TANBIIH

الحَمـْدُ للهِ المُــوَفَّـقِ للِعُـلاَ حَمـْدً يُوَافـــِي بِرَّهُ المُتَـــكَامِــلا وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّـهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَي النَّبِيِّ المُصْطَفَىَ وَالآلِ مَــــعْ صَـــحْــبٍ وَتُبَّـاعٍ وِل إنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا تَقْوَى الإلهِ مَدَارُ كُلِّ سَعَادَةٍ وَتِبَاعُ أَهْوَى رَأْسُ شَرِّ حَبَائِلاَ إن أخوف ما أخاف على أمتي اتباع الهوى وطول الأمل إنَّ الطَّرِيقَ شَرِيعَةٌُ وَطَرِيقَةٌ وَحَقِيقَةُ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلا فَشَرِيعَةٌ كَسَفِينَة وَطَرِيقَةٌ كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيقَةٌ دُرٌّ غَلاَ فَشَرِيعَةٌ أَخْذٌ بِدِينِ الخَالِقِ وَقِيَامُهُ بَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ انْجَلاَ وَطَرِِيقَةٌ أَخْذٌ بِأَحْوَطَ كَالوَرَع وَعَزِيمَةُ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاَ وَحَقِيقَةُ لَوُصُولُهِ لِلمَقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُورُ التّجَلِّي بِانجَلاَ مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق

hiasan

BELAJAR MENGKAJI HAKIKAT DIRI UNTUK MENGENAL ILAHI

Selasa, 12 Oktober 2021

WAHABI SALAFI YG BODOH TENTANG BID'AH

 

Kupas Hadis Tentang Bid'ah

Ada sebuah hadits yang oleh sebagian orang dijadikan alat untuk menekan atau menyudutkan sesamanya. Hadits tersebut adalah:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ وَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِدِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ. رواه أبو داود والترمذي (شرح رياض الصالحين، ج 1 ص 181)
Secara bahasa bid’ah adalah sesuatu yang belum ada contoh dan dilakukan sebelumnya. Secara istilah bid’ah adalah suatu amalan baru dalam ajaran Islam yang tidak pernah diajarkan sebelumnya (diamalkan, diucapkan, dan ditetapkan) oleh Rasulullah atau para sahabat.
Potongan hadits tentang bid’ah tersebut oleh sebagian orang dijadikan alat untuk menyudutkan sesamanya. Sehingga terkesan sebagai momok (hal yang menakutkan), yang menyebabkan banyak orang yang ragu bahkan takut untuk melakukan berbagai macam hal.
Dan jika ditelaah lebih mendalam, lafadz كُلٌّ dalam hadits tersebut tidak bermakna ‘am (umum), namun bermakna khosh (khusus). Ini berarti didalamnya terdapat pengecualian yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama.
Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua macam, yaitu bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah, dan Imam Subki membagi bid’ah menjadi tiga macam, yaitu bid’ah mubahah, bid’ah hasanah, dan bid’ah yang tidak sesuai dengan syara’.
Imam Abu Zakaria Yahya al-Nawawi (Imam Nawawi) menukil pendapat para ulama diantaranya Imam Ibnu Abdissalam yang membagi bid’ah menjadi lima bagian dengan menyebutkan kaidah-kaidahnya, yaitu:
  1. Bid’ah Wajibah, yaitu suatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya, yang tanpanya kewajiban tidak bias dilakukan dan dipahami dengan baik. Seperti halnya sibuk mempelajari dan membuat ilmu gramatikal (nahwu, shorof, balaghoh, mantiq), ilmu hadits, ilmu tafsir, ushul fiqih, qoidah fiqih, dan lain sebagainya yang bias digunakan untuk memahami al-Qur’an dan al-Hadits, mengumpulkan al-Qur’an ke dalam satu mushaf, menulis dan mengumpulkan hadits dalam satu kitab. Berkah dalam bid’ah Wajibah ini bias dinikmati oleh pengajar, percetakan buku dan kitab, dan lain sebagainya.
  2. Bid’ah Mandubah, yaitu suatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya, yang tanpanya kesunnahan tidak bias dilakukan dan dipahami dengan baik. Seperti halnya sibuk mengarang kitab, membangun madrasah, membangun pondok pesantren, universitas, sekolah, melaksanakan sholat tarawih dengan berjama’ah, melakukan wiridan secara berjamaah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, membahas ilmu tasawuf, dan lain sebagainya. Berkah dalam bid’ah mandubah ini dapat dinikmati oleh penulis, penerjemah, arsitek, guru, dan masyarakat sekitar madrasah, pondok pesantren, universitas, sekolah dan lain sebagainya.
  3. Bid’ah Muharromah, yaitu suatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasul dan sahabatnya dan dilarang agama. Seperti halnya membunuh sesama muslim atau non muslim dengan bom (dan sejenisnya), menghancurkan tempat ibadah, membuat dan mengkonsumsi narkoba, bom bunuh diri, dan lain sebagainya. Berkah dalam bid’ah muharromah ini dapat dinikmati oleh Polisi, TNI, BNN (Badan Narkotika Nasional), rehabilitas, bina sosial, penjara, dan lain sebagainya.
  4. Bid’ah Makruhah, yaitu suatu perbuatan yang bertentangan dengan keutamaan. Seperti halnya menghias masjid dengan berlebih-lebihan. Berkah dalam bid’ah ini dapat dirasakan oleh designer wallpaper (desain tata ruang), arsitek, dan lain sebagainya.
  5. Bid’ah Mubahah, yaitu suatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh nabi dan para sahabatnya yang tidak bertentangan dengan agama. Seperti halnya menciptakan berbagai jenis makanan baru, memakai kendaraan (motor, mobil, dan sebagainya), mengunakan alat komunikasi (telepon seluler, jejaring sosial, dan sebagainya), berjabat tangan setelah sholat, menghias rumah, memakai aksesoris. Berkah dalam bid’ah ini dapat dirasakan oleh koki, industri transportasi, industri telekomunikasi, dan lain sebagainya.
وأما قوله في حديث العرباض (فإن كل بدعة ضلالة) بعد قوله (وإياكم ومحدثات الأمور) فإنه يدل على أن المحدث يسمى بدعة وقوله (كل بدعة ضلالة) قاعدة شرعية كلية بمنطوقها ومفهومها، أما منطوقها فكأن يقال (حكم كذا بدعة وكل بدعة ضلالة) فلا تكون من الشرع لأن الشرع كله هدى، فإن ثبت أن الحكم المذكور بدعة صحت المقدمتان، وانتجا المطلوب، والمراد بقوله (كل بدعة ضلالة) ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص لا عام . وقوله في آخر حديث ابن مسعود (وأن ما توعدون لآت وما أنتم بمعجزين) أراد ختم موعظته بشيء من القرآن يناسب الحال. وقال ابن عبد السلام: في أواخر (القواعد) البدعة خمسة أقسام (فالواجبة) كالاشتغال بالنحو الذي يفهم به كلام الله ورسوله لأن حفظ الشريعة واجب، ولا يتأتى إلا بذلك فيكون من مقدمة الواجب، وكذا شرح الغريب وتدوين أصول الفقه والتوصل إلى تمييز الصحيح والسقيم (والمحرمة) ما رتبه من خالف السنة من القدرية والمرجئة والمشبهة (والمندوبة) كل إحسان لم يعهد عينه فى العهد النبوي كالاجتماع عن التراويح وبناء المدارس والربط والكلام في التصوف المحمود وعقد مجالس المناظرة إن أريد بذلك وجه الله (والمباحة) كالمصافحة عقب صلاة الصبح والعصر، والتوسع فى المستلذات من أكل وشرب وملبس ومسكن. وقد يكون بعض ذلك مكروها أو خلاف الأولى والله أعلم (فتح الباري بشرح صحيح البخاري، باب كتاب الاعتصام بالكتاب والسنة، ج 13 ص 254 / حاشية السيوطي والسندي على سنن النسائي، ج 3 ص 47، / صحيح مسلم بشرح النواوي، كتاب الجمعة في خطبته صلى الله عليه وسلم في الجمعة، ج 6 ص 154-155)
Berikut ini adalah hasil penemuan ilmuan dan ulama termasuk bid’ah wajibah (hasanah) yang membawa berkah:
  1. Pencetus penitikan dalam al-Qur’an adalah Abu al-Aswad ad-Duali tahun 62 H.
  2. Pencetus pengharakatan dalam al-Qur’an adalah Imam Khalil bin Ahmad al-Faraghidi (w. 185 H.)
  3. Perumus ilmu tajwid adalah Imam Abu Ubaid Qasim bin Salam (w. 67 H.)
  4. Perumus ilmu kalam adalah Imam Washil bin Atha’ dan disempurnakan oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari.
  5. Perumus ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab) adalah Imam Sibawaih.
  6. Perumus ilmu Ushul Fiqih adalah Imam Syafi’i
  7. Penemu ilmu musthalah al-Hadits adalah Syihabuddin Romaghurmuzi atas perintah Khalifah Umar bin Khattab.
  8. Tafsir al-Qur’an pertama kali ditulis oleh Imam Abu Ja’far at-Thabari dengan tebal 10 jilid.
  9. Perumus ilmu falak adalah al-Biruni (l. 973 w. 1050 M.)
  10. Perumus ilmu balaghoh adalah Abdul Qahir
  11. Penulis ilmu kimia adalah Abu Musa Jabir ibn Hayyan (721-815 M.)
  12. Observatorium pertama kali dibangun oleh Nasiruddin at-Tusi dan Ulugh Beg pada tahun 1259 M.
  13. Buku perumusan ilmu sejarah pertama kali ditulis oleh Ibnu Khaldun.
  14. Universitas didirikan pertama kali oleh Fatimah al-Fihri di kota Fez, Maroko pada tahun 859 H.
  15. Penulisan ilmu kedokteran pertama kali oleh Ibnu Sina (L. 980 M.)
  16. Penulis tentang penyakit cacar pertama kali adalah Abu Bakar ar-Razi dalam kitab “Fii al-Thibb”.
  17. Penemu ilmu bedah adalah Abu al-Qasim az-Zahrawi (936-1013 M.)
  18. Penemu ilmu matematika adalah Jabir bin Hayyan al-Azbi (w. 161 H.)
  19. Penemu kacamata adalah al-Hasan bin Haitam.
  20. Penggambar peta bumi pertama kali adalah Abdullah al-Idrisi.
  21. Penggambar ruang angkasa pertama kali adalah Abdurrohman Ibnu Hauqal.
  22. Penemu alat musik organ atau piano adalah al-Qanun Abu Nasr al-Farabi dalam kitab “Musiq al-Kubro”.
  23. Penemu solmisasi (kunci nada) adalah Ishaq al-Mausili (w. 850 M.)
  24. Peletak dasar-dasar mekanik dan industri adalah al-Jazari (abad 12).
  25. Penemu sepeda kayuh (sepeda ontel, pancal) adalah imam al-Ghazali.
  26. Penemu alat poros engkol dan kunci kombinasi adalah al-Jazari (abad 12).
  27. Penemu alat navigasi atau kompas adalah Ahmad bin Majid
  28. Perancang air mancur adalah Banu Musa bersaudara pada abad ke 9.
  29. Orang yang pertama kali terbang adalah Abbas bi Farnas.
  30. Penemu sabun mandi adalah al-Razi (abad 7).
  31. Penemu kopi adalah Khalid.

