ta’ala berfirman,

يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ (٨٨)إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“Hari dimana harta dan keturunan tidak bermanfaat lagi, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang saliim (selamat).” (QS. Asy Syu’araa’: 88-89)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yaitu hati yang selamat dari dosa dan kesyirikan.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Adzhim, Tafsir surat Asy Syu’araa’). Maka orang yang ingin hatinya bening hendaklah ia memahami tauhid dengan benar.

Tauhid Adalah Hak Allah yang Harus Ditunaikan Hamba

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah yang harus ditunaikan hamba yaitu mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun…” (HR. Bukhori dan Muslim)

Menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya artinya mentauhidkan Allah dalam beribadah. Tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dalam beribadah, sehingga wajib membersihkan diri dari syirik dalam ibadah. Orang yang tidak membersihkan diri dari syirik maka belumlah dia dikatakan sebagai orang yang beribadah kepada Allah saja (diringkas dari Fathul Majid).
Ibadah adalah hak Allah semata, maka barangsiapa menyerahkan ibadah kepada selain Allah maka dia telah berbuat syirik. Maka orang yang ingin menegakkan keadilan dengan menunaikan hak kepada pemiliknya sudah semestinya menjadikan tauhid sebagai ruh perjuangan mereka.

Tauhid Adalah Sebab Kemenangan di Dunia dan di Akhirat

Para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshor radhiyallahu ta’ala ‘anhum adalah bukti sejarah atas hal ini. Keteguhan para sahabat dalam mewujudkan tauhid sebagai ruh kehidupan mereka adalah contoh sebuah generasi yang telah mendapatkan jaminan surga dari Allah serta telah meraih kemenangan dalam berbagai medan pertempuran, sehingga banyak negeri takluk dan ingin hidup di bawah naungan Islam. Inilah generasi teladan yang dianugerahi kemenangan oleh Allah di dunia dan di akhirat.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridho kepada mereka dan merekapun telah ridho kepada Allah. Allah telah menyiapkan bagi mereka surga-surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)

Namun sangat disayangkan, kenyataan umat Islam di zaman ini yang diliputi kebodohan bahkan dalam masalah tauhid! Maka pantaslah kalau kekalahan demi kekalahan menimpa pasukan Islam di masa ini. Ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam akidah mereka. Wallahu a’lam bish showaab.

PENTINGNYA TAUHID DALAM ISLAM

tauhid adalah kewajiban yang pertama kali dalam islam, dan semua ibadah tidak diterima dan tidak sah kecuali dengannya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan rukun Islam yang lainnya—dalam hadits Mu’adz—setelah melaksanakan tauhid, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“Maka hendaklah pertama kali yang kamu serukan kepada mereka adalah, agar mereka mentauhidkan Allah ta’ala. Apabila mereka telah mengetahui hal itu maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat 5 kali sehari semalam, dan apabila mereka telah shalat maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat pada harta mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka dan diberikan kepada orang miskin di antara mereka dan hati-hatilah dengan kemuliaan harta manusia.” (Hadits ini Muttafaqun ‘alaih dengan menggunakan lafal Al-Bukhari no. 7372)

Oleh karena itu, wajib bagi setiap hamba untuk memahami 2 macam tauhid tersebut, dan dia juga harus memahami bahwa imannya tidak sah kecuali dengan memenuhi keduanya dan sesungguhnya ini merupakan kewajiban hamba baik secara ilmu maupun secara amal.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
“Tidak Aku ciptakan jin dan Manusia melainkan hanya untuk beribadah [1] kepada-Ku.” (QS. Adz –Dzariyat : 56)

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (untuk menyerukan) "Beribadalah kepada Allah (saja) dan jauhilah thoghut.” [2] (QS. An – Nahl : 36)

“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan, dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS. Al - Isra' : 23- 24)


“Janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, agar kamu tidak menjadi terhina lagi tercela”. (QS. Al Isra' : 22). Dan diakhiri dengan firmanNya : “Dan janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, sehingga kamu (nantinya) dicampakkan kedalam neraka jahannam dalam keadaan tercela, dijauhkan (dari rahmat Allah)”. (QS. Al Isra' : 39).

Dan Allah mengingatkan kita pula tentang pentingnya masalah ini, dengan firmanNya : “Itulah sebahagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu”. (QS. Al Isra' : 39).

Satu ayat yang terdapat dalam surah An-Nisa', disebutkan didalamnya 10 hak, yang pertama Allah memulainya dengan firmanNya : “Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah (saja), dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (QS. An - Nisa' : 36).

“Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu " Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tuamu, dan janganlah kamu membunuh anak anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan perbuatan yang keji, baik yang nampak diantaranya mahupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun dia adalah kerabat(mu). Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al - An'am : 151- 153)

Ibnu Mas'ud Radhiyallahu ‘anhu berkata : "Barang siapa yang ingin melihat wasiat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tertera di atasnya cincin stempel milik beliau, maka supaya membaca firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : "Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu "Janganlah kamu berbuat syirik sedikitpun kepadaNya”, dan "Sungguh inilah jalan-Ku berada dalam keadaan lurus, maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kalian ikuti jalan-jalan yang lain. [3] "

Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu berkata : "Aku pernah diboncengkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas keledai, kemudian beliau berkata kepadaku : "Wahai Mu’adz, tahukah kamu apakah hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hambaNya, dan apa hak hamba-hambaNya yang pasti dipenuhi oleh Allah?”. Aku menjawab : "Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui". Kemudian beliau bersabda : "Hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hambaNya ialah hendaknya mereka beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah ialah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun”. Lalu aku bertanya : “ya Rasulullah, bolehkah aku menyampaikan berita gembira ini kepada orang-orang?”. Beliau menjawab : "Jangan engkau lakukan itu, kerana khawatir mereka nanti bersikap pasrah". (HR. Bukhari dan Muslim)

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS:Asy Syams ayat 8-9) Ibnu Katsir dalam tafsirnya, mengutip dari pendapat Qotadah. Dan sebuah riwayat dari Mujahid, Ikrimah dan Jubair, menafsirkan ayat yang pertama, bahwa maksud mensucikan (membersihkan) jiwa adalah dari sifat-sifat yang kotor dan akhlak-akhlak yang rendah. (tafsir Ibnu Katsir 8/412)

Berbicara tentang tasawuf alangkah baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu apa itu tasawuf? Tasawuf secara bahasa berasal dari kata, 'shofa' yang berarti bersih/jernih, serta dari kata 'man shofa qolbahu minalqadr' orang yang membersihkan hatinya dari kekeruhan. Secara istilah tasawuf adalah suatu ilmu yang mana dengan ilmu tersebut seseorang dapat mengetahui keadaan hatinya, baik dan jeleknya hati tersebut, cara membersihkan hati yang jelek, dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang terpuji, serta cara mendekatkan diri kepada sang Khalik.
Sedangkan menurut Cendekiawan Islam Mesir syekh DR. Yusuf al-Qardhawi, tasawuf dalam agama ialah memperdalam kearah bagian rohaniah, ubudiyah, dan perhatiannya lebih spesifik seputar masalah itu. Tapi secara sederhana Ketua Umum PBNU Said Aqil siradj mengartikan tasawuf dengan, ilmu yang bicara tentang hati, dan tidak ada kaitannya dengan ilmu duniawi. Para pelaku tasawwuf bisa memiliki profesi apa saja, bisa seorang pedagang, politisi, ilmuwan dan lainnya. Tasawwuf membantu menata hati setiap manusia untuk menuju kepada Allah.

Menurutnya, ilmu tasawwuf pertama kali didefinisikan oleh Ali bin Musa al Kadhim, imam Syiah yang ke delapan. Dimana tasawwuf adalah mencari hakikat dari kepalsuan, dicontohkannya, belum tentu wanita yang memakai jilbab itu lebih baik dari yang tidak memakai, jika hatinya ternyata lebih baik dari yang memai jilbab.

Dari beberapa pengertian ini dapat kita pahami bahwa topik-topik yang jadi bahasan ilmu tasawuf adalah urusan hati. Hati menurut Al-Ghozali adalah sumber dari segala apa yang kita lakukan, anggota tubuh jika kita ibaratkan hanyalah anak buah, dan hati adalah rajanya. Manakala hati itu baik maka baiklah semua anggota tubuh, dan jika hati itu buruk maka buruklah apa yang dikerjakan anggota tubuh.

Disisi yang lain, yang menjadi sorotan ilmu tasawuf adalah permasalahan ahlak/tatakrama, baik akhlak kita dengan Allah SWT, atau kepada sesama. Urusan hati dan akhlak ini sangat penting, karena jika apa yang kita lakukan dalam permasalahan ibadah tanpa didasari oleh manajemen hati yang baik, maka ada kemungkinan ibadah yang kita lakukan itu tidak bernilai. Seperti contoh sedekah atau sholat yang didasari oleh riya (pamer) secara syariat (fiqih) sholat dan sedekah tersebut sah-sah saja. Tapi dalam pandangan tasawuf, sedekah atau sholat yang didasari oleh riya adalah kurang bernilai. Ada banyak ayat Alqur’an yang mengecam akan ibadah yang dilakukan tidak semata-mata karena Allah ini.