Rabu, 05 Mei 2021

HUKUM SEORANG MUSLIM MASUK GEREJA

 Ada seorang kawan bertanya, “orang Islam (muslim) masuk dan shalat di dalam gereja, atau di tempat ibadah non muslim lainnya bagaimana hukumnya?”

Terhadap pertanyaan ini saya juga menyampaikan bahwa soal ini sudah sangat lama dibahas dan diperdebatkan di kalangan ulama klasik. Telah banyak pula orang yang menulis isu ini di media sosial, seraya mengurai perdebatan para ulama itu berikut dalil-dalilnya. Berikut ini adalah ringkasan belaka dari perdebatan para ulama itu.

Hal yang penting disampaikan awal adalah bahwa isu ini tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Kitab suci ini hanya menyatakan : “dirikanlah shalat”.

Lalu Al-Qur’an dalam ayat yang menyebutkan tentang perlindungan terhadap tempat-tempat ibadah :

وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا ۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

“Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia atas sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.(Q.S Al-Hajj, 40).

Ayat ini memperlihatkan bahwa tempat-tempat ibadah agama itu eksis karena Allah melindunginya.

Jadi tentang tempatnya di mana tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an. Nabi juga tidak menjelaskan secara jelas dan khusus mengenai masalah ini. Beliau hanya mengatakan :

وجعلت لي الأرض مسجدًًا وطهورًًا، فأيما رجل من أمتي أدركته الصلاة فليصل ”

“bumi ini dijadikan untukku sebagai masjid (tempat sujud) dan suci. Maka siapapun dari umatku masuk waktu shalat maka shalatlah”.

Ada juga hadits Nabi yang menyebutkan bahwa “Nabi saw melarang shalat di tujuh tempat yaitu tempat sampah, tempat penyembelihan, kuburan, ditengah jalan, kamar mandi, kandang unta, dan diatas bangunan baitullah”. Di situ jelas tidak disebutkan gereja atau rumah ibadah yang lain.

Jika kita membaca perbincangan ulama tentang isu itu, maka kita menemukan tiga pandangan : membolehkan, memakruhkan (kurang baik), dan mengharamkan jika di gereja itu ada gambar. Masing-masing mengemukakan argumen dari teks sumber yang berbeda-beda, atau dari teks sumber yang sama tetapi dengan pemaknaan yang berbeda atau kecenderungan yang berbeda pula.

Masuk atau Shalat di Gereja

Para ulama fiqh membedakan antara sekedar masuk ke dalam gereja (tidak shalat) dan shalat di dalam gereja. Dalam kedua kasus itu mereka berbeda pendapat. Perdebatan ini dikemukakan dalam “Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah”,
(Ensiklopedia Fiqh).

دخول المسلم معابد الكفار
اختلف الفقهاء فى جواز دخول المسلم معابد الكفار على أقوال : ذهب الحنفية الى أنه يكره المسلم دخول البيعة والكنيسة لأنه مجمع الشيطان. لا من حيث أنه ليس له حق الدخول . ويرى المالكية والحنابلة وبعض الشافعية أن المسلم دخول بيعة وكنيسة ونحوهما . وقال بعض الشافعية فى راي اخر لا يجوز للمسلم دخولها الا بإذنهم . (الموسوعة الفقهية جز ٣٨, ص ١٥٥).