Syariat, thoriqot dan hakekat, masih sering diartikan salah oleh banyak orang. Perlu dipahami bahwa syariat (syari’ah), tarekat (thoriqoh) dan hakekat (haqiqoh), hanyalah istilah metodelogi yang dirumuskan oleh para sufi dalam cara pencapaian manusia menuju Rabb-nya. Menurut Syekh Nawawi Albantani, ada tiga jalan yang harus dilalui oleh seseorang yang ingin sampai dekat dengan Allah SWT. 

Pertama: Syari'ah. Kata syariat pada asalnya digunakan untuk arti 'tempat sampainya manusia dalam mencari minum', namun berdasarkan istilah dalam tasawuf mengandung arti 'mengerjakan apa-apa yang diperintahkan, dan meninggalkan apa-apa yang dilarang'. Atau hukum-hukum yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dipahami oleh para ulama dari Alqur’an dan Hadits, baik secara nash atau istinbath (penggalian hukum dari Alqur’an atau Hadits).

Kedua: Thoriqoh, yaitu meneliti betul tingkah laku yang pernah dikerjakan Nabi, dan berusaha untuk mengamalkannya.
Ketiga: Haqiqoh, adalah hasil/buah daripada Thoriqoh.

Syekh Jainuddin al-Malaybari merefleksikan akan tiga hal ini dalam sebuah syair. ”Fasyriatun kasafinatin wa thoriqotuun kalbahri tsumma haqiqotun dzurrun gholaa” (Syariat adalah laksana perahu, sedangkan thoriqot adalah lautan, kemudian hakikat itu adalah mutiara yang sangat mahal). Dari syair yang pendek ini bisa kita fahami bahwa, kenapa syariat diumpamakan perahu, karena perahu adalah sesuatu yang dapat mengantarkan pada tempat tujuan, dan selamat dari segala kerusakan. Thoriqot diumpamakan lautan yang didalamnya terdapat mutiara dan menggambarkan bahwa lautan ini adalah tempat apa yang kita maksud dan hakikat diumpamakan mutiara yang agung dan sangat mahal harganya. Ini mengisyaratkan kepada kita bahwa mutiara itu tidak bisa kita temukan kecuali dalam lautan. Dan kita tidak akan sampai pada lautan itu kecuali dengan menggunakan perahu.

Jadi tiga komponen ini harus harus dimiliki oleh seseorang yang menghendaki dirinya dekat dengan Allah SWT. Jika kita hanya mengambil salah satunya saja, sudah barang tentu apa yang kita kehendaki tidak akan berhasil. Syariat tanpa hakikat adalah kehampaan, hakikat tanpa syariat adalah bathil. Para ulama tasawuf sepakat jika ada seseorang mengaku wali dan mengatakan, bahwa dirinya telah terbebas dari hukum-hukum Allah (syariat) maka sungguh orang tersebut adalah telah gila.

Nah dibalik itu semua ada Kasyf (terbukanya mata batin). Ada sebagian orang yang tidak mempercayai akan hal ini, dan kiranya perlu suatu bukti, dan bukti itu tidak harus dari Alqur’an dan Hadits. Dari sebuah sejarah saja cukup, mungkin jika kita membaca sejarah Islam pastilah kita akan ingat kisah ini, yaitu tentang kejadian sahabat Umar RA yang berteriak ditengah-tengah khutbahnya: “Awas, berlindunglah kalian dibalik bukit itu!” sahabat Umar saat itu mengalami kasyf, mengetahui bahwa diatas bukit, musuh sedang mengawasi pasukan Islam. Atas situasi tersebut, Umar memperingatkan pasukan Islam yang saat itu sedang berperang disuatu tempat, padahal beliau sedang berada diatas mimbar masjid, tetapi suara beliau terdengar sampai ketengah-tengah pasukan Islam. Hal ini tentu merupakan salah satu bukti karamah beliau.

Anas bin Malik menceritakan pengalamannya: saya bertamu ke rumah Usman bin Affan. Sebelumnya, ditengah jalan, saya bertemu dengan seorang wanita. Saya sempat meliriknya dan membayangkan kecantikannya. Ketika saya masuk ke rumah Usman, beliau berkata: “Ada salah seorang dari kalian yang masuk kerumahku dan ada sisa-sisa zina nampak dimatanya! Tidakkah kamu tahu bahwa zina mata adalah memandang (pada sesuatu yang dilarang)? kamu mau bertaubat, atau saya hukum kamu?” saya bertanya kepadanya: adakah wahyu setelah Nabi? Jawab beliau: “Tidak, tetapi saya tahu (kejadian tentangmu) berdasarkan firasat yang benar. Dalam sebuah hadits Nabi bersabda: “Berhati-hatilah dengan firasat orang yang beriman, karena ia melihat dengan 'nur' Allah SWT”.