Masuk Rumah Ibadah orang kafir.

“Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukum seorang muslim masuk gereja atau tempat peribadatan orang kafir. Mazhab Hanafi tidak menyukai muslim datang ke gereja, karena di situ tempat pertemuan setan. Tetapi bukan berarti tidak boleh. Mazhab Maliki, Mazhab Hambali dan sebagian Mazhab Syafi’i, membolehkan masuk gereja atau Sinagog atau tempat ibadah yang semacam itu. Sebagian pengikut mazhab Syafi’i membolehkan dengan syarat memeroleh izin mereka”. (Mausu’ah Fiqhiyyah, vol. 38/155).

الصلاة فى معابد الكفار
نص جمهور الفقهاء على أنه تكره الصلاة فى معابد الكفار إذا دخلها مختارا . أما أن دخلها مضطرا فلا كراهة. وقال الحنابلة تجوز الصلاة فيها من غير كراهة على الصحيحة من المذهب. وروى عن أحمد تكره. وقال الكسانى من الحنفية لا يمنع المسلم أن يصلى فى الكنيسة من غير جماعة لأنه ليس فيه تهاون ولا استخفاف. (الموسوعة الفقهية، ج ٣٨ ص ١٥٥).

“Shalat di tempat-tempat peribadatan orang-orang kafir”.

“Mayoritas ahli fiqh memutuskan “makruh” (kurang baik), seorang muslim shalat di tempat-tempat ibadah orang kafir jika ia menginginkannya. Tetapi tidak makruh jika terpaksa”.

“Mazhab Hambali membolehkan shalat di tempat-tempat itu, tidak makruh. Al-Kasani dari Mazhab Hanafi malah mengatakan : “tidak boleh melarang muslim shalat sendirian (tidak berjamaah) di gereja. Itu bukan melecehkan atau merendahkan kaum muslimin”. (Mausu’ah Fiqhiyyah, vol. 38/155).

Ibnu Qudamah (w. 1223 M), ahli fiqh besar dalam mazhab Hambali mengatakan :

“ولا بأس بالصلاة في الكنيسة النظيفة، رخص فيها الحسن و عمر بن عبد العزيز والشعبي والأوزاعي وسعيد بن عبد العزيز وروي عن عمر وأبي موسى , وكره ابن عباس و مالك الكنائس من أجل الصور , ولنا أن النبي صلى الله عليه و سلم صلى في الكعبة وفيها صور ثم هي داخلة في قوله عليه السلام: “فأينما أدركتك الصلاة فصل فإنه مسجد”. (المغنى 1 ص ٧٢٣)

“Tidak ada masalah seorang muslim shalat di tempat yang bersih di gereja. Ini pendapat Al-Hasan, Umar bin Abd al-Aziz, al-Sya’bi, al-Auza’i, Sa’id bin Abd al-Aziz, konon juga Umar bin Khattab dan Abu Musa al-Asy’ari. Sementara Ibnu Abbas dan Imam Malik, berpendapat “makruh” (kurang baik) karena di sana ada gambar patung. Menurut kami (tidak demikian). Nabi pernah masuk ke dalam Ka’bah yang di dalamnya ada gambar patung. Lagi pula shalat di situ termasuk dalam ucapan Nabi : jika waktu shalat telah tiba, kerjakan shalat di manapun, karena di manapun bumi Allah adalah masjid (tempat sujud)”. (Al-Mughni, I/759).

Ibnu Taimiyah konon adalah ulama yang mengharamkan. Tetapi saat ditanya mengenai kasus ini menyebut tiga alternatif : tidak boleh dan boleh. Kemudian dia mengatakan :

والثالث : وهو الصحيح المأثور عن عمر بن الخطاب وغيره وهو منصوص عن أحمد وغيره أنه إن كان فيها صور لم يصل فيها لأن الملائكة لا تدخل بيتا فيه صورة ولأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يدخل الكعبة حتى محي ما فيها من الصور

Pendapat yang ketiga dan ini yang sahih berdasarkan kisah Umar bin al-Khattab, dan pendapat Imam Ahmad dan lainnya : jika di dalam gereja itu ada gambar, maka tidak boleh shalat, karena Malaikat tidak akan mau masuk di rumah yang di dalamnya ada gambar, dan karena Nabi tidak masuk ke Ka’bah sampai gambar yang ada di dalamnya dibuang”.

Pandangan Ibnu Taimiyah ini tidak menyebutkan secara jelas apakah tidak shalat itu berarti haram atau makruh saja?. Orang bisa menafsirkan secara berbeda. Lagi pula hadits yang jadi argumennya juga problematik. Apakah setiap rumah yang ada gambarnya tidak boleh ditempati untuk shalat, karena Malaikat tidak akan masuk ke dalamnya?

Kisah Umar bin al-Khattab

Ada cerita populer yang menarik terkait isu ini. Umar bin Khattab, Khalifah yang cerdas dan adil itu, suatu hari datang ke Yerusalem untuk mengadakan perjanjian dengan kaum Nasrani di sana. Perjanjian itu dikenal : “Mu’ahadah Eliya”, sebutan untuk daerah di Yerusalem Timur. Umar tiba di gereja. Tak lama kemudian waktu shalat tiba. Uskup mempersilakan Umar shalat di dalam gereja. Tetapi beliau menolak dan memilih shalat di luarnya.

Ibnu Hajar dalam bukunya yang terkenal “Fath al-Bari”, komentar Sahih Bukhari menulis :

‌باب الصلاة في البيعة وقال عمر رضي الله عنه إنا لا ندخل كنائسكم من أجل التماثيل التي فيها الصور

Bab Shalat di Gereja/Sinagog. Dan Umar mengatakan : “Kami tidak mau masuk ke gereja kalian karena di sana ada patung-patung dan gambar-gambar”.

Jadi Umar bukan melarang shalat di gereja. Ia tidak shalat di dalam gereja itu karena masih ada gambar atau patung. Seperti halnya Umar, Ibnu Abbas shalat di gereja kecuali jika di dalamnya ada patung. “Kana Ibn Abbas Yushalli fi al-Bi’ah Illa Bi’ah fiha Tamatsil”.

Ada informasi lain yang menyebutkan bahwa alasan Umar tidak mau masuk ke gereja adalah karena jika ia shalat di sana khawatir umat Islam akan memahami bahwa gereja itu boleh dijadikan masjid.

Ibnu Abi Syaibah menginformasikan kepada kita bahwa banyak sahabat Nabi masuk gereja dan shalat di sana. Antara lain Abu Musa al-Asy’ari shalat di sebuah gereja di Damaskus, Siria”.

ثبوت دخول الصحابة رضوان الله عليهم إلى الكنائس وصلاتهم فيها, فصلى أبو موسى رضي الله عنه بكنيسة بدمشق اسمها نحيا. (ابن أبي شيبة 4871).