Sementara itu bagaimana tasawuf dalam kontek bernegara? Tasawuf, atau boleh kita katakan ilmu hati, sangatlah penting untuk dimiliki oleh setiap individu, apalagi para pejabat negara, karena tasawuf yang lebih mengedepankan esensi kehidupan, kesederhanaan, kejernihan hati, peduli terhadap sesama, lebih mementingkan rohani, dan menghilang sifat-sifat jelek, seperti sombong, rakus akan dunia dan memproporsionalkan nafsu. 

"Jalan seperti itu merupakan pilihan paling tepat dan mampu meningkatkan pembangunan bangsa menuju indonesia yang makin maju, adil, dan sejahtera,” 

Seperti diriwayatkan Imam Ahmad bin Hambal RA. berkata kepada anaknya yang bernama Abdullah: “Wahai anakku tetaplah dengan ilmu hadits, dan jauhilah mereka-mereka yang mengatasnamakan dirinya dengan sufiyah (pengamal ilmu tasawuf) karena terkadang sebagian mereka bodoh akan hukum-hukum agama. Tetapi semenjak Imam Ahmad bin Hambal berkawan akrab dengan Aba Hamzah al-Baghdadi (seorang ulama sufi) dan setelah Imam Ahmad bin Hambal mengetahui langsung akan keadaan dan tingkah para sufi, Imam Ahmad bin Hambal berkata kepada anaknya: “Wahai anakku, kau harus selalu dekat dengan para sufiyah (pengamal ilmu tasawuf) karena mereka telah menambahkan banyaknya ilmu kepada kami, dan muroqobah ( selalu dalam penglihatan Allah) dan rasa takut kepada Allah, zuhud, dan tingginya cita-cita.

Imam Assyafii dan Imam Ahmad, keduanya sering menghadiri mejlis sufiyah (pengamal ilmu tasawuf) lalu ada yang bertanya kepada beliau, "Kenapa kalian berdua sering menghadiri majelis orang-orang bodoh itu? Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menjawab; “Sesungguh ada pada mereka pokok segala perkara, yaitu taqwa, cinta kepada Allah, dan ma’rifat kepada-Nya".


Minggu, 22 April 2012

HAKIKAT MINNAH 'ALA AL-WAHDAH .......



Orang yang menguasai semua ilmu syari'at
namun tidak merasakan manisnya makrifat
maka dia lalai dan lelap dalam tidurnya

Takutlah kepadaNYA seperti takutnya orang
yang kebingungan di saat bertemu pandang
dengan sang kekasihNYA
ketika menghadapi ancaman maut dan segala
yang menakutkan ....


ketika menghadapi kenyataan pahitnya TAQDIR
& KEHENDAK AL-ILAHI

Makrifat diraih berkat curahan karunia Ilahi
semata & hanya Ilahi yang mampu membuka
atau fath,menjemput sang kekasihNYA
Ma'rifat tidak dapat di raih
setelah usaha sungguh-sungguhnya abdu serta
bukan karena dari riwayat yang disampaikan makhluk
dan buku / kitab yang tertulis,
juga bukan dari tutur kata manusia.


karena KALAM-NYA ... hanyalah titik diantara
Ada & ketiadaan ...... bukan berupa suara
ataulah huruf ... atau juz juz ....

Sungguh beruntung orang yang TERPILIH masuk
di dalam kubah AL-ILAH tanpa persiapannya
dan hatinya bebas dari perbudakan makhluk-Nya
(ibadah basyariyah) & bukan karena penilaian
aqal (wahmun) abdu semata
Petunjuk akan menetap di benakNYA
Ia pun merasakan sepercik makrifat di hatiNYA
denganNYA ...

Sungguh sepercik (makrifat) dari gelas yang disegel
dengan NAFI serta ISTBAT-NYA
telah memenuhi hati dengan berbagai ilmu,
melindungi pemahaman dari keraguan
dan membebaskan akal dari segala belenggu
penilaian hukum & terbebas dari tiraiNYA
dunia serta akhirat ,,,,,,,,,



SALAM MINNAH
'ALAA HAI ATIL WAHDAH ,,,,,,,,,,

PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI

JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...

KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN











AlkisAnnabila