Pandangan Ulama Arab Saudi

Pandangan-pandangan di atas juga masih dianut oleh para ulama zaman ini di berbagai belahan dunia, termasuk ulama besar di Arab Saudi. Beberapa di antaranya adalah Syeikh Utsaimin, Syeikh Shaleh Fauzan dan Syeikh Albani.
Argumentasi yang digunakan juga masih sama dengan argumentasi para ulama dahulu kala, sebagaimana yang sudah diurai di atas.

Belakangan ada kabar viral. Seorang ulama senior Arab Saudi, Abdullah bin Sulaiman Al-Muni’, anggota Dewan Cendekiawan Senior Arab Saudi mengeluarkan fatwa :

لا مانع من الصلاة في مساجد الشيعة أو الصوفية أو كنائس النصارى واليهود، مشيرا إلى أن الأرض كلها لله سبحانه وتعالى، واستشهد بحديث النبي صلى الله عليه وسلم «جعلت لي الأرض مسجدا وطهورا».

“Tidak ada larangan bagi umat Islam (Sunni) untuk shalat di mesjid mana saja baik Sunni maupun Syiah, masjid kaum Sufi, Gereja bahkan Sinagog Yahudi”. Ia merujuk pada hadits Nabi bahwa bumi Allah di manapun bisa dijadikan tempat sujud dan suci.

Selanjutnya Al-Muni’ menegaskan bahwa Islam adalah agama toleran dan kasih, bukan agama kekerasan, intoleran atau terorisme. Dia menekankan bahwa umat Islam harus menyebarkan Islam yang benar dan mengikuti tradisi Nabi Muhammad SAW untuk memperlakukan orang-orang yang berbeda agama secara toleran.

Yang  di haramkan itu muslim merusak tempat ibadah agama lain , muslim beribadah dg caranya agama lain , muslim mengganggu ketentraman agama lain.

BIJAKLAH DALAM BERAGAMA 

ISLAM ADA KARENA MENJADI RAHMAT BUAT SELURUH ALAM BESERTA ISINYA .

Minggu, 25 April 2021

RISALAH AHLI SUNNAH WAL JAMA'AH

 1. Muqaddimah (Pengantar)


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ للهِ شُكْرًا عَلَى نَوَالِهِ, وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَﺁلِهِ, وَبَعْدُ, فَهَذَا كِتَابٌ أَوْدَعْتُ فِيْهِ شَيْئًا مِنْ حَدِيْثِ الْمَوْتَى وَأَشْرَاطِ السَّاعَةِ, وَشَيْئًا مِنَ الْكَلَامِ عَلَى بَيَانِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ, وَشَيْئًا مِنَ الْأَحَادِيْثِ بِقَصْدِ النَّصِيْحَةِ, وَالَى اللهِ الْكَرِيْمِ أَمُدُّ اَكُفَّ الْاِبْتِهَالِ, أَنْ يَنْفَعَ بِهِ نَفْسِيْ وَأَمْثَالِيْ مِنَ الْجُهَّالِ, وَأَنْ يَجْعَلَ عَمَلِيْ خَالِصًا لِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ, إِنَّهُ جَوَادٌ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ, وَهَذَا أَوَانُ الشُّرُوْعِ فِي الْمَقْصُوْدِ, بِعَوْنِ الْمَلِكِ الْمَعْبُوْدِ .

Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji bagi Allah, sebagai sebuah ungkapan rasa syukur atas segala anugerahNya. Rahmat ta’dzim dan salam mudah-mudahan terlimpahcurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. dan seluruh keluarga beliau.

Apa yang akan hadir dalam kitab ini, saya tuturkan beberapa hal antara lain: Hadits-hadits tentang orang-orang yang mati, tanda-tanda hari kiamat, penjelasan tentang sunnah dan bid’ah dan beberapa hadits yang berisi nasehat-nasehat agama.

Kepada Allah, Dzat Yang Maha Mulia kutengadahkan telapak tangan, kuberdoa dengan sepenuh hati, kumohonkan agar kitab ini memberikan manfaat untuk diri kami dan orang-orang bodoh semisal kami. Mudah-mudahan Allah menjadikan amal kami sebagai amal shalih Liwajhillahil Karim, karena Ia lah Dzat Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dengan segala pertolongan Allah Dzat yang disembah, penyusunan kitab ini dimulai.

2. Pasal Menjelaskan Tentang Sunnah dan Bid’ah

فَصْلٌ فِيْ بَيَانِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ

اَلسُّنَّةُ بِالضَّمِّ وَالتَّشْدِيْدِ كَمَا قَالَ أَبُو الْبَقَاءِ فِيْ كُلِّيَّتِهِ : لُغَةً اَلطَّرِيْقَةُ وَلَوْ غَيْرَ مَرْضِيَّةٍ. وَشَرْعًا اِسْمٌ لِلطَّرِيْقَةِ الْمَرْضِيَّةِ الْمَسْلُوْكَةِ فِي الدِّيْنِ سَلَكَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَوْ غَيْرُهُ مِمَّنْ عُلِمَ فِي الدِّيْنِ كَالصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ. وَعُرْفًا مَا وَاظَبَ عَلَيْه مُقْتَدًى نَبِيًّا كَانَ اَوْ وَلِيًّا. وَالسُّنِّيُّ مَنْسُوْبٌ اِلَى السُّنَّةِ حُذِفَ التَّاءُ لِلنِّسْبَةِ.

وَالْبِدْعَةُ كَمَا قَالَ الشَّيْخُ زَرُوْقٌ فِيْ عُدَّةِ الْمُرِيْدِ : شَرْعًا إِحْدَاثُ اَمْرٍ فِي الدِّيْنِ يُشْبِهُ اَنْ يَكُوْنَ مِنْهُ وَلَيْسَ مِنْهُ سَوَاءٌ كَانَ بِالصُّوْرَةِ اَوْ بِالْحَقِيْقَةِ. لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فِيْ اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. وَقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" وَكُلُّ مُحْدَثٍ بِدْعَةٌ "

وَقَدْ بَيَّنَ الْعُلَمَاءُ رَحِمَهُمُ اللهُ أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْحَدِيْثَيْنِ الْمَذْكُوْرَيْنِ رَاجِعٌ لِتَغْيِيْرِ الْحُكْمِ بِاعْتِقَادِ مَا لَيْسَ بِقُرْبَةٍ قُرْبَةً لَا مُطْلَقِ الْإِحْدَاثِ, اِذْ قَدْ تَنَاوَلَتْهُ الشَّرِيْعَةُ بِأُصُوْلِهَا فَيَكُوْنُ رَاجِعًا اِلَيْهَا اَوْ بِفُرُوْعِهَا فَيَكُوْنُ مَقِيْسًا عَلَيْهَا.

وَقَالَ الْعَلَّامَةُ مُحَمَّدٌ وَلِيُّ الدِّيْنِ اَلشِّبْثِيْرِيُّ فِيْ شَرْحِ الْأَرْبَعِيْنَ النَّوَوِيَّةِ عَلَى قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا اَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ

وَدَخَلَ فِي الْحَدِيْثِ اَلْعُقُوْدُ الْفَاسِدَةُ, وَالْحُكْمُ مَعَ الْجَهْلِ وَالْجَوْرِ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِمَّا لَا يُوَافِقُ الشَّرْعَ. وَخَرَجَ عَنْهُ مَا لَا يَخْرُجُ عَنْ دَلِيْلِ الشَّرْعِ كَالْمَسَائِلِ الْاِجْتِهَادِيَّةِ الَّتِيْ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اَدِلَّتِهَا رَابِطٌ اِلَّا ظَنُّ الْمُجْتَهِدِ وَكِتَابَةِ الْمُصْحَفِ وَتَحْرِيْرِ الْمَذَاهِبِ وَكُتُبِ النَّحْوِ وَالْحِسَابِ .

Pengertian Sunnah

Lafadz as-Sunnah dengan dibaca dhammah sin-nya dan diiringi dengan tasydid, sebagaimana dituturkan oleh Imam al-Baqa’ dalam kitab Kulliyat-nya secara etimologi adalah thariqah (jalan), sekalipun yang tidak diridhai.

Menurut terminologi syara’ as-Sunnah merupakan thariqah (jalan) yang diridhai dalam menempuh agama sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rasulullah Saw. atau selain beliau, yakni mereka yang memiliki otoritas sebagai panutan di dalam masalah agama seperti para sahabat Ra.

Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Saw.: “Tetaplah kalian untuk berpegang teguh pada sunnahku dan sunnahnya Khulafaur Rasyidin setelahku.”

Sedangkan menurut terminologi ‘urf adalah apa yang dipegangi secara konsisten oleh tokoh yang menjadi panutan, apakah ia sebagai nabi ataupun wali. Adapun istilah as-Sunni merupakan bentuk penisbatan dari lafadz as-Sunnah dengan membuang ta’ untuk penisbatan.

Pengertian Bid'ah

Bid’ah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Zaruq di dalam kitab ‘Iddat al-Murid menurut terminologi syara’ adalah: “Menciptakan hal perkara baru dalam agama seolah-olah ia merupakan bagian dari urusan agama, padahal sebenarnya bukan, baik dalam tataran wacana, penggambaran maupun dalam hakikatnya.”

Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Saw.: “Barangsiapa menciptakan perkara baru didalam urusanku, padahal bukan merupakan bagian daripadanya, maka hal itu ditolak.”

Dan sabda Nabi Saw.: “Dan segala bentuk perkara yang baru adalah bid’ah.”

Para ulama rahimahullaah menjelaskan tentang esensi dari makna dua hadits tersebut di atas dikembalikan kepada perubahan suatu hukum dengan mengukuhkan sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan ibadah tetapi diyakini sebagai konsepsi ibadah. Jadi bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum. Karena kadang-kadang bisa jadi perkara baru itu berlandaskan dasar-dasar syari’ah secara asal sehingga ia menjadi bagian dari syari’at itu sendiri, atau berlandaskan furu’us syari’ah sehingga ia dapat dianalogikan kepada syari’at.

Al-‘Allamah Muhammad Waliyuddin asy-Syibtsiri dalam Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah memberikan komentar atas sebuah hadits Nabi Saw.: “Barangsiapa membuat persoalan baru atau mengayomi seseorang yang membuat pembaharuan, maka ditimpakan kepadanya laknat Allah.”

Masuk dalam kerangka interpretasi hadits ini yaitu berbagai bentuk akad-akad fasidah, menghukumi dengan kebodohan dan ketidakadilan, dan lain-lain dari berbagai bentuk penyimpangan terhadap ketentuan syara’.

Keluar dari bingkai pemahaman terhadap hadits ini yakni segala hal yang tidak keluar dari dalil syara’ terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dimana tidak terdapat korelasi yang tegas antara masalah-masalah tersebut dengan dalil-dalilnya kecuali sebatas persangkaan mujtahid. Dan seperti menulis Mushaf, mengintisarikan pendapat-pendapat imam madzhab, menyusun kitab nahwu dan ilmu hisab.

Bid'ah Terbagi Menjadi Lima: Wajib, Haram, Sunnah, Makruh, Mubah

وَلِذَا قَسَّمَ ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ اَلْحَوَادِثَ اِلَى الْأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ فَقَالَ : اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاجِبَةً كَتَعَلُّمِ النَّحْوِ وَغَرِيْبِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مِمَّا يُتَوَقَّفُ فَهْمُ الشَّرِيْعَةِ عَلَيْهِ, وَمُحَرَّمَةً كَمَذْهَبِ الْقَدَرِيَّةِ وَالْجَبَرِيَّةِ وَالْمُجَسِّمَةِ, وَمَنْدُوْبَةً كَإِحْدَاثِ الرُّبُطِ وَالْمَدَارِسِ وَكُلِّ إِحْسَانٍ لَمْ يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ الْأَوَّلِ, وَمَكْرُوْهَةً كَزُخْرُفَةِ الْمَسَاجِدِ وَتَزْوِيْقِ الْمَصَاحِفِ, وَمُبَاحَةً كَالْمُصَافَحَةِ عَقِبَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَالتَّوَسُّعِ فِي الْمَأْكَلِ وَالْمَشْرَبِ وَالْمَلْبَسِ وَغَيْرِ ذَلِكَ .

فَإِذَا عَرَفْتَ مَا ذُكِرَ تَعْلَمُ اَنَّ مَا قِيْلَ : إِنَّهُ بِدْعَةٌ, كَاتِّخَاذِ السُّبْحَةِ, وَالتَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ, وَالتَّهْلِيْلِ عِنْدَ التَّصَدُّقِ عَنِ الْمَيِّتِ مَعَ عَدَمِ الْمَانِعِ عَنْهُ, وَزِيَارَةِ الْقُبُوْرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَيْسَ بِبِدْعَةٍ

وَإِنَّ مَا أُحْدِثَ مِنْ أَخْذِ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأَسْوَاقِ اللَّيْلِيَّةِ, وَاللَّعِبِ بِالْكُوْرَةِ وَغَيْرَ ذَلِكَ مِنْ شَرِّ الْبِدَعِ

Karena itulah Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima. Beliau berkata:

“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah Saw. (Bid’ah tersebut adakalanya):

1. Bid’ah Wajibah: seperti mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik yang terdapat di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, dimana pemahaman terhadap syari’ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya.

2. Bid’ah Muharramah: seperti aliran Qadariyah, Jabariyah dan Mujassimah.

3. Bid’ah Mandubah: seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.

4. Bid’ah Makruhah: seperti berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain sebagainya.

5. Bid’ah Mubahah: seperti bersalaman selesai shalat Shubuh dan Ashar, membuat lebih dalam makanan dan minuman, pakaian dan lain sebagainya.”

Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka maka diketahui bahwa adanya klaim bahwa berikut ini adalah bid’ah, seperti memakai tasbih, melafadzkan niat, membaca tahlil ketika bersedekah setelah kematian dengan catatan tidak adanya perkara yang mencegah untuk bersedekah tersebut, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid’ah.

Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar-pasar malam, bermain undian pertunjukan gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk-buruknya bid’ah.

Selasa, 20 April 2021

POLEMIK MASALAH HUKUM ROKOK

 Para ulama’ berbeda pendapat dalam hukum rokok, tetapi setelah merenung dan menyadari bahwa Islam adalah agama yang bersih dari segala kotoran zahir maupun batin, dan islam adalah agama yang hanya mengajak kepada yang lebih baik, ternyata ia juga adalah agama yang mudah dan jauh dari berbagai kesulitan dan tasyaddud, al-Qur’an dan Sunnah adalah pegangan satu-satunya, dari itu mengapa bersusah payah? dan mengapa menyusahkan orang? Allah swt. berfirman : “Allah sama sekali tidak pernah berkehendak memberimu kesulitan walau sedikit”. Rasulullah saw. bersabda : “Yang halal sudah nyata dan yang harampun telah nyata”.

Para pembaca yang budiman, di dalam syari’at Islam yang benar, mudah dan suci, merokok ternyata hukumnya tidak haram, mengapa?

Allah swt. dan Rasul-Nya saw. tidak pernah menegaskan bahwa tembakau atau rokok itu haram.

Hukum asal setiap sesuatu adalah halal kecuali ada nash yang dengan tegas mengharamkan.

Sesuatu yang haram bukanlah yang memudlaratkan, dan sesuatu yang halal bukanlah yang memiliki banyak manfaat, akan tetapi yang haram adalah yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya walau bermanfaat, dan yang halal adalah yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya walau memudlaratkan.

Tidak setiap yang memudlaratkan itu haram, yang haram adalah yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya baik itu memudlaratkan atau tidak. Cabe, daging kambing, gula, asap mobil, dll. juga memudlaratkan tapi tidak haram, mengapa justru rokok saja yang haram padahal masih banyak yang lain yang juga memudlaratkan?

Segala jenis ikan di dalam laut hukum memakannya halal sebagaimana yang diterangkan dalam hadits. Padahal banyak jenis ikan yang memudlaratkan di dalam laut tersebut, tetapi tetap halal walau memudlaratkan. Kalau kita mengharamkannya maka kita telah mentaqyid hadits yang berbunyi “Yang suci airnya dan yang halal bangkainya”.

Kita boleh saja melarang atau meninggalkan tapi kata-kata haram tidak boleh terucapkan karena Allah berfirman: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” [Qs. Al-An’am : 57]. Kita boleh mengatakan: Jangan merokok karena ia memudlaratkan, tapi tidak boleh kita mengatakan : Merokok itu haram, sebagaimana kita mengatakan kepada anak-anak kita: Jangan makan coklat karena ia merusak gigi, dan kita tidak pernah mengatakan: Makan coklat itu haram. Kita mungkin mengatakan: Memakan permen yang diberi sambel dapat menyebabkan penyakit influenza, namun tidak boleh kita mengatakan: Makan permen yang dicampur sambel itu haram.

Kalau rokok dikatakan bagian dari khaba’its maka bawang juga termasuk khaba’its, mengapa rokok saja yang diharamkan sementara bawang hanya sekedar makruh (itupun kalau akan memasuki masjid)?

Rokok adalah termasuk Mimma ammat bihil-balwa pada zaman ini.

Hadits “La dlarara wala dlirar” masih umum, dan bahaya-bahaya rokok tidak mutlak dan tidak pasti, kemudian ia bergantung pada daya tahan dan kekuatan tubuh masing-masing.

Boros adalah menggunakan sesuatu tanpa membutuhkannya, dari itu jika seseorang merokok dalam keadaan membutuhkannya maka ia tidaklah pemboros karena rokok ternyata kebutuhan sehari-harinya juga.

Rokok adalah bagian dari makanan atau minuman sebab ia dikonsumsi melalui mulut, maka ia halal selama tidak berlebihan, Allah berfirman, “Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan” dan Allah telah menyebutkan makanan-makanan dan minuman-minuman yang haram seperti arak, babi, dll. dan ternyata Allah tidak menyebut rokok di antaranya.

Realita menunjukkan bahwa rokok ternyata memberi banyak manfaat terutama dalam menghasilkan uang, di pulau Lombok misalnya, hanya tembakaulah yang membuat para penduduknya dapat makan, jika rokok diharamkan maka mayoritas penduduk Lombok tidak tahan hidup. Allah berfirman: “Katakanlah hai Muhammad: Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal. Katakanlah: Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu tentang ini atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”

Terdapat banyak cara untuk mengurangi dan mencegah bahaya-bahaya rokok.

Qiyas kepada khamr tidak benar karena rokok tidak memabukkan dan tidak menghilangkan akal, justru seringnya melancarkan daya berfikir. Dan yang paling penting adalah haramnya khamr karena ada nash, dan tidak haramnya rokok karena tidak ada nash. Kemudian qiyas tidak boleh digunakan dengan sembarangan.

Rokok tidak ada hubungannya sama sekali dengan ayat “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” karena ayat tersebut membicarakan hal lain.

Adapun ayat “Dan janganlah kamu membunuh dirimu” maksudnya adalah bunuh diri, maka adakah orang yang sengaja membunuh dirinya dengan menghisap rokok? kalaupun ada jenis rokok yang sengaja dibuat untuk bunuh diri maka tetap yang haram bukan rokoknya akan tetapi yang haram adalah bunuh dirinya. Sebagaimana seseorang membunuh dirinya dengan pisau, maka yang haram bukan menggunakan pisaunya tetapi bunuh dirinya.

Mengharamkan yang bukan haram adalah termasuk dosa besar maka diharapkan untuk berhati-hati, Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta : Ini halal dan ini haram, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidakah beruntung”.

Banyak ulama’ dan auliya’ yang juga perokok bahkan perokok berat, apakah kita menyamakan mereka dengan para bajingan yang minum arak di pinggir jalan? Allah berfirman: “Apakah patut Kami jadikan orang-orang islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa? Mengapa kamu berbuat demikian? bagaimanakah kamu mengambil keputusan?”, Allah juga berfirman: “Apakah orang yang beriman itu sama seperti orang yang fasik? Sesungguhnya mereka tidak sama”, Allah juga berfirman: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”.

Banyak ulama’ yang tidak mengharamkan rokok seperti : Syekh Syehristani, Syekh Yasin al-Fadani, Syekh al-Sistani, Syekh Muhammad al-Salami, Syekh al-Dajawi, Syekh Alawi al-Saqqaf, Syekh Muhammad bin Isma’il, Syekh al-Ziadi, Syekh Mur’i al-Hanbali, Syekh Abbas al-Maliki, Syekh Izzuddin al-Qasysyar, Syekh Umar al-Mahresi, Syekh Muhammad Alawi al-Maliki, Syekh Hasan al-Syennawi, Syekh Ahmad bin Abdul-Aziz al-Maghribi, Syekh Abdul-Ghani al-Nabulsi ra., Syekh Muhammad Utsman Abduh al-Burhani ra., Maulana Syekh Mukhtar ra., dll.

Dalam kitab Muntakhabat al-Tawarikh Lidimasyq, Syekh Muhammad Adib al-Hishni mengutip ungkapan seorang wali besar dan ulama’ ternama serta tokoh sufi terkemuka asal Syiria, yaitu Sidi Abdul-Ghani al-Nabulsi ra. (wafat tahun 1143 H.) yang berbunyi sebagai berikut :

دخان التبغ هام به البرايا # فطيب العود سفل وهو علو

مرارته حلاوة ذائقيه # ألا فاعجب لمر وهو حلو

Asap rokok menggoda selera;

Pun semerbak kasturi tertandingi.

Pahitnya, manis terasa,

Aneh, pahit kok manis rasanya.

Dalam buku yang sama menceritakan: Syekh Sunan Efendi yang lebih dikenal dengan sebutan Allati Barmaq, seorang mufti dan pakar fiqh bermazhab hanafi yang sempat meraih julukan Syaikhul-Islam pada zamannya, pernah membaca karya tulis Sidi Abdul-Ghani al-Nabulsi ra. tentang kebolehan merokok, yang berjudul: al-Ishlah bainal-Ikhwan fi Ibahat Syurb al-Dukhan, Syekh Allati Barmaq saat itu mengharamkan rokok, oleh karena itu ia sangat kontra dengan isi buku tersebut yang kemudian terjadilah adu argumen antara Syekh Allati Barmaq dengan Sidi al-Nabulsi yang akhirnya Syekh Allati Barmaq mengakui kebenaran Sidi al-Nabulsi lantas minta maaf, lalu dengan tegas mengatakan bahwa yang mengharamkan rokok adalah jahil, tolol, zindiq dan tak ubahnya dengan binatang hina. Sebab ternyata pada rokok terdapat rahasia Allah yang menyirati banyak khasiat dan manfaat. Aroma dan rasanya pun amat lezat. Ungkapan tersebut berbunyi sebagai berikut :

جهول منكر الدخان أحمق # عديم الذوق بالحيوان ملحق

مليح ما به شيء حرام # ومن أبدى الخلاف فقد تزندق

ألا يا أيها الصوفي ميلا # إلى الدخان علك أن توفق

ولولا أن في الدخان سرا # لما فاحت روائحه وعبق

ففي الدخان سر الله يبدو # وشاهده المحقق التي برمق

Sungguh tolol, yang tak peka asap rokok

Bak hewan yang tak punya cita rasa.

Tak patut diharamkan,

Hanya kaum zindiq lah yang merekayasa.

Wahai para pecandu sufi,

Kenapa tak kau rengkuh rokok saja.

Andai tak ada rahasia,

Baunya pun tak kan lezat terasa.

Padanya; rahasia Sang Kuasa,

Ahli hakekat, Allati Barmaq sebagai saksinya.

Dalam kitab Jawahirul-Bihar fi Fadla’ilinnabiyyil-Mukhtar oleh Syekh Yusuf al-Nabhani, menyatakan sebagai berikut :

من جواهر العارف النابلسي قوله رضي الله عنه في رحلته الحجازية المذكورة : جاء إلى مجلسنا السيد عبد القادر أفندي على عادته، وكان يقرأ علينا في مختصر صحيح البخاري في أواخره فقرأ الحديث الذي أخرجه البخاري : عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ” من رآني في المنام فسيراني في اليقظة ولا يتمثل الشيطان بي ” فتكلمنا على هذا الحديث بما تيسر وذكرنا رسالة الشيخ السيوطي التي سماها إنارة الحلك في إمكان رؤية النبي والملك، وذكرنا بعض قصص وآثار فأخبرنا السيد عبد القادر المذكور بأن هذه الرسالة عنده وجاء بها إلينا بعد ذلك في ضمن مجموع . ثم جرت معه مذاكرة في شرب الدخان فأخبرنا عن الشيخ أحمد بن منصور العقربي عن شيخنا الشريف أحمد بن عبد العزيز المغربي أنه كان يجتمع بالنبي صلى الله عليه وسلم مراراً عدة وأنه مرض مرضاً شديداً فسأل النبي صلى الله عليه وسلم عن شرب الدخان فسكت النبي صلى الله عليه وسلم ولم يرد له الجواب، ثم أمره باستعماله .

Artinya: Syekh Abdul-Ghani al-Nabulsi Ra. menceritakan sebuah perjalanannya menimba ilmu di tanah Hijaz : “Syekh Abdul-Qadir Efandi seperti biasa, hadir bersama kami untuk membacakan ringkasan Sahih Bukhari. Lantas, ia membaca hadits yang berbunyi; Dari Saidina Abi Hurairah dari Nabi saw. beliau bersabda; “Siapa yang bertemu aku pada saat mimpi; pasti akan bertemu denganku dalam keadaan terjaga, dan tak mungkin setan menyerupaiku” . Kami berdiskusi tentang hadits ini seraya mengutip karya Imam Suyuthi yang berjudul Inaratul-Halak fi Imkan Ru’yat al-Nabi wal-Malak. Syekh Abdul-Qadir Efandi menyebutkan bahwa ia memiliki karya tersebut sah secara silsilah dan akan disampaikan kepada kita (para santrinya). Selanjutnya kami berdiskusi tentang hukum merokok, lalu ia meriwayatkan: “Ada sebuah kisah dari Syekh Ahmad bin Manshur al-Aqrabi, dari Syekh Ahmad bin Abdul-Aziz al-Maghribi, ia menyatakan bahwa ia sering bertemu dengan Nabi saw. (dalam tidur maupun jaga). Suatu ketika ia jatuh sakit dan menemui beliau, kemudian menanya tentang hukum merokok, Nabi pun diam tak menjawab. Kemudian beliau malah menyuruhnya untuk merokok” !!!

وكان لأهل المدينة فيه غاية الإعتقاد وكان من أكابر الأولياء ومن محققي العلماء الأعلام رحمه الله تعالى .

Syekh Ahmad bin Abdul-Aziz al-Maghribi (yang senantiasa menjumpai Rasul dan sempat menanya beliau tentang rokok dan ternyata mendapat perintah untuk menghisapnya) adalah seorang pemuka kenamaan dan tokoh kepercayaan pada masanya. Seorang ulama’ berjasa besar bahkan waliyullah papan atas.

Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn ‘Umar Ba’alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) yang sepotong teksnya sebagai berikut:

لم يرد في التنباك حديث عنه ولا أثر عن أحد من السلف، ……. والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها، كالتداوي بالنجاسة غير صرف الخمر، وحيث خلا عن تلك العوارض فهو مكروه، إذ الخلاف القوي في الحرمة يفيد الكراهة

Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.

Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut:

إن التبغ ….. فحكم بعضهم بحله نظرا إلى أنه ليس مسكرا ولا من شأنه أن يسكر ونظرا إلى أنه ليس ضارا لكل من يتناوله, والأصل في مثله أن يكون حلالا ولكن تطرأ فيه الحرمة بالنسبة فقط لمن يضره ويتأثر به. …. وحكم بعض أخر بحرمته أوكراهته نظرا إلى ما عرف عنه من أنه يحدث ضعفا فى صحة شاربه يفقده شهوة الطعام ويعرض أجهزته الحيوية أو أكثرها للخلل والإضطراب.

Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. …Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama’ lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.

Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) dengan sepotong teks, sebagai berikut:

القهوة والدخان: سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة، فأجاب: للوسائل حكم المقاصد فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح فمباحة أو مكروه فمكروهة أو حرام فمحرمة وأيده بعض الحنابلة على هذا التفضيل. وقال الشيخ مرعي بن يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهى: ويتجه حل شرب الدخان والقهوة والأولى لكل ذي مروءة تركهما

Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-‘Ubab dari madzhab Asy-Syafi’i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama’ dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar’i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.

Menghisap tembakau atau merokok pernah dibuat pertentangan seru antara Syeikhul Islam Sayyid Ahmad Zaini Dahlan al-Hasani Radhiyallahu ‘Anhu dan Syeikh Hasballah. Keduanya saling adu dalil, hujjah dan argumentasi yang masing-masing menguatkan pendapatnya sendiri. Ini terjadi pada tahun 1877 M. Mengisap rokok adalah haram, paling tidak makruh. Demikian pendapat yang dipertahankan Syeikh Hasballah, guru besar Masjid Al-Haram. Sebaliknya, Syeikhul Islam Sayyid Ahmad Zaini Dahlan al-Hasani keturunan Sulthon Aulia Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani QS, seorang Mufti Haramain mazhab Syafi’i yang segan meninggalkan pipa rokoknya, mempertahankan kehalalan mengisap tembakau beliau seorang Waliullah yang masyhur yang dijuluki al-Imam al-Ajal(Imam pada waktunya), Bahrul Akmal(Lautan Kesempurnaan), Faridu ‘Ashrihi wa Aawaanihi (Ketunggalan masa dan waktunya), Syeikhul-Ilm wa Haamilu liwaaihi (Syeikh Ilmu dan Pembawa benderanya) Hafidzu Haditsin Nabi – Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam – wa Kawakibu Sama-ihi (Penghafal Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Bintang-bintang langitnya), Ka’batul Muriidin wa Murabbis Saalikiin (Tumpuan para murid dan Pendidik para salik).

Sayyid Ahmad Zaini Dahlan mengemukakan dalil dan alasan balik terhadap pendapat Hasballah, bahwa kalau orang muslim yang sopan mengisap tembakau dikatakan haram atau makruh, sedangkan mereka membiasakan minum rokok menjadi fasik hukumnya dan tidak sah menjadi saksi dalam perkawinan menurut hukum syara’. Kalau ini benar, maka pernikahan yang dilangsungkan beberapa tahun yang lalu menjadi tidak sah. Sebab, prosesi pernikahan tersebut dilakukan dengan saksi oleh orang yang minum rokok.

Di antara ulama-ulama Nusantara yang pernah berguru kepada Sayyid Ahmad Zaini Dahlan al-Hasani Radhiyallahu ‘Anhu ini ialah: Syeikh Nawawi Banten, Syeikh Muhammad bin Abdullah as-Shuhaimi, Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathoni menurut satu riwayat, Kiyai Muhammad Saleh Darat, Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdullah al-Minankabawi, Sayyid Utsman Betawi, Tuan Guru Hussin Kedah Al-Banjari, Syeikh Ahmad Yunus Lingga,, Sayyid Abdullah az-Zawawi, Mufti Syafiiyyah, Mekah, Datuk Hj Ahmad Ulama Brunei, Tok Wan Din, nama yang sebenar ialah Syeikh Wan Muhammad Zainal Abidin al-Fathoni, Syeikh Abdul Qadir al Fathoni (Tok Bendang Daya II), Syeikh Abdul Hamid Kudus, Syeikh Muhammad Khalil Bangkalan Madura, Syeikh Utsman bin Abdullah al-Minankabawi, Imam, Khatib dan Kadi Kuala Lumpur yang pertama, Syeikh Arsyad Thawil al-Bantani, Syeikh Muhammad al-Fathoni bin Syeikh ‘Abdul Qadir bin ‘Abdur Rahman bin ‘Utsman al-Fathoni Tuan Kisa-i’ Minankabawi [atau namanya Syeikh Muhammad Amrullah Tuanku Abdullah Saleh. Beliau inilah yang melahirkan dua orang tokoh besar di dunia Melayu. Yang seorang ialah anak beliau sendiri, Dr. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah. Dan yang seorang lagi ialah cucu beliau, Syeikh Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)], Sayyid Abdur Rahman al-Aidrus (Tok Ku Paloh), Syeikh Utsman Sarawak, Syeikh Abdul Wahab Rokan dan masih banyak lagi.

Syeikh Ahmad Khatib al-minangkabawi, ulama asal Minangkabau yang hampir selama hidupnya tinggal di Makkah dan meninggal di sana, menjelaskan bahwa merokok hukumnya haram, karena dampak negatifnya yaitu merusak kesehatan pemakainya. Dalam fatwanya, beliau juga memaparkan pendapat ulama lain tentang rokok, yaitu:

  1. Haram, bagi orang yang baginya merokok dapat merusakkannya.
  2. Perlu (wajib), bagi orang yang jika tidak merokok justru membuat mudhorot.
  3. Makruh, bagi orang yang belum terbiasa.
  4. Sunnah, bagi orang yang bila merokok mendatangkan manfaat.
  5. Halal, bagi orang yang sudah terbiasa merokok tidak mendatangkan kerusakan dan tidak hendak menghentikan nikmatnya.

Abdul Ghani An-Nabilisiy berpendapat sama dengan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Ia malah menghalalkan tembakau dan membantah dalil yang mengharamkan tembakau.

Seorang Wali besar Al-Arif Billah Syeikh Ihsan Jampes Kediri, ulama bertaraf internasional yang kitabnya jadi rujukan di Timur Tengah dan Mesir, pernah menulis masalah perbedaan pendapat rokok dengan amat bagus sekali – beliau sendiri adalah perokok. Apakah orang seperti Syeikh Ihsan Jampes yang menulis kitab tasawuf yang bermutu tinggi pada usia 33 thn itu dadanya tidak ditembusi cahaya Allah hanya karena asap rokok?

  1. Abdul Hamid Pasuruan – beliau adalah Waliullah yang masyhur dihormati oleh sesepuh mursyid tarekat mu’tabarah, tidak anti rokok dan tidak pernah mengharamkan rokok. Apakah kyai sekaliber Mbah Hamid ini shalatnya tidak diterima oleh Allah hanya karena merokok?
  2. As’ad Syamsul Arifin adalah seorang Waliullah di zamannya, yg juga merokok. apakah beliau ini akan masuk neraka hanya karena berpendapat merokok tidak haram?

Siapapun tentu mengetahui kemasyhuran KH. Khamim Jazuli ( Gus Miek ) dan pasti tahu Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh Muhammad Zaini Abd. Ghani ( Tuan Guru Ijai al-aidrus martapura Kalimantan Selatan ) dikenal sebagai seorang Wali Mursyid yg masyhur yang di kunjungi para alim ulama Habaib dari belahan dunia, juga merokok.

Boleh saja membuat peraturan-peraturan tertentu demi terjaganya kesehatan seperti membuat lokasi-lokasi khusus bagi para perokok, atau yang lainnya asalkan tidak mengharamkannya, itu saja, sekali lagi yang penting kita tidak mengharamkan yang halal sebab itu adalah dosa besar.

 Selanjutnya… terserah anda… 

Allah berfirman : “Katakanlah: Sesungguhnya kebenaran itu telah datang dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin percaya, hendaklah ia percaya, dan barang siapa yang ingin ingkar biarlah ia ingkar. wallahu a'lam

PENCARIAN HIDUP MENUJU KEKASIH SEJATI

JANGAN SUKA MENGANGGAP SESUATU YG TIDAK COCOK ITU ADALAH SESAT NAMUN SIKAPILAH SAMPAI KAU BENAR'' MEMAHAMINYA ...

KARENA JIKA KAU MENILAI CIPTAANNYA MAKA NISTALAH DIRIMU ... KARENA ALLOH MAHA MENILAI PADA APA'' YANG KAU SANGKAKAN











AlkisAnnabila